Trio Kotek-Kotek
Ada begitu banyak cerita di luar sana. Seperti yang aku dengar Sabtu silam. Kisah ini meluncur dari De, si tuan rumah. Dia bertutur tentang ayam petelurnya.
Tiba-tiba De kedatangan ayam kecil. Ayam seukuran tangan orang dewasa itu mencicit-cicit di depan pintu. Khawatir ayam tetangga yang lepas, ia mengusir unggas itu. Besoknya ayam yang sama datang lagi membawa temannya, seekor anak ayam kecil. Hush! Hush! Hari berikutnya, si ayam datang bersama dua temannya. "Langsung aku kandangin, daripada dia bawa rombongan," kata De memandang ke luar pintu.
De membuat sendiri kandang buat tiga trio ayam cokelat kemerahan dengan totol-totol putih merata di seluruh bulu mereka. Dia juga membeli makanan ayam. Sebab, ayam-ayam itu tidak mau menyentuh beras atau nasi. Dia juga sudah berpesan pada para tetangga kalau-kalau ada yang kehilangan ayam. "Tapi harus ketemu aku dulu," kata dia. Namun, sampai sekarang belum ada yang mengaku. Tiga ayam itu pun menjadi penghuni tetap kandang mungil di depan rumah De.
Sudah tujuh tahun De menganggur. Dia tidak punya pekerjaan tetap. Kamar kecil di samping rumahnya disewakan oleh seorang penjahit dengan bayaran Rp 300 ribu per bulan. Uang itu dipakai untuk membayar telepon dan listrik. Tagihan teleponnya bisa Rp 300 ribu per bulan.
Suatu kali De benar-benar pusing. Makanan ayam sudah habis dan dia tidak punya uang. Dia sengaja meninggalkan beras di tempat makanan ketika akan ke gereja. Dalam perjalanan pulang dia memutuskan untuk memberikan ayam itu pada pemilik kios di depan rumah. Namun, begitu kembali ke rumah, dia melihat pintu pemilik kios tertutup hingga malam. "Wah, Tuhan mau ayam itu aku piara, kali," kata dia. Jadilah malam itu ayam-ayam itu tidak makan. Namun, mereka tidak rewel, adem sampai hari bertukar. Besoknya, seorang saudara datang memberikan De uang dan langsung dipakai untuk membeli makanan ayam.
Ternyata ketiganya adalah ayam petelur. Ayam-ayam itu tumbuh sehat dan menghasilkan telur buat De. Karena cuma sendirian di rumah dua tingkat yang belum selesai dibangun itu, telur-telur itu juga dibagikan ke para tetangga. Oma yang selalu membayar De untuk pekerjaan remeh seperti membereskan tempat tidur, mengelap meja, sampai mengantarkan dia belanja setiap pekan juga diberi telur. Telur-telur itu sering dibagikan pada ibu-ibu anggota komunitas yang dia buat di rumahnya. "Aku nggak punya apa-apa selain telur. Kamu juga mau bawa pulang telur," kata dia padaku, Lisa, sahabatku, dan Mbak Christina.
Sabtu kemarin adalah hari pertama kami bersekutu. Hampir tujuh bulan lebih aku dan De janjian untuk membuat kelompok doa dan sharing iman. Tapi, aku yang selalu membatalkan janji setiap mendekati hari H. Nakal banget ya :) Namun, kita sepakat untuk mendoakan rencana kita itu. Kita berdua percaya bahwa semuanya indah pada waktu-NYA. Tak perlu buru-buru.
Dan, akhirnya kita jadi berkumpul dan mendengar cerita tentang trio kotek-kotek ini. Di rumah yang masih menyisakan tanda-tanda batas banjir itu, aku melihat pekerjaan tangan kasih Tuhan. Betapa Tuhan memperhatikan kebutuhan De, sampai menyediakan telur segala. Wow. Tuhan mengirim trio kotek-kotek untuk menemani De yang tinggal sendirian dan sekaligus menyediakan lauk buat nenek dua cucu itu. Aku tidak sabar menunggu pertemuan kedua, ketiga, kesembilan, dan seterusnya untuk mendengar pengalaman iman yang lain. Ini akan terungkap kalau aku mau PERGI dan mendapati De, De, lain di luar sana.
