<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Thursday, August 31, 2006
Tenggat

Karena terbiasa bekerja dengan tenggat, aku sering membuat banyak deadline harian, bulanan, dan tahunan dalam hidupku. Dalam pekerjaan aku tunduk pada tenggat memang. Tapi, dalam urusan pribadi, aku kerap molor bahkan mengulur-ulur waktu. Baik atau burukkah? Hmmm no comment.

Hari ini, di akhir Agustus, aku lagi-lagi tidak patuh pada tenggat yang aku buat sendiri. Ada banyak hari yang terbuang percuma. Bahkan di ujung-ujung tenggat aku malah santai. Cuek. Boro-boro menyelesaikan urusan itu, aku malah lebih asyik menonton film dan serial film Korea Selatan. Benar-benar.

Aku memang sedang mengerjakan sesuatu, sebut saja pekerjaan rumah, dengan tenggat 31 Agustus. Hanya aku dan Neni yang tahu soal ini. Aku juga sudah berusaha mempersiapkan berbagai hal untuk menyelesaikan pe-er ini. Namun, semakin mendekati deadline kok makin malas. Padahal, pekerjaan ini cuma butuh paling lama dua jam. Bukan perkara besar-besar amat, hiks.

Mamaku selalu gemas melihat aku berjalan terlalu pelan. "Jangan buang waktu, jangan menunda," kata Mamaku berkali-kali. Ihhhhhhh. Adik dan kakakku juga begitu. Neni malah berkali-kali mengingatkan aku untuk menyelesaikan pe-er itu. "Daripada nonton film nggak ada gunanya," kata dia. Yeeeee, enak saja.

Wajar mereka mencak-mencak karena langsung atau tidak langsung mereka juga yang terkena dampaknya, baik atau buruk. Karena biasanya mereka selalu membantuku dengan cara apapun meski kadang-kadang sambil mengomel. Mau bilang apa, ini yang namanya risiko dicintai, hehehe.

Meski begitu aku lebih sering dalam posisi berjalan dengan kain. Pletak, pletok, pelan-pelan. Tenang Mama. Aku merasa waktu begitu sempit, jadi aku harus menikmati setiap detil. Aku tidak mau melewatkan apapun.

Ada banyak yang hal bisa berulang, ada yang cuma sekali dan nyes, lenyap. Aku cuma senang berjalan pelan pada kesempatan atau pekerjaan yang datang berulang. Iya sih, kadang juga aku melewatkan hal-hal yang langka. Tapi, itu cuma masalah persepsi. Ada yang melihat emas itu berharga, ada yang bilang berlian segala-galanya. Menurutku mereka tidak lebih dari benda mati. Lagipula aku tidak banyak pusing dengan kata menyesal berjam-jam.

Kemudian seseorang mengingatkanku untuk lebih fokus. Dia memintaku melihat lagi makna tenggat. "Berhenti bikin tenggat kalau tidak patuh!" kata dia. Ihhhh galak banget sih. Hmmm, dia benar juga. Tak usah bikin tenggat untuk sesuatu yang memang tidak berada dalam kendaliku. Tapi, memang aku tidak pernah membuat tenggat seperti itu. Ya pernah sih, terus kecewa di tengah jalan, dan sejak itu tunduk pada Penentu Tenggat yang sejati.

Iya, iya. Aku mau serius. Mau fokus pada tenggat dengan masalah yang bisa aku kerjakan. Mungkin aku harus melihat kembali tenggat-tenggat yang sudah ada di jadwal tahun ini. Ada yang perlu dicoret. Tapi nggak ah. Kayaknya dari semua itu, ada hal yang perlu aku lakukan. Disiplin Neng. Satu lagi, pe-er harus dibereskan secepatnya. Ya ya ya. Hidup tenggat!

Tuesday, August 29, 2006
Kitari Menggendong Bonty

Senin kemarin aku ke rumah sahabat lamaku, May. Kami teman di asrama sejak ingusan dan berlanjut ke SD di Kupang. Kami sempat setahun lebih satu SMP kemudian dia pindah ikut ayahnya tugas di Flores.

