<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Tuesday, July 26, 2005
Kangen

Nggak biasanya aku kangen sama telepon selulerku.

Kemarin, aku lupa memasukkan HP-ku di tas. Padahal, berangkatnya tidak buru-buru. Begitu sampai di kantor, seperti biasa, aku tak langsung menyalakan HP. Tali tasku tetap menyilang di tubuhku jika tidak diingatkan teman. Sudah kebiasaan. Aku baru sadar ketinggalan HP karena harus mengecek pesan dari temanku soal proyek kecil-kecilan--begitu kata dia.

Aku memang sering meninggalkan HP di rumah. Bukan karena lupa, tapi, lebih karena kurang peduli sama dia. Padahal, banyak hal baik yang aku dapat dari situ. Juga banyak hal buruk datang dari situ :)

Jujur saja kadang-kadang aku malas menerima telepon. (Lalu kenapa punya HP?) Jika ada hal yang penting, pasti Jenny, adikku, akan menelepon kantor. Memang hanya beberapa orang yang tahu nomor kantorku. Begitu juga dengan nomor HP-ku.

Tapi ada saat-saat aku ingin HP-ku berbunyi. Jika tidak ada yang menghubungi entah bicara atau kirim sms, rasanya ada yang kurang. Dan, sejauh ini, teman-temanku baik. Ada saja yang mau miss call sekadar membunyikan HP-ku. Tentu saja setelah aku sms atau aku minta tolong, heheheh.

Tapi, kemarin aku kangen banget sama HP-ku. Sampai-sampai aku bilang pada temanku. Biasanya aku simpan omongan itu untuk diri sendiri. Malu lagi bilang kangen sama HP :)

Ketika sampai di rumah, aku sempat lupa sama HP-ku. Perhatianku lebih tertuju pada adik laki-lakiku yang ada di kamar mandi. Maklum sudah tiga hari dia menginap di rumah temannya. Aku kan kangen juga sama dia. Meski aku sebal, karena dia nggak pernah kasih kabar.

Akhirnya, aku teringat juga pada HP-ku. Dia menyempil di antara bedak tabur dan pembersih wajah. Aku buru-buru mengecek. Hmmmm, tidak ada yang meneleponku. Ada beberapa pesan. Satu per satu aku baca. Tapi, pesan yang tersimpan pukul 22.41 WIB yang menarik perhatian. Aku baru membacanya satu jam kemudian. Dari temanku Andi. Pesannya singkat. Mazmur 139.

Itulah Andi. Satu-satunya teman cowokku yang paling rajin mengirim Firman buatku. God bless you, Andi. Setelah membaca selintas Mazmur 139, aku langsung menyebarkan pesan yang sama ke Lisa, sahabatku. Aku bilang pada Lisa bahwa pesan ini dari Andi. Aku ingin Lisa tahu bahwa pesan dari Andi membuat aku merasa dikasihi Tuhan, sangat. Suara tokek (dia juga ada kamarku, ternyata) terdengar saat layar HPku mengatakan pesan telah terkirim.

Setelah bersih-bersih, barulah aku kembali memelototi ayat itu. Aku pun mulai membaca perlahan. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku. Terus ke ayat-ayat berikut. Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tanganMu ke atasku. Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya... Sampai di ayat terakhir. Lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!

Tinggal berapa detik lagi jarum jam menuju angka 04.00 WIB. "Aku kangen, TUHAN!" Dan, mataku terpejam.


Monday, July 25, 2005
Why I Love You...

when u ask me why i love u, i dont know what to say i love every part of u in every single way. but if u want specifics, i will try to meet your wish and do
to make very best to make a simple list.

i love you for your ability to always make me whole,
i love you for your patience that never seems to end,
i love you for your passion..so much,
i love you for your honest i know you'll never lie,
i love you for your quirkiness and little jokes you tell....

you see how hard it is to narrow it all down.
there are far to many reason, but one thing i have found words...
+ i l o v e y o u +


Apa yang terjadi jika seseorang mengirimkan pesan begini padamu. Bergetar? Tersenyum? Panas yang menjalar dari pipi hingga telinga? Tersanjung? Tak bereaksi. Mengerutkan kening. Terserah deh. Atur saja. Semua orang punya reaksi berbeda menerima kata-kata seperti itu.

