Brutalica
Kemarin aku bicara dengan teman lama. Dia telepon dari Australia. Senang banget bisa cerita setelah mungkin hampir dua tahun lebih tidak bertemu. Terakhir kita nongkrong di kantor, cerita-cerita dengan geng Media Indonesia Minggu dan makan bubur kacang ijo di warung belakang.
Selesai bernostalgia kita berpisah. Dia akan balik ke Aussie dan salah satu teman yang lain akan studi di Inggris. Di antara yang kumpul-kumpul itu, cuma kami bertiga yang perempuan.
Saat ini, temanku yang sekolah di Inggris itu sudah kembali dengan gelar master. Sedangkan temanku yang menelepon sedang berniat belajar menulis lagi. Ternyata dia sudah delapan tahun tidak bersentuhan dengan dunia jurnalistik. "Gue kangen berat," kata dia. Hiks.
Dia mulai berhenti jadi wartawan sejak menikah dan punya anak. Sebaliknya, temanku yang satu lagi ingin membuktikan bahwa perkawinan tidak akan menghambat karier jurnalistiknya. Dia memang membuktikan itu.
Sekarang aku nggak perlu mengejar berita. Hanya duduk dan menulis. Jika rindu reportase, aku bisa mengirimkan ke media lain. Tapi, sejauh ini, aku hanya membantu media internal dan lebih berbau sosial, alias tanpa bayaran. Bukannya aku nggak butuh uang hehehe, tapi cara ini membuatku tidak terikat. Jadi, aku tetap bisa melakukan pekerjaan jurnalistik kapan saja.
Aku senang karena temanku sudah mulai lagi menulis. Aku jadi ingat di masa-masa belajar jadi wartawan dahulu. Kita sering jadi bulan-bulanan saat rapat atau mendapat kelas laporan hingga penulisan. Aku sudah kebal dengan makian, suara keras, gebrak meja, dan persaingan yang sengaja ditiupkan Bang Ivan. Kami yang cewek bahkan disuruh pacarin semua polisi, oh noooooo! Seloroh yang paling garing sepanjang hidupku. Aku pernah menangis di stasiun kereta api Tebet karena nggak tahan disuruh mewawancarai narasumber seabrek-abrek. Sungguh teganya dua ribu kali.
Aku juga ingat betapa senangnya saat dipuji entah karena tulisannya tidak keriting atau bisa menembus sumber. Aku bahkan pernah menelepon rumah seorang tokoh setiap satu menit karena dia menolak wawancara, padahal sudah janjian. Aku bela-belain ke kantor di saat libur lagi. Teror itu berhasil. Aku dan dua temanku pergi ke rumahnya di kawasan Kemang, Jaksel, sekitar jam dua pagi. "Gila loe bisa jadi anak angkat dia tuh," kata salah satu teman yang ikut wawancara. Memang iya, dia sangat-sangat baik saat wawancara dan berkali-kali memanggil temanku itu: "Tina."
O o jujur saja aku juga merindukan masa-masa "penjajahan" itu. Sebab, segala hal gila terjadi saban hari. Saat deadline kami tidur seperti ikan sarden, nggak tahu mana yang betina dan jantan. Ada banyak hal brutal yang kami lakukan, aku sampai nggak tega cerita he he he. Aku juga kangen pada masa-masa itu. Mungkin temanku perlu lagi mengenang memori brutalica semasa di Tebet agar makin bersemangat kembali ke dunianya yang hilang.
Kemarin aku bicara dengan teman lama. Dia telepon dari Australia. Senang banget bisa cerita setelah mungkin hampir dua tahun lebih tidak bertemu. Terakhir kita nongkrong di kantor, cerita-cerita dengan geng Media Indonesia Minggu dan makan bubur kacang ijo di warung belakang.
Selesai bernostalgia kita berpisah. Dia akan balik ke Aussie dan salah satu teman yang lain akan studi di Inggris. Di antara yang kumpul-kumpul itu, cuma kami bertiga yang perempuan.
Saat ini, temanku yang sekolah di Inggris itu sudah kembali dengan gelar master. Sedangkan temanku yang menelepon sedang berniat belajar menulis lagi. Ternyata dia sudah delapan tahun tidak bersentuhan dengan dunia jurnalistik. "Gue kangen berat," kata dia. Hiks.
Dia mulai berhenti jadi wartawan sejak menikah dan punya anak. Sebaliknya, temanku yang satu lagi ingin membuktikan bahwa perkawinan tidak akan menghambat karier jurnalistiknya. Dia memang membuktikan itu.
Sekarang aku nggak perlu mengejar berita. Hanya duduk dan menulis. Jika rindu reportase, aku bisa mengirimkan ke media lain. Tapi, sejauh ini, aku hanya membantu media internal dan lebih berbau sosial, alias tanpa bayaran. Bukannya aku nggak butuh uang hehehe, tapi cara ini membuatku tidak terikat. Jadi, aku tetap bisa melakukan pekerjaan jurnalistik kapan saja.
Aku senang karena temanku sudah mulai lagi menulis. Aku jadi ingat di masa-masa belajar jadi wartawan dahulu. Kita sering jadi bulan-bulanan saat rapat atau mendapat kelas laporan hingga penulisan. Aku sudah kebal dengan makian, suara keras, gebrak meja, dan persaingan yang sengaja ditiupkan Bang Ivan. Kami yang cewek bahkan disuruh pacarin semua polisi, oh noooooo! Seloroh yang paling garing sepanjang hidupku. Aku pernah menangis di stasiun kereta api Tebet karena nggak tahan disuruh mewawancarai narasumber seabrek-abrek. Sungguh teganya dua ribu kali.
Aku juga ingat betapa senangnya saat dipuji entah karena tulisannya tidak keriting atau bisa menembus sumber. Aku bahkan pernah menelepon rumah seorang tokoh setiap satu menit karena dia menolak wawancara, padahal sudah janjian. Aku bela-belain ke kantor di saat libur lagi. Teror itu berhasil. Aku dan dua temanku pergi ke rumahnya di kawasan Kemang, Jaksel, sekitar jam dua pagi. "Gila loe bisa jadi anak angkat dia tuh," kata salah satu teman yang ikut wawancara. Memang iya, dia sangat-sangat baik saat wawancara dan berkali-kali memanggil temanku itu: "Tina."
O o jujur saja aku juga merindukan masa-masa "penjajahan" itu. Sebab, segala hal gila terjadi saban hari. Saat deadline kami tidur seperti ikan sarden, nggak tahu mana yang betina dan jantan. Ada banyak hal brutal yang kami lakukan, aku sampai nggak tega cerita he he he. Aku juga kangen pada masa-masa itu. Mungkin temanku perlu lagi mengenang memori brutalica semasa di Tebet agar makin bersemangat kembali ke dunianya yang hilang.