Tuhan, Aku Mau Tanya....
Kenapa sih aku jadi perempuan. Padahal, menjadi perempuan di negeri ini tidak mudah. Dari lahir sudah menjadi nomor kesekian dalam segala hal. Perhatian untukku cuma secuil. Tapi, dukungan dan kasih buat saudaraku yang laki-laki ruaarrr biasa.
Aku tak iri sih, Tuhan....
Sebab aku memang diajarkan untuk menerima itu: karena aku perempuan...
Di sekolah, meski rata-rata prestasi teman-teman perempuan lebih di atas, tetap saja bukan jaminan. Ketekunan dan kedisiplinan perempuan mengerjakan sesuatu bukan dasar yang menentukan mereka melanjutkan sekolah. Jika dihadapkan pada pilihan, orang tua memprioritaskan anak laki-laki mengejar ilmu setinggi angkasa.
Aku tak marah Tuhan....
Kata mereka sekolah tinggi-tinggi pun toh perempuan akan ke dapur juga. (Mereka lupa bahwa sekarang, koki-koki di restoran itu kebanyakan laki-laki. Bayarannya juga berkali lipat dari perempuan yang bekerja di sektor yang sama).
Seharusnya perempuan yang disekolahkan. Kalau semua perempuan makan sekolahan, tak ada lagi kasus gizi buruk karena si ibu buta soal makanan sehat. Tak ada cerita anak bodoh karena sang ayah tak pernah menemaninya belajar. Lagipula tak semua ayah mau repot-repot mengajari anaknya mengerjakan pekerjaan rumah. Alasannya sudah lelah bekerja seharian. Nah, jika keadaan ini merunyam, ibulah yang menjadi kambing hitam. Sebab dia perempuan....
Bahkan, pakaian yang kupakai pun harus menyenangkan orang lain. Sebab, kata cantik, manis, dan sejuta pujian baru afdol kalau meluncur bukan dari diriku sendiri tapi dari kaum adam. Budaya mengkondisikan aku supaya menawan agar sedap dipandang oleh..., ya, siapa lagi kalau bukan laki-laki.
Aku tidak bersungut-sungut kok, Tuhan...
Aku bisa menangis sesuka hatiku. Tak malu meski mengeluarkan satu truk air mata. Aku tak perlu sok menjadi hero agar dibilang jantan.
Aku juga tak cuma bisa merusak tapi piawai memperbaiki dan memelihara.
Aku bisa melakukan apa saja yang dilakukan laki-laki [tentu saja selain menghasilkan sperma :)]. Tapi, bisa nggak lelaki memakai rok? Mini lagi, terus ada belahan di samping kiri. Wow seksi bo!
Tuhan, maaf ya,
Aku tidak menertawakan ciptaan TUHAN. Tapi tergelitik melihat kondisi yang membedakan antara laki dan perempuan--dan perempuan yang selalu terpinggirkan.
Aku tahu TUHAN adil...., semua yang TUHAN bikin sempurna. Tapi selama hidup aku merasakan ketidakadilan karena aku perempuan. Gimana dong?
Nggak, Tuhan, aku nggak mau operasi ganti kelamin. Lucu banget.
Aku sudah oke menjadi wanita, dengan segala plus minusnya.
Aku justru bersyukur karena dilahirkan sebagai manusia yang berjenis kelamin wanita.
Pernah sih aku membayangkan hidup di suatu tempat yang nggak ada cowoknya. Nggak enak. Nggak mau ah, Tuhan...
Sekarang saja, aku sering nggak connect bila terlalu lama kumpul sama ibu-ibu (kecuali mama, tante, dan semua perempuan yang aku cintai). Habis obrolannya tak jauh-jauh dari suami, anak, dan daftar belanja. Aku juga sering risih saat kongkow dengan teman-teman sekarang. Mereka tampak percaya diri dengan citra yang dibangun industri. Bahkan membaca majalah wanita juga bikin otak keriting. Terlalu banyak iklan dan tips jadi perempuan bikinan media, industri, kapitalis. Ujung-ujungnya harus keluar duit. Fisik betul, please deh. Capek.
