<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Friday, March 31, 2006
Belis

Kemarin aku terkekeh-kekeh mendengar cerita seorang teman tentang belis. Belis sama dengan mahar atau mas kawin. Sebagian orang NTT masih memegang kukuh adat soal belis ini. Tak sedikit pasangan yang gagal ke pelaminan karena kedua belah pihak tidak sepakat soal belis. Banyak juga pasangan yang nekat menikah meski tidak membayar belis dengan risiko siap-siap dikejar keluarga perempuan. Sebab, tidak membayar belis sama dengan berutang.

Yang membuat aku geli, temanku curiga Papanya sudah lama nggak pulang ke kampung halamannya di Kupang karena soal belis itu. Rupanya, ketika menikah, Papanya tidak memberikan belis ke keluarga Mamanya. Jadi, kalau balik, keluarga Mamanya bisa menagih belis berupa 10 ekor sapi.

Ayahku juga pernah cerita tentang belis. Tapi, yang aku ingat--karena bikin gondok-- belis ini sering dipakai untuk merendahkan perempuan di kampungnya. Jika terjadi konflik, keluarga laki-laki bisa mengeluarkan kata-kata yang menurutku nggak pantas. Dan, ayahku pernah mengatakan itu ketika ada masalah keluarga. "Apa itu perempuan, kita tukar dengan kerbau juga." Wah wah wah.

Dari cerita dengan teman-teman perempuan lain, aku tahu bahwa belis ini membuat ibu-ibu di Flores sering di-flungku atau dipukul. Sebab, si suami merasa berhak melakukan apa saja pada istrinya, seperti dia bisa berbuat sesukanya pada kerbau dan teman-temannya itu. Mengerikan.

Belis di NTT itu beragam bentuknya mulai dari hewan--sapi, babi, kuda, kerbau, kambing hingga gading. Ini di luar berbagai syarat mulai dari uang logam emas dan lainnya. Belum lagi dengan uang air susu. (Pamrih nggak sih, Mam?) Masing-masing daerah punya aturan berbeda.

Nah, soal gading, juga unik. Semua orang juga tahu bahwa di Flores itu nggak ada gajah. Ternyata aku baru tahu bahwa gading yang ada di Flores itu berputar-putar saja dari keluarga ke keluarga lain. Singkat kata, gading yang diterima kelurga perempuan akan dipakai oleh anak laki-laki di keluarga itu untuk belis bagi perempuan lain. Begitu seterusnya.

Beberapa waktu silam aku juga ikut acara pertunangan keponakanku. Dia perempuan. Dari situ aku juga belajar tentang belis ala Timor Timur. Hmmm aku lupa persis detailnya, capek saya he he. Tapi yang pasti aku juga tahu bahwa belis itu menunjukkan penghargaan keluarga laki-laki terhadap calon menantu dan keluarganya. Itu diwujudkan dengan barang.

Wajar saja jika muncul kalimat seperti ini, "Masak anak gadis saya cuma dihargai segini." Atau yang lebih mengerikan lagi, "Wah kalau begitu kemahalan, kita cari perempuan yang lain saja." "Jangan mau dengan perempuan dari keluarga itu, belisnya mahal."

Balik lagi ke temanku tadi, aku yakin dia cuma bercanda. Pasti ada alasan lain hingga Papanya tidak pulang ke kampung halamanya sekitar 15 tahun. Lagian, temanku ini sudah jadi warga negara Belanda. Keluarga besarnya pindah warga negara dan menetap di Negeri Kincir Angin itu sejak dia berusia dua tahun. Dan, 29 Maret kemarin, temanku ini ulang tahun yang ke-34 lo :).

Aku tidak bisa menahan ketawa karena cerita belis itu justru keluar dari temanku yang menurutku lebih dekat dengan budaya Eropa. O o jangan-jangan dia sedang mempersiapkan belis nih. Mudah-mudahan nggak bikin dia bankroet he he he.

