Bantal Beraroma Matahari
Bau tanah basah di bawah jendela menusuk hidungku. Cahaya matahari menembus gorden kasa murah yang langsung menumbuk bantal. Bau matahari masih melekat di bantal dan guling. Aku belum mau bangun. Aku ingin lebih lama di tempat tidur besi yang warna cat di ukirannya sudah pudar.
Tidak ada jadwal kerja. Tidak perlu buru-buru ke kamar mandi. Tak harus memikirkan sarapan. Tergesa-gesa membaca koran dan menyetel radio untuk memantau kejadian di dalam dan luar negeri.
Meski menyirami tubuh di pancuran di belakang rumah juga menarik. Mandi di bawah air pancuran, sambil duduk di bawah batu kali yang bagian luarnya hijau dikerubungi lumut. Airnya mengucur dari mata air yang sudah disemen. Dingin. Segar. Ada dua pelepah pisang yang membagi air. Satu mengalir ke luar untuk masyarakat umum yang antre di luar pagar kayu ditumbuhi kembang sepatu berbunga putih.
Tak ada yang mengganggu. Mana berani. Blacky, anjing setia Ayahku selalu menemani. Dia bermalas-malasan di rumput hijau dekat empang ikan mas. Memandang ikan warna-warni yang sedang ronda. Air empang begitu jernih. Sebening mata cokelat Blacky.
Blacky kalem saja melihat ikan-ikan berloncatan. Dia hanya bereaksi jika ada kucing atau orang. Telinganya berdiri dan menyalak pelan. Gongonggan anjing kampung berbulu hitam ini tak sesangar anjing-anjing kami yang lain. Bahkan, cenderung banci. Tapi, tidak pernah satu ikan pun yang pernah hilang dirampok kucing. Ini pasti karena ayahku yang juga majikan kesayangannya selalu menghitung jumlah ikan di empang yang tidak telalu dalam itu. Orang-orang juga akan menjauh mendengar gongongannya. Nyaman dan tenang sakali.
Tapi, aku masih lebih ingin bersentuhan dengan seprai yang lembut. Malas berganti posisi. Seperti roti yang melekat begitu saja di loyang besar yang diolesi mentega yang memutih ditaburi tepung. Empat roti lain yang diatur dekat pinggir kiri dan kanan mengembang bagus dipanggang matahari hingga melekat dengan diriku. Loyang akan diangkat jika kami sudah sama-sama matang, kemudian dipisahkan satu sama lain.
Aku ingin terus memeluk guling dan ditemani bantal-bantal bersarung putih di antara sinar matahari pagi. Sudah berapa lama aku dihangatkan. Berapa lama aku menikmati aroma matahari di seprai, bantal, dan guling. Tak ada jam.
Yaaaaaaahhhh, aku cuma mimpi. Aku masih di dalam kantong tidur biru navy-ku. Hangat. Tapi tak ada bau matahari. Malah bau rokok di ruangan kantorku. Uhuk uhuk. Jam 04.20 WIB. Sebentar lagi harus kerja. Mudah-mudahan nggak banyak tulisan. Mudah-mudahan server nggak hang seharian seperti kemarin.
Lupakan itu semua. Aku mau bilang terima kasih dulu pada Tuhan, untuk mimpi yang begitu indah, untuk bantal dan guling beraroma matahari.
Bau tanah basah di bawah jendela menusuk hidungku. Cahaya matahari menembus gorden kasa murah yang langsung menumbuk bantal. Bau matahari masih melekat di bantal dan guling. Aku belum mau bangun. Aku ingin lebih lama di tempat tidur besi yang warna cat di ukirannya sudah pudar.
Tidak ada jadwal kerja. Tidak perlu buru-buru ke kamar mandi. Tak harus memikirkan sarapan. Tergesa-gesa membaca koran dan menyetel radio untuk memantau kejadian di dalam dan luar negeri.
Meski menyirami tubuh di pancuran di belakang rumah juga menarik. Mandi di bawah air pancuran, sambil duduk di bawah batu kali yang bagian luarnya hijau dikerubungi lumut. Airnya mengucur dari mata air yang sudah disemen. Dingin. Segar. Ada dua pelepah pisang yang membagi air. Satu mengalir ke luar untuk masyarakat umum yang antre di luar pagar kayu ditumbuhi kembang sepatu berbunga putih.
Tak ada yang mengganggu. Mana berani. Blacky, anjing setia Ayahku selalu menemani. Dia bermalas-malasan di rumput hijau dekat empang ikan mas. Memandang ikan warna-warni yang sedang ronda. Air empang begitu jernih. Sebening mata cokelat Blacky.
Blacky kalem saja melihat ikan-ikan berloncatan. Dia hanya bereaksi jika ada kucing atau orang. Telinganya berdiri dan menyalak pelan. Gongonggan anjing kampung berbulu hitam ini tak sesangar anjing-anjing kami yang lain. Bahkan, cenderung banci. Tapi, tidak pernah satu ikan pun yang pernah hilang dirampok kucing. Ini pasti karena ayahku yang juga majikan kesayangannya selalu menghitung jumlah ikan di empang yang tidak telalu dalam itu. Orang-orang juga akan menjauh mendengar gongongannya. Nyaman dan tenang sakali.
Tapi, aku masih lebih ingin bersentuhan dengan seprai yang lembut. Malas berganti posisi. Seperti roti yang melekat begitu saja di loyang besar yang diolesi mentega yang memutih ditaburi tepung. Empat roti lain yang diatur dekat pinggir kiri dan kanan mengembang bagus dipanggang matahari hingga melekat dengan diriku. Loyang akan diangkat jika kami sudah sama-sama matang, kemudian dipisahkan satu sama lain.
Aku ingin terus memeluk guling dan ditemani bantal-bantal bersarung putih di antara sinar matahari pagi. Sudah berapa lama aku dihangatkan. Berapa lama aku menikmati aroma matahari di seprai, bantal, dan guling. Tak ada jam.
Yaaaaaaahhhh, aku cuma mimpi. Aku masih di dalam kantong tidur biru navy-ku. Hangat. Tapi tak ada bau matahari. Malah bau rokok di ruangan kantorku. Uhuk uhuk. Jam 04.20 WIB. Sebentar lagi harus kerja. Mudah-mudahan nggak banyak tulisan. Mudah-mudahan server nggak hang seharian seperti kemarin.
Lupakan itu semua. Aku mau bilang terima kasih dulu pada Tuhan, untuk mimpi yang begitu indah, untuk bantal dan guling beraroma matahari.