Ekaristi Sumber Berkat Keluarga
Aku baru memperhatikan betul lembaran mewah itu setelah lektor mengatakan setelah doa sesudah komuni kita akan membacakan doa Corona Adven. Refleks aku mengambil lembaran itu dan melipatnya menjadi tiga bagian. Umat yang di sebelah kiri dan kananku juga melakukan hal yang sama :-)
Setelah dilipat, kelihatan gambar depannya dicetak dengan warna ungu gelap. Di sampulnya ini, Yoseph menatap lembut dan penuh kasih ke bawah. Dagu Yosep menyentuh kerudung Maria yang juga tampak begitu lembut menatap bayi Yesus yang terlelap di dadanya.
Di bagian kanan sejajar dengan kepala Yosep ada hosti besar dengan lambang P dengan x persis di sisa garis lapang di huruf p ini. Di bawah hosti itu ada piala penuh anggur.
Yang menyenangkan mata dan hatiku adalah kata-kata di sudut kanan bagian atas. Dalam huruf berwarna kuning tertulis “Ekaristi Sumber Berkat Dalam Keluarga.” Indah sekali tema adven 2011 dalam lembaran doa produksi Dekenat Jakarta Pusat Keuskupan Agung Jakarta ini.
Ekaristi dan keluarga menjadi dua hal penting dalam tema Adven kali ini. Gambar Yosep, Maria, dan Yesus menjadi gambaran Keluarga Kudus dari Nazaret.
Memandang Keluarga Kudus dari Nazaret ini aku seperti melihat perjalanan keluarga yang dimulai dari: “tidak ada yang mustahil bagi Allah”. Kepasrahan Maria dan Yoseph untuk bilang iya dengan sukacita dan patuh pada rencana Allah. Kesetiaan pada Allah dan pasangan masing-masing melewati hari-hari yang berat: saat bergumul tentang “kemustahilan” yang akan terjadi, mencari tempat melahirkan bayi Yesus, mengungsi ke Mesir, kembali ke Betlehem, dan membesarkan Anak Manusia di tengah masyarakat dan masih banyak lagi yang mungkin belum aku pahami sekarang.
Jika Ekaristi, tubuh dan darah Yesus menjadi sumber berkat dalam keluarga... indah sekali :-) Akan banyak ayah dan ibu yang menggandeng anaknya mengikuti misa dan menikmati perjamuan kudus bersama setiap hari. Pasti banyak keluarga yang diberkati....
Corona Adven I
“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar, mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar. Engkau telah menimbulkan banyak sorak-sorak dan sukacita yang besar; mereka telah bersukacita di hadapanMu, seperti sukacita di wkatu panen (Yes 9:1-9).
Sebagaimana cahaya menyala dari lilin Corona ini, semoga berkat Allah menaungi keluarga kita menerangi jalan dan menuntun kita kepada kebenaran Kristus.
(Hening sejenak menyampaikan intensi........)
Doa Pembuka
Allah Bapa Yang Maharahim, kasih-Mu sungguh luar biasa bagi kami
dan Engkau menyalakan semangat persaudaraan sejati Keluarga Kudus dari Nazaret
dalam hati keluarga-keluarga Kristiani di manapun mereka berada.
Semoga dalam masa Adven yang penuh rahmat ini,
Engkau menguatkan keluarga-keluarga Kristiani
dengan Sakramen Ekaristi yang merupakan sumber
dan puncak iman dan Gereja kudus.
Bimbinglah kami untuk senantiasa menghadiri perayaan Ekaristi
serta menyambut tubuh dan darah Putera-Mu, Yesus Kristus,
yang hidup dan berkuasa bersama Dikau dan Roh Kudus,
Allah sepanjang segala masa.Amin.
Bapa Kami
Salam Maria 3 x
Kemuliaan
Ya, Bapa, yang Maha Pengasih terima kasih
atas rahmat dan karunia yang Kau limpahkan
dalam diri kami bersama keluarga selama masa Adven ini.
Kiranya kehadiranMu dalam Perayaan Ekaristi menjadikan hidup kami
lebih berarti dan menjadi saluran cinta kasih dan berkat
bagi bagi sesama, khususnya dalam keluarga kami.
Mampukan kami untuk menyampaikan kabar suka cita-Mu
kepada sesama sehingga mereka memperoleh keselamatan.