Iya, ya, mungkin aku terlalu ekstrem. Tapi, menurut aku masalah ini harus dilihat dengan cara ini. Aku yakin, belis ini punya pesan bahwa pernikahan itu berharga dan tidak mudah. Karena itu, dibuatlah berbagai syarat yang kadang tidak masuk akal. Di salah satu daerah di Rote misalnya, yang aku dengar (bisa saja aku salah lo he he) calon menantu harus makan nasi setengah matang yang dimasak dengan minyak babi. (Apa hubungannya dengan perkawinan coba?)

Aku melihat belis sebagai salah satu adat yang perlu dilestarikan tapi dengan syarat yang masuk akal. Sapi, gading, atau uang perak itu memang sangat berharga. Tapi, itu bukan alasan untuk hitung-hitungan. Apalagi menjadikan perempuan seperti barang. Di sini, aku senang sekali dengan gerutuan J-Lo tentang Love Don't Cost A Thing.

Menurutku pernikahan sama dengan memberi diri. Itu melampaui segala hal. Terlalu berharga. Tidak ternilai.

Atau ada yang bisa mematok harga dirinya? Katakan, berapa? Bisa ditawar? Kok seperti pasar ya?????

Wednesday, March 29, 2006
Manusia Pagi Buta

Masa prapaskah kali ini benar-benar tak mulus. Aku belum sekalipun ikut jalan salib. Alpa Rabu Abu. Nggak ada pantang, apalagi puasa. Padahal, aku berencana merayakan Kamis Putih, Jumat Agung, hingga Paskah, April nanti di Kupang, hiks.

Untuk memperbaiki bopeng-bopeng itu, aku berikrar untuk kembali setia. Dimulai dengan misa pagi selama aku masuk pagi. Ini persoalan berat. Aku benci bangun pagi he he. Nggak ada alasan baik bagiku untuk itu. Tapi, sekali lagi aku mau setia.

Hari pertama lancar. Aku bangun semangat. Alarm bunyi di angka 05.15 WIB. Hujan lebat. Sepanjang jalan aku bernyanyi lagu Lingkupiku. Aku mengulang-ulang bait "Di saat badai bergelora, ku akan terbang bersamaMu. Kaulah Raja alam semesta. Ku tenang s'bab Kau Allahku." Hmm, pagi begitu menawan dan tenang. Banyak juga orang di gereja.

Ternyata jadi manusia pagi buta itu menyenangkan. Bisa bikin lebih banyak hal lagi. Aku bahkan bisa ke sana ke mari sebelum kantor. Dan, aku sakit dong, he he he. Terlalu bersemangkat kali. Tapi, aku mau setia.

Hari kedua juga lancar. Aku semangat. Lagu Lingkupiku juga terus bergema di dalam hatiku. Di gereja banyak orang juga. Di rumah aku bisa bikin sarapan. Ya, menyemir mentega di roti terus ditaburi mesis cokelat, kan enteng :). Aku bahkan sempat tidur satu jam sebelum ke kantor. Menyegarkan. Aku mau setia.

Rabu ini, hari ketiga. Cuaca bagus. Nggak ada hujan. Alarm berbunyi di waktu yang sama. Tapi aku tetap terlelap. Tadi malam aku tidur sekitar jam setengan satu pagi (Hello nggak usah cari alasan). Semuanya berantakan.

Aku sedih, kok bisa nggak setia begitu ya. Baru hari ketiga. Dan, mataku tertuju pada Mazmur 145 tepat di ayat 8 dan 9. The Lord is full of grace and pity; not quickly angry, but great in mercy. The Lord is good to all men; and his mercies are over all His works.

Aku sungguh masih mau setia...

Monday, March 27, 2006
Sing Pusing Sing

Kenapa ya kepalaku pusing seharian. Hmmmm, kayaknya ini karena peralihan dari masuk malam ke pagi. Huuuuu, nggak enak banget.

