<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Friday, July 30, 2004
Belajar dari Muder Teresa

Kerendahan Hati

Berbicara sesedikit mungkin tentang diri sendiri
Uruslah sendiri persoalan-persoalan
Hindarilah rasa ingin tahu
Janganlah mencampuri urusan orang lain
Terimalah pertentangan dengan kegembiraan
Jangan memusatkan perhatian kepada kesalahan orang lain

Terimalah hinaan dan caci maki
Terimalah perasaan tak diperhatikan, dilupakan, dan dipandang rendah
Mengalah terhadap kehendak orang lain
Terimalah celaan walaupun Anda tidak layak menerimanya
Bersikap sopan dan peka, sekalipun seseorang memancing amarah Anda
Janganlah mencoba agar dikagumi dan dicintai
Bersikap mengalah dalam perbedaan pendapat, walaupun Anda benar
Pilihlah selalu yang tersulit


Monday, July 26, 2004
Why Would God Want Me?


I'm not perfect. I have all kinds of problems. I have no ability. I have no gifts. I'm just not worthy. Why would God want me?

Well, did you know that....

Moses stuttered.
David's armor didn't fit.
John Mark deserted Paul.
Timothy had ulcers.
Hosea's wife was a prostitute.
Amos' only training was in the school of fig-tree pruning.
Jacob was a liar.
David had an affair.
Solomon was too rich.
Jesus was too poor.
Abraham was too old.
David was too young.
Peter was afraid of death.
Lazarus was dead.
John was self-righteous.
Naomi was a widow.
Paul was a persecutor of the church.
Moses was a murderer.
Jonah ran from God's will.
Miriam was a gossip.
Gideon and Thomas both doubted.
Jeremiah was depressed and suicidal.
Elijah was burned out.
John the Baptist was a loudmouth.
Martha was a worry-wart.
Noah got drunk.
Did I mention that Moses had a short fuse?
So did Peter, Paul - well, lots of folks did.

But God doesn't require a job interview for salvation.
He's our Heavenly Father.
He doesn't look at financial gain or loss. He's not prejudiced or
partial, not judging, grudging, sassy, or brassy, not deaf to our cry,
not blind to our need.
He know who we are and what we are and loves us in spite of ourselves.

SATAN SAYS, "YOU'RE NOT WORTHY."
JESUS SAYS, "SO WHAT? I AM."
SATAN LOOKS BACK AND SEES OUR MISTAKES.
GOD LOOKS BACK AND SEES THE CROSS.

He doesn't calculate how you failed in '99. It's not even on the record.

Sure, there are lots of reasons why God shouldn't call us. But if we are in love with Him, if we hunger for Him, He'll use us in spite of who we are, where we've been, what we have done, or the fact that we are not perfect!


Thursday, July 22, 2004
Let's sing together...

Give Me Oil in My Lamp

Give me oil in my lamp, keep me burning,
give me oil in my lamp I pray.
Give me oil in my lamp, keep me burning.
Keep me burning till the end of day.

Sing hosanna! Sing hosanna!
Sing hosanna to the King of kings!
Sing hosanna! Sing hosanna!
Sing hosanna to the King!

Give me joy in my heart, keep me praising,
give me joy in my heart I pray.
Give me joy in my heart keep me praising.
Keep me praising till the end of day.

Sing hosanna! Sing hosanna!
Sing hosanna to the King of kings!
Sing hosanna! Sing hosanna!
Sing hosanna to the King!

Make me a fisher of men, keep me seeking,
make me a fisher of men I pray
Make me a fisher of men, keep me seeking,
Keep me seeking till the break of day

Sing hosanna! Sing hosanna!
Sing hosanna to the King of kings!
Sing hosanna! Sing hosanna!
Sing hosanna to the King!

Give me love in my heart keep me serving,
give me love in my heart I pray.
Give me love in my heart keep me serving.
Keep me serving till the end of day.

Sing hosanna! Sing hosanna!
Sing hosanna to the King of kings.
Sing hosanna! Sing hosanna!
Sing hosanna to the King!


Tuesday, July 20, 2004
20 Questions about Blessing

1. Why I can say "I can't" if Bible says that I can do everything in Him who will give strength to me (Phil 4: 13)?

2. Why I feel I am poor if I know that God will fulfil all my needs according to His riches and glory in Jesus Christ (Phil 4: 19)?

3. Why I shall be fear if Bible says that God did not give us a spirit of timidity but a spirit of power, of love and of self discipline (2 Tim 1:7)?

4. Why I must feel lack of faith if I know that God has granted me a certain measure of faith (Rom 12:3)?

5. Why I must be weak if Bible said that the Lord is my light and my salvation, and that I shall be strong (Psalm 27:1, Dan 11:32)?

6. Why I must let satan win if I know that the o­ne who is in me is greater than the o­ne who is in the world (1 John 4:4)?

7. Why I must be defeated if Bible said that God in Christ always lead us in triumphal procession (2 Cor 2:14)?

8. Why I must lack of wisdom if Christ himself has become wisdom from God for us and God will gives wisdom generously whenever we ask (1 Cor 1:30; James 1:5)?