Semuanya ini kami panjatkan
dengan perantaraan Kristus Tuhan dan Juru Selamat kami.
Amin.
Ya Bapa, bersama dengan Keluarga Kudus-Mu di Nazaret,
kami ingin berdoa kepada-Mu:
Jadikanlah kami seperti mereka yang setia
dalam tugas hidup berkeluarga.
Jadikanlah kami seperti mereka yang sabar
dalam mengatasi cobaan-cobaan hidup berkeluarga.
Jadikan kami seperti mereka yang tekun
dalam iman akan Engkau yang menyelamatkan.
Jadikanlah kami seperti mereka yang tekun
dalam iman akan Engkau yang menyelamatkan.
Jadikanlah kami seperti mereka yang tekun berharap
akan keselamatan yang Kau janjikan.
Jadikanlah kami seperti mereka yang tekun
dalam cinta kasih kepada-Mu dan sesama.
(Hening sejenak.....)
Yesus, Maria, Yosef,
semoga kami dapat seperti-Mu
yang setia, sabar, dan bertekun dalam iman, harapan dan kasih.
Dampingilah dan doakan kami.
Terpujilah nama Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan Santo Yosef
sekarang dan selama-lamanya. Amin.
Doa Tahun Ekaristi
Ya, Bapa, melalui perayaan Ekaristi,
kami Kau satukan dengan Kristus dan sesama.
Semoga Roh-Mu memperdalam iman kami.
Iman akan Kristus yang hadir dalam perayaan ekaristi.
Semoga kami dapat meyiapkan hati dan pikiran juga penampilan kami.
Allah Bapa kami, kami pun diteguhkan untuk semakin bersaudara dengan sesama,
khususnya pada saat bertugas sebagai pelayan altar-Mu,
menjadi petugas tatib, koor, dan petugas-petugas lain dalam ekaristi.
Allah Bapa kami, utuslah kami agar dapat membantu sesama
dengan pelayanan kasih yang total tanpa pamrih.
Bunda Maria, Bunda kaum beriman doakanlah kami.
Amin
Selamat memasuki masa Adven menyambut kedatangan Sang Immanuel. Semoga sesuai dengan Tema Adven 2011: Ekaristi Sumber Berkat Dalam Keluarga, kita semakin mencintai Keluarga dan Ekaristi. Terima kasih untuk partisipasi Anda mendukung Perayaan Natal Tahun 2011 (Sie Liturgi Dekenat Jakarta Pusat)
Labels: Doa
Apek Pol
Sebenarnya banyak juga yang bilang kenapa sih aku kelewat banyak senyum. Tapi, aku juga tidak tahu kenapa. Pokoknya, aku senang tersenyum. Titik.
Aku tersenyum pada siapa saja. Wulan, Moses, Nera dan saudara-saudaraku sudah biasa melihat aku tersenyum pada orang yang tidak kami kenal. Meski kadang-kadang mereka juga bertanya kenapa.
Tapi, Nera punya pandangan yang berbeda tentang senyumku ini. Sepertinya di mata dia, orang lain yang lebih dahulu tersenyum dan aku adalah pihak yang membalas. Mungkin karena itu, Nera kerap melihat wajahku dan wajah orang yang berpapasan dengan kita.
Dia melakukan itu untuk memastikan bahwa aku tersenyum pada orang yang tersenyum padaku. Dia sering berkata begini, "Ne tadi senyum nggak sama Om (Tante, Pak, Ibu atau orang) itu."
Ya, pastilah aku tersenyum pada orang yang senyum padaku. Tapi, mungkin Nera ada benarnya juga. Jangan-jangan aku memang tersenyum karena orang yang lebih dahulu tersenyum padaku. Ya, bisa jadi, aku sering bertemu dengan orang yang memang senang tersenyum juga seperti diriku.
Aku memang gemar tersenyum. Aku tak perlu mencari alasan untuk tersenyum. Aku tersenyum saat menulis. Aku tersenyum saat menyanyi, bahkan lagu-lagu sedih sekalipun :-) Aku tersenyum saat minum air putih, saat makan, saat minum kopi, saat membaca... Aku tersenyum hampir pada setiap saat. Aku tersenyum karena aku mau tersenyum.
Kadang-kadang aku lebih senang tersenyum daripada bicara. Apalagi, menghadapi orang-orang yang bicaranya seperti hujan deras yang lama. Aku juga lebih senang tersenyum mendengar cerita orang daripada berbicara tentang kisahku pada orang lain. Aku juga lebih senang tersenyum ketika memasuki dunia yang baru.