Jangan tanya reaksiku. Aku cuma ingin bilang seseorang menulis pesan itu pada seseorang. Pesan-pesan ini kemudian menyebar cepat ke seseorang yang lain, termasuk siapa ya :)

Ah, aku tidak tahan lagi untuk berkomentar. Kalau seseorang itu tahu dia bisa marah-marah. Atau tidak akan membiarkan aku membaca pesan-pesan seperti ini.

Tapi, aduh, aku harus bilang deh. Kenapa ada orang yang mau digombali? Maksudnya bisa saja seseorang itu berkata jujur dan yang satunya meringis seperti baru mendapatkan mangsa. Atau seseorang menulis itu sambil menahan tawa, mereka-reka reaksi polos dari seseorang yang dituju. Ih, lagian kenapa juga aku menulis ini. Tapi, memang begitulah keadaannya. Sungguh teganya 1.000 kali...


Monday, July 18, 2005
Tuhan Masih Menjawab


"Ne, Yesus, ya?" Moses bertanya padaku di suatu malam. Kita mau tidur.

"Ha? Kenapa?"

"Tadi pagi Moses berdoa minta es krim, terus sorenya Moses minta burger, waktu malam Moses makan sate setelah minta sama Tuhan Yesus. Terus Ne beliin semuanya."

"Oh, itu...," kataku menarik napas dan memeluk Moses kecilku.

"Kira-kira siapa yang kasih Ne uang untuk beli itu semua, ya?"

"Dari Yesus," kata Moses tersenyum sambil memicingkan kedua matanya.

Pertanyaan Moses kadang-kadang membuat aku harus menarik dan membuang napas lamat-lamat. Tidak terduga dan selalu harus ada jawaban. Jika tidak puas dia akan terus bertanya dan bertanya, sampai aku pura-pura tidur :)

Sejak kecil tiga keponakanku, Wulan, 7 tahun, Moses, hampir 6 tahun, dan Nera, 4 tahun, diajarkan untuk berdoa. Mereka bisa cerita apa saja sama Tuhan. Seperti Minggu lalu, Wulan membisikkan doanya padaku ketika kita mau keluar gereja. "Wulan kasih tahu Tuhan Yesus, Wulan sudah kelas dua," kata dia memamerkan gigi kelincinya.

Mereka juga bisa minta apa saja, khususnya yang tidak ada di rumah. Daftar permintaan mereka tak jauh dari minta es krim, makan-makan di luar, ke tempat mainan anak-anak, sampai teh botol dan Bengbeng. Setiap meminta sesuatu padaku aku selalu meminta mereka masuk kamar dan berdoa. Kebayang dong, dalam sehari mereka bisa berapa kali bolak-balik masuk kamar :)

Agak susah memang mengajarkan tiga malaikatku tentang pentingnya berdoa. Termasuk mengajarkan bahwa tidak semua doa bisa dijawab. Apalagi, mereka sangat kritis dan selalu ingin jawaban yang memuaskan.

Suatu kali Moses kecilku membawa kertas gambar yang akan diwarnai di rumah kemudian dikembalikan ke sekolah. Dia akan mewakili taman kanak-kanaknya untuk lomba mewarnai. Kertas gambarnya cukup besar. Selama ini dia selalu mewarnai di kertas ukuran kuarto atau folio. Jadi dia memang rada kesulitan. Beberapa warna keluar dari garis. Moses mulai menggerutu, dia memang suka begini kalau bete. Aku mengingatkan dia untuk berdoa. "Memangnya bisa?" kata dia, cuek.

Aku kembali menonton televisi sambil sesekali memperhatikan Moses berusaha mewarnai dengan lebih hati-hati. Tiba-tiba dia menyeletuk. "Ih Ne, Moses kan berdoa dalam hati, eh, nggak keluar garis lo," kata dia takjub.

Aku memang ingin sekali anak-anak kesayanganku itu merasakan betul pentingnya berdoa. Bahwa doa bisa mengubah banyak hal. Bahwa hubungan mereka dengan Tuhan hanya sejauh doa. Namun, tidak mudah menjelaskan tentang ini. Karena itu, setiap ada kesempatan aku selalu mengajak mereka berdoa.