Sebenarnya aku nggak ada rencana ke rumahnya. Tapi, aku mau saja begitu tahu anak keduanya ulang tahun. Kami sudah tiga kali ketemu dan selama ini belum juga ke rumahnya padahal sudah janji, hiks. Anaknya tiga, Putri, Adi, dan Oming. Semuanya sehat, cantik dan cakep, serta lincah. Putri yang matanya cantik banget ternyata suka menggambar dan menunjukkan hasil gambarnya. Mereka juga menunjukkan fotonya dalam pakaian adat Bali. Ayah mereka dari Bali.

Lucu juga. Dahulu kami sering main masak-masakan dan sekarang aku ada di rumah benerannya. Dia berkali-kali bilang anak-anaknya nggak bisa diam dan haus pujian. No problemo. Aku dan dia kecil juga bukan anak-anak yang manis.

Sebagian cerita kenakalan kami keluar satu per satu. Yang pasti kami pernah naik pohon kersen di rumah Om Rein sepulang sekolah. Waktu itu aku masih SD. Karena keasyikan kami nggak sadar ayahku sudah menunggu di bawah pohon dengan kayu kecil. May ketakutan, karena dia yang mengajak. Aku malah nggak bisa turun karena kelewat takut.

May menghilang begitu cepat. Dia enak, nggak dimarahi karena naik pohon. Kalau aku memang nggak boleh naik pohon. Dan, Bung Romeo Charlie sedang menungguku di bawah pohon. Dalam kondisi begitu aku selalu mengeluarkan senjata ampuh: menangis. Ayahku nggak tahan melihat air mataku dan pergi. Kemudian salah satu saudaraku datang dan menurunkan aku dari pohon. Seperti yang aku bilang tadi, aku lupa dong bagaimana harus turun.

Kemarin aku nggak bisa tidur. Nggak tahu kenapa. Mungkin karena hari pertama masuk malam. Akhirnya aku begadang sampai pagi. Khawatir lemas, aku berniat membatalkan janji dengan Judith. Tapi, nggaklah, daripada menunda lagi dan lagi, hiks. Kita ketemuan sekitar jam 12.00 WIB dan cerita-cerita sekitar tiga jam. Aku merasa seperti bertemu teman lama yang sudah belasan tahun menghilang. Maunya lebih lama lagi, soalnya obrolannya seru, ya Jeng ya, hehhehe. Tapi, aku harus pulang, istirahat dulu.

Gantungan kunci gadis Jepang dengan anjing putihnya sudah jadi pengikat kunci rumahku lo, he he he. Aku sebut Kitari menggendong Bonty :) Bukunya juga sudah selesai aku baca. Thanks ya, Judith. Kita pasti ketemu lagi dan aku berdoa biar Jeng bisa doa bareng dengan teman-temanku yang lain, amin. Semoga seperti aku dan May, pertemanan kita awet, selamanya.

Monday, August 28, 2006
Kur Aj

Aku sering bicara dengan menyingkat kata. Misalnya, saat mengantuk, aku bilang lagi m=mengantuk. Pul dul artinya pulang dulu dan masih banyak kata yang aku pangkas. Aku tidak menyangka kebiasaanku ini juga menurun pada Wulan, Moses, dan Nera.

Aku memang suka bermain dengan kata. Waktu Wulan dan Moses lagi belajar membaca, aku selalu bicara dengan gaya mengeja. Bilang PE U EL A N G untuk pulang dan seterusnya. Sampai sekarang aku masih sering bicara dengan gaya ini untuk menguji kecepatan Wulan dan Moses, sekalian untuk memacu Nera yang paling malas belajar membaca. Kebiasaan ini juga aku bawa ke kantor dan saat bicara dengan teman-teman dekat.

Adikku Jenny cerita beberapa hari lalu. Saat menginap dengan tiga malaikatku di Bogor, dia melihat lagi Wulan dan Moses mempraktikkan kebiasaanku.

Mereka berdua sedang bertengkar di tangga.

"Moses kamu jangan kur aj deh!" kata Wulan. Urat di lehernya menyembul.

"Kamu yang kur aj Wulan!" ujar Moses dengan mata melotot.