9. Why I must feel depressed if I can remember that my hope is in Him whose love is new every morning, and great is His faithfulness (Lamentations 3:21-23)?

10. Why I must worry if I can cast all my anxiety o­n Him because He cares for us
(1 Pet 5:7)?

11. Why I must have a burdened life if I know that where the spirit of the Lord is, there is freedom, and that Christ has set us free (2 Cor 3:17; Gal 5:1)?

12. Why I must feel condemned if Bible said that there is now no condemnation for those who are in Christ Jesus (Rom 8:1)?

13. Why I must feel lonely if Jesus said that He will be with us and that He will never leave us nor forsake us (Mat 28:20; Hebrew 13:5)?

14. Why I must feel cursed or have a bad luck if Bible said that Christ has redeemed us from the curse of the law so that by faith we might receive the promise of spirit (Gal 3:13-14)?

15. Why I must feel dissatisfied in life if I, like Paul, can learn to be content (Phil 4:11)?

16. Why I must feel not worthy if Christ had been made sin for us, so that in Him we might become righteous of God (2 Cor 5:21)?

17. Why I fear to be tortured if I know that if God is for us, who can be against us? (Rom 8:31)?

18. Why I must be confused if God is not a God of disorder but of peace, and He will give us knowledge through His spirit who lives in us (1 Cor 14:33;2:12)?

19. Why I must fail all the time if Bible said that as God’s children, we are more than a conqueror, through Him who loves us (Rom 8:37)?

20. Why I must let the burden of life disturb me if I have courage for I know that Jesus Christ has overcome the world (John 16:33)? "Be still and know that I am God! " (Psalm 46:10a)


Friday, July 16, 2004
Meniru Moses

Aku tersadar oleh ciuman lembut di pipi kiri. Tapi kelopak mataku belum rela berkembang. Aku memang mengantuk berat sehabis shift malam. Aku baru tidur pukul 02.00 WIB dan cuma tidur dua jam setengah... Sekarang pipi kananku yang dicium.

Tanpa melihat pun aku tahu itu pasti Moses, keponakanku. Usianya lima tahun. Namun, mataku tetap pada posisi semula. Meski aku tahu Moses sedang memandangiku. Tak lama kemudian dia pergi. Mataku menganga kecil. Ampun! Moses masuk lewat jendela kamar.

Aku kembali terlelap. Gedebuk di dekat jendela kembali menyedot seperempat kesadaranku. Moses lagi. Hati-hati dia mendekatiku. Pelan-pelan bocah taman kanak-kanak itu tidur berbantal perutku. Tangan mungilnya memegang tangan kananku. Tak berapa lama dia pergi. Aku cuma melihat dia sekilas dan merem lagi.

"Moses, Moses. Yuk main lagi!" Teriakan kencang itu kembali membangunkanku. "Moses!" Sekarang kor cempreng dua tiga bocah itu lebih nyaring. Sumber bunyinya sangat dekat dari arah jendela. Duh. Kali ini, aku terbangun. Moses tidur di sampingku. Ngos-ngosan dan berkeringat. "Tidur ya," kata Moses tersenyum setengah bertanya. Aku menciumnya dan menyuruh dia pergi, bermain dengan teman-temannya. Sebelum menemui temannya Moses meminta agar aku tidak menutup jendela. "Nanti kepanasan," kata dia. Padahal, aku tahu pasti dia akan masuk lagi.

Aksi Moses membuat rencana melunasi jam tidur di rumah Abangku buyar. Padahal, Abangku sengaja meminta aku tidur dan berangkat kerja lagi dari rumahnya. Tapi, bagaimana bisa tidur, Moses berkali-kali merusak jam lelapku.

Sebenarnya bukan itu yang benar-benar membunuh semangat tidurku. Aku tahu Moses hanya ingin memastikan bahwa aku tidur nyaman di rumahnya. Dia melakukan itu justru pada saat aku tertidur. Aku sangat yakin dia tidak bermaksud membangunkanku.

Moses kecilku. Cara dia menemuiku di tengah berbagai kesenangan kanak-kanaknya benar-benar membuat aku merasa dicintai dengan tulus. Tanpa alasan.

Kepergian Moses membuat aku merenung. Moses mengingatkan aku pada hubunganku dengan Tuhan. Aku ingin meniru Moses. Berapa banyak sih anak-anak yang mau meninggalkan permainan dan teman-temannya?

Aku ingin seperti Moses. Meninggalkan permainan. Melupakan teman-teman. Kabur sejenak dari jam-jam produktif. Berlari sebentar dari kesibukan. Menyelinap dari berbagai kesenangan untuk bertemu Tuhan.

Selama ini aku lebih sering memanggil Tuhan saat menghadapi masalah. Berlutut di kaki Tuhan cuma di masa-masa sulit. Datang ke Tuhan semata-mata karena membutuhkan pertolongan. Bahkan, tak jarang saya menjalankan proyek "cari muka" dengan novena dan pantang. Pokoknya mendekati Tuhan dengan berbagai motif. Kebanyakan semuanya demi diriku.

