Sebungkus Nasi
29 Desember 2006.
Siang yang basah. Hujan tidak berhenti mengguyur sejak pagi. Sudah hampir jam dua siang. Puluhan nasi bungkus masih bertumpuk dalam wadah plastik sejak pagi. Aku tidak bisa terus menunggu hujan berhenti.
Teman yang sedang bertamu harus pulang. Terpaksa. Masih ada banyak hari untuk berbagi cerita. Sedangkan perut-perut yang lapar tidak bisa menunggu. Begitu dingin di luar.
Mobil melaju pelan. Mataku dan gadis muda yang menemaniku melirik ke kiri dan kanan. Tidak ada satu pemulung yang tampak. Beberapa gerobak parkir begitu saja di pinggir jalan. Biasanya, di jam begini, mereka sedang mengais-kais barang bekas.
Aku memasuki parkir sebuah gedung di kawasan Cilandak, Jaksel. Aku membunyikan klakson mobil. Gadis muda yang duduk di sampingku membuka kaca sambil melambai-lambaikan tangan. Air masuk ke mobil yang baru di-steam.
Para pemulung keluar dari tempat persembunyian. Mereka berlari dalam hujan. Mereka buru-buru mengambil nasi bungkus dan kembali ke tempat berteduh.
Seorang pemulung berjanggut menggiring gerobak memutari mobil. Dia berjalan ke arahku. "Kasihan Bapa tua itu, apa dia kuat menarik gerobak?" aku berkata pada gadis muda yang masih sibuk membagi-bagi nasi. "Iya, Ibu," kata gadis muda itu. Gadis muda di sebelahku melap air mata di pipinya.
Aku menurunkan kaca jendela mobil dan memberi dia sebungkus nasi. Pak tua itu mengatakan terima kasih. Aku langsung menutup kaca setelah melambaikan tangan. Pak tua itu tersenyum. "Pak tua itu menatap Ibu, dalam. Dia tersenyum sama semua orang," kata gadis muda berambut sebahu yang menemaniku.
Nasi bungkus dalam kotak habis. Kami kembali ke rumah. Beberapa teman akan datang berdoa bersama malam nanti.
Dalam doa, kami bersama-sama mengucap syukur dan memuji kebesaran Tuhan. Air mata berlinang dalam kedamaian dan kepasrahan.
Dalam keheningan kami mendengar suara yang begitu lembut dan berwibawa. "Terima kasih anak-Ku, engkau memberi Aku sebungkus nasi."
Lagu pujian terus melambung.
"Aku ada dalam mereka yang menderita."
Pujian yang naik makin perlahan.
"Akulah Bapa Tua yang engkau beri sebungkus nasi."
Hening. Tangisku pecah.
"Ketika mobilmu pergi, Aku menghilang."
"Tuhaaaaan, aku tidak tahu itu Engkau. Aku cuma memberimu sebungkus nasi..." kataku berlutut. Menyembah.
"Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku." (Mat 25:35-36)
(Aku diberkati mengenal Ibu yang memberi makan para pemulung sejak 1994. Kisah sebungkus nasi ini aku bagikan pada anak-anak di perayaan Natal 2006, kemarin)
29 Desember 2006.
Siang yang basah. Hujan tidak berhenti mengguyur sejak pagi. Sudah hampir jam dua siang. Puluhan nasi bungkus masih bertumpuk dalam wadah plastik sejak pagi. Aku tidak bisa terus menunggu hujan berhenti.
Teman yang sedang bertamu harus pulang. Terpaksa. Masih ada banyak hari untuk berbagi cerita. Sedangkan perut-perut yang lapar tidak bisa menunggu. Begitu dingin di luar.
Mobil melaju pelan. Mataku dan gadis muda yang menemaniku melirik ke kiri dan kanan. Tidak ada satu pemulung yang tampak. Beberapa gerobak parkir begitu saja di pinggir jalan. Biasanya, di jam begini, mereka sedang mengais-kais barang bekas.
Aku memasuki parkir sebuah gedung di kawasan Cilandak, Jaksel. Aku membunyikan klakson mobil. Gadis muda yang duduk di sampingku membuka kaca sambil melambai-lambaikan tangan. Air masuk ke mobil yang baru di-steam.
Para pemulung keluar dari tempat persembunyian. Mereka berlari dalam hujan. Mereka buru-buru mengambil nasi bungkus dan kembali ke tempat berteduh.
Seorang pemulung berjanggut menggiring gerobak memutari mobil. Dia berjalan ke arahku. "Kasihan Bapa tua itu, apa dia kuat menarik gerobak?" aku berkata pada gadis muda yang masih sibuk membagi-bagi nasi. "Iya, Ibu," kata gadis muda itu. Gadis muda di sebelahku melap air mata di pipinya.
Aku menurunkan kaca jendela mobil dan memberi dia sebungkus nasi. Pak tua itu mengatakan terima kasih. Aku langsung menutup kaca setelah melambaikan tangan. Pak tua itu tersenyum. "Pak tua itu menatap Ibu, dalam. Dia tersenyum sama semua orang," kata gadis muda berambut sebahu yang menemaniku.
Nasi bungkus dalam kotak habis. Kami kembali ke rumah. Beberapa teman akan datang berdoa bersama malam nanti.
Dalam doa, kami bersama-sama mengucap syukur dan memuji kebesaran Tuhan. Air mata berlinang dalam kedamaian dan kepasrahan.
Dalam keheningan kami mendengar suara yang begitu lembut dan berwibawa. "Terima kasih anak-Ku, engkau memberi Aku sebungkus nasi."
Lagu pujian terus melambung.
"Aku ada dalam mereka yang menderita."
Pujian yang naik makin perlahan.
"Akulah Bapa Tua yang engkau beri sebungkus nasi."
Hening. Tangisku pecah.
"Ketika mobilmu pergi, Aku menghilang."
"Tuhaaaaan, aku tidak tahu itu Engkau. Aku cuma memberimu sebungkus nasi..." kataku berlutut. Menyembah.
"Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku." (Mat 25:35-36)
(Aku diberkati mengenal Ibu yang memberi makan para pemulung sejak 1994. Kisah sebungkus nasi ini aku bagikan pada anak-anak di perayaan Natal 2006, kemarin)
2 Comments :
"29 Desember 2007" ????????
# by 8:27 PM
-------------------- , at
heheheh salah heheheheh
thanks Wong sayang :) stay blessed