Padahal, sejak bangun tidur pukul 05.15 WIB tadi aku merasa sehat-sehat saja. Aku malah bersemangat misa pagi menembus hujan yang gede itu. Hmm, iya, mungkin karena kakiku kedinginan kena hujan kali.

Aku mulai merasa nggak enak body saat dalam perjalanan ke Pasar Jatinegara. Aku mau beli obat Cina buat mama sekalian kirim ke kantor pos dekat situ. Sepanjang jalan aku sudah merasa ada yang salah. Mungkin terlalu semangat kali ya.

Pusingnya makin payah setelah mendekati sore. Tapi, ketawa ketiwi jalan terus dong. Aku juga sempat makan bakwan di depan kantor. Kali ini, aku, Rio dan Kang Ian makan di tengah taman. Bakwan campur polusi memang enak he he he.

Akhirnya benar. Aku muntah-muntah di kamar mandi. Kayaknya aku harus cek kesehatan nih. Biar tahu persis apa yang salah di tubuhku. Soalnya, belakangan aku cepat drop. Flu nggak sembuh-sembuh. Masih serak juga, bahaya, kelamaan nih. Aku ingin cepat-cepat pulang dan merebahkan diri di atas seprai pinky dinky.

Semakin malam mulai reda pusingnya. Meski kepalaku masih sedikit nyut-nyut, tapi nggak terlalu mengganggu. Johny Bryan baik banget lagi. Mau puterin delapan lagu Samsons, nonstop. Mulai dari Kehadiranmu, Yang Tlah Lalu, Naluri Lelaki, Cinta, Dengan Nafasmu, Bukan diriku, Akhir Rasa, sampai Kenangan Terindah. Meski suara Bams yang aduhai itu rada ketutup dengan berbagai musik dari dua komputer lain yang disetel kencang dengan musik yang beda.

Aku jadi ingat, adikku Jenny. Dia masih punya utang. Dia berapa kali berjanji mau memijat aku, tapi belum ditepati. Neni selalu janji surga akan memijatku agar aku mau pergi dengannya. Dia sudah tahu aku nggak kuat jalan-jalan jauh, tapi masih memaksa. Kemarin, ketika mencari pesanan adikku--yang mestinya tugas dia--kakiku sampai kram di mal. Dan, dia belum juga memijatku.

Kesempatan emas nih untuk menagih janjinya. Aku segera sms mengingatkan dia. Mau tahu jawabannya. Dia menjawab begini: "Hmmm lo kalau sakit begini baru ingat gue. Pulang cepat, gue tunggu di rumah. Naik taksi aja." Hmmm adikku memang malaikat, thanks ya, Neni sayang :)

Tapi, masih sekitar dua jam lagi baru bisa pulangaaanggggg.

Saturday, March 25, 2006
Lagi Em

Pagi-pagi Jenny, adikku, sudah sms. Dia mengingatkan aku untuk membeli pesanan adikku Wisye biar bisa dititipkan ke saudaraku dari Kupang yang sedang tugas di sini. Aku menolak karena takut salah beli, lagian selama ini dia yang berurusan dengan itu. Eh, dia meneleponku dengan nada tinggi dan menutup telepon duluan. Kujar ajar banget nih anak.

Ya, memang dia harus menemani saudaraku belanja. Pasti makan waktu dan tenaga. Tapi, dia juga tahu bahwa aku nggak mungkin ikut mereka, juga dia yang tahu persis pesanan Wisye. Aku nggak mau ah kecapekan dan membatalkan lagi PAA. Aku sudah tiga kali nggak PAA. (Maaf ya, Tuhan, hiks) Mungkin dia lupa bahwa dia yang terakhir sms: "Hei anak-anakmu sudah datang nih, mau PAA. Mana tanggung jawabmu ibu guru?"

Beberapa detik setelah dia menelepon, Kak Ida sms. Dia memberikan pesan yang menguatkan. Lihat deh, hanya selang beberapa helaan napas aku menerima dua pesan dengan nada berbeda. Yang satu bikin bete, penuh roh kuda dan yang satu begitu lembut, penuh Roh Kudus.