Aku ingin meniru cara Moses. Menunjukkan kasih dengan menarik diri dari segala kesenangan. Aku ingin terus-terusan menemui Tuhan. Hanya ingin berdekatan. Berdiam dalam sukacita. Merasakan kasih Tuhan lebih dalam dan lebih dalam lagi. Tidak untuk minta ini atau itu. Cuma menunjukkan bahwa aku benar-benar mengasihi Tuhan. Dan, Tuhan merasa dicintai. Itu saja.

Bedanya, mungkin Moses tidak sadar bahwa aku mengetahui semua ulahnya. Dia pikir aku tidur. Sebaliknya, Tuhan tidak pernah mengantuk dan pura-pura tidak melihat aku. Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri; Engkau mengerti pikiranku dari jauh; Engkau memeriksa aku kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kau maklumi. (Mazmur 139: 1-3)


Thursday, July 15, 2004
The Hand

My daughter, Kathleen, was 15... too young to seriously date but she had a boyfriend. One evening, when I was leaving to pick up my son, Paul, from baseball practice, she asked if she could just go with her boyfriend to pick up his little brother at a friend's house. She said they would come right back. I said, "All right, just make sure you wear your seat belt, and come right home."

It was my father's birthday and my 3 years old daughter, Therese, was already at my father's house waiting for us to come over with the cake I had yet to pick up at the store. I left to pick Paul up at school, but decided to take the highway, rather than the shortcut along the back roads.

After leaving the school, Paul and I ran in the store for the cake and some last minute goodies. As we were getting into the car, we heard and saw paramedics, fire trucks, three ambulances and of course a multitude of police cars. I got a sick feeling in my stomach and said to Paul, "Somebody needs our prayers, quick." I wondered if there was a fire or a bad car accident. At one of the intersections I had to stop to let more emergency vehicles through, and prayed, "Lord, those people need you right now, go to them and place your protective hand over them."

We stopped at my parents to drop off the food, before going home to pick up Kathleen, but my father met me at the car and told us to not to rush, the party could wait a bit, because Therese had fallen asleep. "Which way did you go to the school?" he asked, "Because there was a bad accident on the back road, I heard someone was killed. It happened just about the time you had to pick up Paul at the school and I know you always go that way. I was so happy to see you pull in, where's Kathleen?" I explained I was going back home to get her.

As I drove the short distance home, I couldn't help but worry what if she was involved in the accident? I ran in the house and called out her name, dead silence. Then, the phone rang. It was her friend's mother, who worked in the emergency room of our local hospital. She only told me that the three of them were in an accident and were being transported to the hospital. I didn't call my husband at work, nor my parents, I just ran out the door fast.

At the hospital emergency room, I could hear one of the paramedics softly talking to another parent there, saying "I'm so sorry, so very sorry". I rushed by him and found the doctor in the hallway. He looked at me and asked if I believed in God, and with that my knees gave way.

I wasn't ready to accept the fact that Kathleen might be..."Oh please, not my girl". "No," he said, "you don't understand, do you believe in divine intervention?" I sammered, a weak, "Yes." Not having a clue what he was talking about. He smiled at me and asked, "Do you know what shirt your daughter is wearing tonight?" Nodding no, he told me to go down the hall and look. "Your daughter is blessed with angels and so are you.

From what the emergency personnel told me, there is no way that your daughter should be alive, let alone only have a few scratches." Kathleen was laying on a cart, waiting for more x-rays. When I got to her, we both sobbed. As I was hugging her I had the urge to check her shirt, unzipping her jacket. I read the words, "Jesus Saves."

I knew then, what the doctor had meant. All three were treated and released. On the way home that night, Kathleen told this story: "It was really weird, about a quarter of a mile before the accident, I said, 'Wait, we forgot to put our seat belts on, my Mother will kill me.' Then a car was coming towards us in our lane, he swerved, and I knew we got hit in the passenger side of the car, where I was sitting. We got hit a total of three times because the car kept spinning in a circle. I felt his little brother's hand on my shoulder, holding me tightly in place. "But Mom, after it was all over, I could still feel the hand on my shoulder. I looked and his little brother had flown out the back window of the car, as we later found out, on the first spin. "It was an angel, Mom, I know it!"

I knew it too, especially when we went the next day to look at the car, it had been split in half, right underneath my daughter's seat. The driver of the other car, witnesses said, must have been traveling between 90-95 miles per hour and the point of impact was directly at Kathleen's door. The police report stated that the car door was found fifty feet away from the accident scene,with the seat belt attached. So when the door broke loose, "the hand" was the only thing that saved my daughter's life.

God knew, long before I did that my child was in trouble, and I will always thank Him for saving her life and restoring mine. I have been meaning to write this story for the past couple of tears. Kathleen just turned 21. While I was writing this I smiled and cried, but it's all true.

