<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Sunday, December 31, 2006
Sebungkus Nasi

29 Desember 2006.
Siang yang basah. Hujan tidak berhenti mengguyur sejak pagi. Sudah hampir jam dua siang. Puluhan nasi bungkus masih bertumpuk dalam wadah plastik sejak pagi. Aku tidak bisa terus menunggu hujan berhenti.

Teman yang sedang bertamu harus pulang. Terpaksa. Masih ada banyak hari untuk berbagi cerita. Sedangkan perut-perut yang lapar tidak bisa menunggu. Begitu dingin di luar.

Mobil melaju pelan. Mataku dan gadis muda yang menemaniku melirik ke kiri dan kanan. Tidak ada satu pemulung yang tampak. Beberapa gerobak parkir begitu saja di pinggir jalan. Biasanya, di jam begini, mereka sedang mengais-kais barang bekas.

Aku memasuki parkir sebuah gedung di kawasan Cilandak, Jaksel. Aku membunyikan klakson mobil. Gadis muda yang duduk di sampingku membuka kaca sambil melambai-lambaikan tangan. Air masuk ke mobil yang baru di-steam.

Para pemulung keluar dari tempat persembunyian. Mereka berlari dalam hujan. Mereka buru-buru mengambil nasi bungkus dan kembali ke tempat berteduh.

Seorang pemulung berjanggut menggiring gerobak memutari mobil. Dia berjalan ke arahku. "Kasihan Bapa tua itu, apa dia kuat menarik gerobak?" aku berkata pada gadis muda yang masih sibuk membagi-bagi nasi. "Iya, Ibu," kata gadis muda itu. Gadis muda di sebelahku melap air mata di pipinya.

Aku menurunkan kaca jendela mobil dan memberi dia sebungkus nasi. Pak tua itu mengatakan terima kasih. Aku langsung menutup kaca setelah melambaikan tangan. Pak tua itu tersenyum. "Pak tua itu menatap Ibu, dalam. Dia tersenyum sama semua orang," kata gadis muda berambut sebahu yang menemaniku.

Nasi bungkus dalam kotak habis. Kami kembali ke rumah. Beberapa teman akan datang berdoa bersama malam nanti.

Dalam doa, kami bersama-sama mengucap syukur dan memuji kebesaran Tuhan. Air mata berlinang dalam kedamaian dan kepasrahan.

Dalam keheningan kami mendengar suara yang begitu lembut dan berwibawa. "Terima kasih anak-Ku, engkau memberi Aku sebungkus nasi."

Lagu pujian terus melambung.

"Aku ada dalam mereka yang menderita."

Pujian yang naik makin perlahan.

"Akulah Bapa Tua yang engkau beri sebungkus nasi."

Hening. Tangisku pecah.

"Ketika mobilmu pergi, Aku menghilang."

"Tuhaaaaan, aku tidak tahu itu Engkau. Aku cuma memberimu sebungkus nasi..." kataku berlutut. Menyembah.

"Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku." (Mat 25:35-36)

(Aku diberkati mengenal Ibu yang memberi makan para pemulung sejak 1994. Kisah sebungkus nasi ini aku bagikan pada anak-anak di perayaan Natal 2006, kemarin)

Tuesday, December 26, 2006
Damai

Beberapa tahun terakhir Natal bagiku adalah pulang kampung. Terutama bertemu Bapaku tersayang. Tapi, kali ini aku nggak ke Kupang. Sudah nggak ada alasan untuk balik. Eh, becanda ding. Kalau dibaca orang-orang rumah, mereka bisa mengamuk nih. Meski memang itu ada benarnya. Ssssst, jangan bilang-bilang, ya, hehehe.

Natal ini aku berdua dengan Ronny, adikku. Akhirnya dia mau juga meluangkan waktu dengan kakaknya yang bawel ini hehehe. Tanggal 23, kami belanja hadiah Natal buat dia sampai toko nyaris tutup. Kami memang keluar rumah sudah cukup malam karena keasyikan cerita.

Pagi hari aku menelepon gereja untuk memastikan jam misa. Karena telepon gereja sibuk, aku menelepon Tante De, temanku. Tapi nggak ada jawaban. Aku menelepon gereja sekali lagi dan dijawab. Kami memutuskan misa pertama jam setengah enam sore supaya bisa bermalam Natal di rumah Tante Juni di Cileduk.