Sama persis dengan keadaanku di kantor. Dari kaca aku melihat air jatuh perlahan menyirami bunga-bunga dan rumput di taman sebelah. Rintik-rintik. Sementara aku kedinginan dan batuk-batuk dalam ruangan berasap rokok. HP-ku--baru lo, dikasih Neni, thanks ya, adik :)--juga menjerit battery low.

Aku dan Neni memang dalam posisi yang nggak enak. Juga sama-sama sedang M. Perlu ketawa dan senyum, yang banyak, hari ini.

Horeeee, akhirnya PAA lagi :)

Wednesday, March 22, 2006
Guling Kecilku

Nggak terasa sudah hampir sebulan aku nggak bertemu tiga keponakanku. Kemungkinan besar kami masih belum bisa bercerita muka dengan muka dalam beberapa pekan mendatang, hiks. Seperti ada yang kurang.

Sekitar 12 hari tiga malaikatku itu ke Malang, Jawa Timur. Ada acara peringatan lima tahun kematian Yang Kung mereka. Hampir setiap hari kita sms-an. Beberapa kali aku kehabisan pulsa saat bicara atau sms gara-gara ingin mendengar suara dan cerita mereka. Tekor he he.

Sekarang mereka sudah kembali ke Bogor, Jawa Barat. Dalam perjalanan pulang Moses sudah wanti-wanti agar aku ke tempat mereka. Kalau Wulan lebih pengertian. Dia bilang kalau libur baru kita ketemuan. "Tapi bilangin Neni--adikku-kirim sepatuku lewat Papa," kata dia berulang kali. Adikku janji memberi hadiah sepatu waktu Wulan ulang tahun, Februari silam. Tapi, sampai sekarang belum beli juga. Memang enak janji sama mereka, kalau nggak dikasih ya, harus siap diteror. (Neni, buruan beli wooooi!!!)

Belakangan aku memang rada bagaimana ya. Dibilang sibuk nggak, tapi kok sepertinya kurang waktu. Mungkin karena "urusan dalam negeriku" belum kelar-kelar juga. Mungkin aku baru bisa tenang empat bulan lagi, huuuu. Sudah begitu aku harus mengikuti beberapa kegiatan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Terpaksa deh mengorbankan hari libur. Jadilah, seperti biasa, suaraku serak lagi.

Biasanya aku ke tempat mereka minmal sebulan sekali. Mereka memang lebih sering ke tempatku. Setiap mau pulang, aku selalu mendengar kata-kata yang sama dari WulMosNer. "Kapan ke rumahku?"

Terakhir, Moses kecilku malah sakit di rumahku. Mereka ke tempatku karena mau menghadiri ulang tahun ayah permandian Wulan yang jatuh pada Minggu. Aku dan Jenny nggak ikut. Tapi, kita semua bertemu di depan pintu. Aku melihat Moses yang kala itu berbaju kaos merah duduk dengan cemberut. Hmmm pasti sebal karena menunggu kita. Lagian, tumben pulangnya cepat.

Tiba-tiba Jenny berteriak meminta aku ke atas. "Anak kesayanganmu memanggil," kata Neni. Ternyata Moses sakit. Badannya panas. Dia tidur dengan baju merahnya itu. Hmmm mulai aneh-aneh nih. Dia kan harus sekolah. Mata gedenya itu melihatku dengan sedikit kuyu. Tanpa bicara pun aku tahu dia ingin aku bilang ke mama dan papanya agar dia menginap di tempatku. Aku juga senang he he. Asyik bisa tidur dengan guling kecilku yang cerewet itu. Eittt, di depan mereka aku tetap jaim dong :).

"Nera juga sakit," kata Nera melihat iri Moses. "Dada Nera naik turun," kata Nera.

