<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Thursday, June 30, 2005
Jaka Sembung

Kadang-kadang penyakitku untuk bicara apa saja yang terlintas di pikiran kumat. Seperti kemarin ketika aku chatting dengan seorang teman. Kita memang sudah lama tidak kontak. Begitu ketemu malah bicara yang nggak jelas. Topik obrolan loncat sana, loncat sini. Belum beres satu cerita sudah masuk ke tengah kisah yang lain. Baru mau serius bicara tentang satu masalah, eh, mundur lagi ke akhir omongan yang lain. Begitu terus.

Memang hanya orang-orang tertentu yang bisa meladeniku di saat aneh seperti ini. Yang pasti kakak, adik, dan sahabat-sahabatku mampu menimpali setiap omonganku. Sebab, mereka juga menemukan kelucuan yang sama. Bahkan, kadang-kadang kata atau ide yang keluar dari mereka bisa lebih liar atau tidak terpikirkan. Pokoknya apa yang kita bicarakan tak bakal lari dari tujuan utama bisa bikin ketawa.

Aku menikmati saat-saat ini. Sebab, syaraf di otakku seperti sedang dalam posisi siaga satu. Semuanya siap merespons apa saja dengan tujuan untuk lucu-lucuan. Semata-mata untuk tersenyum atau tertawa. Aku bahkan tidak bisa menunjukkan apa yang kita obrolkan, karena semuanya hilang begitu saja. Obrolannya bisa meliuk ke kiri, ke kanan, ditarik mundur, maju, atau mentok. Tak perlu pakai logika.

Aku juga nggak menyangka temanku yang satu ini bisa tahan bicara denganku dalam kondisi begini. Meski beberapa kali dia berusaha menghubungkan omonganku dengan logika. "Logikanya kan begitu," kata dia. Oh, please deh! Capek saya! Nggak lucu!

Yang pasti aku senang banget. Sebab, semua yang keluar dari diriku diawali, ditengahi, dan diakhiri dengan senyuman. Kadang-kadang dengan tertawa lebar, tanganku yang satu menutup mulut dan yang lain memegang perut.

Aku nggak bisa meraba temanku itu happy atau nggak. Aku nggak bisa melihat ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya. Yang pasti, dia beberapa kali meledekku, ehm, malah menghinaku. Meski dengan mengikutsertakan tanda peace dan badut. Aku nggak peduli. Semua yang keluar dari dirinya aku tanggapi dengan kata atau kalimat yang justru membuatku tergelak sendiri.

Sampai akhirnya dia mengatakan, "Ini yang namanya jayuisme."

"Apaan?" kataku.

"Per-jayus-an," dia menjawab.

"Emang apa jayus?" ujarku lagi

"Jawab aja sendiri."

Aku pura-pura tak mengerti. Walau aku tahu bahwa dia bilang aku jayus. Yeeeeeeeee! Biarin!

"Masih mau cerita tentang Spongebob, nggak?" kata dia.

"Nggak, maaf, ya," aku menjawab.

"He he, kalau begitu aku jalan-jalan dulu. Cuaca lagi bagus nih."

"Dah"

"Iya, banyak yang sedang berjemur ya. Dah!"

"Yup."

Begitu deh. Kita sudah lama nggak cerita-cerita. Begitu ketemu aku sedang garing banget. Kasihan temanku ini, bisa bertahan di atas 15 menit saja sudah lumayan. Maaf ya, calon presiden--dia menyebut dirinya begitu :) Kali ini aku hanya ingin jadi jaka sembung main gitar, nggak nyambung jreng jreng!

Wednesday, June 29, 2005
Lessons from Mother Teresa

It is not how much we do, but how much love we put in the doing. It is not how much we give, but how much love we put in the giving.

There is a terrible hunger for love. We all experience that in our lives-the pain, the loneliness. We must have the courage to recognize it. The poor you may have right in your own family. Find them. Love them.

Speak tenderly to them. Let there be kindness in your face, in your eyes, in your smile, in the warmth of your greeting. Always have a cheerful smile. Don't only give your care, but give your heart as well.

If you are humble nothing will touch you, neither praise nor disgrace, because you know what you are.

If we really want to love we must learn how to forgive.