Sekitar jam empat sore, Tante De meneleponku dan mengajak misa bareng. Aneh nih. Ternyata dia ke gereja untuk misa biasa. "Emang sekarang misa malam Natal?" dia bertanya. Waduuuuuuh!

Beberapa saat kemudian, Tante De mengirim pesan singkat. "Aku dan Christine sudah siapkan satu tempat di bangku ketiga dari depan. Buruan." Aku membalas sms dengan kata pembukaan "maap" dan meminta mereka memberi satu tempat lagi buat adikku. Mereka menjawab: oke deh. Horeeeee. Aku nggak perlu mencari-cari tempat bahkan bisa duduk di depan.

Bangku di luar gereja nyaris penuh ketika kami datang. Salah seorang panitia mengingatkan aku tidak ada bangku kosong di dalam gereja. Dengan senyum manis aku mengatakan temanku sudah menyiapkan tempat bagiku di dalam. Kami pun masuk dengan sukacita penuh.

Mbak Christine begitu manis dengan blus putih dan rok hitam. Sepatunya mengkilap dan kelihatan baru. Tante De yang duduk di samping Mbak Christine mengomeliku karena terlalu lama. "Tadi ada orang tua yang mau duduk tau," kata dia. "Iya, iyaaa, maap, maaap, aku kan musti dandan, ini hari spesial," kataku tersenyum paling manis. Aku nggak berani bilang bahwa saat Tante De menelepon aku masih di salon hehehe.

Dalam kotbah, Romo bilang bahwa gua dalam tradisi Yahudi adalah tempat umum, persinggahan bagi gembala dan orang-orang yang mendapati tempat penginapan penuh. Di tempat umum kita bisa bertemu orang baru, membagi sukacita, menjalin hubungan dengan siapa saja dan reuni dengan orang-orang dekat.

Aku, Ronny, Mbak Christine, dan Tante De saling melempar senyum. Ya, di malam Natal ini, kami bersama gembala, domba, dan para malaikat datang di "gua" yang bernama gereja untuk merayakan kemuliaan Allah dalam kelahiran bayi Yesus.

Selesai misa aku mengajak mereka ke rumah. Ya, memang tidak ada makanan sih. Tapi, aku punya tart yang masih dalam kotak yang bentuknya juga belum sempat kuintip. Mereka bisa membawa kue itu. Lagipula kami sudah lama nggak pernah ketemu bareng. Pertemuan harus bubar karena aku dan Ronny harus ke Cileduk.

Kami berangkat dari rumah sekitar jam 10 malam karena harus makan dulu di jalan. Sampai di Cileduk jam sekitar 11 malam. Menyenangkan sekali bisa bertemu dan berdoa bareng di malam Natal bersama Tante Juni, Tante Yana, dan adik-adikku tersayang di sana. Dalam doa aku mengucap syukur pada Tuhan dan mengulang kata-kata Yesus "Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu."

Kami bercerita dengan Tante Juni sampai jam dua pagi dan aku masih mengobrol lagi di kamar dengan Inge dan Angela sekitar satu jam lagi. Rasanya nggak ingin tidur. Padahal, jam sembilan pagi kami akan pergi ke makam Om Pius dan terus ke rumah sakit di Kedoya, menengok Omku yang sakit.

Di pemakaman ramai. Pak Lar--sopir Omku--dan keluarganya tidak ikut nyekar. Ini kedua kali aku ke makam Om Pius dan menaburkan kembang bersama Tante Juni, Ronny, Inge, Tante Yana. Kami bergerak ke rumah sakit.

Wajah Omku pucat. Kami berdoa dan menaikkan pujian memohon kesembuhan Omku. Senang melihat Omku tertawa mendengar cerita-cerita kami. Aku sepakat dengan Ronny, dalam beberapa hal, Omku mirip dengan Bapaku :)

Kami tidak bisa berlama-lama karena aku dan Ronny harus ke rumah Kak Ida di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Gerimis sepanjang perjalanan. Lumayan bisa tidur.

Di rumah Kak Ida, ada Lilis dan keluarganya juga saudara-saudara dalam komunitas doa kami. Bercerita, ketawa, dan makan-makan. Kemudian aku dan Lilis cs kami ke rumah Wid dan Ade. Ronny langsung kembali ke marga.