Author Unknown

Wednesday, July 14, 2004
Dear Jesus, help me to spread Thy fragrance everywhere I go. Flood my soul with Thy spirit and love. Penetrate and posses my whole being so utterly that all my life may only be a radiance of Thine. Shine through me and be so in me that every soul I come in contact with may feel Thy presence in my soul. Let them look up and see no longer me but only Jesus. Stay with me and then I shall begin to shine as you shine, so to shine as to be a light to others.

Mother Theresa (1910-1997)

Monday, July 12, 2004
Sincere and Simple
Francois Fenelon

There are many people who are sincere without being simple: they are ever afraid of being seen for what they are not; they are always musing over their words and thoughts and thinking about what they have done, in fear of having done or said too much. These people are sincere, but they are not simple: they are not at ease with others, and other people are not at ease with them. There is nothing easy about them, nothing free, spontaneous or natural. People who are imperfect, less regular, less masters of themselves, are more lovable. This is how people find them, and it is the same with God.


Source: "Ordinary Graces" edited by Lorraine Kisly.

Marah

Tak enak marahan sama adik atau kakak sendiri. Pun ribut-ribut dengan teman atau sahabat dekat. Terakhir aku bertengkar hebat dengan adik laki-lakiku. Untunglah perang urat leher ini tidak sampai pada adegan smack down seperti di televisi.

Sebenarnya aku benci berkata-kata dengan nada keras apalagi marah-marah. Bukan apa-apa, aku benar-benar seperti orang idot saat marah. Kata-kataku melantur dan sering nggak nyambung. Sudah begitu, aku juga sering mengabsen penghuni kebun binatang. Tapi, aku sudah tidak pernah memaki dengan nama-nama binatang lagi sekarang. [Hore :) Ini Kemajuan].

Beberapa kali aku juga pernah menerbangkan barang-barang yang ada di sekitarku saat lagi gusar. Anehnya, lemparanku selalu salah sasaran dan tak bertenaga. Alhasil orang yang aku lempar malah tertawa-tawa melihatku. Sejak itulah aku berhenti melampiaskan emosi dengan melempari sasaran kemarahanku. Karena sekali lagi aku tidak mau terlihat bodoh. Norak. Maklum, setiap marah, lawanku pasti akan terpingkal-pingkal melihat aksiku. Daripada terlihat bego mendingan nggak melempari barang deh.

Kemarahan membuat kedua belah pihak sakit: yang marah dan yang dimarahi. Aku sakit hati betul mendapati adikku berteriak dan balas menghardik. Adikku juga pasti gondok banget mendengar kecerewetanku yang pasti melewati ambang batas normal. Kita sama-sama menangis. Aku menangis karena tak menyangka adikku, yang paling aku sayangi, menjawabku dengan volume suara ekstra tinggi. Sedangkan adikku mungkin--ini cuma dugaan-- menangis karena menahan keras agar tangannya tidak sampai menamparku di puncak kemarahannya. Setelah itu kita berdua mogok bicara sekitar dua minggu.

Mungkin aku dan adikku memang tidak bisa mengkiritik satu sama lain karena alasan terlalu sayang. Tidak mau membuat satu sama lain sakit hati. Meski itu untuk kebaikan masing-masing. Bisa saja lantaran kita berdua memang tidak pernah tegas menyampaikan unek-unek. Kata-kata, intonasi, dan mimik saat kita bicara tidak pas dengan waktu dan situasi masing-masing. Misalnya, dia mau curhat pada saat aku capek. Aku juga lebih sering mengomentari debu di rak bukuku tanpa memuji dia karena mengepel lantai hingga cemerlang bak cermin.

Bukannya kita tidak pernah saling protes. Tapi itu lebih banyak dilontarkan dalam bentuk canda. Sindiran itu sempat membuat kuping panas, tapi cuma berhenti sampai di mulut dengan balas menyindir lagi-lagi dengan berseloroh. Omongan dalam bentuk olok-olok ini tidak pernah sampai ke hati. Akhirnya kita tetap membuat kesalahan yang sama.

Di balik kemarahan itu, aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar mengenal adikku, begitu juga sebaliknya. Adikku menyimpan begitu banyak kepahitan tentang aku. Sama seperti dia, kekesalanku pada adikku juga menumpuk. Mestinya masalah ini bisa kita selesaikan dengan bicara. Kita kan keluarga, masak keakraban kakak adik terwujud dengan meledek saja, tanpa benar-benar ngomong dari hati ke hati.

Terus terang selesai bertengkar aku sangat lega. Aku bisa memuntahkan kejengkelan bulanan atau menahunku. Aku tahu apa saja kekesalan adikku yang dipendam begitu lama. Marah itu menguras energi. Malam itu aku tidur nyenyak. Aku puas. Sebab, di tengah kemarahanku kata-kata "Aku sayang kamu" meluncur dari mulutku. Pasti adikku kaget. Selama hidup aku tidak pernah mengatakan kalimat itu dalam situasi normal. Aneh ya.

Friday, July 09, 2004
Identity
Thomas Merton

If you want to identify me,
ask me not where I live,
or what I like to eat, or
how I comb my hair;
but ask me what I am living for,
in detail, and ask me
what I think is keeping me
from living fully for
the thing I want to live for.


