<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Friday, August 27, 2004
Adeus Ede

PESAN singkat yang datang itu mengagetkan. "Ade Om Sikitu meninggal." Karena baru saja sampai di kantor, perhatianku tersita pada teman-teman. Yang ada dalam pikiranku adalah adik omku meninggal dunia. Semuanya jelas ketika abangku menelepon. Ede, sepupuku meninggal.Oh meu Deus.

Tadi malam, aku dan adikku sempat ngobrol tentang dia. Tumben adikku sampai menelepon cuma mau bilang Ede sekarang kerja di Inggris. "Enak banget dia bisa mondar-mandir Eropa begitu," kata adikku. Aku cuma bilang, "Iya asyik banget. Tapi aku ngantuk nih, masuk malam." Adikku buru-buru memutus pembicaraan. Rupanya semalaman dia ingat Ede.

Nama lengkapnya Edefaldo bla bla. Aku lupa. Sebab, seperti orang Timor Leste pada umumnya namanya panjang banget. Tapi kami biasa memanggilnya Ade atau Ede dengan sedikit sela di antara "A" atau "E" dan "de".

Avo (opa), ayah mamaku, saudara kandung dengan ayah Om Sikitu. Politik membuat Aboku harus meninggalkan Timtim bertahun-tahun sebelum Revolusi Bunga. Bahkan, Ibuku tidak pernah tahu bahwa ayahnya adalah pelarian. Yang diingat, setiap bulan ada helikopter yang datang membawa makanan kalengan, tinto (anggur khas Timtim), rokok kalengan, sampai sabun. Selebihnya kabur.

Hubungan ibu dan keluarganya mulai sedikit terjalin setelah Indonesia masuk ke Timtim. Namun, tak banyak yang aku ingat. Sebab, rata-rata saudara cuma mampir sebentar ke rumah, tidak pernah menginap. Sekadar ketemu, pamitan, dan melanjutkan perjalanan ke Australia atau Portugal. Kita bertemu untuk berpisah...

Politik juga yang membuat keluargaku terbelah. Ada yang prokemerdekaan dan prointegrasi. Ede sekeluarga prokem--sama seperti kita juga. Sedangkan suami sepupuku malah termasuk petinggi prointegrasi. Namun, sebisa mungkin kita tidak pernah membicarakan masalah ini. Sensitif.

Ede sempat kuliah di Yogyakarta setelah bekerja setahun di biro perjalanan di Dili. Selama kuliah, kurang lebih empat kali dia ke tempatku. Pertama kali ketemu kita langsung dekat. Agak aneh memang, tapi kita semua memang lebih dekat dengan keluarga yang prokem. Kita seperti sudah begitu lama kenal. Dia terlihat senang melihat buku saku bahasa Portugisku. Dia juga mengajariku bahasa Portugis dan bahasa Tetun.

Dua bulan lalu, dia meneleponku. Dia ada di Lisbon. Aku senang sekali. Kita bercerita tentang Piala Eropa dan kesebelasan favorit kita: Portugal. Dia juga bercerita betapa senangnya dia di sana setelah beberapa bulan menetap di Inggris. Dia juga berkisah tentang Gereja Maria Fatima... Bikin iri. Dia minta aku menabung supaya ke Portu pas musim semi. Terakhir, aku ingat sekali dia bilang, "Kalau aku punya uang banyak aku bayarin Kakak ke sini, tapi harus ke Inggris dulu." Aku cuma tertawa.

Sekali lagi aku melihat pesan singkat itu. "Ade tadi siang meninggal tabrakan mobil di Inggris."

Eternal rest grant unto him,
O Lord,
And Let Perpetual Light
Shine upon him.
May Ade rest in peace. Amen
.

Thursday, August 26, 2004
Free to Flow
Anthony de Mello

Has it ever struck you that those who most fear to die are the ones who most fear to live? Life is flexible and free, and you are rigid and frozen. Life carries all things away, and you crave stability and permanence. You fear life and death because you cling. You cannot bear the thought of losing a relative or friend; you dread losing a pet theory or ideology or belief. When you cling to nothing, when you have no fear of losing anything, then you are free to flow like a mountain stream that is always fresh and sparkling and alive.

Cerita Andy


ADA seorang bocah kelas empat sekolah dasar di suatu daerah di Milaor Camarine Sur, Filipina. Setiap hari dia mengambil rute melintasi daerah tanah berbatuan dan menyeberangi jalan raya yang berbahaya. Banyak kendaraan melaju kencang dan tidak beraturan. Setiap kali berhasil menyeberangi jalan raya, bocah ini mampir sebentar ke gereja setiap pagi untuk menyapa Tuhan.

Diam-diam seorang Pastor mengamati tindakan bocah ini. Dia sangat terharu melihat sikap bocah yang lugu dan beriman ini. Suatu saat si Pastor mendekati bocah dan bertanya, "Bagaimana kabarmu Andy? Apakah kamu akan ke sekolah?"

"Ya, Bapa!" Andy membalas dengan senyum yang menyentuh hati Pastor.

Dia begitu memperhatikan keselamatan Andy sehingga suatu hari dia berkata kepada bocah itu, "Jangan menyeberang jalan raya sendirian. Setiap kali pulang sekolah kamu boleh mampir ke gereja dan saya akan menemani kamu ke seberang jalan. Dengan begitu saya bisa memastikan kamu pulang ke rumah dengan selamat."

"Terima kasih, Pastor."