Di rumah Wid, kami cerita-cerita, ketawa, dan makan-makan lagi. Berlanjut ke rumah Mbak Yan, cerita-cerita, ketawa-ketawa, dan untung cuma minum. Benar-benar menyenangkan. Kami sepakat untuk mencari waktu buat jalan-jalan bareng, tanpa orang-orang tua. Kami juga ingin bikin kontes joget Inul segala hahahaha.

Aku sampai di rumah sekitar jam sembilan malam. Ingin sekali melihat lampu natalku kelap-kelip di pohon terang miniku dengan nuansa ungu. Tapi nggak sempat. Mengantuk berat.

Aku tidak sanggup berdoa panjang, cuma bersyukur. Bagiku Natal adalah damai. Aku bersyukur untuk damai sejahtera yang melingkupi aku dan terus meminta rahmat Allah agar aku bisa membagikan damai ini pada siapa saja. Merry Christmas!

Thursday, December 14, 2006
Siang Terus

Akhirnyaaaaaaa! Setelah cukup lama bekerja dengan jam kerja yang "aneh bin ajaib" aku bisa juga masuk dalam jadwal kantor standar. Sekarang aku masuh siang terus. Yesssssss!

Dalam pekan pertama, aku harus bekerja tujuh hari penuh untuk libur Sabtu dan Minggu. No problemo. Pekerjaan di siang hari lebih padat merayap. Aku bahkan sering tidak sempat makan siang. Ini juga nggak masalah karena aku terbiasa makan di atas jam lima sore. Tekanan kerja di jam kantoran biasa juga lebih tinggi. Ah, itu bukan persoalan gede, sepanjang aku bisa bercanda, tertawa dan bernyanyi, ya, mangga, pisang, jambu batu deh.

Aku menceritakan hal ini pada Kak Ida dan semua anggota kelompok doaku. Mereka semua tertawa. Sebab, aku sering absen karena jadwalku yang kacau. Kadang-kadang Kak Ida harus menanyakan jadwal kerjaku dulu sebelum mengatur jam doa. Hiks.

Sudah dua kali kami berdoa setiap Sabtu pagi. Selama itu aku harus buru-buru meninggalkan kantor setelah kerja malam dan sepanjang jalan berdoa agar tidak terlambat. Jarak kantor dan tempat doaku sekitar satu jam lebih. Tapi, yang namanya macet kan nggak pernah bisa diraba.

"Setelah kamu libur Sabtu-Minggu, kita doanya Rabu, gimana," Kak Ida bertanya dengan senyum lebar. Semua terdiam menatapku dengan menahan senyum. Aku kelu. "Hmmmm aku pasti akan tukar libur sama teman," kataku beberapa saat kemudian. Semuanya kembali tertawa.

Dengan masuk siang terus akan kehilangan beberapa hal menyenangkan. Termasuk agak sulit menulis di blog. Ayolah Non, ada harga yang harus dibayar, kan. Hmmm mungkin aku hanya perlu waktu untuk adatasi.

Jadi, maaf ya, say, kalau aku tidak cepat-cepat me-reply saat chatting. Jika aku bilang sibuk, itu benar aku sibuk. Suit-suit sibuk nih hehehe.

Tapi, yang paling penting, aku percaya, sangat percaya, banyak kebaikan yang menungguku dengan jadwal baruku. Yeah!

Saturday, December 09, 2006
Rumput Tetangga

Nggak enak juga mendengar seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain.

"Enak ya, kamu!"

"Aku ingin seperti kamu!"

"Kenapa aku nggak seperti kamu?"

Aku sering terjebak dalam kondisi ini. Menganggap orang lain atau dianggap orang lain lebih beruntung. Biasanya aku selalu berkelakar, "Bagaimana kalau kita bertukar tempat saja?"

Baru saja seorang teman mengatakan hal yang sama padaku. Dia merasa terkurung dalam rumah tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia ingin punya banyak kegiatan.

Padahal, aku tahu persis bahwa dia bisa berbuat banyak. Tapi, menurutku dia teramat sibuk membuat rencana dan berkhayal. Terus membuat perbandingan. Ketika tersadar dia memandangi tangannya yang melompong. Dia menoleh, berpaling, melongok dan masuk dalam perangkap "ingin seperti orang lain."