Monday, June 27, 2005
Pelangi di Wajah


Tips dandan cantik wanita Kristen:
oleskan pembersih KERENDAHAN HATI
foundation PERTOBATAN
eye shadow PENGAMPUNAN
blush-on KELEMAHLEMBUTAN dan
lipstick CINTA KASIH


Pesan singkat ini baru aku terima dari sepupuku. Lucu juga. Urut-urutannya bisa dijungkir balik kayaknya nih.

Aku jadi ingat salah seorang temanku. Waktu itu kita bertemu sekitar pukul 09.00 WIB. Dia mengenakan blus putih dan celana jin biru. Matanya diberi sedikit garisan perona biru dan pemulas bibir pink lembut. Dia terlihat segar dan menawan. Sedangkan aku baru mau pulang setelah tugas malam. Rambut disisir dengan tangan dan dijepit ke atas. Tak ada bedak. Bibirku kuberi pelembab dengan rasa permen karet agar tidak kering.

Temanku ini memandangku dengan sorot kasihan. Dia sering memandangiku begitu, hiks. Pernah sekali dia terheran-heran melihat foto di ID-ku. "Ampun, ini kamu!" kata dia, lagi-lagi dengan pandangan kasihan. Aku cuma tersenyum melihat keterkejutan itu. Mbak tukang foto saja nggak percaya bahwa obyek potret itu aku. "Gimana nggak cantik, dandan lengkap," kataku sambil tertawa.

Suatu saat ketika sedang study Bible, kembali dia mengingatkan aku soal dandan. "Orang yang nggak suka dandan adalah orang yang sombong," kata dia. Ufffffffff! "Orang yang suka dandan adalah budak kosmetik," kataku. Untunglah pembicaraan ini tidak berlanjut. Kita berdua sama-sama sadar bahwa ini tidak perlu dibahas. Bukan waktu yang tepat.

Aku memang pernah menjadi budak kosmetik semasa kuliah. Tidak percaya diri keluar rumah dan ke kampus tanpa lipstik. Untung cuma lipstik. Ketika IP-ku tidak sesuai target, aku membuat kaul tidak memakai lipstik selama satu semester. Awal-awalnya memang mengerikan. Rasanya ada yang kurang tanpa benda itu. Semua orang bisa melihat bibirku yang hitam mirip bibir perokok. Memang nggak masuk akal, tapi memang begitu. Betapa campuran minyak, bahan pengawet, dan pewarna yang cuma dapat porsi kecil di seluruh muka itu bisa membuat aku tidak pede. "Ayo, Non, sadar, bangun!"

Kaul itu membuat aku benar-benar lepas dari perbudakan kosmetik itu. Aku tidak sakit kok tanpa pemulas bibir. Komunikasiku dengan orang lain juga lancar-lancar saja tanpa pewarna di bibir, mata, tulang hidung, bawah rahang... Aku jadi ingat Ayahku yang selalu mengatakan aku cantik dalam keadaan apa pun, termasuk ketika poniku kependekan dipotong Mama.

Jujur saja aku kurang senang dandan lengkap. Capek lagi. Coba kita bikin ancar-ancar waktu yang dihabiskan untuk make-up seperti itu. Membersihkan muka kira-kira dua menit. Terus pakai alas bedak, taruhlah satu menit. Pakai bedak, blush on, eye shadow, terus apa lagi ya, oh iya, alis. Kalau bedaknya ketebalan dan tidak merata bagus, harus cuci muka dan mulai lagi ritual menggambar wajah dari awal. Kira-kira makan waktu kurang lebih 15 menit. Ini, perkiraan kasar, karena aku tidak pernah menghitung waktu yang terbuang untuk membuat pelangi di wajah.

Aku tidak alergi dengan dandan. Waktu SMU, selama dua tahun lebih aku belajar menari dan harus dandan sendiri ketika pentas. Sejak kuliah aku mengikuti beberapa kursus kecantikan singkat yang ujung-ujungnya membeli produk yang bikin acara itu. Kadang-kadang aku dan adikku, Jenny, tes make up di rumah, jika salah satu dari kita menemukan tren riasan dan gaya rambut baru. Ganjen banget. Tapi, ini benar-benar aku lakukan untuk diriku sendiri.