"Kenapa kamu tidak pulang sekarang? Kamu tinggal di gereja setelah pulang sekolah?"

"Aku hanya ingin menyapa Tuhan, sahabatku."

Dan Pastor itu segera meninggalkan Andy. Bocah ini melewatkan waktunya dengan berbicara sendiri di depan altar. Tapi, kemudian Pastor ini bersembunyi di balik altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andy kepada Bapa di surga.

"Engkau tahu Tuhan, ujian matematikaku hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek walaupun temanku melakukannya. Aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanyalah kue ini. Terima kasih buat kue ini Tuhan!

Aku tadi melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memberikan kueku yang terakhir buatnya. Lucunya, aku nggak begitu lapar.

Lihat, ini sandalku yang terakhir. Aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu minggu depan. Engkau tahu sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa, paling tidak aku tetap dapat pergi ke sekolah.

Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa temanku sudah berhenti sekolah. Tolong bantu mereka supaya bisa sekolah lagi. Tolong Tuhan...

Oh ya, Engkau tahu Ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tidak aku masih punya seorang Ibu. Tuhan, Engkau mau lihat lukaku? Aku tahu Engkau mampu menyembuhkannya, di sini..., di sini... (sambil menunjukkan lukanya). Aku rasa Engkau tahu yang ini kan? Tolong jangan marahi Ibuku ya? Dia hanya sedang lelah dan khawatir akan kebutuhan makanan dan biaya sekolahku. Itulah mengapa dia memukul kami.

Oh Tuhan, aku rasa aku sedang jatuh cinta saat ini. Ada seorang gadis yang cantik di kelasku, namanya Anita. Menurut Engkau apakah dia akan menyukaiku? Bagaimanapun juga paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau adalah sahabatku.

Hei, ulang tahun-Mu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira? Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untuk-Mu . Tapi ini kejutan. Aku berharap Engkau akan menyukainya.

Ooops... aku harus pergi sekarang."

Andy segera berdiri dan memanggil Pastor itu, "Pastor, Pastor. Aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, Anda bisa menemaniku menyeberang jalan sekarang!"

Kegiatan ini berlangsung setiap hari. Andy tidak pernah absen sekalipun. Pastor Agaton berbagi cerita ini kepada jemaat di gerejanya setiap Minggu karena dia belum pernah melihat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Allah. Suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif.

Pada hari Natal, Pastor Agaton jatuh sakit sehingga dia tidak bisa memimpin misa dan dirawat di rumah sakit. Pengelolaan gereja diserahkan pada empat suster tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat. Mereka juga sering mengutuki orang yang menyinggung mereka.

Mereka sedang berlutut memegangi rosario ketika Andy tiba dari pesta Natal di sekolahnya dan menyapa, "Halo Tuhan, Aku..."

"Kurang ajar kamu bocah! Tidakkah kamu lihat kami sedang berdoa! Keluar!"

Andy begitu terkejut, "Di mana Bapa Pastor Agaton? Dia seharusnya membantuku menyeberangi jalan raya. Dia selalu menyuruhku mampir lewat pintu belakang gereja. Aku juga harus menyapa Tuhan Yesus, ini hari ulang tahun-Nya, aku punya hadiah untuk-Nya..."

Ketika Andy mau mengambil hadiah dari dalam bajunya, seorang dari keempat suster itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar gereja. Sambil membuat tanda salib ia berkata "Keluarlah bocah, kamu akan mendapatkannya!"

Andy tidak punya pilihan lain. Hari itu dia harus sendirian menyeberangi jalan raya yang berbahaya di depan gereja. Dia berlari kecil ketika tiba-tiba sebuah bus melaju dengan kencang. Di situ ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andy melindungi hadiah itu di dalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus. Kejadiannya begitu cepat. Andy tidak bisa menghindar. Bruk! Andy tewas seketika.

Orang-orang berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang yang sudah tak bernyawa. Tiba-tiba, entah muncul dari mana, seorang pria berjubah putih dengan wajah yang halus dan lembut datang memeluk Andy. Dia menangis. Orang-orang penasaran dan bertanya, "Maaf Tuan, apakah Anda keluarga bocah malang ini? Apakah anda mengenalnya?"

Dengan duka yang mendalam pria ini segera berdiri dan berucap pendek, "Dia adalah sahabatku." Pria misterius ini mengambil bungkusan hadiah dari dalam baju bocah malang itu dan menaruhnya di dadanya. Lalu dia berdiri dan membawa pergi tubuh Andy. Keduanya menghilang begitu saja di tengah kerumunan. Orang-orang pun bertanya-tanya. Penasaran.

Di malam Natal, Pastor Agaton menerima berita yang sungguh mengejutkan. Dia berkunjung ke rumah Andy beberapa hari kemudian untuk memastikan siapa pria misterius berjubah putih. Pastor bertemu dan bercakap-cakap dengan kedua orang tua Andy.

"Bagaimana Anda mengetahui putera Anda meninggal?"

"Seorang pria berjubah putih yang membawanya kemari," Ibu Andy terisak.

"Apa kata pria itu?"

Ayah Andy menjawab, "Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya, tapi dia terlihat sangat menderita atas kematian Andy. Sepertinya dia begitu mengenal Andy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit saya jelaskan mengenai dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andy dari wajahnya dan memberikan kecupan di keningnya. Kemudian dia membisikkan sesuatu...

"Apa yang dia katakan?" Pastor Agaton berkata cepat.

