<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Thursday, July 08, 2004
Tuhan, Aku Mau Tanya....


Kenapa sih aku jadi perempuan. Padahal, menjadi perempuan di negeri ini tidak mudah. Dari lahir sudah menjadi nomor kesekian dalam segala hal. Perhatian untukku cuma secuil. Tapi, dukungan dan kasih buat saudaraku yang laki-laki ruaarrr biasa.

Aku tak iri sih, Tuhan....
Sebab aku memang diajarkan untuk menerima itu: karena aku perempuan...

Di sekolah, meski rata-rata prestasi teman-teman perempuan lebih di atas, tetap saja bukan jaminan. Ketekunan dan kedisiplinan perempuan mengerjakan sesuatu bukan dasar yang menentukan mereka melanjutkan sekolah. Jika dihadapkan pada pilihan, orang tua memprioritaskan anak laki-laki mengejar ilmu setinggi angkasa.

Aku tak marah Tuhan....
Kata mereka sekolah tinggi-tinggi pun toh perempuan akan ke dapur juga. (Mereka lupa bahwa sekarang, koki-koki di restoran itu kebanyakan laki-laki. Bayarannya juga berkali lipat dari perempuan yang bekerja di sektor yang sama).

Seharusnya perempuan yang disekolahkan. Kalau semua perempuan makan sekolahan, tak ada lagi kasus gizi buruk karena si ibu buta soal makanan sehat. Tak ada cerita anak bodoh karena sang ayah tak pernah menemaninya belajar. Lagipula tak semua ayah mau repot-repot mengajari anaknya mengerjakan pekerjaan rumah. Alasannya sudah lelah bekerja seharian. Nah, jika keadaan ini merunyam, ibulah yang menjadi kambing hitam. Sebab dia perempuan....

Bahkan, pakaian yang kupakai pun harus menyenangkan orang lain. Sebab, kata cantik, manis, dan sejuta pujian baru afdol kalau meluncur bukan dari diriku sendiri tapi dari kaum adam. Budaya mengkondisikan aku supaya menawan agar sedap dipandang oleh..., ya, siapa lagi kalau bukan laki-laki.

Aku tidak bersungut-sungut kok, Tuhan...
Aku bisa menangis sesuka hatiku. Tak malu meski mengeluarkan satu truk air mata. Aku tak perlu sok menjadi hero agar dibilang jantan.
Aku juga tak cuma bisa merusak tapi piawai memperbaiki dan memelihara.
Aku bisa melakukan apa saja yang dilakukan laki-laki [tentu saja selain menghasilkan sperma :)]. Tapi, bisa nggak lelaki memakai rok? Mini lagi, terus ada belahan di samping kiri. Wow seksi bo!

Tuhan, maaf ya,
Aku tidak menertawakan ciptaan TUHAN. Tapi tergelitik melihat kondisi yang membedakan antara laki dan perempuan--dan perempuan yang selalu terpinggirkan.

Aku tahu TUHAN adil...., semua yang TUHAN bikin sempurna. Tapi selama hidup aku merasakan ketidakadilan karena aku perempuan. Gimana dong?

Nggak, Tuhan, aku nggak mau operasi ganti kelamin. Lucu banget.
Aku sudah oke menjadi wanita, dengan segala plus minusnya.
Aku justru bersyukur karena dilahirkan sebagai manusia yang berjenis kelamin wanita.

Pernah sih aku membayangkan hidup di suatu tempat yang nggak ada cowoknya. Nggak enak. Nggak mau ah, Tuhan...

Sekarang saja, aku sering nggak connect bila terlalu lama kumpul sama ibu-ibu (kecuali mama, tante, dan semua perempuan yang aku cintai). Habis obrolannya tak jauh-jauh dari suami, anak, dan daftar belanja. Aku juga sering risih saat kongkow dengan teman-teman sekarang. Mereka tampak percaya diri dengan citra yang dibangun industri. Bahkan membaca majalah wanita juga bikin otak keriting. Terlalu banyak iklan dan tips jadi perempuan bikinan media, industri, kapitalis. Ujung-ujungnya harus keluar duit. Fisik betul, please deh. Capek.


0 Comments :

Post a Comment

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community