Ada begitu banyak cerita di luar sana. Seperti yang aku dengar Sabtu silam. Kisah ini meluncur dari De, si tuan rumah. Dia bertutur tentang ayam petelurnya.
Tiba-tiba De kedatangan ayam kecil. Ayam seukuran tangan orang dewasa itu mencicit-cicit di depan pintu. Khawatir ayam tetangga yang lepas, ia mengusir unggas itu. Besoknya ayam yang sama datang lagi membawa temannya, seekor anak ayam kecil. Hush! Hush! Hari berikutnya, si ayam datang bersama dua temannya. "Langsung aku kandangin, daripada dia bawa rombongan," kata De memandang ke luar pintu.
De membuat sendiri kandang buat tiga trio ayam cokelat kemerahan dengan totol-totol putih merata di seluruh bulu mereka. Dia juga membeli makanan ayam. Sebab, ayam-ayam itu tidak mau menyentuh beras atau nasi. Dia juga sudah berpesan pada para tetangga kalau-kalau ada yang kehilangan ayam. "Tapi harus ketemu aku dulu," kata dia. Namun, sampai sekarang belum ada yang mengaku. Tiga ayam itu pun menjadi penghuni tetap kandang mungil di depan rumah De.
Sudah tujuh tahun De menganggur. Dia tidak punya pekerjaan tetap. Kamar kecil di samping rumahnya disewakan oleh seorang penjahit dengan bayaran Rp 300 ribu per bulan. Uang itu dipakai untuk membayar telepon dan listrik. Tagihan teleponnya bisa Rp 300 ribu per bulan.
Suatu kali De benar-benar pusing. Makanan ayam sudah habis dan dia tidak punya uang. Dia sengaja meninggalkan beras di tempat makanan ketika akan ke gereja. Dalam perjalanan pulang dia memutuskan untuk memberikan ayam itu pada pemilik kios di depan rumah. Namun, begitu kembali ke rumah, dia melihat pintu pemilik kios tertutup hingga malam. "Wah, Tuhan mau ayam itu aku piara, kali," kata dia. Jadilah malam itu ayam-ayam itu tidak makan. Namun, mereka tidak rewel, adem sampai hari bertukar. Besoknya, seorang saudara datang memberikan De uang dan langsung dipakai untuk membeli makanan ayam.
Ternyata ketiganya adalah ayam petelur. Ayam-ayam itu tumbuh sehat dan menghasilkan telur buat De. Karena cuma sendirian di rumah dua tingkat yang belum selesai dibangun itu, telur-telur itu juga dibagikan ke para tetangga. Oma yang selalu membayar De untuk pekerjaan remeh seperti membereskan tempat tidur, mengelap meja, sampai mengantarkan dia belanja setiap pekan juga diberi telur. Telur-telur itu sering dibagikan pada ibu-ibu anggota komunitas yang dia buat di rumahnya. "Aku nggak punya apa-apa selain telur. Kamu juga mau bawa pulang telur," kata dia padaku, Lisa, sahabatku, dan Mbak Christina.
Sabtu kemarin adalah hari pertama kami bersekutu. Hampir tujuh bulan lebih aku dan De janjian untuk membuat kelompok doa dan sharing iman. Tapi, aku yang selalu membatalkan janji setiap mendekati hari H. Nakal banget ya :) Namun, kita sepakat untuk mendoakan rencana kita itu. Kita berdua percaya bahwa semuanya indah pada waktu-NYA. Tak perlu buru-buru.
Dan, akhirnya kita jadi berkumpul dan mendengar cerita tentang trio kotek-kotek ini. Di rumah yang masih menyisakan tanda-tanda batas banjir itu, aku melihat pekerjaan tangan kasih Tuhan. Betapa Tuhan memperhatikan kebutuhan De, sampai menyediakan telur segala. Wow. Tuhan mengirim trio kotek-kotek untuk menemani De yang tinggal sendirian dan sekaligus menyediakan lauk buat nenek dua cucu itu. Aku tidak sabar menunggu pertemuan kedua, ketiga, kesembilan, dan seterusnya untuk mendengar pengalaman iman yang lain. Ini akan terungkap kalau aku mau PERGI dan mendapati De, De, lain di luar sana.