Thursday, July 08, 2004
Tuhan, Aku Mau Tanya....


Kenapa sih aku jadi perempuan. Padahal, menjadi perempuan di negeri ini tidak mudah. Dari lahir sudah menjadi nomor kesekian dalam segala hal. Perhatian untukku cuma secuil. Tapi, dukungan dan kasih buat saudaraku yang laki-laki ruaarrr biasa.

Aku tak iri sih, Tuhan....
Sebab aku memang diajarkan untuk menerima itu: karena aku perempuan...

Di sekolah, meski rata-rata prestasi teman-teman perempuan lebih di atas, tetap saja bukan jaminan. Ketekunan dan kedisiplinan perempuan mengerjakan sesuatu bukan dasar yang menentukan mereka melanjutkan sekolah. Jika dihadapkan pada pilihan, orang tua memprioritaskan anak laki-laki mengejar ilmu setinggi angkasa.

Aku tak marah Tuhan....
Kata mereka sekolah tinggi-tinggi pun toh perempuan akan ke dapur juga. (Mereka lupa bahwa sekarang, koki-koki di restoran itu kebanyakan laki-laki. Bayarannya juga berkali lipat dari perempuan yang bekerja di sektor yang sama).

Seharusnya perempuan yang disekolahkan. Kalau semua perempuan makan sekolahan, tak ada lagi kasus gizi buruk karena si ibu buta soal makanan sehat. Tak ada cerita anak bodoh karena sang ayah tak pernah menemaninya belajar. Lagipula tak semua ayah mau repot-repot mengajari anaknya mengerjakan pekerjaan rumah. Alasannya sudah lelah bekerja seharian. Nah, jika keadaan ini merunyam, ibulah yang menjadi kambing hitam. Sebab dia perempuan....

Bahkan, pakaian yang kupakai pun harus menyenangkan orang lain. Sebab, kata cantik, manis, dan sejuta pujian baru afdol kalau meluncur bukan dari diriku sendiri tapi dari kaum adam. Budaya mengkondisikan aku supaya menawan agar sedap dipandang oleh..., ya, siapa lagi kalau bukan laki-laki.

Aku tidak bersungut-sungut kok, Tuhan...
Aku bisa menangis sesuka hatiku. Tak malu meski mengeluarkan satu truk air mata. Aku tak perlu sok menjadi hero agar dibilang jantan.
Aku juga tak cuma bisa merusak tapi piawai memperbaiki dan memelihara.
Aku bisa melakukan apa saja yang dilakukan laki-laki [tentu saja selain menghasilkan sperma :)]. Tapi, bisa nggak lelaki memakai rok? Mini lagi, terus ada belahan di samping kiri. Wow seksi bo!

Tuhan, maaf ya,
Aku tidak menertawakan ciptaan TUHAN. Tapi tergelitik melihat kondisi yang membedakan antara laki dan perempuan--dan perempuan yang selalu terpinggirkan.

Aku tahu TUHAN adil...., semua yang TUHAN bikin sempurna. Tapi selama hidup aku merasakan ketidakadilan karena aku perempuan. Gimana dong?

Nggak, Tuhan, aku nggak mau operasi ganti kelamin. Lucu banget.
Aku sudah oke menjadi wanita, dengan segala plus minusnya.
Aku justru bersyukur karena dilahirkan sebagai manusia yang berjenis kelamin wanita.

Pernah sih aku membayangkan hidup di suatu tempat yang nggak ada cowoknya. Nggak enak. Nggak mau ah, Tuhan...

Sekarang saja, aku sering nggak connect bila terlalu lama kumpul sama ibu-ibu (kecuali mama, tante, dan semua perempuan yang aku cintai). Habis obrolannya tak jauh-jauh dari suami, anak, dan daftar belanja. Aku juga sering risih saat kongkow dengan teman-teman sekarang. Mereka tampak percaya diri dengan citra yang dibangun industri. Bahkan membaca majalah wanita juga bikin otak keriting. Terlalu banyak iklan dan tips jadi perempuan bikinan media, industri, kapitalis. Ujung-ujungnya harus keluar duit. Fisik betul, please deh. Capek.


Tuesday, July 06, 2004
Pak Polisi

Usianya mendekati 64 tahun. Kulit wajahnya masih kencang. Alisnya tebal dan tidak beraturan, mirip pendekar dalam serial film laga Cina. Dahulu kumis panjang melintang di antara hidung dan bibirnya. Bahkan, kumis Pak Raden kalah seram dengan miliknya. Sekarang wajahnya klimis. Pipinya juga lembut saat dicium. Begitu juga tangannya, halus seperti bayi.

Hari-hari, Bung Romeo Charlie--begitu panggilan sayang saya pada ayah--lebih banyak berkisar dari kamar tidur, ruang makan, ruang televisi, dan teras rumah. Aktvitas fisiknya berhenti total setelah terserang stroke pada 1996 hingga sekarang. Lengannya tidak berotot lagi. Jalannya juga harus dibantu tongkat.