Aku senang memperhatikan wajah mereka ketika berdoa. Khususnya saat-saat mereka berdoa sendiri, entah mau makan, bangun tidur, sebelum tidur, atau mau pergi ke tempat yang agak jauh. Wajah mereka itu, hmmm, begitu damai. Mata dikatup, tangan dikatup, mulut dikatup, dan napasnya teratur. Itu kalau lagi adem.

Kalau mereka lagi malas, aduhhhhh, ampun deh. Bila berdoa berdua saja, Moses sering menaruh bantal kepala di antara kaki kita yang bersila. Kemudian kita berpegangan tangan di atas bantal. Tapi, di tengah-tengah doa, dia sering menarik salah satu tangannya, entah bagaimana dia sudah dalam posisi seperti main ski air.

Beberapa kali kita harus berdoa dalam kondisi panas. Moses tidak mau Nera, adiknya, ikut berdoa, karena Nera selalu berada di sebelahku persis, memegang salah satu tanganku. Dia nggak mau aku berbagi tangan dengan Nera, hanya dia dan Wulan yang boleh. Jika sudah begini, Nera dan Moses sama-sama memasang kuda-kuda standar. Duduk memeluk lutut erat-erat dengan dagu menempel di puncak lulut, memandang marah, dan bibir maju beberapa inci. Ketika Moses dan Wulan marahan lain lagi posisinya. Aku memegang salah satu tangan mereka, dan keduanya tidak mau bergandengan.

Sekarang Moses, Wulan, dan Nera tidak sering lagi menginap di tempatku. Mereka sudah pindah ke Bogor, Jawa Barat, dan bersekolah di sana. Kita bisa teleponan setiap hari, tapi tetap saja bertemu dan berbincang sambil melihat ekspresi dan bahasa tubuh mereka masing-masing itu tetap tak tergantikan.

Kemarin, aku menelepon mereka. Ternyata, Moses ikut lomba gambar yang diselenggarakan di perumahan tempat mereka tinggal. Kata Mamanya, Moses agak kecewa karena tidak juara. Maklum lawan-lawannya adalah anak-anak anggota sanggar yang teknik mewarnainya berada berapa tingkat dari dia. Anak sanggar geto lo :)

Tapi, Moses tidak pulang dengan tangan kosong. Dia justru mendapat door prize satu set meja belajar. "Moses kan tadi berdoa dalam hati, Moses mau hadiah yang itu. Tuhan masih menjawab doa Moses ya," kata Mamanya menirukan omongan Moses. "Aku tertawa dan membalas, iya, tolong bilangin Moses kecilku bahwa Tuhan pasti menjawab doanya."

Aku jadi kangen sama Moses. Ingin sekali mendengar ceritanya tentang apa saja yang dia obrolkan dengan Tuhan sepanjang lomba itu. Tapi, kira-kira dia mau cerita nggak ya...


Saturday, July 16, 2005
Eight Gifts That Cost Nothing
Author Unknown

THE GIFT OF LISTENING...
But you must REALLY listen. No interrupting, no daydreaming, no planning your response. Just listening.

THE GIFT OF AFFECTION...
Be generous with appropriate hugs, kisses, pats on the back and handholds. Let these small actions demonstrate the love you have for family and friends.

THE GIFT OF LAUGHTER...
Clip cartoons. Share articles and funny stories. Your gift will say, "I love to laugh with you."

THE GIFT OF A WRITTEN NOTE...
It can be a simple "Thanks for the help" note or a full sonnet. A brief, handwritten note may be remembered for a lifetime, and may even change a life.

THE GIFT OF A COMPLIMENT...
A simple and sincere, "You look great in red," "You did a super job" or "That was a wonderful meal" can make someone's day.

THE GIFT OF A FAVOR...
Every day, go out of your way to do something kind.

THE GIFT OF SOLITUDE...
There are times when we want nothing better than to be left alone. Be sensitive to those times and give the gift of solitude to others.

THE GIFT OF A CHEERFUL DISPOSITION...
The easiest way to feel good is to extend a kind word to someone, really it's not that hard to say, Hello or Thank You.