Neni--panggilan sayang Jenny--tertawa keras. Mama Hani juga heran melihat Neni terbahak. Wulan dan Moses diam dan menatap Neni. Heran. Neni tak bisa menahan tawa karena di saat marah-marah pun, Moses dan Wulan sempat-sempatnya menyingkat kata. Wulan dan Moses juga berhenti bertengkar melihat Neni sakit perut karena geli melihat ulah mereka.

Cara mereka mengucapkan kur aj sepintas mirip bahasa India. Hmmm aku jadi ingat, tadi batal nonton film India di bioskop dekat kantor, karena Martabak tiba-tiba ada kerjaan, yeeeee. Iya, Martabak memang kur aj. Tahu kan apa itu kur aj? Iya, kujar ajar eh kurang ajar.

Tuesday, August 22, 2006
Jingel Bells in Isra Mi`raj

Seseorang menyebutku gembala yang taat
Aku tersenyum

Seseorang memperdengarkan lagu Jingle Bells di hari Isra Mi`raj
Aku tak bisa menahan tawa

Seseorang mengancamku memutar lagu Malam Kudus jika aku terus menggoda dia
Aku tersenyum lagi

Seseorang mendekatiku dan mengucapkan Selamat Hari Natal di Hari Isra Mir`aj
Aku kembali tertawa

Seseorang itu adalah temanku

Dia pikir candanya akan membuatku marah
Sayang dua juta sayang, aku terlalu mengasihi dia
Kursi untuk marah sudah lama aku bakar...

Jangan-jangan karena aku lupa mengucapkan Happy Isra Mi`raj pada dia...

Monday, August 21, 2006
Berkhayal

Minggu kemarin aku puas berenang. Aku menari dan berdansa di kolam renang dengan Wulan, Moses, dan Nera. Nggak ada malunya. Orang-orang melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin mereka pikir aku lagi mengkhayal sendiri. Memang betul.

Aku memang lagi berimajinasi, seperti Nera dan Moses yang sering bicara dan bermain sendiri. Tapi, aku mengajak Wulan dan Moses ikutan dalam permainanku. Kita putar-putar, lompat-lompat, teriak-teriak, menyanyi-menyanyi, bahkan mencoba split--aku gagal euy.

Aku mengkhayal sedang menari sendiri di aula besar. Musiknya mula-mula lembut kemudian menghentak cepat, keras, aku berputar-putar dengan satu kaki, dan membuat Wulan melayang di air. Wuzzzzzzzzzzzzzzz. Di dalam air Wulan ringan, di darat, dia malah bisa menggendongku.

Ketika kembali ke rumah Wulan cs, Jenny adikku bertanya. "Tadi lo lagi berkhayal ya di kolam renang." Ha? Dia tahu ternyata. Wah, aku jadi ingat, saat bermain di kolam tadi aku tidak melihat Bang Male, malaikat pelindungku. Mungkin dia tertutup potongan-potongan puzzle. Sebab, sepanjang di kolam renang, aku melihat sekitarku seperti potongan-potongan puzzle yang siap dimainkan.

Tuesday, August 15, 2006
Brutalica

Kemarin aku bicara dengan teman lama. Dia telepon dari Australia. Senang banget bisa cerita setelah mungkin hampir dua tahun lebih tidak bertemu. Terakhir kita nongkrong di kantor, cerita-cerita dengan geng Media Indonesia Minggu dan makan bubur kacang ijo di warung belakang.

Selesai bernostalgia kita berpisah. Dia akan balik ke Aussie dan salah satu teman yang lain akan studi di Inggris. Di antara yang kumpul-kumpul itu, cuma kami bertiga yang perempuan.

Saat ini, temanku yang sekolah di Inggris itu sudah kembali dengan gelar master. Sedangkan temanku yang menelepon sedang berniat belajar menulis lagi. Ternyata dia sudah delapan tahun tidak bersentuhan dengan dunia jurnalistik. "Gue kangen berat," kata dia. Hiks.

Dia mulai berhenti jadi wartawan sejak menikah dan punya anak. Sebaliknya, temanku yang satu lagi ingin membuktikan bahwa perkawinan tidak akan menghambat karier jurnalistiknya. Dia memang membuktikan itu.