Lumayan juga, pengetahuan ini aku pakai untuk hal-hal tertentu, seperti saat pernikahan, acara Natal bersama, atau pertemuan-pertemuan penting. Kadang-kadang juga mendandani orang dalam keadaan genting. Sekali lagi, ini jarang sekali. Lagian, kan ada salon, tinggal bayar selesai. Keahlian ini sering aku pakai untuk menutupi mataku yang sembab, karena kelenjar air mataku over produksi. Tapi, kadang-kadang aku juga keluar rumah dengan mata bengkak habis menangis. "Emang mata siapa?"--pinjam istilah keponakanku, Nera.

Ada saat-saat aku menikmati berdandan cantik. Menikmati saat teman-temanku pangling melihat penampilanku. Menikmati semua sensasi yang aku rasakan ketika wajahku disapu beberapa warna untuk mempertajam kecantikan dan menutupi kekurangan--begitu kata Mbak yang memberi kursus.

Pada saat yang sama aku juga tertawa, masak orang lebih senang melihat wajah yang dipenuhi warna. Bahkan, ada yang tak berani memperlihatkan wajah aslinya. Aku juga kaget mengetahui dalam paket bantuan dari gerejaku, ada lipstik dan bedak. Aku tak bisa membayangkan jika bayi yang baru lahir didandani, pasti kecantikannya hilang.

Nggak apa-apa deh ada orang yang mengasihaniku karena aku tidak berdandan. Biarlah temanku tetap mencapku sombong gara-gara memakai gincu kalau aku ingin saja. Aku juga senang melihat temanku cantik dengan atau tanpa dandanan. Sebab, aku lebih mengasihani diriku jika kembali ke masa-masa dijajah kosmetik. Tidakkkkkk! Kalau pun aku berdandan, menaburkan pelangi di wajahku, itu karena aku ingin. Dan saat itu, biarlah kosmetik bekerja untukku. Jangan di balik-balik.

Wednesday, June 22, 2005
More Precious Than Silver
By Lynn DeShazo

Lord You are more precious than silver
Lord You are more costly than gold
Lord You are, more beautiful than diamonds
And nothing I desire compares with You

And who can weigh the value of knowing You?
Who can judge the worth of who You are?
Who can count the blessings of loving You?
Who can say just how great You are?


Friday, June 17, 2005
Hatiku Penuh

Aku sedang dijalari perasaan aneh. Merasa dekat, akrab, dan mengasihi seseorang yang sama sekali belum aku kenal dan sentuh. Aku baru saja menulis surat buat dia. Dadaku terasa penuh. Hatiku bergetar terus.

Kadang-kadang aku merasa berada di tempat asing. Meski itu bisa kantor, kampus, rumahku sendiri. Aku seperti terlempar ke satu masa yang pernah aku lihat sebelumnya. Masa yang pernah aku alami sebelumnya. Deja Vu kata orang Prancis. Baju yang aku pakai, warna ruangan, penempatan kursi, suara musiknya, dan orang-orang di masa yang aku lihat itu persis sis sis. Sebab, moment itu kembali mengingatkan aku keadaan yang aku pernah aku alami atau bisa sebaliknya.

Saat ini aku seperti sedang melakukan sesuatu yang pernah aku lakukan sebelumnya. Melakukannya dengan hati yang penuh. Kaki dan tanganku dingin. Ini tidak ada hubungan dengan kebiasaan baruku memakai kaus kaki di rumah, termasuk di siang hari.

Aku sengaja menulis ini untuk meyakinkan bahwa ini bukan ilusi semata. Sebab, orang yang aku kenal cukup lama secara hati ini membawa aku pada hal-hal yang selalu membuat mataku berair. Aku merasa ada ikatan yang lembut yang menyedot aku untuk mengenal dirinya. Mungkin tidak secara fisik, tapi aku nggak tahu nanti. Semuanya mungkin.