Tuesday, July 05, 2005
Bola Bekel

Dua puluh lima pasang mata memandangku. Aku berdiri bertembok lemari agar bisa bersandar sekali-sekali. Kakiku gemetaran dan lemas. Keringat juga tidak mau stop. Tanganku kusembunyikan di belakang pinggang agar vibrasinya tidak terlalu mencolok. Baru kali ini aku berada di depan banyak orang.

Mata-mata itu tetap menyorotiku. Yang paling kecil berumur sekitar satu tahun dan yang paling gede SMU--dia datang dengan rok abu-abu. Ada tatapan curiga, penasaran, ingin tahu, kosong, tak peduli, geli, bersinar-sinar, dan oh, anak laki-laki yang duduk paling ujung itu seperti merencanakan sesuatu. Bahaya. "Yesussss toloooong aku bodoh, aku cuma ingin bercerita tentang Engkau," kataku berkali-kali.

Udara di ruang tamu itu cukup gerah. Kipas angin yang dipasang di dekat kakiku tak berdaya menghalau panas. Cuaca di pertengahan Agustus 2002 itu memang tak berangin. Sinarnya matahari seperti menyenter penuh rumah yang disesaki anak-anak itu, sebelum meredup. Itulah pertama kali aku berdiri di hadapan sobat-sobatku untuk Pendalaman Alkitab Anak (PAA).

Ada tiga wajah yang ikut tegang. Wulan, Moses, dan Nera. Tiga keponakanku ini yang mengomporiku untuk memberi PAA. Sebab, kakak yang memberi PAA tidak datang lagi karena masa magang yang ditugaskan dari sekolah teologinya sudah selesai. PAA akan dimulai lagi kalau ada kakak lain yang memilih tempat itu sebagai lokasi pelayanan. Dan, sudah berbulan-bulan tidak ada PAA. Padahal, mereka ingin PAA.

Sementara aku sudah bertahun-tahun berdoa agar bisa jadi guru SM. Aku punya folder sendiri tentang pelajaran dan berbagai aktivitas SM dan selalu ingin belajar tentang itu. Tapi, tetap saja aku gentar juga. Meski aku ingin meloncat-loncat kegirangan melihat jawaban Tuhan. Aku tidak saja jadi guru tapi juga diberi anak-anak, tempat, bahan-bahan, dan sokongan penuh dari tiga keponakanku plus Abangku dan Hani, istrinya. Benar-benar Tuhan itu ajaib, semuanya indah pada waktu-NYA.

Wulan berkali-kali meminta teman-temannya tenang. Moses malah lebih sering memandangi teman-temannya dan berkali-kali mengatakan, "Ihhhh bandel banget." Sedangkan Nera berdiri memelukku, memelototi teman-teman kecilnya, dan sekali-kali menendang anak lain yang ingin mendekatiku.

Suasana mencair setelah Abangku mulai bermain gitar. Kita pun bernyanyi. Wulan berkali-kali memberi sinyal agar aku mengikuti gerakannya. Maklum aku buta soal itu, hiks. Aku hanya tahu beberapa lagu tapi nggak tahu gerakannya yang pasti. Aku sudah belajar banyak lagu lengkap dengan gerakan. Tapi, di hari H semua buyar.

Hari itu kami belajar bahwa Yesus mencintai anak-anak. Yesus menegur murid-murid-Nya karena melarang anak-anak datang pada-Nya. Padahal, saat itu, murid-murid tahu Yesus capek banget. Mereka kasihan melihat Yesus harus mendengar anak-anak menangis, anak-anak berkelahi, anak-anak minta digendong, anak-anak pipis, anak-anak teriak-teriak.

Anak-anak hanya mau dekat dengan Yesus. Dan, Yesus tersenyum pada setiap anak, membuka tangan lebar-lebar untuk merangkul beberapa anak sekaligus. Yesus nggak marah kalau anak-anak ribut. Yesus menegur lembut anak-anak yang nakal. Yesus tahu anak-anak itu baik, sopan, lembut, dan mau bermain dengan Yesus. Yesus ingin banyak anak datang pada-Nya. Sebab, Yesus sayang pada anak-anak. Mereka pulang setelah doa penutup, minum teh manis, dan mendapat satu potong kue marmer.

