Cantik Mana?
Aku menahan tawa membaca sms adikku, Wisye, kemarin. Aku sedang makan pizza dengan sahabatku Lisa. Dia bilang begini. "Ne kira-kira bulan di Kupang dan di Jakarta sama nggak? Kalau sama coba, lihat ke luar, bulan terlalu cantik."
Tumben adikku bicara tentang bulan. Menarik nih. Rupanya dia sedang duduk di teras rumah orang tuaku dan menikmati purnama. Dia memang duduk menunggu bulan bergeser hingga terlihat di atas teras rumah. "Nggak bosan-bosan," kata dia.
Aku dan Lisa tertawa membaca smsnya. Aku sempat memandang ke luar lewat kaca. Namun dewi malam tidak kelihatan.
Salah satu hal menyenangkan saat masuk malam adalah melihat bulan. Entah saat duduk dibonceng sepeda motor. Atau saat duduk di bangku terdepan angkutan umum. Atau juga dengan mengintip bulan dari kaca samping kendaraan. Semuanya menarik dan selalu bikin aku menelan liur.
Sehari sebelumnya aku menikmati bulan saat melewati jembatan penyeberangan di depan kantor. Waktu itu sekitar jam 22.00 WIB lebih. Bulan menyembul di antara awan yang pecah-pecah. Kata Mamaku, bulan di antara pecahan awan pertanda banyak ikan. Saat itu nelayan melaut dengan gembira karena pulang dengan perahu penuh ikan. Aku nggak pernah membuktikan omongan itu sampai sekarang. Namun, setiap melihat bulan di antara pecahan awan, aku juga ikut gembira untuk nelayan.
Aku membalas sms Wisye, "Bulan di sini terlihat jauh dan lebih kecil." Bulan di sini juga tidak memantulkan cahaya penuh matahari seperti di Kupang. Bulan di sana begitu besar, seperti hosti raksasa.
Kemarin saat menunggu kendaraan umum, aku kembali memandangi langit. Bulan cantik seperti biasa. Purnama. Tapi, kali ini tidak ada pecahan awan. Bulan bundar sempurna di langit yang bersih dari awan. Aku menikmati lagi saat menyeberang jembatan penyeberangan.
Bulan selalu cantik. Entah saat purnama, terpele mendung, tersaput awan atau berbentuk sabit. "Cantik mana bulan di Jakarta dan bulan di Kupang?" Aku tidak punya pilihan. Bulan di Kupang lebih cantik, lebih gede, lebih terang, lebih dekat. Saking dekatnya rasanya aku bisa menyentuh dan memetiknya. Aku juga sering berlama-lama duduk di teras menunggu dia bergerak dari atap-atap rumah tetangga sampai berada tepat di atas teras rumah. Dan menunggu dia mengambil posisi menempel di antara pohon-pohon dengan warna gradasi kuning yang makin terang dan terang. Tak butuh lampu.
Wah wah, aku juga jadi rindu melihat pelangi. Di mana kau pelangi???????
Aku menahan tawa membaca sms adikku, Wisye, kemarin. Aku sedang makan pizza dengan sahabatku Lisa. Dia bilang begini. "Ne kira-kira bulan di Kupang dan di Jakarta sama nggak? Kalau sama coba, lihat ke luar, bulan terlalu cantik."
Tumben adikku bicara tentang bulan. Menarik nih. Rupanya dia sedang duduk di teras rumah orang tuaku dan menikmati purnama. Dia memang duduk menunggu bulan bergeser hingga terlihat di atas teras rumah. "Nggak bosan-bosan," kata dia.
Aku dan Lisa tertawa membaca smsnya. Aku sempat memandang ke luar lewat kaca. Namun dewi malam tidak kelihatan.
Salah satu hal menyenangkan saat masuk malam adalah melihat bulan. Entah saat duduk dibonceng sepeda motor. Atau saat duduk di bangku terdepan angkutan umum. Atau juga dengan mengintip bulan dari kaca samping kendaraan. Semuanya menarik dan selalu bikin aku menelan liur.
Sehari sebelumnya aku menikmati bulan saat melewati jembatan penyeberangan di depan kantor. Waktu itu sekitar jam 22.00 WIB lebih. Bulan menyembul di antara awan yang pecah-pecah. Kata Mamaku, bulan di antara pecahan awan pertanda banyak ikan. Saat itu nelayan melaut dengan gembira karena pulang dengan perahu penuh ikan. Aku nggak pernah membuktikan omongan itu sampai sekarang. Namun, setiap melihat bulan di antara pecahan awan, aku juga ikut gembira untuk nelayan.
Aku membalas sms Wisye, "Bulan di sini terlihat jauh dan lebih kecil." Bulan di sini juga tidak memantulkan cahaya penuh matahari seperti di Kupang. Bulan di sana begitu besar, seperti hosti raksasa.
Kemarin saat menunggu kendaraan umum, aku kembali memandangi langit. Bulan cantik seperti biasa. Purnama. Tapi, kali ini tidak ada pecahan awan. Bulan bundar sempurna di langit yang bersih dari awan. Aku menikmati lagi saat menyeberang jembatan penyeberangan.
Bulan selalu cantik. Entah saat purnama, terpele mendung, tersaput awan atau berbentuk sabit. "Cantik mana bulan di Jakarta dan bulan di Kupang?" Aku tidak punya pilihan. Bulan di Kupang lebih cantik, lebih gede, lebih terang, lebih dekat. Saking dekatnya rasanya aku bisa menyentuh dan memetiknya. Aku juga sering berlama-lama duduk di teras menunggu dia bergerak dari atap-atap rumah tetangga sampai berada tepat di atas teras rumah. Dan menunggu dia mengambil posisi menempel di antara pohon-pohon dengan warna gradasi kuning yang makin terang dan terang. Tak butuh lampu.
Wah wah, aku juga jadi rindu melihat pelangi. Di mana kau pelangi???????