Hari ini aku mengenal dia lebih dekat lagi. Mengetahui pikiran dan perasaannya. Ikut hanyut dalam pengalamannya. Pada waktu yang sama membuat hatiku terpukul-pukul karena mengingatkan aku pada diriku sendiri. Menyentakku lagi atas hal-hal yang sering luput dalam kehidupanku. Membawa aku kembali pada hal-hal dasar yang terus menjadi pergumulanku. Mengenai doa, Firman, dan praktik kasih yang tak habis-habis digali, dicerna, dan dikunyah hingga lembut sekali seperti bubur bayi.

Hatiku masih penuh. Mungkin ukuran hatiku yang biasa S (small) sedang M (medium) sekarang. Sebentar lagi aku akan menumpahkan semua sukacita ini pada Lisa, sahabatku, sambil mungkin makan pie atau babi kecap nyam nyam.

Aku akan bilang pada Lisa bahwa aku bertemu dengan seseorang yang rasanya sudah aku kenal dan kasihi sebelumnya. Hari ini dia mengingatkan aku untuk bermegah dalam kelemahan dan bersandar total pada Allah.

II Korintus 12:9-10
Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.

Amsal 3:5
Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

Zakharia 4:6
Maka berbicaralah ia, katanya: "Inilah firman TUHAN kepada Zerubabel bunyinya: Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman TUHAN semesta alam.


Hatiku penuh. Aleluia, yeah!


Wednesday, June 15, 2005
Bantal Beraroma Matahari

Bau tanah basah di bawah jendela menusuk hidungku. Cahaya matahari menembus gorden kasa murah yang langsung menumbuk bantal. Bau matahari masih melekat di bantal dan guling. Aku belum mau bangun. Aku ingin lebih lama di tempat tidur besi yang warna cat di ukirannya sudah pudar.

Tidak ada jadwal kerja. Tidak perlu buru-buru ke kamar mandi. Tak harus memikirkan sarapan. Tergesa-gesa membaca koran dan menyetel radio untuk memantau kejadian di dalam dan luar negeri.

Meski menyirami tubuh di pancuran di belakang rumah juga menarik. Mandi di bawah air pancuran, sambil duduk di bawah batu kali yang bagian luarnya hijau dikerubungi lumut. Airnya mengucur dari mata air yang sudah disemen. Dingin. Segar. Ada dua pelepah pisang yang membagi air. Satu mengalir ke luar untuk masyarakat umum yang antre di luar pagar kayu ditumbuhi kembang sepatu berbunga putih.

Tak ada yang mengganggu. Mana berani. Blacky, anjing setia Ayahku selalu menemani. Dia bermalas-malasan di rumput hijau dekat empang ikan mas. Memandang ikan warna-warni yang sedang ronda. Air empang begitu jernih. Sebening mata cokelat Blacky.

Blacky kalem saja melihat ikan-ikan berloncatan. Dia hanya bereaksi jika ada kucing atau orang. Telinganya berdiri dan menyalak pelan. Gongonggan anjing kampung berbulu hitam ini tak sesangar anjing-anjing kami yang lain. Bahkan, cenderung banci. Tapi, tidak pernah satu ikan pun yang pernah hilang dirampok kucing. Ini pasti karena ayahku yang juga majikan kesayangannya selalu menghitung jumlah ikan di empang yang tidak telalu dalam itu. Orang-orang juga akan menjauh mendengar gongongannya. Nyaman dan tenang sakali.

Tapi, aku masih lebih ingin bersentuhan dengan seprai yang lembut. Malas berganti posisi. Seperti roti yang melekat begitu saja di loyang besar yang diolesi mentega yang memutih ditaburi tepung. Empat roti lain yang diatur dekat pinggir kiri dan kanan mengembang bagus dipanggang matahari hingga melekat dengan diriku. Loyang akan diangkat jika kami sudah sama-sama matang, kemudian dipisahkan satu sama lain.

Aku ingin terus memeluk guling dan ditemani bantal-bantal bersarung putih di antara sinar matahari pagi. Sudah berapa lama aku dihangatkan. Berapa lama aku menikmati aroma matahari di seprai, bantal, dan guling. Tak ada jam.

Yaaaaaaahhhh, aku cuma mimpi. Aku masih di dalam kantong tidur biru navy-ku. Hangat. Tapi tak ada bau matahari. Malah bau rokok di ruangan kantorku. Uhuk uhuk. Jam 04.20 WIB. Sebentar lagi harus kerja. Mudah-mudahan nggak banyak tulisan. Mudah-mudahan server nggak hang seharian seperti kemarin.