Sabtu depannya aku masih tetap gemetaran. Suaraku juga masih bergelombang. Sebab, aku tahu anak-anak ini sudah sering mencicipi persekutuan seperti ini --kecuali yang umurnya satu sampai tiga tahun. Bahkan ada beberapa yang masih tidak percaya padaku. Apalagi, sejak awal aku berterus terang bahwa aku belum pernah Sekolah Minggu, PAA, dan semacamnya. Aku juga mengakui tidak bisa menjawab semua pertanyaan dan menguasai setiap gerakan dan lagu. Jadi aku minta diajari jadi kita bisa saling belajar tentang Yesus dari Alkitab.

Di hari kedua ini aku memberi gambar untuk diwarnai. Selesai menggambar dan minum teh, ada sekitar tujuh anak berusia antara 6-12 tahun tidak mau beranjak dari rumah Abangku itu. Mereka masih ingin bermain puzzle dan kwartet. Aku ikutan sekaligus mengajari mereka cara bermain kwartet. Sebab, Moses juga sibuk dengan kartu-kartu raksasa di tangan mungilnya.

Suasana masih kaku sampai pada pertemuan ketiga. Seperti biasa selesai berdoa, anak-anak belum mau pulang. Ada yang menyanyi, bermain kwartet, dan puzzle. Tiba-tiba Wulan menghilang dan datang membawa bekel. Spontan aku mengajak Wulan dan beberapa anak lain yang tidak kebagian main kwartet bermain bola karet kecil dan delapan buah mainan berwarna keemasan itu. Wulan terheran-heran karena menyangka aku tidak bisa. Aku belum cerita padanya bahwa kalau ada kesempatan aku masih bermain bekel dengan Mamaku.

Anak-anak yang lain juga tertarik. Lingkaran kwartet pun berakhir. Mereka mengelilingi konferensi lantai bundar kami. Semua berebut ingin bermain. Jenny adikku juga meminta salah satu anak untuk membeli bola dan bekel sehingga ada dua kelompok. Bahkan, Deddy dan Felix juga ikut bermain. Mereka juga tak mengira aku dan Jenny bisa bermain bola bekel meski rada kagok dengan peraturan baru mereka dan beberapa gaya yang asing.

Hari itu kami tertawa dan saling mengolok. Meneriaki yang curang dan memuji yang gape. Satu-satu anak mulai bertanya dan bercerita tentang dirinya dan teman-temannya. Bicaranya tidak ada yang pelan. Lingkaran kami tak lepas juga meski beberapa anak mulai disuruh pulang untuk makan malam.
"Ne, Maya makan dulu ya, jangan pulang ya." "Ihhhh, Mbah apaan sih, David masih kenyang," kata sobat kecilku ini berkerut memasang puzzle. Karena nggak enak, aku memutuskan untuk berhenti dulu. "Ahhhhhh Ne, biarin aja, ayo kita main lagi," kata mereka kompak. Sebenarnya aku juga senang bermain bola bekel. Apalagi mendapati jariku ternyata masih lentik dan luwes memutar balik besi-besi kecil itu. Jadilah kita bermain terus.

Aku baru berhenti ketika kakak perempuan Felix berteriak keras memanggil adiknya sambil melihat sumber kerumunan kecil itu. Matanya seperti mau bilang padaku, "Ih kayak anak kecil aja." Aku malu juga sih. Tapi, nggak apa-apa ah. Meski masih enggan, aku tahu bahwa anak-anak itu berusaha mendekatiku. Pura-pura memperhatikan tanganku lebih dekat agar bisa menyentuhku. Aku juga disoraki karena melanggar peraturan mereka.

Sejak awal aku berdoa agar bisa menjadi teman mereka. Bahwa aku juga sama dengan mereka, suka belajar tapi lebih senang lagi bermain. Perasaanku seperti bekel yang dibolak-balik tak keruan, melenting-lenting seperti bola karet. Sebab, aku merasa sudah menyedot separuh kepercayaan mereka. Aku ingin masuk dalam lingkaran mereka, lebih dekat dengan mereka, menjadi teman mereka, sehingga kita bisa belajar PAA bersama.