Aku selalu tersenyum saat berada dalam kondisi menuju ke alam kantuk pada malam hari. Aku juga tersenyum dalam kantuk saat terbangun di pagi hari. Mungkin aku juga tersenyum dalam tidurku :-)
Tapi, aku paling sering tersenyum pada anak-anak. Setiap anak yang aku temui pasti aku beri senyum.
Aku jadi ingat beberapa minggu silam aku melihat seorang ayah yang mendorong gerobak barang bekas. Anaknya duduk di atas tumpukan kertas-kertas sambil memegang mainan kereta-keretaan. Refleks aku tersenyum padanya dan melambaikan tangan secara sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan ayahnya.
Aneh bin ajaib, anak kecil itu tidak membalas senyumku. Dia malah memandangku dengan marah. Dia bahkan mengarahkan mainannya ke arahku. Dor dor dor dor dor! Karena nggak biasa mendapat reaksi itu aku terdiam beberapa detik. Tapi, mataku tetap mengikuti gerobak yang berjalan menjauhiku.
Kemudian si anak laki-laki itu kembali berbalik menatapku. Aku langsung tersenyum padanya. Dia memandangku masih dengan marah. Kemudian dia menjulurkan lidahnya padaku. Aku tertawa.
Sepertinya tadi aku adalah "alien" yang sedang mengusik dunia khayalannya. Makanya senyum apek pol-ku dibalas dengan tembakan.
Papa yang Bangga
Nera kecilku biasanya sudah mulai meninggalkan bangku begitu Romo mulai turun dari altar untuk membagikan komuni. Padahal, umat di bangku paling depan yang pertama kali menerima komuni belum keluar dari bangku pun.
Nera memang mau lebih dahulu agar menjadi orang yang paling pertama menerima berkat dari Romo. Artinya, dia harus menunggu beberapa lama dalam barisan kecilnya itu untuk bisa maju ke depan menerima berkat Romo.
Setelah komuni terakhir dibagikan pada umat, barulah anak-anak kecil ini berbaris untuk mendapatkan Romo. Aku selalu memperhatikan, hampir setiap Romo memberi berkat dengan senyum, hangat, dan penuh sayang. Jadi pengen jadi anak kecil lagi deh hehehehe.
Aku suka sekali melihat wajah anak-anak kecil itu. Ada yang segera berlari dengan malu-malu menuju tempat duduk. Ada yang berjalan seperti suster atau romo kecil dengan tangan yang dalam posisi doa dan berjalan tegak. Ada yang berjalan sambil cengengesan. Ada yang mengejar teman atau adiknya. Ada yang menggandeng tangan adiknya seperti ibu menggandeng anaknya. Sementara sang adik berusaha lepas dari pegangan kakaknya. Ada yang menangis sambil mencari-cari orang tuanya. Ada yang tak mau kembali ke tempat duduk. Ada yang bahkan mencoba mengantre lagi untuk mendapat berkat.
Wajah-wajah pengantarnya juga selalu menyiratkan sesuatu. Hampir semua memancarkan wajah bangga karena telah membawa anaknya. Juga wajah bangga untuk memamerkan buah hatinya. Seperti mau bilang ke satu gereja, “Ini anak gue geto lo.’
Tapi, hari Minggu kemarin ada pemandangan yang belum pernah aku saksikan. Karena terlalu asyik berdoa, aku sampai tidak memperhatikan wajah-wajah anak yang berada di barisan paling depan untuk menerima berkat. Padahal, dari tempat dudukku aku bisa melihat wajah mereka ketika mereka maju mendekati barisan bangku terdepan.
Tetapi, gerakan seorang pria yang berjalan dari ujung deretan bangku sebelah kanan mengikuti anaknya yang berada di barisan tengah mengusikku. Pria ini berdiri paling depan, persis di depan bangku paling depan. Dia pasti menunggu anaknya.
Karena jaraknya terlalu jauh, saya juga tidak bisa melihat ke arah mana matanya menatap. Tapi, sorot bangganya itu yang membuat saya penasaran melihat anaknya. Saya bisa melihatnya karena dia berdiri paling depan dan umat dalam posisi duduk.