Sekarang aku nggak perlu mengejar berita. Hanya duduk dan menulis. Jika rindu reportase, aku bisa mengirimkan ke media lain. Tapi, sejauh ini, aku hanya membantu media internal dan lebih berbau sosial, alias tanpa bayaran. Bukannya aku nggak butuh uang hehehe, tapi cara ini membuatku tidak terikat. Jadi, aku tetap bisa melakukan pekerjaan jurnalistik kapan saja.

Aku senang karena temanku sudah mulai lagi menulis. Aku jadi ingat di masa-masa belajar jadi wartawan dahulu. Kita sering jadi bulan-bulanan saat rapat atau mendapat kelas laporan hingga penulisan. Aku sudah kebal dengan makian, suara keras, gebrak meja, dan persaingan yang sengaja ditiupkan Bang Ivan. Kami yang cewek bahkan disuruh pacarin semua polisi, oh noooooo! Seloroh yang paling garing sepanjang hidupku. Aku pernah menangis di stasiun kereta api Tebet karena nggak tahan disuruh mewawancarai narasumber seabrek-abrek. Sungguh teganya dua ribu kali.

Aku juga ingat betapa senangnya saat dipuji entah karena tulisannya tidak keriting atau bisa menembus sumber. Aku bahkan pernah menelepon rumah seorang tokoh setiap satu menit karena dia menolak wawancara, padahal sudah janjian. Aku bela-belain ke kantor di saat libur lagi. Teror itu berhasil. Aku dan dua temanku pergi ke rumahnya di kawasan Kemang, Jaksel, sekitar jam dua pagi. "Gila loe bisa jadi anak angkat dia tuh," kata salah satu teman yang ikut wawancara. Memang iya, dia sangat-sangat baik saat wawancara dan berkali-kali memanggil temanku itu: "Tina."

O o jujur saja aku juga merindukan masa-masa "penjajahan" itu. Sebab, segala hal gila terjadi saban hari. Saat deadline kami tidur seperti ikan sarden, nggak tahu mana yang betina dan jantan. Ada banyak hal brutal yang kami lakukan, aku sampai nggak tega cerita he he he. Aku juga kangen pada masa-masa itu. Mungkin temanku perlu lagi mengenang memori brutalica semasa di Tebet agar makin bersemangat kembali ke dunianya yang hilang.

Saturday, August 12, 2006
YESSSS!

Aku dapat tiket nonton final Indonesia Idol. Aku sudah menghubungi seorang kenalan yang memang minta tiga tempat untuk nonton langsung penampilan Dirly dan Ihsan. Tapi, sampai sekarang belum memberi kabar juga. Mungkin Mba Ida dan dua anaknya nggak bisa ikut.

Jenny adikku juga nggak bisa datang. Dia mendadak harus ke Bandung untuk urusan pekerjaan. Huuuu, begini nih. Giliran sudah dapat tiket malah yang mau pergi beralih pada urusan masing-masing.

Ada banyak orang yang pasti mengangguk senang jika aku ajak. Tapi, malas ah. Sekali-kali jalan sendiran menarik juga. Aku yakin pasti dapat teman baru di sana, sesama pecinta Dirly, he he he.

Hmmm mungkin aku bisa pulang bareng Marta apa menginap di tempatnya. Kami sudah lama janjian bermalam di rumahnya, tapi nggak pernah kesampaian.

Santai saja Non. Mungkin rencana bisa berubah. Siapa tahu nanti sore aku menelepon seseorang dan mengajak pergi bareng. Mungkin kali ini dia bilang, "Yessss!"

Wednesday, August 09, 2006
Friends

"I keep my friends as misers do their treasure, because, of all the
things granted us by wisdom, none is greater or better than friendship."
--Pietro Aretino--

Saturday, August 05, 2006
Shall We Dangdut

Kemarin malam seperti biasa aku naik bus ke kantor. Duduk di bangku depan kanan dengan dua penumpang lain. Terdengar suara ribut-ribut dari belakang. Tanpa menengok pun aku tahu itu pengamen bencong. "Bencong-bencong apaan," kata pengamen yang menjinjing tape recorder sekaligus pengeras suara. Dua temannya mengikuti dengan kemayu.