"Dia berkata kepada puteraku..." ujar sang Ayah, "Terima kasih buat kadonya. Aku akan segera berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaku."

Dan sang Ayah melanjutkan, "Anda tahu kemudian semuanya itu terasa begitu indah. Saya menangis tetapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang saya tahu saya menangis karena bahagia. Saya tidak dapat menjelaskannya Bapa Pastor, tetapi ketika dia meninggalkan kami, ada suatu kedamaian yang memenuhi hati kami. Saya merasakan kasihnya yang begitu dalam di hatiku. Saya tidak dapat melukiskan sukacita di dalam hatiku. Saya tahu puteraku sudah berada di surga sekarang. Tapi tolong katakan padaku, Pastor, siapakah pria yang selalu bicara dengan puteraku setiap hari di gerejamu? Anda seharusnya mengetahui karena Anda selalu berada di sana setiap hari, kecuali pada waktu puteraku meninggal."

Air mata Pastor Agaton mengucur deras. Dengan lutut gemetar dia berbisik, "Dia tidak berbicara dengan siapa-siapa, kecuali dengan Yesus."

Wednesday, August 25, 2004
Bergosip? Please Deh!

DIGOSOK makin sip, itulah gosip. Tanpa sadar kita hidup dalam lingkaran gosip. Di mana saja kita bisa mendengar, membicarakan, menulis, dan menikmati cerita-cerita yang belum tentu kebenarannya. Entah gosip itu terlontar dari mulut sendiri, teman, saudara, kenalan, narasumber atau tanpa sengaja kita mendengar rumpian orang lain. Gosip juga bisa muncul di sekolah, kantor, tempat makan, kendaraan umum, salon, dan toilet. Bahkan, berita gosip artis di televisi muncul sejak pagi buta sampai tengah malam. Gawatnya lagi, gosip bahkan juga terdengar di gereja atau pertemuan jemaat.

Sebenarnya gosip cuma obrolan sekenanya yang kadang-kadang bisa melancarkan pembicaraan yang macet. Namun, selalu ditanggapi beragam dan justru akan melebar. Padahal, perguncingan tidak sehat tentang orang yang dikenal dekat atau mereka yang tak berhubungan sama sekali dengan kita dapat menghancurkan perasaan dan reputasi seseorang. Bayangkan jika kita yang digosipkan. Tak enak kan.

Setiap berada dalam arus gosip, ada baiknya kita memperhatikan jari tangan. Saat menunjuk dengan jari telunjuk, ada tiga jari lain yang mengarah pada kita. Mungkin hari ini kita membicarakan orang lain. Besok, bisa jadi ada tiga atau empat orang yang membicarakan tentang diri kita. Maukah kita dipermalukan?

Puji Tuhan, sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa kita sedang bergosip. Sebab, Roh Kudus akan mengingatkan kita dengan perasaan tidak enak saat membicarakan hal-hal yang tidak sesuai. Amsal 4:22 menyatakan, "Janganlah sekali-kali mengucapkan sesuatu yang tidak benar. Jauhkanlah ucapan-ucapan dusta dan kata-kata yang dimaksud untuk menyesatkan orang." [Terjemahan bahasa Indonesia sehari-hari]. Mendengar gosip juga sia-sia. Sebab, menyimak guncingan sama jeleknya dengan menyebarkan kata-kata negatif tentang seseorang. Amsal 26:22 mengatakan, fitnah itu enak rasanya; orang suka menelannya."

Semua orang bisa berdiskusi panjang lebar tanpa menyakiti orang lain. Salah satu caranya adalah berpikir positif tentang apapun. Seperti nasihat Rasul Paulus kepada umat di Filipi 4:8. Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

Jika pembicaraan mulai menjurus ke gosip, kita bisa mengalihkan dengan menanyakan keadaan pribadi orang yang sedang berbicara. Tanyakan keadaan keluarga, sekolah, karier atau apa saja tentang dirinya. Biasanya, kerumunan akan bubar sendiri. Sebab, jarang ada orang yang betah berlama-lama mendengar seseorang menceritakan dirinya sendiri. Kalau usaha ini tak manjur, kenapa kita tidak meninggalkan acara rumpi itu. Selesai kan.

Filipi 4:8 bisa menjadi rambu-rambu kita saat berbincang dengan siapa saja. Kita harus berusaha agar berbicara tentang hal-hal yang baik saja. Jika benar-benar tidak bisa, ingat pesan Oma: "Lebih baik diam daripada berbicara yang tidak jelas juntrungannya."


Monday, August 23, 2004
The Ice Cream Prayer

Last week I took my children to a restaurant. My six-year-old son asked if he could say grace. As we bowed our heads he said, "God is great and God is Good. Let us thank Him for the food, and I would even thank you more if mom gets us ice cream for dessert. And Liberty and justice for all! Amen!"

Along with the laughter from the other customers nearby, I heard a woman remark, "That's what's wrong with this country. Kids today don't even know how to pray. Asking God for ice-cream! Why, I never!"

Hearing this, my son burst into tears and asked me, "Did I do it wrong? is God mad at me?" As I held him and assured him that he had done a terrific job and God was certainly not mad at him, an elderly gentleman approached the table. He winked at my son and said, "I happen to know that God thought that was a great prayer." "Really?" my son asked. "Cross my heart."

Then in theatrical whisper he added (indicating the woman whose remark had started this whole thing), "Too bad she never asks God for ice cream. A little ice cream is good for the soul sometimes."