Tak berapa lama dia menunduk untuk meraih anaknya yang baru diberkati. Biasanya memang orang tuanya segera meraih anaknya dalam pelukan atau sekadar memegang tangan anaknya untuk bersama-sama ke bangku.
Ayah ini ternyata menggendong anaknya. Saya masih tidak bisa melihat jelas. Tapi, dia menggendong anak dengan baju garis-garis warna dasar abu-abu dengan setrip putih. Dia menggendong anaknya dengan sorot sayang dan wajah yang bangga.
Kami memang berada dalam posisi yang tidak terlalu dekat tapi aku bisa melihat dia berjalan dengan kepala tegak terangkat. Dia menggendong anaknya dalam posisi menghadapkan anaknya ke depan.
Di situlah saya bisa melihat anaknya jelas. Anaknya laki-laki. Berambut cepak. Berkulit putih. Sepertinya putranya yang tingginya seperti anak kelas satu atau dua sekolah dasar itu adalah anak berkebutuhan khusus.
Dada saya langsung tertusuk. Si ayah menggendong anaknya dengan wajahnya menghadap ke orang-orang. Seperti ayah-ayah yang lain dia juga mau bilang, “Anak gue geto lo.”
Pemandangan yang mendasyatkan.
Ketika banyak ayah mencintai anaknya karena prestasi, keahlian, keberhasilan, kehebatan. Ketika banyak ayah yang bangga hanya ketika anak-anaknya baik, manis, pintar, rajin, cantik, ganteng, sehat... Ketika banyak ayah banga karena anaknya sempurna seperti yang ada dalam iklan-iklan... Hari ini aku melihat seorang ayah yang bangga akan anaknya yang berkebutuhan khusus.
Selesai misa aku sudah siap-siap mendekati bangku ayah yang bangga ini. Aku penasaran melihat mereka berdua dari dekat. Aku juga ingin tahu bagaimana rupa ibunya.
Tapi sesuatu dalam diriku menahanku. Ada sesuatu yang lebih penting dari itu yang membuat aku terduduk dalam diam.
Aku seperti melihat diriku sendiri sebagai anak yang berkebutuhan khusus yang dipandang dengan sorot sayang dan bangga oleh Papaku di surga. Aku juga seperti melihat bahwa Papaku yang di Surga juga menggendongku dengan mukaku menghadap ke depan dan mau bilang pada dunia “Anak gue geto lo”.
Betapa berharganya aku mempunyai Papa yang bangga. Aku bersyukur karena dalam segala kekurangan dan ketidakberdayaanku aku tetap bisa menatap dunia dengan kepala tegak dan dagu terangkat karena ada dalam gendongan Papa yang bangga.
Bersama alunan lembut suara Nikita aku ingin bernyanyi,
Ke manakah kami mencari kasih sejati...
...Yang kami tahu hanya Kau yang mampu
Pulihkan segala sesuatu ...
Kami butuhkan sentuhan tangan-Mu
Kami tak dapat jalan sendiri
Kami perlu Kau Tuhan
“Ketika Aku...”
Aku harus bersiap-siap untuk ikut misa pukul 09.00. Aku sudah janjian dengan seorang tante untuk pergi bareng setenga jam sebelum misa mulai. Kami berdua berjalan kaki ke gereja.
Ini pertama kali aku ikut misa di Gereja Hati Kudus Kramat, Jakarta Pusat. Gereja dengan langit setinggi sekitar lima kali tinggiku yang hampir mencapai 160 sentimeter. Apa perkiraanku ketinggian ya??? Soalnya, tingginya itu membawa kesan yang sangat dan amat lapang bagiku. Angin berseliweran dari beberapa kipas angin yang menggantung di sepertiga dari pilar yang menyangga atap.
Patung St Antonius dengan bayi Yesus di kiri dan patung St. Fransiskus dari Asisi dengan dua telapak tangan rebah di dada membentuk huruf x. Tadi sebelum mencapai pintu gerbang aku melihat seorang romo berjubah cokelat dengan tali pinggang putih, seperti tali pramuka. Dia Romo Fransiskan rupanya, seperti St Antontius dan St Fransiskus yang berdiri beberapa meter sebelum altar. Altar gereja ini bercahaya ke-emasan.
Bunda Maria menanti di sayap kiri altar dan Hati Kudus Yesus berdiri dengan tangan terbuka di sayap kanan.