"Ya, kalau dada nggak berdetak, ya, mati. Itu bukan sakit," kata Moses. Yeeeee, sakit-sakit masih aja bertengkar. Keputusan akhir Moses menginap di tempatku dan dijemput mamanya hari Selasa. Setelah Wulan dan Nera pulang, Moses langsung ambil posisi di depan komputer. Mulailah dia menulis dan menggambar setelah minum obat penurun panas.

Menyenangkan sekali berdua saja dengan Moses. Aku seperti melihat aku kecil dan ayahku. Mosesku ini juga suka bertanya macam-macam. Di saat begini aku bisa mengajari dia banyak hal. Kita baca Alkitab sama-sama dan aku menyuruh dia membaca berkali-kali, "Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat."

Meski diam aku tahu dia mengingat semua ucapanku dan aku tinggal menunggu hasilnya nanti. Sebab, sebelum ke pesta ulang tahun, kita sempat marahan. Tanpa alasan jelas dia nggak mau bicara denganku dan memasang muka perang. Ketika mama dan papanya siap-siap balik, akhirnya keluar juga pengakuannya. "Moses marah sama Ne karena masak Nera terus-terus dibilang cantik. Moses kan iri hati." Sebaliknya, Nera pulang dengan kesal juga. "Moses keenakaaannnnn, nginap di Ne terus. Ne nggak sayang Neraaaaa." Capek saya.

Aku senang menginap di rumah mereka. Di sana aku bisa jadi orang normal. Hidup di rumah benaran. Ada makanan tiga kali sehari, matiin HP, salada--salad khas Timor Timur--plus jagung goreng manis, tidur panjang, terus bermain dan berantem dengan mereka sampai bosan. Yang bikin aku lebih senang lagi, setiap mereka--Abangku juga--masuk rumah, yang pertama ditanyai, "Ne di mana?" Dasar manja hahahahah.

Thursday, March 16, 2006
Cantik Mana?

Aku menahan tawa membaca sms adikku, Wisye, kemarin. Aku sedang makan pizza dengan sahabatku Lisa. Dia bilang begini. "Ne kira-kira bulan di Kupang dan di Jakarta sama nggak? Kalau sama coba, lihat ke luar, bulan terlalu cantik."

Tumben adikku bicara tentang bulan. Menarik nih. Rupanya dia sedang duduk di teras rumah orang tuaku dan menikmati purnama. Dia memang duduk menunggu bulan bergeser hingga terlihat di atas teras rumah. "Nggak bosan-bosan," kata dia.

Aku dan Lisa tertawa membaca smsnya. Aku sempat memandang ke luar lewat kaca. Namun dewi malam tidak kelihatan.

Salah satu hal menyenangkan saat masuk malam adalah melihat bulan. Entah saat duduk dibonceng sepeda motor. Atau saat duduk di bangku terdepan angkutan umum. Atau juga dengan mengintip bulan dari kaca samping kendaraan. Semuanya menarik dan selalu bikin aku menelan liur.

Sehari sebelumnya aku menikmati bulan saat melewati jembatan penyeberangan di depan kantor. Waktu itu sekitar jam 22.00 WIB lebih. Bulan menyembul di antara awan yang pecah-pecah. Kata Mamaku, bulan di antara pecahan awan pertanda banyak ikan. Saat itu nelayan melaut dengan gembira karena pulang dengan perahu penuh ikan. Aku nggak pernah membuktikan omongan itu sampai sekarang. Namun, setiap melihat bulan di antara pecahan awan, aku juga ikut gembira untuk nelayan.

Aku membalas sms Wisye, "Bulan di sini terlihat jauh dan lebih kecil." Bulan di sini juga tidak memantulkan cahaya penuh matahari seperti di Kupang. Bulan di sana begitu besar, seperti hosti raksasa.

Kemarin saat menunggu kendaraan umum, aku kembali memandangi langit. Bulan cantik seperti biasa. Purnama. Tapi, kali ini tidak ada pecahan awan. Bulan bundar sempurna di langit yang bersih dari awan. Aku menikmati lagi saat menyeberang jembatan penyeberangan.