Naturally, I bought my kids ice cream at the end of the meal. My son stared at his for a moment and then did something I will remember the rest of my life. He picked up his sundae and without a word walked over and placed it in front of the woman. With a big smile he told her, "Here, this is for you. Ice cream is good for the soul sometimes and my soul is good already."


Thursday, August 19, 2004
Ayo Sekolah

Liburan sekolah sudah selesai. Sampai besok masuk sekolah, Irene--sebut saja begitu--tidak tahu dia naik kelas atau tetap duduk di bangku kelas enam di salah satu sekolah dasar negeri contoh di kawasan Cipinang-Cempadek, Jakarta Timur. Kok bisa? "Mama belum bayar uang sumbangan Rp 10 ribu supaya bisa ambil rapor," kata gadis berusia 12 belas tahun yang pernah sekali tinggal kelas ini, pelan.

Aneh. Saban hari Irene tak pernah berhenti jajan. Mulai dari bakso, beli panada atau pisang goreng cokelat, dan berbagai kudapan dalam kemasan lain. Jika ditotal duit yang dia keluarkan setiap hari bisa lebih dari Rp 5.000. Kenapa Irene tidak bisa membayar duit Rp 10 ribu? "Tahu tuh, Mama belum punya uang," kata gadis kecil bertubuh kerempeng ini.

Lain lagi dengan Sita. Gadis kecil ini ingin sekali menjadi murid di salah satu sekolah Katolik di bilangan Jakarta Pusat. Meski ayahnya sudah mengurusi "surat miskin" dari Ketua Lingkungan jauh-jauh hari sebelum pendaftaran sekolah dibuka, Karin tak bisa juga terdaftar di sekolah tersebut. Menjelang Juli, Ayahnya belum juga memiliki uang cukup untuk membayar uang masuk.

Gara-gara alasan uang, Sita dan Budi adiknya terpaksa bersekolah di taman kanak-kanak Islam di dekat rumahnya mereka di kawasan Jakarta Timur. Keduanya bahkan sudah menghafal beberapa doa dalam bahasa Arab. Sita yang cuek tidak pernah merapal doa-doa tersebut di rumahnya. Namun, sekali-sekali adiknya, Budi, menghafalkan doa-doa itu, meski dia sering mengecilkan suaranya ketika sadar sedang dipandangi ayah atau ibunya. Anehnya, di antara anak-anak tetangga, tidak ada yang berani mengikuti kuis-kuisan Kitab Suci atau bahasa Inggris dengan Budi. Takut dikalahkan anak kecil yang sekarang duduk di TK B ini.

Belum cukup sampai di situ. Ketika mendaftar di sekolah negeri yang menurut para tetangga favorit, Ibu Sita harus menahan sakit hati. Semula, salah seorang guru terlihat begitu bersemangat melihat rapor TK Sita. Apalagi, Ibu Karin juga melampirkan hasil tes IQ putri pertamanya yang tertinggi di TK-nya yakni, 129 atau masuk dalam kategori cerdas. Namun, Sita tidak diterima dengan alasan tidak jelas. Sementara teman-temannya yang "biasa-biasa" saja di TK yang sama dengan Sita justru diterima. "Kenapa Pak, karena saya Kristen ya," kata Ibu Sita, setengah kesal.

Akhirnya Sita terdaftar di salah satu sekolah contoh. Di sekolah ini kebanyakan gurunya adalah orang Batak--itu juga kata tetangga. Memang orang tua Sita tidak perlu mengerutkan kening memikirkan uang sekolah. Namun, mereka harus membeli paket buku dan seragam olah raga yang jika ditotal Rp 200 ribu. Sampai seminggu sekolah, orang tua Sita belum bisa memenuhi semuanya itu. "Kalau ada uang Mama pasti beli sepatu baru, baju olah raga, dan buku." Sita mengiyakan dan segera meninggalkan ibunya agar bisa bermain dengan teman-temannya.

Sita sudah punya seragam baru merah putih. Seragam putih-putihnya adalah baju bekas temannya yang sekarang duduk di kelas enam. Sepatunya juga bekas dan agak kebesaran. Di lingkungan tempat mereka tinggal, ibu-ibu tidak segan-segan melungsurkan baju-baju bekas anaknya ke tetangga yang lain. Sita memang diajarkan untuk tidak harus memakai barang-barang baru. Dia tetap ke sekolah baru tanpa tas dan sepatu baru. Bahkan, pada hari pertama sekolah, Sita sudah meminta pekerjaan rumah dari ibunya. Maklum di sekolah barunya dia lebih banyak menguap karena guru memberi pelajaran nama-nama hari.

Sementara Putri tampak bersemangat dengan tas punggungnya. Gadis kecil yang berusia hampir tujuh tahun ini bangga sekali mengatakan pada semua orang bahwa dia sekarang murid kelas satu di SD negeri yang sama dengan kakaknya. Putri bisa masuk SD tanpa menunjukkan ijazah TK. Bisa jadi, pada awalnya dia akan sedikit tertatih karena belum lancar membaca. Ya, lagi-lagi uang membuat ayah Putri yang bekerja di bengkel tak merasa perlu menyekolahkan anaknya di TK. "Dia itu pintar, tak usah pake TK-TK segala," kata ayahnya.