Lupakan itu semua. Aku mau bilang terima kasih dulu pada Tuhan, untuk mimpi yang begitu indah, untuk bantal dan guling beraroma matahari.


Wednesday, June 08, 2005
Uhhhhhhhhhh

Uhhhhhhhhhhhhhh, sebal juga berhadapan dengan orang yang selalu merasa benar. Gampang menuduh tanpa mau mendengarkan penjelasan orang yang bersangkutan. Yang bikin keki lagi, setelah ketahuan salah, tidak buru-buru minta maaf, tapi tenang-tenang saja seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku masih kesal hingga sekarang. Seharusnya aku tidak ambil pusing. Tapi, nggak enak memang membawa sebal dalam tidur. Mana lagu-lagu yang aku dengar mendukung lagi, serba sedih, hiks. Tapi, aku tetap harus tidur. Mudah-mudahan aku bermimpi ketemu Cristiano Ronaldo sedang jalan-jalan di Aceh bersama Martunis...


Monday, June 06, 2005
Madrinha

"Yaah, dia udah punya anak," kata seorang cowok yang nongkrong di warung dekat gereja ketika aku berjalan menuntun keponakanku Nera, yang disusul Moses dan Wulan yang digandeng Jenny, adikku. Kami mau mengikuti misa malam. Minggu kemarin sangat istimewa. Sebab, aku bisa beribadat dengan tiga anak baptisku.

Sebenarnya aku punya empat anak baptis. Yang pertama, namanya Marsel. Hubungan kita tidak terlalu dekat. Bisa jadi karena aku memang ditunjuk begitu saja sebagai ibu permandian beberapa jam sebelum Marsel kecil dibaptis. Kita cuma bertemu saat ada acara keluarga. Itu pun jarang, bisa dua tahun sekali. Tapi, setiap ketemu, Marsel yang sekarang sudah berumur sekitar 10 tahun (kalau nggak salah) selalu diingatkan Mamanya. "Marsel, ini Ibu Baptis kamu."

Aku juga menjadi Mama Ani (Mama Serani) dari Wulan dan Nera. Kali ini, penunjukannya memang agak sedikit sesuai prosedur biasa. Meski aku tidak sempat ikut pertemuan dengan orang tua dan pastur sebagai salah satu syarat.

Aku punya foto dengan Nera dan Wulan. Nera cantik sekali dengan kepala dilingkari bando berpita putih. Wulan juga tersenyum manis memeluk erat tanganku. Foto ini diambil beberapa saat setelah permandian Nera. Kami sering melihat-lihat album foto permandian dan tertawa-tawa sendiri. Ini sering membuat Moses kecilku iri.

Suatu ketika tiba-tiba saja Moses mengusulkan dirinya untuk menjadi anak seraniku. Dia juga ingin seperti Wulan dan Nera, jadi anak seraniku. Aku sih, iya-iya saja. Apalagi melihat bibir Moses yang maju beberapa inci kalau ngambek. Jadilah kita berdua sepakat menjadi ibu dan anak ani. Meski, ibu dan ayah baptis Moses juga ada.

Aku senang jadi Mama Ani. Seperti sulap, sim salabim, punya anak tanpa hamil dan melahirkan :) Nggak bukan itu alasannya. Aku senang jadi Mama Ani karena aku juga punya Mama Ani yang baik banget. Aku berharap bisa jadi Mama Ani yang minimal seperti Mama Aniku.

Mama Ani seperti ibu kedua bagiku dan juga dokter yang mengobatiku setiap sakit. Setiap liburan aku pasti menginap atau bermain seharian di rumah Mama Aniku. Aku sangat dekat dengan anak-anak Mama Ani sampai sekarang. Aku senang berjalan bersama Mama Ani. Selalu saja ada yang menyapa kami, bahkan sampai di pasar-pasar. Mama Aniku bidan yang bekerja di rumah sakit dan membuka klinik bersalin juga di rumahnya. Jadi banyak yang kenal dekat Mama Aniku.

