Rumput Tetangga
Nggak enak juga mendengar seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain.
"Enak ya, kamu!"
"Aku ingin seperti kamu!"
"Kenapa aku nggak seperti kamu?"
Aku sering terjebak dalam kondisi ini. Menganggap orang lain atau dianggap orang lain lebih beruntung. Biasanya aku selalu berkelakar, "Bagaimana kalau kita bertukar tempat saja?"
Baru saja seorang teman mengatakan hal yang sama padaku. Dia merasa terkurung dalam rumah tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia ingin punya banyak kegiatan.
Padahal, aku tahu persis bahwa dia bisa berbuat banyak. Tapi, menurutku dia teramat sibuk membuat rencana dan berkhayal. Terus membuat perbandingan. Ketika tersadar dia memandangi tangannya yang melompong. Dia menoleh, berpaling, melongok dan masuk dalam perangkap "ingin seperti orang lain."
Aku akan berpikir rumput tetangga selalu lebih hijau. Jika aku cuma menjadi penonton. Melihat yang kelihatan saja. Memandang yang indah-indah saja. Nggak mau mencari tahu bagaimana si tetangga merawat rumputnya. Ogah membayangkan tangan si tetangga berselimut tanah dan cacing, atau bahkan tertusuk paku berkarat yang ada di antara tanah basah. Nggak mau bersusah melakukan hal yang sama atau bahkan lebih.
Sebenarnya aku ingin berkata terus terang pada temanku agar berhenti membandingkan diri. Sebab, cuma akan membuat rumput di taman sendiri meranggas. Daripada sibuk memikirkan rumput orang lain, lebih baik menatap rumput sendiri. Dia butuh cukup air dan perawatan lebih untuk bisa hijau bahkan lebih menyegarkan dan indah dari kebun sebelah.
Tapi, aku khawatir kata-kataku akan menyakiti dia. Sebab, aku juga sakit hati mendengar kata-kata dia. Susah juga. Bagaimana ya, mengatakan ini tanpa menyakiti?
Nggak enak juga mendengar seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain.
"Enak ya, kamu!"
"Aku ingin seperti kamu!"
"Kenapa aku nggak seperti kamu?"
Aku sering terjebak dalam kondisi ini. Menganggap orang lain atau dianggap orang lain lebih beruntung. Biasanya aku selalu berkelakar, "Bagaimana kalau kita bertukar tempat saja?"
Baru saja seorang teman mengatakan hal yang sama padaku. Dia merasa terkurung dalam rumah tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia ingin punya banyak kegiatan.
Padahal, aku tahu persis bahwa dia bisa berbuat banyak. Tapi, menurutku dia teramat sibuk membuat rencana dan berkhayal. Terus membuat perbandingan. Ketika tersadar dia memandangi tangannya yang melompong. Dia menoleh, berpaling, melongok dan masuk dalam perangkap "ingin seperti orang lain."
Aku akan berpikir rumput tetangga selalu lebih hijau. Jika aku cuma menjadi penonton. Melihat yang kelihatan saja. Memandang yang indah-indah saja. Nggak mau mencari tahu bagaimana si tetangga merawat rumputnya. Ogah membayangkan tangan si tetangga berselimut tanah dan cacing, atau bahkan tertusuk paku berkarat yang ada di antara tanah basah. Nggak mau bersusah melakukan hal yang sama atau bahkan lebih.
Sebenarnya aku ingin berkata terus terang pada temanku agar berhenti membandingkan diri. Sebab, cuma akan membuat rumput di taman sendiri meranggas. Daripada sibuk memikirkan rumput orang lain, lebih baik menatap rumput sendiri. Dia butuh cukup air dan perawatan lebih untuk bisa hijau bahkan lebih menyegarkan dan indah dari kebun sebelah.
Tapi, aku khawatir kata-kataku akan menyakiti dia. Sebab, aku juga sakit hati mendengar kata-kata dia. Susah juga. Bagaimana ya, mengatakan ini tanpa menyakiti?