Sita dan Budi lebih beruntung karena ibunya lumayan telaten mengajari anak-anaknya. Mereka juga sering mendapat hadiah buku-buku dari kerabatnya. Tak jarang anak-anak lain juga mengerjakan pekerjaan rumah bersama di rumah mereka. Rumah kakak beradik ini memang sering jadi tempat bermain para bocah. Bahkan, Budi yang lebih sabar sering mengajari teman-temannya yang seumuran, lebih muda, atau lebih tua beberapa bulan untuk membaca. Tentu saja sembari bermain. Maklum Budi masih berumur lima tahun lebih.

Irene, Sita, Budi, dan Putri hanya segelintir dari anak-anak yang tidak bisa mengecap pendidikan karena alasan di luar mereka. Mereka cuma anak yang tidak bisa memutuskan apalagi seenaknya menentukan keinginannya untuk mendapat pendidikan seperti yang mereka inginkan. Namun, mereka bersyukur bisa sekolah. Meski kadang-kadang mereka juga bolos karena tidak ada ongkos ke sekolah.

Anak-anak ini berada di dekat kita. Bahkan, tempat tinggal mereka cuma beberapa meter dari tiga gereja. Puji Tuhan, salah satu gereja baru saja membuka kursus bahasa Inggris gratis setiap Minggu. Selain itu, mereka juga mendapat pendalaman Alkitab anak (PAA) setiap Kamis dan Sabtu. Selanjutnya mereka mengikuti sekolah Minggu di masing-masing gereja setiap Ahad.

Anak-anak ini benar-benar gembira mengikuti sekolah rohani. Karena tidak perlu memakai baju seragam atau baju bagus. Di sana mereka bisa bernyanyi, bermain, tebak-tebakan, dan melakukan berbagai aktivitas rohani. Sementara tak jauh dari mereka, sejumlah orang dewasa--termasuk ayah, ibu, om, bahkan oma dan opa--sedang bermain judi.

Khusus hari Sabtu, mereka mendapatkan minuman dan kue. Tak jarang anak-anak memesan penganan kesukaan mereka untuk pertemuan berikutnya. Semuanya gratis. Dan, ini membuat mereka tahu bahwa betapa baiknya Tuhan. Mereka juga tahu bahwa tidak perlu kaya untuk memberi. Mereka bisa berbagi dalam keterbatasan. Dan, pelajaran ini tidak ada dalam kurikulum sekolah negeri, swasta, dengan harga uang masuk murah, sedang atau mengoyak kantong.

Wednesday, August 18, 2004
THE QUILT

Author Unknown

As I faced my Maker at the last Judgment, I knelt before the Lord along with the other souls. Before each of us laid our lives, like the squares of a quilt, in many piles. An Angel sat before each of us sewing our quilt squares together into a tapestry that is our life. But, as my Angel took each piece of cloth off the pile, I noticed how ragged and empty each of my squares was. They were filled with giant holes. Each square was labeled with a part of my life that had been difficult, the challenges and temptations I was faced with in everyday life. I saw hardships that I had endured, which were the largest holes of all.

I glanced around me. Nobody else had such squares. Other than a tiny hole here and there, the other tapestries were filled with rich color and the bright hues of worldly fortune. I gazed upon my own life and was disheartened. My Angel was sewing the ragged pieces of cloth together, threadbare and empty, like binding air. Finally the time came when each life was to be displayed, held up to the light, the scrutiny of truth. The others rose, each in turn, holding up their tapestries. So filled their lives had been.

My Angel looked upon me, and nodded for me to rise. My gaze dropped to the ground in shame. I hadn't had all the earthly fortunes. I had love in my life, and laughter. But there had also been trials of illness and death, and false accusations that took from me my world as I knew it. I had to start over many times. I often struggled with the temptation to quit, only to somehow muster the strength to pick up and begin again.

I had spent many nights on my knees in prayer, asking for help and guidance in my life. I had often been held up to ridicule, which I endured painfully; each time offering it up to the Father in hopes that I would not melt within my skin beneath the judgmental gaze of those who unfairly judged me. And now, I had to face the truth. My life was what it was, and I had to accept it for what it had been.

I rose and slowly lifted the combined squares of my life to the light. An awe-filled gasp filled the air. I gazed around at the others who stared at me with eyes wide. Then, I looked upon the tapestry before me. Light flooded the many holes, creating an image. The face of Christ. Then our Lord stood before me, with warmth and love in His eyes. He said, "Every time you gave over your life to Me, it became My life, My hardships, and My struggles. Each point of light in your life is when you stepped aside and let Me shine through, until there was more of Me than there was of you."

May all our quilts be threadbare and worn, allowing Christ to shine through.

Tuesday, August 17, 2004
Three Words
Mother Teresa

People ask me what advice I have for a married couple struggling in their relationship. I always answer: pray and forgive. And to young people from violent homes, I say: pray and forgive. And again, even to the single mother with no family support: pray and forgive.


Friday, August 13, 2004
Putri Masako

Seorang ibu bercerita pada anaknya sebelum tidur.

Alkisah, hiduplah seorang wanita di Tokyo, Jepang. Dia periang dan cerdas. Namanya Masako Owada. Masako lahir dari keluarga berada di Tokyo, 9 Desember 1963. Ayahnya, Hisashi Owada, adalah diplomat senior di Departemen Luar Negeri Jepang. Masako mengecap sekolah taman kanak-kanak di Moskow, Rusia. Pendidikan sekolah menengah pertama diperoleh di New York, Amerika Serikat, dan Tokyo. Sekolah menengah umum dijalani juga Tokyo dan Boston, AS.