Aku akan berpikir rumput tetangga selalu lebih hijau. Jika aku cuma menjadi penonton. Melihat yang kelihatan saja. Memandang yang indah-indah saja. Nggak mau mencari tahu bagaimana si tetangga merawat rumputnya. Ogah membayangkan tangan si tetangga berselimut tanah dan cacing, atau bahkan tertusuk paku berkarat yang ada di antara tanah basah. Nggak mau bersusah melakukan hal yang sama atau bahkan lebih.

Sebenarnya aku ingin berkata terus terang pada temanku agar berhenti membandingkan diri. Sebab, cuma akan membuat rumput di taman sendiri meranggas. Daripada sibuk memikirkan rumput orang lain, lebih baik menatap rumput sendiri. Dia butuh cukup air dan perawatan lebih untuk bisa hijau bahkan lebih menyegarkan dan indah dari kebun sebelah.

Tapi, aku khawatir kata-kataku akan menyakiti dia. Sebab, aku juga sakit hati mendengar kata-kata dia. Susah juga. Bagaimana ya, mengatakan ini tanpa menyakiti?

Sunday, December 03, 2006
Tempat Pertama
Sydney Mohede

Jauh lebih indah
dari emas yang mulia
nama-MU berharga bagi hidupku

Jauh lebih kuat
dari semua yang kutahu
nama-Mu melekat
di dalam jiwaku


Nama-MU slalu ada di tempat pertama
di hatiku
dan selalu menjadi yang utama
di rinduku
di mana pun ku berada
tak akan berubah
nama-MU selalu berada di tempat pertama


(Pagi, di Minggu adven pertama)

Saturday, December 02, 2006
Ajariku Berdoa, Tuhan

Tuhan, bagaimana aku harus berdoa?
Mengapa engkau begitu bersusah-susah demi berdoa dengan baik? Jadikanlah doa suatu kegiatan sederhana, mudah, mirip... percakapan keluarga.

Tuhan, kata-kata doaku bagaikan tanpa isi...
Ketika engkau masih kecil, Aku pernah berkata kepadamu, "Ceritakanlah kepada-Ku apa saya yang telah kau lakukan hari ini! Tetapi engkau tidak percaya bahwa ini suara-Ku!"

Tuhan, ajarlah aku berdoa...
Doa mirip kabel listrik: satu ujungnya harus menancap dalam Allah. Kalau tidak, rahmat tidak mungkin mengalir ke dalam jiwa.

Aku tetap minta petunjuk-Mu, Tuhan, tentang cara berdoa...
Doa adalah percakapan timbal balik. Ucapkanlah kata-kata singkat saja. Semakin kurang tegang, semakin penuh hatimu dengan kasih.

Konsentrasiku pada saat berdoa terus terganggu, Tuhan.
Jangan sedih karena gangguan ini. Lanjutkanlah kontemplasi penuh kasihmu itu mulai dari saat engkau terganggu tadi.

Tuhan, apakah aku perlu membatasi jumlah permohonan dalam doaku?
Mengapa engkau mau membatasinya? Bukankah Aku selalu mengabulkan doamu?

Aku berdoa, Tuhan, tetapi hatiku gersang...
Dalam kegersangan jiwa pun, jangan pernah menghentikan doamu.

Doaku, ya Tuhan, tidak seperti kuharapkan...
Kalau engkau bicara dengan orang lain, mungkin saja pikiranmu melayang ke sasaran lain. Tetapi, janganlah ini terjadi dalam bicara dengan Aku!

Aku sedang berdoa Bapa Kami ya, Yesus.
Lihatlah, semuanya tercakup dalam doa ini: Allah, engkau, dan orang lain.

Doaku terus kuulangi, Tuhan. Jangan-jangan Engkau bosan!
Doa tidak mungkin membuat Aku bosan. Aku peka terhadap setiap tanda kehangatan kasih.

Tuhan, apa yang Kau lakukan dengan doaku?
Aku mengubahnya menjadi doa-Ku. Tetapi, kalau engkau tidak berdoa..., dapatkah tanaman tumbuh tanpa ditabur?

Dikutip dari buku Percakapan Jiwa dengan Tuhan (Misteri Hidup Spiritual Gabrielle Bossis)

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community