Dahulu suaranya menggelegar. Sekali memanggil saja, saya langsung terbirit-birit dengan air mata berderai. Orang-orang juga segan (mungkin juga takut) padanya. Dia tidak peduli, jika marah, tidak pernah memandang anak buah, rekan seangkatan, bahkan atasan. Jarang sekali orang mau berurusan dengan dia.

Setiap menyebut namanya, komentar yang muncul tak jauh dari kata galak, berani, nekat, suka berkelahi, pokoknya segala hal yang berbau kekerasan. Entah kebetulan atau tidak, mereka yang mengenal Bung Romeo Charlie selalu mengakhiri testimoni dengan kata: dia keras tapi polisi yang bersih.

Mungkin mereka benar. Sewaktu kecil saya pernah melihat sendiri tindakan brutal ayah. Waktu itu dia menjadi kapolsek di salah satu kecamatan. Karena pegawai negeri dengan nomor induk pegawai provinsi, ibu saya tidak bisa ikut pindah bersama ayah. Setiap liburan dan Sabtu-Minggu saya--yang paling dekat dengan ayah--selalu ke rumah dinas ayah yang jaraknya sekitar 45 kilometer dari asrama polisi tempat kami tinggal.

Suatu malam saya terbangun mendengar ribut-ribut di ruang tamu. Aneh, Blacky, anjing kampung yang biasa cuma boleh tidur di depan pintu kamar, sudah ada di bawah tempat tidur. Karena penasaran saya turun dan mendekati pintu. Tapi, Blacky menyalak pelan, berkaing-kaing pelan, seperti melarang saya membuka pintu rumah bergaya Belanda yang panjang sekitar tujuh kaki anak usia delapan tahun itu.

Tapi saya nekat. Kamar tamu gelap. Cahaya datang dari lampu kamar tidur yang menyelinap di balik pintu yang terbuka. Ada genangan air berwarna merah. Seorang pria sedang mengepel genangan air itu. Pelipis kirinya berdarah. Ayah segera menyuruh saya masuk. Karena takut saya segera masuk dan tertidur seolah tidak terjadi apa-apa.

Ternyata, Om Domi, nama pria yang tadi malam terluka itu. Pelipisnya yang berdarah sudah diperban. Hampir seminggu dia tinggal di rumah dinas ayah. Dia yang memasak nasi, mencuci piring, membantu ayah mengurusi kolam ikan emasnya, dan mengajari saya berbagai hal tentang beternak itik dan bebek. Dia baik sekali.

Tapi, Om Domi pergi, begitu ibu saya datang. Saya mendengar ibu mengomeli ayah yang berani-beraninya membiarkan tersangka pembunuh tinggal di rumah. Rupanya, pada malam itu, ayah menginterogasi Om Domi di rumah. Pasti Om Domi diberi bogem mentah karena mengaku membunuh istrinya dengan kayu tajam di pelipis istrinya. Istrinya meninggal karena kehilangan banyak darah. Kadang-kadang saya membayangkan sendiri, kalau di zaman reformasi, ayah saya pasti bisa disel karena menginterogasi dengan kekerasan atau diadukan karena melanggar hak asasi manusia.

Sepanjang pengetahuan saya, ayah tidak pernah menerima tamu di rumah. Tapi, pernah ada juga pengusaha yang nekat. Dia berbicara dan tertawa lepas dengan ayah. Suasana segar itu berubah ketika suara ayah mengguntur. Saya dan saudara-saudara segera mengomeli tamu itu. Hmmmm pasti dia menawari ayah uang. Belum tahu dia.

Waktu kecil saya dan saudara-saudara juga sering menangis karena dimarahi setiap ada tamu yang memberi kami uang. Meski kerabat dekat kami sendiri. Terus terang saya tidak menangis karena tidak mendapat uang. Tapi, kenapa om, tante, atau saudara tadi memberikan uang di depan ayah. Waktu itu ayah bilang, "Akar segala kejahatan adalah cinta uang,".

Sebagai anak polisi yang berkarier dari bintara saya tahu persis bagaimana susahnya hidup di asrama. Gaji polisi tidak besar. Padahal, saban hari harus berurusan dengan masalah. Kalau tidak ada persoalan siapa yang mau ke kantor polisi. Namun, ayah tidak pernah sekalipun membicarakan masalah yang sedang ditangani. Ayah baru bercerita ketika kita mengkonfirmasi setelah mendengar dari berbagai orang. "Dengan senyum setengah mengejek ayah selalu bilang, ingat saya ini aparat negara."

Ayah pernah marah besar ketika anak-anak ogah-ogahan makan bersama gara-gara mau menonton televisi berwarna di rumah tetangga. Ketika kita punya televisi berwarna tetangga malah sudah punya video player yang bisa karaoke. Ketika kita berkunjung ke rumah tetangga, dengan santai ayah bertanya dengan suara gunturnya. "Gaji kau berapa kok bisa beli barang-barang begini!" Si tetangga cuma melongo.