Aku duduk di bangku paling depan di deretan kursi yang barisan belakanganya berjarak sekitar satu meter dari pintu masuk gereja. Aku pun tenggelam dalam liturgi di misa. Di luar mendung.
Ternyata, Romo yang tadi aku lihat di depan gereja itu yang memberikan kotbah. Aku sering melihat Romo ini memimpin misa pagi di kapel susteran Bunda Hati Kudus. Rasanya berbeda melihat Romo ini memakai jubah Fransiskannya. Menggetarkan. Begitu sederhana. Biasanya tubuh gempalnya ditutup jubah putih atau hijau, kuning atau merah saat memimpin misa pagi.
Romo berkaca mata ini bercerita tentang sebuah tradisi di Jepang. Yakni, ada suatu saat ketika orang-orang Jepang membawa orang tuanya yang renta dan pikun ke hutan. Di sanalah para orang tua yang tak berdaya ini dibuang.
Adalah seorang pria yang menjalankan tradisi ini. Dia menggendong ibunya yang kakinya lumpuh ke hutan lebat. Sepanjang perjalanan, tangan ibunya berusaha mengambil ranting-ranting pohon di dekatnya. Menjatuhkan ranting-ranting itu ke tanah. Sampailah mereka di tengah hutan. Dengan berat si anak mengucapkan kata-kata perpisahan.
“Ibu, saya sangat sedih harus melakukan ini,” kata si anak.
Ibunya menjawab lembut.
“Ibu mengerti anakku. Ibu menyayangimu sejak kamu dalam kandungan dan memeliharamu sampai besar. Ibu tetap menyayangimu sampai saat ini dan terus melindungimu. Sepanjang jalan tadi ibu sudah meninggalkan jejak ranting agar kamu tidak tersesat keluar dari hutan. Ibu tetap menyayangimu, Nak.”
Si anak menangis keras dan memeluk ibunya. Dia menggendong ibunya dan membawa pulang ibunya melintasi ranting-ranting kayu dan pulang ke rumah. Dia memelihara ibunya dengan penuh kasih sayang sampai maut menjemput ibunya.
Dalam penutup kotbahnya, Romo berambut keriting ini mengingatkan kembali tentang peringatan misa hari ini: Hari Raya Yesus Kristus Raja Alam Semesta. Ini adalah misa terakhir sebelum memasuki masa Adven pekan depan.
Romo berkata, “Siapakah Rajamu sekarang? Kekuasaan? Keuangan? Kecemasan? Dirimu? Kecabulan? Karier? Kekhawatiran? Pikiran jahat?
Apakah Yesus Raja Semesta Alam sudah benar-benar menjadi Rajamu? Raja dalam keluargamu? Raja dalam hari-harimu? Raja dalam hatimu?
Bagaimana kamu bisa melayani Rajamu?” kata Romo.
Aku tahu jawabannya. Semuanya ada dalam bacaan Injil yang Romo bacakan tadi di Matius 25:31-46.
“Ketika Aku lapar... beri Aku makan...
Ketika Aku haus,... beri Aku minum...
Ketika Aku orang asing,... beri Aku tumpangan
Ketika Aku telanjang,... beri Aku pakaian
Ketika Aku sakit dan dalam penjara,... lawat Aku.”
Dalam duduk tegak, napas teratur dan mata tertutup aku menyimak kotbah penuh rahmat dari Romo yang penuh rahmat.
Dalam misa yang tersaput mendung aku bermandikan rahmat. Aku mau seperti Bunda Teresa, maju dan “berbuat kecil” melayani Yesus Raja Semesta Alamku dengan “kasih yang besar”. Kasihnya semua datang dari dan karena Tuhan saja.
Tulisan kecil “Ketika Aku...” ini adalah awal.
Cinta yang Banyak
Sebagai orang NTT aku bangga melihat Daily Mail menulis Obama tampak gagah dengan warna yang berani. Meski awalnya sempat “meringis” begitu kata Daily Mail, Obama memang ganteng kok dengan busana yang kata Menteri Mari E. Pangestu “batik” itu.
Selama ini, penampilan Obama yang aku lihat tak jauh-jauh dari warna hitam atau gelap, putih, dan pastel. Entah di Afrika sana, Obama juga memakai busana tradisional Afrika yang berani tabrak warna dan corak.