Pada 1985, Masako lulus dari fakultas ekononi Universitas Harvard, AS, dengan predikat sangat memuaskan. Di tahun yang sama, Masako yang senang olah raga petualangan ini juga menyelesaikan kuliah hukumnya di Universitas Tokyo.

Masako mengikuti jejak ayahnya dengan bekerja di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Jepang pada April 1987. Ketika ditempatkan di luar negeri, gadis yang senang mendengarkan musik ini sekolah lagi di Balliol di Universitas Oxford. Kemudian dia kembali ke Tokyo pada 1990. Dia menempati posisi di Biro Urusan Amerika Utara.

Karier Masako di Kemlu sangat cemerlang. Saking cinta pada pekerjaannya, perempuan yang fasih berbahasa Inggris, Jerman, dan Prancis tak terlalu mempedulikan kehidupan asmaranya. Namun, semua itu berubah ketika bertemu dan jatuh cinta pada Pangeran Naruhito.

Kisah cinta pasangan beda kelas ini terbilang romantis. Meski Putra Mahkota, Naruhito nekat menabrak aturan protokoler untuk menemui Masako di rumah ayahnya di Senzuko, Distrik Meguro, Tokyo. Untuk menemui kekasihnya, Naruhito sering mengendap-endap dengan mobil van yang seluruh jendela kacanya tertutup rapat dan muncul begitu saja di depan rumah pujaan hatinya.

Pers nyaris tak mencium kedekatan pasangan ini. Sampai kedua sejoli mengumumkan rencana pernikahan dan mengikat janji sehidup semati di musim semi tepat pada 9 Juni 1993. Seluruh rakyat Negeri Sakura menyambut pernikahan pasangan ningrat dan intelek ini dengan sukacita. Perkawinan berlangsung meriah dan semua orang mendoakan agar mereka hidup bahagia selamanya.

Di tahun-tahun pertama pernikahan, Putri Masako sering tampil mendampingi suaminya. Memang, kedua pasangan ini ingin agar Masako menjadi diplomat kekaisaran. Sayangnya, pihak kerajaan yang masih konservatif menentang. Selama 11 tahun menjadi istri Pangeran Naruhito, keduanya baru lima kali ke luar negeri. Pihak istana ingin Putri Masako mengurus suami dan rumah tangga saja. Bahkan, Masako harus selalu berjalan di belakang suaminya.

Pangeran dan Putri juga didesak segera memberi keturunan untuk calon pewaris takhta. Hal ini membuat Putri Masako tertekan dan mulai jarang tampil di muka umum. Enam tahun kemudian Putri Masako hamil namun keguguran. Setelah lebih dari delapan tahun menjalani perawatan ketidaksuburan, akhirnya Putri Masako hamil dan melahirkan Putri Aiko pada 1 April 2001.

Kehadiran Putri Aiko justru semakin menekan Putri Masako. Di usia menjelang 40 tahun, Putri Masako mengalami depresi berat. Rakyat pun bersedih. Sebagian besar rakyat ingin melihat senyum Putri Masako lagi. Namun, Putri Masako malah diharuskan beristirahat dan menenangkan pikirannya.

Pangeran Naruhito yang mencintai istrinya juga ikut meradang. Melalui juru bicara istana, pangeran berusia 44 tahun ini mengatakan dahulu Masako adalah wanita muda yang ramah, periang, dengan karier diplomatik yang cerah. Sekarang, kekasih hatinya itu lelah luar biasa setelah berusaha keras mengadaptasi kehidupan di Istana Kaisar.

Warga dan para petinggi istana mulai sibuk mencari obat untuk menyembuhkan Putri Masako sekaligus menghilangkan kepedihan Pangeran Naruhito. Ada yang mengusulkan agar Pangeran menceraikan Putri Masako dan mengawini wanita lain untuk mendapatkan anak laki-laki. Namun, sebagian lain mengingatkan ayahlah yang menentukan jenis kelamin anak. Bagaimana jika dalam perkawinannya nanti Pangeran tidak juga dikaruniai anak perempuan? Lagipula, tak ada kamus cerai dalam kamus singgasana Chrysanthemum.

Tentu saja pangeran dan putri tidak ingin berpisah. Selama ini, Putri Masako dan Pangeran Naruhito mempersiapkan agar putri semata wayang mereka menjadi pewaris takhta kaisar yang sudah berumur 2.000 tahun lebih. Namun, para pengurus Istana tak ingin kekaisaran tertua di dunia ini dipimpin oleh kaisar wanita. Sebab, Kaisar dianggap sebagai lambang kebudayaan Jepang dan dewa Shinto, agama yang tidak mempunyai pendeta perempuan.

Kekhawatiran Masako sebelum menikah dulu menjadi kenyataan. Masako pernah mengatakan pada teman-temannya bahwa dia takut tidak bisa bertemu dengan rakyat karena hidup di balik tembok istana dan berhenti dari kariernya.

Masalah ini menjadi perbincangan seluruh negeri. Kebanyakan rakyat bertekad mendukung Putri Masako dan Pangeran Naruhito agar Putri Aiko menjadi kaisar. Sebab, kekaisaran yang tidak pernah putus selama 20 abad ini juga pernah dipimpin oleh perempuan. Di antara 593 dan 1771, ada delapan Kaisar Wanita yang memimpin Jepang. Namun, sejak 1889, suksesi secara sah dibatasi hanya untuk pria.