Mereka bertiga. Semua berbedak tebal. Sepertinya bos yang memikul tape itu. Dia mengenakan rok jin mini ketat. Pahanya seperti pemain sepakbola, gede dan kekar. Mulus. Yang satu tinggi dan langsing. Hmmmm lebih pas kerempeng. Dia mengenakan tank top pinky dengan celana panjang blue jin ketat. Rambutnya panjang dan berdandan lengkap. Wajahnya mirip salah satu artis dangdut, tapi aku lupa namanya. Yang terakhir mengenakan rok mini dan blus pamer punggung abu-abu dengan ikatan di leher.

Yang bos berdiri di sudut bus, bersandar pada pegangan di pintu masuk bus. Si Pinky menghadap jendela bus, menatap pemandangan di samping bus, mungkin sekalian untuk berkaca. Sedangkan yang wajahnya laki banget membelakangiku atau berdiri menghadap punggung sopir. Lagu Terajana menggelegar dari alat rekaman. Pinky dan Grey beraksi. Astaga.

Si Pinky lincah meliuk-liukan tubuhnya dengan kerling genit. Tangannya menari-nari mengikuti gerakan punggung hingga pinggulnya. Aku jadi ingat alat pengocok sedang mencampur telur, gula, dan mentega. Berputar cepat dengan suara kencang. Mungkin juga whirligig dalam tiupan Buto Ijo. Benar-benar deh. Sadis.

Si Greyong tak mau kalah. Meski tidak seluwes Pinky, dia punya aksi andalan. Stop sebentar dan menggetarkan tubuhnya persis seperti orang kena setrum. Bus melaju sedang. Keduanya menari dengan satu tangan bertumpu di pegangan yang menempel di dinding bus dan memagari sopir.

Goyangan mereka makin dahsyat di lagu kedua. Aku nggak tahu judulnya, baru dengar. Mungkin aku nggak menyimak lagunya, padahal kencang sekali sampai telinga kiriku berdenging. Si Pinky bergoyang sembari mengatur sistem suara. Gerakan si Pinky makin bervariasi. Dia mengikuti gerakan patah-patah Anissa Bahar, ngebor Inul, getaran Dewi Vibrator, ngecor Uut Permata Sari, Putri "kayang" Venita, dan sebut saja yang lain. Oh iya, Shakira dan penari perut Mesir juga. Dia menari dengan sangat baik bahkan lebih mantap dibanding penyanyi dangdut Dewi Persik, heheheh. Sementara si Greyong tetap dengan goyangan andalannya dan makin hot mengikuti temannya.

Aku tidak tahan. Mau ketawa takut ketahuan. Biar kata cewek banget, mereka kan lekong bo. Aku sampai berkali-kali pura-pura menguap agar bisa menutup mulut menahan senyum. Sampai akhirnya aku tertawa memegang perut. Untung nggak terlihat. Apa kelihatan dari kaca jendela, ya? Nggak tahu ah. Yang pasti aku nggak berani melihat mereka. Tapi, ngga ada pilihan, posisiku tepat di bibir panggung.

Akhirnya aku memperhatikan kaki mereka. Greyong memakai sandal jepit dan kuku kakinya kotor berdebu. Pinky memakai sandal bertali dengan sol setinggi satu sentimeter. Aku nggak bisa melihat jari kakinya, cahaya lampu terlalu buram.

Sampai di perempatan Kuningan, bus tertahan lampu merah. Pinky dan Greyong melepaskan tangan dari pegangan dan mulai bergoyang lebih maksimal. Lagu ketiga. Pinky menghadap penonton. Dia seolah-olah mau bilang "Shall we dangdut?" Astaganagaularnagapanjangnyabukankepalang, ternyata dadanya baru "jadi" seperti baru disuntik.

"Sawer-sawer," kata si Pinky menadahkan gelas biru kemasan minuman mineral. Genit. Kemayu. Sok seksi. Aku turun. Masih menahan tawa. Aku sempat melirik mereka. Duduk di bangku belakang dan si Pinky kipas-kipas, berkeringat. Gila berapa kalori yang lumer setiap dia beraksi. Aku mendadak dangdut. Pinggul bergoyang-goyang, rasa ingin berdendang, pinggul bergoyang-goyang, rasa ingin berdendang... Terajanaaaa. Sutra, sutraaaaa!

Thursday, August 03, 2006
Nyut-nyutan

Lisa meneleponku sekitar jam empat sore.