Tunik Obama ini membuat janjiku dengan Rony, adikku, molor hingga dua jam. Aku menemui dia dalam kondisi kelaparan. Kami langsung saja makan seperti “singa yang nggak makan tiga hari” –pinjam kata-kata Nera.
Aku bertemu dengan adikku ini karena sudah beberapa kali membatalkan janji bertemu dengannya. Aku kan sudah bilang sebelumnya, aku sekarang orang yang menepati janji
Tapi, lebih dari itu, aku ingin menemui dia karena doa-doanya padaku. Kemarin dia mengirimkan doanya lewat sms. Aku sudah menghapus dan lupa persis kata-katanya. Tapi, tetap saja bertemu dengannya membuat sesuatu dalam diriku ingin menari bebas.
Kata-kata dia dalam doanya itu persis seperti ‘roti hidup’ yang aku santap setiap pagi dan malam. Kata-kata tentang janji, berkat ,dan kasih karunia. Empat kata ini memang punya kuasa yang luar biasa dalam jam-jam yang membungkus hari-hariku.
Bertemu dengan adikku ini mengingatkan aku tentang betapa beruntungnya aku punya saudara, punya keluarga. Meski jauh dari sempurna, setiap lika dan liku saudaraku, entah lekuk yang bergerigi atau halus, entah permukaan yang bopeng atau mulus, masing-masing dari kakak dan adikku membawa sesuatu yang indah buat hidupku.
Sesuatu yang indah yang memang sedang Tuhan rancang dalam hidupku, hidup kami masing-masing sebagai keluarga. Membuat aku tidak pernah berhenti dan lelah untuk mendoakan keluargaku dan keluarga-keluarga lain agar benar-benar menjadi keluarga yang hidup dalam penyertaan Tuhan, kini dan selamanya.
Bagiku keluarga adalah sekolah untuk mencinta. Mencinta meski kadang sulit, menjengkelkan, dan kadang lewat begitu saja tanpa ada “rasa” cinta sama sekali. Mencinta karena kita memang harus mencintai satu sama lain
Terima kasih Tuhan untuk semua kakak dan adikku, semua anggota keluargaku, yang aku tahu mencintaiku dengan sangat. Dan, mereka juga tahu bahwa cintaku buat mereka masing-masing juga banyak sekali
Mengejar Pelangi
Dalam jebakan "kebetulan" yang seabrek keduanya akhirnya sudah bersama selama hampir tiga tahun. Sama-sama berlari mengejar pelangi.
Aku menyebut "mengejar pelangi" karena apa yang mereka kerjakan indah namun tidak mudah. Cantik namun tidak selalu ketemu. Sulit, namun pasti muncul setelah hujan.
Keduanya sama-sama berdoa untuk bisa melayani. Dan, mereka bersatu dalam pelayanan yang sama. Mereka menyediakan hati, waktu, tenaga, bahkan dompet juga semuanya untuk melayani penderita kanker.
Baru kali aku mendengar dan menyaksikan sendiri dua orang dengan doa yang sama bertemu dan langsung klik-klek.
Aku seperti melihat menyatunya doa Sara dan Tobia dalam diri keduanya. Betapa dahsyatnya doa.
Hanya Itu Kerinduanku
Dengan empat teman, semuanya perempuan, kami memasuki ruangan. Lagu pembukaan sudah melantun. Cuma ada 12 orang. Kami berempat plus dua teman cewek lagi. Sisanya cowok semua, termasuk dua pemain gitar dan Om yang membawakan Firman.
Kebaktian mulailah. Aku dengan keras menyanyikan lagu “Menyenangkan-Mu”. Lagu ini sudah sering aku dengar, tapi baru kali aku melihat liriknya secara utuh. Biasanya aku hanya menyanyikan refrainnya.
Menyenangkan-Mu,
senangkan-Mu
Hanya itu kerinduanku
Menyenangkan-Mu,
senangkan hati-MU (yang lain menyanyikan “Senangkan Roh-Mu”)
Hanya itu kerinduanku...
Acara selanjutnya, rapat persiapan panitia Natal 2011. Bergaul dengan teman-teman yang baru lulus kuliah aku ketularan “cerewet”. Mulailah kita saling tunjuk siapa menjadi apa. Yang pasti, muka-muka baru harus maju supaya wajah-wajah lama mengambil posisi di tempat tamu dalam acara ini. Seperti begitulah kira-kira maunya.