Bulan selalu cantik. Entah saat purnama, terpele mendung, tersaput awan atau berbentuk sabit. "Cantik mana bulan di Jakarta dan bulan di Kupang?" Aku tidak punya pilihan. Bulan di Kupang lebih cantik, lebih gede, lebih terang, lebih dekat. Saking dekatnya rasanya aku bisa menyentuh dan memetiknya. Aku juga sering berlama-lama duduk di teras menunggu dia bergerak dari atap-atap rumah tetangga sampai berada tepat di atas teras rumah. Dan menunggu dia mengambil posisi menempel di antara pohon-pohon dengan warna gradasi kuning yang makin terang dan terang. Tak butuh lampu.

Wah wah, aku juga jadi rindu melihat pelangi. Di mana kau pelangi???????

Wednesday, March 15, 2006
Berteduh

Hari ini, salah satu sahabatku, terbang mengikuti suaminya di Australia. Dia pergi setelah sekitar empat bulan mengurus visa permanen residental. Nggak tahu kapan lagi kita akan bertemu. Terakhir dia menginap dua hari di rumahku bulan kemarin. Dia datang bersama ibunya dan menginap di rumah saudaranya untuk mengurus visa. Namun, dia masih menyisakan hari-harinya untuk bercerita banyak denganku dan mengenang kembali berbagai hal yang mendekatkan kita. Janjinya sih kita--gue kali--akan rajin sms, chatting, dan berbalas email.

Kemarin salah seorang sahabatku kembali ke suaminya setelah "menginap" sepuluh hari di rumahku. Dia kembali bersama jagoannya setelah dijemput suaminya tadi malam. Nggak tahu kapan lagi kita bisa tidur di antara si kecil yang jago menendang saat tertidur pulas itu. Mudah-mudahan ini "pelarian" yang pertama dan terakhir.

Saat ini, salah satu saudariku sedang sendirian di rumahku. Dia sedang beristirahat setelah pergi diam-diam dari rumah majikannya di negeri Singa karena tidak tahan diperlakukan bak budak. Dia datang tanpa membawa gaji meski sudah sembilan bulan bekerja pada pasangan dengan tiga anak itu. Puji Tuhan dia datang dalam kondisi sehat dan tidak kurang satu apa pun. Aku berharap dia benar-benar bisa menikmati masa istirahatnya dan kembali ke rumah orang tuanya dalam kondisi yang benar-benar fresh.

Aku senang rumahku menjadi tempat berteduh bagi siapa pun. Menjadi tempat transit tanpa mengenal jam. Meski, untuk yang terakhir aku juga kadang-kadang tidak enak juga dengan dua adikku, terutama yang cowok. Sebab, tamu yang datang itu kebanyakan perempuan. Kalau pun laki-laki, pasti sepupu atau keponakan.

Sekali waktu, mereka protes karena aku kedatangan dua sahabat saat subuh. Dua cewek ini datang diantar Pak Hansip lagi hehehe. Mereka terganggu. Tap, udah lama itu. Sekarang mereka makin pengertian pada kakaknya yang seperti Amelia (lagu anak-anak yang tidak pernah aku ajarkan ke sahabat-sahabat kecilku karena lirik yang tidak mungkin banget: tak pernah sedih riang selalu sepanjang masa) ini :) Mereka juga sudah ketularan untuk menawarkan dan membuka pintu bagi siapa saja.

Di saat rumahku menjadi tempat berteduh, tiga pekan berturut-turut aku malah menghabiskan akhir pekanku bersama tante dan empat sepupuku di kediaman mereka di Cileduk. Menemani mereka setelah kepergian Omku. Aku tidak yakin sampai kapan bisa ada bersama mereka. Tapi, terakhir aku pulang dari rumah Tante dengan hati penuh senyum. Mau tahu kenapa? Karena Samsons.