Monday, July 04, 2005
Trio Kotek-Kotek

Ada begitu banyak cerita di luar sana. Seperti yang aku dengar Sabtu silam. Kisah ini meluncur dari De, si tuan rumah. Dia bertutur tentang ayam petelurnya.

Tiba-tiba De kedatangan ayam kecil. Ayam seukuran tangan orang dewasa itu mencicit-cicit di depan pintu. Khawatir ayam tetangga yang lepas, ia mengusir unggas itu. Besoknya ayam yang sama datang lagi membawa temannya, seekor anak ayam kecil. Hush! Hush! Hari berikutnya, si ayam datang bersama dua temannya. "Langsung aku kandangin, daripada dia bawa rombongan," kata De memandang ke luar pintu.

De membuat sendiri kandang buat tiga trio ayam cokelat kemerahan dengan totol-totol putih merata di seluruh bulu mereka. Dia juga membeli makanan ayam. Sebab, ayam-ayam itu tidak mau menyentuh beras atau nasi. Dia juga sudah berpesan pada para tetangga kalau-kalau ada yang kehilangan ayam. "Tapi harus ketemu aku dulu," kata dia. Namun, sampai sekarang belum ada yang mengaku. Tiga ayam itu pun menjadi penghuni tetap kandang mungil di depan rumah De.

Sudah tujuh tahun De menganggur. Dia tidak punya pekerjaan tetap. Kamar kecil di samping rumahnya disewakan oleh seorang penjahit dengan bayaran Rp 300 ribu per bulan. Uang itu dipakai untuk membayar telepon dan listrik. Tagihan teleponnya bisa Rp 300 ribu per bulan.

Suatu kali De benar-benar pusing. Makanan ayam sudah habis dan dia tidak punya uang. Dia sengaja meninggalkan beras di tempat makanan ketika akan ke gereja. Dalam perjalanan pulang dia memutuskan untuk memberikan ayam itu pada pemilik kios di depan rumah. Namun, begitu kembali ke rumah, dia melihat pintu pemilik kios tertutup hingga malam. "Wah, Tuhan mau ayam itu aku piara, kali," kata dia. Jadilah malam itu ayam-ayam itu tidak makan. Namun, mereka tidak rewel, adem sampai hari bertukar. Besoknya, seorang saudara datang memberikan De uang dan langsung dipakai untuk membeli makanan ayam.

Ternyata ketiganya adalah ayam petelur. Ayam-ayam itu tumbuh sehat dan menghasilkan telur buat De. Karena cuma sendirian di rumah dua tingkat yang belum selesai dibangun itu, telur-telur itu juga dibagikan ke para tetangga. Oma yang selalu membayar De untuk pekerjaan remeh seperti membereskan tempat tidur, mengelap meja, sampai mengantarkan dia belanja setiap pekan juga diberi telur. Telur-telur itu sering dibagikan pada ibu-ibu anggota komunitas yang dia buat di rumahnya. "Aku nggak punya apa-apa selain telur. Kamu juga mau bawa pulang telur," kata dia padaku, Lisa, sahabatku, dan Mbak Christina.

Sabtu kemarin adalah hari pertama kami bersekutu. Hampir tujuh bulan lebih aku dan De janjian untuk membuat kelompok doa dan sharing iman. Tapi, aku yang selalu membatalkan janji setiap mendekati hari H. Nakal banget ya :) Namun, kita sepakat untuk mendoakan rencana kita itu. Kita berdua percaya bahwa semuanya indah pada waktu-NYA. Tak perlu buru-buru.

Dan, akhirnya kita jadi berkumpul dan mendengar cerita tentang trio kotek-kotek ini. Di rumah yang masih menyisakan tanda-tanda batas banjir itu, aku melihat pekerjaan tangan kasih Tuhan. Betapa Tuhan memperhatikan kebutuhan De, sampai menyediakan telur segala. Wow. Tuhan mengirim trio kotek-kotek untuk menemani De yang tinggal sendirian dan sekaligus menyediakan lauk buat nenek dua cucu itu. Aku tidak sabar menunggu pertemuan kedua, ketiga, kesembilan, dan seterusnya untuk mendengar pengalaman iman yang lain. Ini akan terungkap kalau aku mau PERGI dan mendapati De, De, lain di luar sana.

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community