Kenapa sih aku jadi perempuan. Padahal, menjadi perempuan di negeri ini tidak mudah. Dari lahir sudah menjadi nomor kesekian dalam segala hal. Perhatian untukku cuma secuil. Tapi, dukungan dan kasih buat saudaraku yang laki-laki ruaarrr biasa.
Aku tak iri sih, Tuhan....
Sebab aku memang diajarkan untuk menerima itu: karena aku perempuan...
Di sekolah, meski rata-rata prestasi teman-teman perempuan lebih di atas, tetap saja bukan jaminan. Ketekunan dan kedisiplinan perempuan mengerjakan sesuatu bukan dasar yang menentukan mereka melanjutkan sekolah. Jika dihadapkan pada pilihan, orang tua memprioritaskan anak laki-laki mengejar ilmu setinggi angkasa.
Aku tak marah Tuhan....
Kata mereka sekolah tinggi-tinggi pun toh perempuan akan ke dapur juga. (Mereka lupa bahwa sekarang, koki-koki di restoran itu kebanyakan laki-laki. Bayarannya juga berkali lipat dari perempuan yang bekerja di sektor yang sama).
Seharusnya perempuan yang disekolahkan. Kalau semua perempuan makan sekolahan, tak ada lagi kasus gizi buruk karena si ibu buta soal makanan sehat. Tak ada cerita anak bodoh karena sang ayah tak pernah menemaninya belajar. Lagipula tak semua ayah mau repot-repot mengajari anaknya mengerjakan pekerjaan rumah. Alasannya sudah lelah bekerja seharian. Nah, jika keadaan ini merunyam, ibulah yang menjadi kambing hitam. Sebab dia perempuan....
Bahkan, pakaian yang kupakai pun harus menyenangkan orang lain. Sebab, kata cantik, manis, dan sejuta pujian baru afdol kalau meluncur bukan dari diriku sendiri tapi dari kaum adam. Budaya mengkondisikan aku supaya menawan agar sedap dipandang oleh..., ya, siapa lagi kalau bukan laki-laki.
Aku tidak bersungut-sungut kok, Tuhan...
Aku bisa menangis sesuka hatiku. Tak malu meski mengeluarkan satu truk air mata. Aku tak perlu sok menjadi hero agar dibilang jantan.
Aku juga tak cuma bisa merusak tapi piawai memperbaiki dan memelihara.
Aku bisa melakukan apa saja yang dilakukan laki-laki [tentu saja selain menghasilkan sperma :)]. Tapi, bisa nggak lelaki memakai rok? Mini lagi, terus ada belahan di samping kiri. Wow seksi bo!
Tuhan, maaf ya,
Aku tidak menertawakan ciptaan TUHAN. Tapi tergelitik melihat kondisi yang membedakan antara laki dan perempuan--dan perempuan yang selalu terpinggirkan.
Aku tahu TUHAN adil...., semua yang TUHAN bikin sempurna. Tapi selama hidup aku merasakan ketidakadilan karena aku perempuan. Gimana dong?
Nggak, Tuhan, aku nggak mau operasi ganti kelamin. Lucu banget.
Aku sudah oke menjadi wanita, dengan segala plus minusnya.
Aku justru bersyukur karena dilahirkan sebagai manusia yang berjenis kelamin wanita.
Pernah sih aku membayangkan hidup di suatu tempat yang nggak ada cowoknya. Nggak enak. Nggak mau ah, Tuhan...
Sekarang saja, aku sering nggak connect bila terlalu lama kumpul sama ibu-ibu (kecuali mama, tante, dan semua perempuan yang aku cintai). Habis obrolannya tak jauh-jauh dari suami, anak, dan daftar belanja. Aku juga sering risih saat kongkow dengan teman-teman sekarang. Mereka tampak percaya diri dengan citra yang dibangun industri. Bahkan membaca majalah wanita juga bikin otak keriting. Terlalu banyak iklan dan tips jadi perempuan bikinan media, industri, kapitalis. Ujung-ujungnya harus keluar duit. Fisik betul, please deh. Capek.