Adeus Ede
PESAN singkat yang datang itu mengagetkan. "Ade Om Sikitu meninggal." Karena baru saja sampai di kantor, perhatianku tersita pada teman-teman. Yang ada dalam pikiranku adalah adik omku meninggal dunia. Semuanya jelas ketika abangku menelepon. Ede, sepupuku meninggal.Oh meu Deus.
Tadi malam, aku dan adikku sempat ngobrol tentang dia. Tumben adikku sampai menelepon cuma mau bilang Ede sekarang kerja di Inggris. "Enak banget dia bisa mondar-mandir Eropa begitu," kata adikku. Aku cuma bilang, "Iya asyik banget. Tapi aku ngantuk nih, masuk malam." Adikku buru-buru memutus pembicaraan. Rupanya semalaman dia ingat Ede.
Nama lengkapnya Edefaldo bla bla. Aku lupa. Sebab, seperti orang Timor Leste pada umumnya namanya panjang banget. Tapi kami biasa memanggilnya Ade atau Ede dengan sedikit sela di antara "A" atau "E" dan "de".
Avo (opa), ayah mamaku, saudara kandung dengan ayah Om Sikitu. Politik membuat Aboku harus meninggalkan Timtim bertahun-tahun sebelum Revolusi Bunga. Bahkan, Ibuku tidak pernah tahu bahwa ayahnya adalah pelarian. Yang diingat, setiap bulan ada helikopter yang datang membawa makanan kalengan, tinto (anggur khas Timtim), rokok kalengan, sampai sabun. Selebihnya kabur.
Hubungan ibu dan keluarganya mulai sedikit terjalin setelah Indonesia masuk ke Timtim. Namun, tak banyak yang aku ingat. Sebab, rata-rata saudara cuma mampir sebentar ke rumah, tidak pernah menginap. Sekadar ketemu, pamitan, dan melanjutkan perjalanan ke Australia atau Portugal. Kita bertemu untuk berpisah...
Politik juga yang membuat keluargaku terbelah. Ada yang prokemerdekaan dan prointegrasi. Ede sekeluarga prokem--sama seperti kita juga. Sedangkan suami sepupuku malah termasuk petinggi prointegrasi. Namun, sebisa mungkin kita tidak pernah membicarakan masalah ini. Sensitif.
Ede sempat kuliah di Yogyakarta setelah bekerja setahun di biro perjalanan di Dili. Selama kuliah, kurang lebih empat kali dia ke tempatku. Pertama kali ketemu kita langsung dekat. Agak aneh memang, tapi kita semua memang lebih dekat dengan keluarga yang prokem. Kita seperti sudah begitu lama kenal. Dia terlihat senang melihat buku saku bahasa Portugisku. Dia juga mengajariku bahasa Portugis dan bahasa Tetun.
Dua bulan lalu, dia meneleponku. Dia ada di Lisbon. Aku senang sekali. Kita bercerita tentang Piala Eropa dan kesebelasan favorit kita: Portugal. Dia juga bercerita betapa senangnya dia di sana setelah beberapa bulan menetap di Inggris. Dia juga berkisah tentang Gereja Maria Fatima... Bikin iri. Dia minta aku menabung supaya ke Portu pas musim semi. Terakhir, aku ingat sekali dia bilang, "Kalau aku punya uang banyak aku bayarin Kakak ke sini, tapi harus ke Inggris dulu." Aku cuma tertawa.
Sekali lagi aku melihat pesan singkat itu. "Ade tadi siang meninggal tabrakan mobil di Inggris."
Eternal rest grant unto him,
O Lord,
And Let Perpetual Light
Shine upon him.
May Ade rest in peace. Amen.
PESAN singkat yang datang itu mengagetkan. "Ade Om Sikitu meninggal." Karena baru saja sampai di kantor, perhatianku tersita pada teman-teman. Yang ada dalam pikiranku adalah adik omku meninggal dunia. Semuanya jelas ketika abangku menelepon. Ede, sepupuku meninggal.Oh meu Deus.
Tadi malam, aku dan adikku sempat ngobrol tentang dia. Tumben adikku sampai menelepon cuma mau bilang Ede sekarang kerja di Inggris. "Enak banget dia bisa mondar-mandir Eropa begitu," kata adikku. Aku cuma bilang, "Iya asyik banget. Tapi aku ngantuk nih, masuk malam." Adikku buru-buru memutus pembicaraan. Rupanya semalaman dia ingat Ede.
Nama lengkapnya Edefaldo bla bla. Aku lupa. Sebab, seperti orang Timor Leste pada umumnya namanya panjang banget. Tapi kami biasa memanggilnya Ade atau Ede dengan sedikit sela di antara "A" atau "E" dan "de".
Avo (opa), ayah mamaku, saudara kandung dengan ayah Om Sikitu. Politik membuat Aboku harus meninggalkan Timtim bertahun-tahun sebelum Revolusi Bunga. Bahkan, Ibuku tidak pernah tahu bahwa ayahnya adalah pelarian. Yang diingat, setiap bulan ada helikopter yang datang membawa makanan kalengan, tinto (anggur khas Timtim), rokok kalengan, sampai sabun. Selebihnya kabur.
Hubungan ibu dan keluarganya mulai sedikit terjalin setelah Indonesia masuk ke Timtim. Namun, tak banyak yang aku ingat. Sebab, rata-rata saudara cuma mampir sebentar ke rumah, tidak pernah menginap. Sekadar ketemu, pamitan, dan melanjutkan perjalanan ke Australia atau Portugal. Kita bertemu untuk berpisah...
Politik juga yang membuat keluargaku terbelah. Ada yang prokemerdekaan dan prointegrasi. Ede sekeluarga prokem--sama seperti kita juga. Sedangkan suami sepupuku malah termasuk petinggi prointegrasi. Namun, sebisa mungkin kita tidak pernah membicarakan masalah ini. Sensitif.
Ede sempat kuliah di Yogyakarta setelah bekerja setahun di biro perjalanan di Dili. Selama kuliah, kurang lebih empat kali dia ke tempatku. Pertama kali ketemu kita langsung dekat. Agak aneh memang, tapi kita semua memang lebih dekat dengan keluarga yang prokem. Kita seperti sudah begitu lama kenal. Dia terlihat senang melihat buku saku bahasa Portugisku. Dia juga mengajariku bahasa Portugis dan bahasa Tetun.
Dua bulan lalu, dia meneleponku. Dia ada di Lisbon. Aku senang sekali. Kita bercerita tentang Piala Eropa dan kesebelasan favorit kita: Portugal. Dia juga bercerita betapa senangnya dia di sana setelah beberapa bulan menetap di Inggris. Dia juga berkisah tentang Gereja Maria Fatima... Bikin iri. Dia minta aku menabung supaya ke Portu pas musim semi. Terakhir, aku ingat sekali dia bilang, "Kalau aku punya uang banyak aku bayarin Kakak ke sini, tapi harus ke Inggris dulu." Aku cuma tertawa.
Sekali lagi aku melihat pesan singkat itu. "Ade tadi siang meninggal tabrakan mobil di Inggris."
Eternal rest grant unto him,
O Lord,
And Let Perpetual Light
Shine upon him.
May Ade rest in peace. Amen.