"Jadi nggak?" kata dia.

"Ha?"

"Udah baca sms?"

"Belum."

"Baca dulu deh," ujar Lisa menutup telepon.

Lisa buru-buru memutus pembicaraan karena tahu teleponnya membangunkanku. Aku mengecek sms. Wah. Kayaknya kita nggak bisa ketemuan hari ini. Aku pusing dan pengen di rumah saja. Padahal, kemarin aku yang mengajak dia ketemu. Sorry Non, aku lagi nggak enak badan.

Dari pagi kepalaku pusing. Aku pikir karena kurang tidur. Meski kepala nyut-nyutan aku tetap ke Plaza Semanggi. Setelah beli barang, aku langsung cari tempat makan. Pengen makan spagheti. Kepala nggak mau baik juga setelah kenyang.

Aku terus ke toko buku. Kepalaku masih juga berulah. Aku pakai topi biar dia hangat. Eh tetap saja nggak membaik. Akhirnya aku pulang deh.

Kayaknya ada yang salah dengan perutku. Sabtu kemarin aku makan terlalu banyak. Biasanya aku cuma makan berat sekali sehari. Tapi, selesai misa 40 hari kepergian Bapaku di Bogor, aku tidak berhenti mengunyah. Memang aku tetap makan besar setelah jam lima sore, tapi tidak berhenti sampai dua jam menjelang tidur. Minggu dan Senin aku mulai kembali ke pola makan biasa. Tapi, gagal karena aku selalu lapar saat menginap di Bogor. Dan, begini deh akibatnya.

Sampai di rumah makin puyeng. Karena tidak tahan aku muntah. Huuuuu. Saat di kamar mandi adikku Ronny telepon. Aku menelepon balik dan HP-nya tidak aktif. Huuuuu. Nggak enak banget sakit dan sendirian. Lebih baik tidur. Zzzzzzzzzzzz.

Kepalaku masih pening saat menjawab telepon Lisa. Tapi, aku harus bangun. Mau minum teh, teko listrik rusak. Duhhhhhh. Menyebalkan. Saat itu Neni menelepon. Dia bertanya aku ingin makan apa. Aku malah mematikan telepon. Yeeeee. Begini deh kalau sakit dan sendirian bawaannya marah-marah he he he.

Wednesday, August 02, 2006
Rahmat Menjelang Petang

Bangun tidur sore kemarin, aku langsung mengecek sms. Ada empat pesan. Salah satunya dari Kris. Dia mau mengirimkan aku buku aktivitas Sekolah Minggu lengkap dengan CD. Yes! Benar-benar rahmat menjelang petang. God bless you Kris!

Belakangan aku memang sering bingung memikirkan aktivitas PAA. Harus ada waktu untuk membuat berbagai aktivitas. Selama ini kami lebih sering mewarnai. Tapi, waktu lebih banyak habis untuk berdiskusi. Masing-masing anak harus bicara tentang pengalamannya tentang Firman yang kita bahas. Selalu seru.

Aku punya dua buku pegangan dan kumpulan tulisan lepas tentang aktivitas anak-anak. Belum semua aktivitas aku bikin. Lebih gampang sih beli bahan-bahan jadi. Bikin sendiri butuh waktu. Biasanya Moses yang membantuku membuat berbagai aktivitas.

Sebenarnya membuat aktivitas itu menyenangkan. Satu atau dua jam nggak terasa. Tapi, ya itu kalau sendirian rada malas. Aku juga pernah berencana bikin aktivitas beramai-ramai dengan seorang teman. Tapi, belum ketemu juga setelah janjian sekitar satu bulan silam, hiks. Kayaknya aku harus menghubunginya dalam waktu dekat, mumpung lagi masuk malam.

Satu pesan lain dari Grace. Dia temanku waktu di Media Indonesia dan sekarang jadi guru SMP. Kami akan bertemu Sabtu ini. Kemungkinan besar aku akan menghabiskan satu jam dalam empat kali Sabtu dan Minggu bersama dia dan murid-muridnya. Pasti seru juga. Aku harus memikirkan aktivitas buat mereka. Hmm, mudah-mudahan Grace sudah punya bahan :)

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community