Begitulah ayah. Bicara tanpa mempedulikan perasaan orang. Aku tak tahu persis berapa banyak orang yang tersinggung dengan omongannya. Berapa orang yang sudah merasakan tinjunya. Tapi, tak sedikit orang yang begitu hangat menyambut kami begitu tahu kami anak Bung Romoe Charlie. Setiap doa kelompok di rumah tidak pernah sepi. Sebab, selesai berdoa kita juga sering sharing sampai larut malam: di rumah Om Romeo Charlie yang galak itu. Lucunya, kami dibiarkan bermain, berteriak, dan bernyanyi sekencang-kencangnya meski di samping tempat tidurnya. Sebaliknya, jangan pernah deh menangis, karena sedikit saja mendengar tangisan bisa gawat.

Ayah saya--dan banyak polisi lain--bukan malaikat. Tapi, saya tahu persis ayah memang dilahirkan untuk menjadi polisi. Dia selalu beraksi melihat ada yang tidak beres. Namun, sering kali ayah main keras. Bahkan, anak-anaknya sering ditanyai mirip penjahat kriminal. Kami semua pernah menjadi sasaran kekerasan ayah.

Tapi, saya begitu mencintai ayah. Benar kata orang kita tidak bisa memilih ayah. Kalau tidak disiplin dan super galak, saya [mungkin] tumbuh sebagai perempuan yang mudah menyerah dan mengerut setiap digertak. Punya ayah yang sangat keras membuat saya tahan banting dan sabar menghadapi orang dengan tipe serupa. Bahkan, saya selalu tertantang memenangkan orang yang galak dengan kelembutan. "Ah, dia nggak ada apa-apa dibanding ayah," begitu prinsip saya. Minimal, kami, anak-anaknya bisa menjadi polisi bagi diri sendiri.

Pada suatu kesempatan, seorang kerabat polisi yang baru keluar penjara karena menerima uang dari tersangka datang menemui ayah. Seperti biasa, kami selalu bernostalgia tentang teman-teman polisi ayah. Begitu dia pulang, saya mencium hangat pipi ayah. Saya bilang saya tidak pernah menyesal punya ayah seorang polisi. Kami memang tidak punya apa-apa. Tinggal di rumah pribadi saja baru terwujud setelah ayah pensiunan belasan tahun. Tapi, pengalaman tinggal di asrama adalah kenangan paling manis dalam hidup saya.

Dahulu ayah begitu bangga menceritakan bagaimana dia menangkap penjahat atau membongkar suatu kasus. Tapi, sekarang, ayah tidak mau mendengar kisah-kisah gelapnya. "Jangan kau bangga dengan nista ayahmu," kata ayah. Mungkin karena ayah sekarang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya yang dahulu menjadi senjata sekarang lemah. Bahkan untuk berdiri saja harus dipapah.

Polisi lain pensiun dengan dengan tubuh yang sehat. Bahkan bisa bekerja perusahaan lain. Tapi, ayah malah menghabiskan masa tuanya dengan separuh badan lumpuh. Tapi, satu hal yang membuat aku bangga, ayah saya tidak mempunyai catatan hitam. "Saya tidak malu mengaku anak polisi karena punya ayah seperti Bung Romeo Charlie!" Begitu komentar saya di setiap kesempatan. Reaksi ayah juga tidak pernah berubah: selalu menangis.

Ada sesuatu hal yang sering mengganggu pikiran saya. Saya tidak pernah mendoakan ayah, khusus tentang panggilannya sebagai polisi. Saya cuma meminta agar ayah selamat. Saya lupa berdoa agar setiap bekerja ayah tak lain adalah bayangan Yesus yang memakai seragam cokelat. Bayangkan saja kalau Yesus Kristus terpancar dalam setiap aktivitas ayah--dan semua polisi.

Dahulu, kami punya acara kecil setiap 1 Juli. Setelah selesai upacara HUT Bhayangkara, ayah selalu kembali dengan pakaian lengkap upacara dan membawa pulang kotak makanan. Setelah itu kami memeluk dan memberi ciuman sambil berkatan "Selamat HUT Polri". Sudah hampir 12 tahun saya tidak melakukan ritual ini. Karena kami berpisah cukup jauh. Bicara di telepon juga tidak bisa menggantikan suasana itu. Saya rindu memeluk ayah dan mengatakan "Selamat HUT Polri Bung Romeo Charlie!"

(Tulisan ini dipersembahkan buat semua polisi baik pensiunan maupun aktif dan keluarga besar Polri.)

Michael W. Smith Si Penggila Jesus


Tak ada yang mampu menebak rencana Tuhan. Michael Whitaker Smith juga begitu. Sejak bocah, kelahiran 7 Oktober 1957 ini bercita-cita menjadi atlet bisbol profesional. Tapi, sekarang, dia malah menjadi pemimpin pujian, worshiping leader, yang terkenal. Hidupnya lebih banyak diberikan pada Tuhan melalui pujian dan penyembahan.