Tanteku yang cantik itu begitu tegar. Aku yakin pasti masih ada air mata saat-saat sepi. Tapi, aku juga lega melihat Tanteku sudah mulai menyanyi. Dan, Kenangan Terindah dari Samsons tidak saja menyentuh Tante tapi sudah menjadi lagu peneduh pekan-pekan ini.

Aku yang lemah tanpamu
Aku yang rentan karena
Cinta yang tlah hilang darimu
Yang mampu menyanjungku

Selama mata terbuka
Sampai jantung tak berdetak
Selama itu pun
Aku mampu tuk mengenangmu

Darimu...
Kutemukan hidupku
Bagiku...
Kau lah cinta sejati

Ooh...

Bila yang tertulis untukku
Adalah yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan
Yang terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku
Meninggalkan jejak hidupku
Yang tlah terukir abadi
Sebagai kenangan yang terindah

Wednesday, March 08, 2006
"I will exalt you, o LORD, for you lifted me out of the depths and did not let my enemies gloat over me."
~Psalm 30:1~

Monday, March 06, 2006
Jujur Kacang Ijo

Berkata benar itu baik, tapi tidak semua kebenaran baik untuk dikatakan. Benar nggak? Aku sering menemukan masalah dalam hal berkata benar. Susah sekali bilang terus terang tentang sesuatu. Dalam bahasaku sehari-hari bicara jujur kacang hijau alias nggak bohong.

"Ne lo kangen gue nggak?" Hmmmm. Capek saya. Kenapa sih pake ada pertanyaan seperti itu. Kalau aku kangen, aku pasti bilang. Nggak perlu ditanya. Biasanya aku diam untuk menghentikan pertanyaan. Tapi, kadang-kadang ada juga yang memaksa agar aku bilang bahwa aku nggak kangen. Padahal, jawaban itu akan bikin dia sedih (nggak marah kan?) Aneh-aneh saja.

Aku lebih memilih diam daripada berbohong. Aku memilih berbicara jujur daripada omong kosong. Tak peduli risikonya. Ini aku lakukan bukan supaya aku tidak dibohongi. Memang lebih sakit, mengetahui seseorang berbohong. Sebab, aku pernah terjebak dalam harapan agar orang tidak berbohong padaku karena aku juga tidak berbohong padanya. Itu sudah kuno.

Sekarang aku berusaha untuk jujur kacang ijo karena itu lebih membuat aku bebas. Ini membuat aku lebih santai jika dibohongi. "Silakan berbohong, tapi aku tidak mau ikut-ikutan bohong."

Memang aku masih pontang-panting untuk belajar jujur kacang hijau. Kadang-kadang kebohongan itu keluar begitu saja tanpa proses edit. Jika satu kebohongan lolos, pasti teman-temannya ingin keluar juga. Belum lagi jika aku tak sadar bahwa aku sedang berbohong. Atau aku malah main mata dengan kebohongan itu, hiks.

Aku nyaris tahu kebohongan sahabat-sahabat kecilku. Dengan melihat mata atau gelagatnya aku tahu bahwa mereka sedang berbohong. Dari nada bicara aku juga tahu bahwa sedang dikadalin adik atau abangku. Kayaknya jagoan banget ya. Tapi, mereka juga tahu kalau aku sedang berbohong :). Gayanya kebaca. Dan, cepat atau lambat salah satu dari kita akan berkata jujur kacang ijo juga.

Beberapa hari silam aku bicara terus terang pada seseorang tentang pikiranku. Aku nggak menyangka dia tersinggung. Aku juga es termos, eh emosi melihat cara dia memperlakukanku. Bukannya bilang terus terang kalau marah atau sebal, malah menyindir. Ampun deh. Tapi, semuanya sudah beres. Meski aku nggak senang ending-nya. Masalah kita beres setelah aku balas menyindir, huuuu. Nggak apa-apa, bendera kuning tanda perdamaian sudah berkibar. Peace.

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community