Mungkin aku kebanyakan menunjuk dan “cerewet”. Meski dengan niat mulia biar semua yang ada dalam ruangan banyak senyum gembira dan suasana jadi hangat dan akrab. Hingga akhirnya aku ditunjuk menjadi ketua panitianya. Astaga naga ular naga panjangnya bukan kepalang....
“Biar beritanya masuk ke online Mbak,” kata temanku si rambut panjang dan berkaca mata. Dia mengelus-elus pundakku. Tuh kan, dia prihatin dan mencoba membesarkan hatiku. Dasar
“Oh iya, pasti, aku pasang fotoku sekalian,” kataku berseloroh. Ya, iyalah, mana mungkin pasang fotoku. Kasihan Jessica Alba bisa minder lihat aku hahahahaha.
Aduh, panitia Natal. Benar-benar nggak ada ide. Bikin acara Natal untuk anak-anak kecil sih sudah pernah. Tapi, kan nggak pakai rapat dan berurusan dengan orang lain. Waduuuh.
Tapi, aku tadi kan nyanyi Menyenangka-Mu dengan suara kencang. Kok cuma ditunjuk jadi ketua panitia Natal kok sudah melempem begitu. Padahal, teman-teman semua siap membantu. Dan, energi mereka meluap-luap.
Ya, udah maju.... Siap, Tuhan dengan senyum yang manis seperti meisis cokelat. Kapan lagi bisa menyiapkan acara Natal buat bayi Yesusku yang manis?
Menyenangkan-Mu
Senangkan hati-Mu
Hanya itu kerinduanku....
You Before Me
Hari ini, aku berjanji bertemu seorang teman yang cantik dan selalu energik. Kami sudah janjian dari dua atau tiga hari sebelumnya, Tapi, ternyata oh ternyata, di tengah hari rencana berubah. Ada sesuatu yang mengganjal langkahku.
Sementara di daerah yang berbeda, temanku yang cantik dan energik ini sudah meluncur....
Akhirnya, kami tidak jadi bertemu. Temanku yang cantik dan selalu energik ini terpaksa kembali ke rumahnya. Benar-benar nggak enak rasanya. Membayangkan temanku yang cantik dan energik ini bela-belain datang untuk bertemu dan kembali begitu saja.
"Lain waktu," kata dia.
Dua kata yang menyedihkan. Keduanya begitu dekat dengan bibirku. Sering sekali aku membombardir orang dengan dua kata itu. Sungguh teganya, teganya, teganya 100 kali.
Tapi, dua kata itu tidak bakalan jadi penghambatku untuk menulis lagi. Karena janjiku dengan temanku pasti kutepati. Janjiku untuk menulis juga pasti kulunasi. Tak peduli bagaimana caranya.
Sebab, janji-janji di masa laluku yang tidak ditepati sudah aku taruh ke pojok paling belakang. Saking jauhnya, menoleh pun aku tidak akan bisa melihat dia kembali. Yang aku lihat hanya yang di depanku...
Seperti kata Darlene Zschech dalam lagu Kiss of Heaven
...
I'm singing a new song
In the presence of the King
Giving You my heart
That is all that I can bring
You lit a fire inside of me
That I thought would never burn again
...
I thank You, my Father
For all You've done and all
You are going to do
My past behind me and
You before me I press on for more
My Jesus, dream maker
My Jesus, life giver
I'm living under the kiss of heaven
And I'll never, ever be the same again
God and God Alone
Ada sms Wulan yang membuka pagi
Ada sms Nera yang mencerahkan
Ada aku yang cantik hari ini :-)
Tak ada kue dan lilin
Tak ada kado dan kartu ucapan
Tak ada misa pagi...
Ada lagi sms-sms yang menyejukkan
Ada makan siang yang penuh tawa
Ada suara di telepon yang hangat dan makan malam yang pedas
Tak ada sms yang kutunggu
Tak ucapan yang kunanti
Tak ada kabar yang harusnya datang hari ini
Tapi, di hari indah ini
Ada yang menyanyikanku Gyeoure taeeonan areumdaun dangsineun
Tapi, ada air mata yang banyak
Karena, lagi-lagi aku tahu
Seperti hari-hari banyak yang sudah lewat itu
Aku merasa seperti Elia yang sendirian
Dan bernyanyi bersama Steve Green
God and God Alone
will be the joy of our eternal home
He will be our one desire
Our hearts will never tire of God and God alone