Sebaliknya, banyak juga yang menolak pikiran ini. Menurut mereka, jika kaisar wanita, pihak kerajaan harus berhadapan dengan persoalan baru untuk menentukan calon suami kaisar. Mereka juga khawatir si suami memiliki pengaruh yang besar pada kaisar dan calon pewaris takhta kelak. Karena itu mereka menolak mentah-mentah usulan ini. Akhirnya, rakyat dan pengurus istana saling bermusuhan...

Si Ibu menghentikan ceritanya melihat anaknya memejamkan mata. Perlahan si Ibu turun dari tempat tidur dan merapikan selimut putri kecilnya. "Bu kenapa Putri Masako dan Pangeran Naruhito tidak membawa Putri Aiko pergi dari istana saja?" kata si anak masih dengan mata terpejam. "Andai semua masalah tentang perempuan sesederhana itu," kata si Ibu dalam hati.

Thursday, August 12, 2004
The Rose

Author unknown

John Blanchard stood up from the bench, straightened his Army uniform, and studied the crowd of people making their way through Grand Central Station. He looked for the girl whose heart he knew, but whose face he didn't, the girl with the rose. His interest in her had begun thirteen months before in a Florida library. Taking a book off the shelf he found himself intrigued, not with the words of the book, but with the notes penciled in the margin. The soft handwriting reflected a thoughtful soul and insightful mind. In the front of the book, he discovered the previous owner's name, Miss Hollis Maynell. With time and effort he located her address. She lived in New York City.

He wrote her a letter introducing himself and inviting her to correspond. The next day he was shipped overseas for service in World War II. During the next year and one month the two grew to know each other through the mail. Each letter was a seed falling on a fertile heart. A romance was budding. Blanchard requested a photograph, but she refused. She felt that if he really cared, it wouldn't matter what she looked like.

When the day finally came for him to return from Europe, they scheduled their first meeting - 7:00 PM at the Grand Central Station in New York. "You'll recognize me," she wrote, "by the red rose I'll be wearing on my lapel." So at 7:00 he was in the station looking for a girl whose heart he loved, but whose face he'd never seen.

I'll let Mr. Blanchard tell you what happened: A young woman was coming toward me, her figure long and slim. Her blonde hair lay back in curls from her delicate ears; her eyes were blue as flowers. Her lips and chin had a gentle firmness, and in her pale green suit she was like springtime come alive. I started toward her, entirely forgetting to notice that she was not wearing a rose. As I moved, a small, provocative smile curved her lips. "Going my way, sailor?" she murmured.

Almost uncontrollably I made one step closer to her, and then I saw Hollis Maynell. She was standing almost directly behind the girl. A woman well past 40, she had graying hair tucked under a worn hat. She was more than plump, her thick-ankled feet thrust into low-heeled shoes. The girl in the green suit was walking quickly away. I felt as though I was split in two, so keen was my desire to follow her, and yet so deep was my longing for the woman whose spirit had truly companioned me and upheld my own.

And there she stood. Her pale, plump face was gentle and sensible, her gray eyes had a warm and kindly twinkle. I did not hesitate. My fingers gripped the small worn blue leather copy of the book that was to identify me to her. This would not be love, but it would be something precious, something perhaps even better than love, a friendship for which I had been and must ever be grateful.

I squared my shoulders and saluted and held out the book to the woman, even though while I spoke I felt choked by the bitterness of my disappointment. "I'm Lieutenant John Blanchard, and you must be Miss Maynell. I am so glad you could meet me; may I take you to dinner?"

The woman's face broadened into a tolerant smile. "I don't know what this is about, son," she answered, "but the young lady in the green suit who just went by, she begged me to wear this rose on my coat. And she said if you were to ask me out to dinner, I should go and tell you that she is waiting for you in the big restaurant across the street. She said it was some kind of test!" It's not difficult to understand and admire Miss Maynell's wisdom. The true nature of a heart is seen in its response to the unattractive.

"Tell me whom you love," Houssaye wrote, "And I will tell you who you are..."

Wednesday, August 11, 2004
Atria's Amazing Miracle

Author Unknown

Atira was watching the TV show 20/20 in her living room in Seattle. The show was about a Nun, in Egypt, that was dedicating her retirement years to the garbage-dump-city in CAIRO.

Atira has an Egyptian import business. When she saw the show of the Nun and her works for the poor and homeless at the garbage dump city, Atira knew she had to help. Atira ordered the transcript from the TV show and set out to see what she could do to help.

Atira asked everyone coming to a baby shower, at her home, to bring a wash cloth and soap. They thought she was nuts, until she told them why.

She called her Dentist and Doctor's offices and asked what kind of medicines would be needed to help out in a poverty area. She collected toothbrushes, bandages, etc....until she had suitcases full of things to take to Cairo with her. Her goal was to do her part to help.

Atira was going with a group on her next trip to Egypt so she asked some of the other members in the tour group to help by bringing used children's clothing , pencils, and children's books with them to be given to this caring Nun Sister E.

Eight other people were kind enough to collect and bring pens, coloring books, clothes, and various toys, to help.

On their arrival in Cairo, not knowing what to do with the mountain of supplies for the Nun. She asked the hotel manager if he could try and locate this healer of the poor, and within days, he had located the Nun. But the Nun was out of the country and would not be back until Atira had returned to Seattle.

The Hotel Manager said he would store the goods and present them to the Sister E for Atira.

But, that is not the miracle part. The miracle is how one person can effect the lives of others, how our intentions lead us to miracles.

The hotel manager shared the story of Atira's kind gesture,with other members of the tour. As it turned out there were two people, who worked with World Wide Health Care Project for the Poor. They had never heard of Sister E. and her plight to help the poor.