Setelah sekitar 20 tahun berkecimpung di dunia musik gereja, Michael telah menghasilkan 16 album, sepuluh buku, dan meraih Dove--penghargaan musik Gospel Amerika-- dan Grammy Awards. Lagu-lagu musisi yang lahir di Kenova, West Virginia, Amerika Serikat, memberi inspirasi bagi banyak orang. Seorang remaja berusia 15 tahun misalnya, menulis surat elektronik yang mengatakan, CD Michael bertajuk Live the Life membantu ayahnya pulih dari kecanduan obat-obatan dan depresi. Musik yang sama juga membawa perubahan besar bagi kehidupan anak baru gede ini. "Tuhan bisa mengangkat seseorang yang lemah hanya dengan sebuah lagu sederhana dan hidup seseorang berubah selamanya. Benar-benar luar biasa," kata dia.

Tidak ada yang luar biasa di masa kanak-kanak Michael. Seperti anak-anak Amerika pada umumnya, dia menyukai bisbol. Michael kecil juga aktif dalam kegiatan gereja keluarganya dan bermain piano. Kecintaannya pada musik sudah tampak sejak masih ingusan. Dia mulai menulis lagu pertamanya pada usia lima tahun.

Cintanya pada Yesus juga mulai tumbuh sejak kecil. Dia memutuskan untuk menyerahkan seluruh hidupnya pada Yesus Kristus di usia 10 tahun. Memasuki usia remaja, Michael semakin menggemari Yesus. "Saya menggilai Yesus," ujar dia. Di masa-masa itu, Michael mengenakan kalung berliontin kayu salib gede dan membawa Alkitab ukuran besar. Dia belajar Kitab Suci tiga sampai empat kali seminggu. Tak pernah absen ke gereja di hari Minggu pagi serta pada Sabtu dan Rabu malam. Semua dilakukan bukan karena paksaan, tapi karena keinginan sendiri.

Perangai Michael rada berubah memasuki SMU. Dia mulai berbohong demi berbagai kesenangan khas anak muda. Minuman keras dan obat terlarang mewarnai kehidupannya. Itu adalah saat-saat yang paling tidak bisa dibanggakan. Memalukan bahkan. Namun, orang tuanya Paul and Barbara Smith tetap percaya padanya. Cinta mereka tak pernah luntur. "Saya tidak akan menjadi seperti sekarang jika bukan karena cinta tak terbatas orang tua saya," ucap peraih gelar doktor musik kehormatan dari Alderson-Broaddus College di Philippi, West Virginia, pada 1992.

Musik membuat Michael lupa segala-galanya. Bangku Universitas Marshall di West Virginia cuma dicicipi selama setahun. Pada 1982, Michael menjadi pemain keyboard mengiringi artis muda yang lagi naik daun saat itu, Amy Grant. Setahun kemudian, manajer Amy, Mike Blanton dan Dan Harrell mengontrak Michael dan memproduksi album perdananya Michael W. Smith Project dalam label Reunion. Michael membuat semua musiknya dan istrinya Debbie Smith yang menulis seluruh liriknya. Pada saat yang sama Michael terus ikut tur bersama Amy sebagai artis pembuka.

Tuhan adalah segala-galanya bagi Michael. Kehadiran Tuhan benar-benar dirasakan saat penyembahan. Perasaan sukacita itu dirasakan pertama kali ketika memasuki Gereja Belmont di Nashville, Tennessee, 21 tahun lampau. Waktu itu sebagai anak kecil, dia seperti melompat masuk ke hadirat Tuhan dan menyadari dirinya dibasuh. Michael benar-benar merasakan berdoa dalam roh dan kebenaran. Saat itulah dia menyadari bahwa penyembahan adalah bagian dari panggilan hidupnya. Don Finto, pastor senior di Belmont, mengatakan, "Kamu adalah pemimpin pujian." "Saya tahu," kata dia, waktu itu.

Michael adalah ayah dari Ryan, Whitney, Tyler, Emily, dan Anna. Penyembahan sudah menjadi bagian dari kehidupan dia dan keluarganya. Aksi nyata penyembahan dalam rumahnya adalah dengan melayani anak-anaknya. "Tuhan memberi anak-anak yang luar biasa untuk dilayani," kata pria yang sedang berusaha lebih banyak bicara saat memimpin worshiping.

Dengan Debbie, istrinya, Michael berusaha tidak pernah menyimpan kemarahan hingga matahari terbit. Jika berselisih pendapat, dia tak dapat tidur. Meski bukan kesalahannya, "Saya selalu mengaku. Ini salah saya." Semua itu dilakukan agar garis komunikasi mereka tetap terbuka.

Dari semua penghargaan yang diterima. Entah sebagai musisi, pengusaha yang juga penyanyi, penulis buku, direktur eksekutif perusahaan rekaman, pemimpin sebuah gereja lokal, dan pendiri tempat penampungan anak-anak jalanan di Rocktown, dia hanya ingin diingat dalam satu kalimat. "Sebagai manusia yang takut akan Tuhan, yang mencintai istri dan anak-anaknya dengan baik." (Dari berbagai sumber)

Neutrality
Desmond Tutu

If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor. If an elephant has his foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality.


home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community