Waktu kecil Mama Ani membuatkan aku baju hangat yang dirajut dengan warna merah hati. Adikku, Jenny, yang juga anak seraninya, juga dibikinkan sweater dengan model yang berbeda dengan aksen benang kuning di ujung lengan baju hangatnya. Aku senang memakai baju ini meski di siang bolong. Bukan itu saja. Bapa Aniku juga selalu mengirimkan aku dan Jenny buah-buah yang matang di kebunnya. Ketika sudah kuliah, kita masih menerima kartu ucapan selamat yang disisipi uang untuk "makan bakso". Kita berdua benar-benar dihujani perhatian dan kasih.

Mama Aniku punya puluhan anak serani. Kata Ellen, anaknya, semua anak serani Mama Ani--minus aku dan Jenny--datang pada upacara kematian Mama Aniku, tahun silam. Ellen tidak menyangka anak serani mamanya begitu banyak dan tidak dia kenal. Tapi, semua anak seraninya punya kisah yang menyenangkan tentang Mama Ani mereka yang murah senyum ini.

Di Timor Timur peranan ayah dan ibu baptis lebih menonjol. Tanggung jawab Madrinha--dibaca Madrinya--dan Padrinha (padrinya) tidak cuma mencakup hal-hal rohani tapi hingga menanggung biaya hidup anak seraninya. Meski begitu, tak jarang pemilihan orang tua baptis semata untuk mempererat hubungan orang tua si anak. Bukan memperhatikan kebutuhan anak. Banyak anak yang tidak mengenal baik orang tua baptisnya dan sebaliknya. Orang tua baptis cuma jadi pajangan kemudian bubar jalan setelah di luar gereja, hiks.

Sebagai Mama Ani (suit suit) aku ingin mereka rajin ke gereja, bukan cuma ke Sekolah Minggu saja. Mengajak mereka ke gereja mula-mula tidak menyenangkan. Bisa bikin pasaran jatuh :) Apalagi mendengar komentar seperti tadi itu, "Ya, dia sudah punya anak!"

Sudah begitu, tiga anak baptisku ini bukan tipe anak yang suka duduk tenang. Aksi mereka kerap membuat umat lain terganggu. Nggak enak juga sih. Tapi, bagaimana ya, aku ingin mereka happy juga di rumah Tuhan.

Belakangan aku malah senang menggandeng mereka ke gereja. Bahkan, Moses kecilku juga sudah lumayan dikenal. Dia kerap disapa oleh ibu atau anak kecil yang tidak dikenalnya. Mungkin mereka lucu mendengar cara dia menyanyikan lagu Bapa Kami. Dia sering bernyanyi lebih lambat dari umat. Mana suaranya bertenaga lagi.

Kadang-kadang nggak enak juga sama umat yang lain. Ketika yang lain berdoa, mereka malah asyik bertanya tentang banyak hal dengan suara selalu kencang. Ditambah lagi dengan adegan berantem karena berebut sesuatu. Tiba-tiba bilang haus, mau pipis, memukul-mukul bangku, dan bergaya aneh-aneh. Sekali waktu Moses berdiri dengan tangan terentang cukup lama. Setelah aku dekati ternyata dia bilang sedang disalib sambil memandang patung salib Yesus.

Lama-lama aku terbiasa dengan aksi mereka. Aku bisa khusyuk di antara berbagai aktivitas anak seraniku ini. Aku baru bergerak jika ulah mereka sudah keterlaluan. Aku pernah memarahi Nera kecilku karena mondar-mandir di setiap bangku sepanjang misa. Sudah begitu mulutnya komat-kamit. Beberapa kali ibu yang duduk di depanku menoleh ke belakang untuk memelototi Nera. Tapi jawaban polos Nera justru membuat aku tak berdaya. "Memangnya ini rumah siapa?"

Aku berharap dan berusaha menjadi Madrinha yang minimal penuh kasih seperti Mama Aniku. Sebab, anak-anak baptisku ini memberi banyak hal dahsyat dalam hidupku. Gara-gara mereka juga aku memberikan Pendalaman Alkitab Anak (PAA). Sebab, aku ingin mereka mengenal kasih Yesus sejak kecil. Dan, betapa beruntungnya aku karena ketiga malaikatku ini membuka lebar kesempatan itu.

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community