These men stayed in Cairo longer than Atira could, and were there when the goods from Atira were collected by Sister E. These men ended up talking to Sister E. They were able to get her funding for a Health Care Clinic.

When the hotel manager saw Sister E he realized that she often had come into the hotel to use the phone, and he just did not know who she was. And now, she has FREE phone privileges in his hotel.

Atira wanted to help in a small way....this story makes my heart smile and I hope it does yours too. Helping in whatever way you can help makes miracles unfold for others.

P.S.
Atira still travels to Egypt regularity. She always tries to take something to help Sister E. It was three years before Atira was able to meet Sister E. In person. It was a wonderful meeting with heart felt thanks and a new found friendship. The last time she was there the 66 children needed only $75 extra for vaccinations, and Atira paid for these children. This is one of the finest woman I know. She did get to help in a greater way than she could have ever imagined.

Monday, August 09, 2004
Loving Completely
Norman Maclean

At sunrise everything is luminous, but not clear. It is often the same with those we live with and love and should know: they elude us. Yet you can love completely without complete understanding.

Bersih-Bersih


Sabtu kemarin, Moses dan Abangku datang pagi-pagi. Sebenarnya, sudah siang sih, soalnya Moses pulang sekolah jam 10.00 WIB. Cuma, aku baru bangun sekitar jam 10 pagi. Tadi malam aku nonton film Sense and Sensibility sampai jam tiga pagi. Maklum nonton disambung-sambung. Sembari nunggu result Indonesian Idol dan beberapa urusan kecil lain.

Jadi, Sabtu siang ini aku berdua aja sama Moses. Seperti biasa, Moses langsung memilih-milih film yang akan dia tonton. Dahulu, dia selalu menonton The Story of Moses--karena sama dengan namanya--dan The Miracles of Jesus. Sekarang dia memilih menonton Shrek dan Simba 1 1/2.

Bagus deh. Aku jadi bisa bersih-bersih rumah :) Baru selesai dipel, lantai kotor lagi. Remah-remah biskuit yang dimakan Moses ada di mana-mana. Selesai dari kamar mandi, aku melihat Moses sedang menyapu lantai. Gagang sapu lebih tinggi sekitar 12 sentimeter dari ujung rambut di kepalanya yang dipotong cuma lima sentimeter. Sepintas aku melihat dia sedang menyapu di luar.

Tentu saja aku tidak berharap melihat hasil yang maksimal. Sebab, semangat Moses kecilku untuk membantu yang lebih penting. Dia kaget ketika aku menyapanya, "Ngapain Moses?" Dia sedang membersihkan meja doaku. Buku-bukuku dibersihkan dan diatur lagi. Bunga keringku dimasukkan ke tempat lilin :). CD dan DVD juga diatur, film untuk anak-anak di sebelah kiri dan yang lain di kanan.

Sorenya, kita berdua balik ke rumahnya untuk PAA. Mungkin karena kecapekan, sehabis PAA dia minta digendong sampai rumahku. Aku juga nggak keberatan. Kata orang, peluk, gendong, dan ciumilah anak selagi dia mau. Sebab, pada fase-fase tertentu anak (khususnya laki-laki) memang tidak mau dipeluk bahkan dipanggil dengan nama kecilnya atau sayang sekalipun. Lagipula, aku kan nggak menggendong dia saban hari.

Moses juga tak sadar ketika dibaringkan di tempat tidur. Aku nggak tega membangunkan dia untuk ganti baju dan sikat gigi. Dia juga belum minum obat batuk. Biarin saja. Sekali-kali boleh dong...

Tadi pagi, ketika akan mengambil sepatu, aku baru melihat, majalah-majalah dan koran sudah rapi. Kemarin karena buru-buru ke luar aku tidak sempat melihat hasil kerjanya di luar. Makasih ya, Moses sayang.

Wednesday, August 04, 2004
God Never Leaves You by Yourself

I was walking down a dimly lit street late one evening when I heard muffled screams coming from behind a clump of bushes. Alarmed, I slowed down to listen, and panicked when I realized that what I was hearing were the unmistakable sounds of a struggle: heavy grunting, frantic scuffling, and tearing of fabric. Only yards from where I stood,a woman was being attacked. Should I get involved? I was frightened for my own safety, and cursed myself for having suddenly decided to take a new route home that night. What if I became another statistic? Shouldn't I just run to the nearest phone and call the police?

Although it seemed an eternity, the deliberations in my head had taken only seconds, but already the girl's cries were growing weaker. I knew I had to act fast. How could I walk away from this? No, I finally resolved, I could not turn my back on the fate of this unknown woman, even if it meant risking my own life.

I am not a brave man, nor am I athletic. I don't know where I found the moral courage and physical strength, but once I had finally resolved to help the girl, I became strangely transformed. I ran behind the bushes and pulled the assailant off the woman. Grappling, we fell to the ground, where we wrestled for a few minutes until the attacker jumped up and escaped.

Panting hard, I scrambled upright and approached the girl, who was crouched behind a tree, sobbing. In the darkness, I could barely see her outline, but I could certainly sense her trembling shock. Not wanting to frighten her further, I at first spoke to her from a distance.

"It's OK," I said soothingly. "The man ran away. You're safe now."

There was a long pause................. and then I heard the words, uttered in wonder,in amazement.

"Daddy, is that you?"

And then, from behind the tree, stepped my youngest daughter, Katherine.


home