Jaka Sembung
Kadang-kadang penyakitku untuk bicara apa saja yang terlintas di pikiran kumat. Seperti kemarin ketika aku chatting dengan seorang teman. Kita memang sudah lama tidak kontak. Begitu ketemu malah bicara yang nggak jelas. Topik obrolan loncat sana, loncat sini. Belum beres satu cerita sudah masuk ke tengah kisah yang lain. Baru mau serius bicara tentang satu masalah, eh, mundur lagi ke akhir omongan yang lain. Begitu terus.
Memang hanya orang-orang tertentu yang bisa meladeniku di saat aneh seperti ini. Yang pasti kakak, adik, dan sahabat-sahabatku mampu menimpali setiap omonganku. Sebab, mereka juga menemukan kelucuan yang sama. Bahkan, kadang-kadang kata atau ide yang keluar dari mereka bisa lebih liar atau tidak terpikirkan. Pokoknya apa yang kita bicarakan tak bakal lari dari tujuan utama bisa bikin ketawa.
Aku menikmati saat-saat ini. Sebab, syaraf di otakku seperti sedang dalam posisi siaga satu. Semuanya siap merespons apa saja dengan tujuan untuk lucu-lucuan. Semata-mata untuk tersenyum atau tertawa. Aku bahkan tidak bisa menunjukkan apa yang kita obrolkan, karena semuanya hilang begitu saja. Obrolannya bisa meliuk ke kiri, ke kanan, ditarik mundur, maju, atau mentok. Tak perlu pakai logika.
Aku juga nggak menyangka temanku yang satu ini bisa tahan bicara denganku dalam kondisi begini. Meski beberapa kali dia berusaha menghubungkan omonganku dengan logika. "Logikanya kan begitu," kata dia. Oh, please deh! Capek saya! Nggak lucu!
Yang pasti aku senang banget. Sebab, semua yang keluar dari diriku diawali, ditengahi, dan diakhiri dengan senyuman. Kadang-kadang dengan tertawa lebar, tanganku yang satu menutup mulut dan yang lain memegang perut.
Aku nggak bisa meraba temanku itu happy atau nggak. Aku nggak bisa melihat ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya. Yang pasti, dia beberapa kali meledekku, ehm, malah menghinaku. Meski dengan mengikutsertakan tanda peace dan badut. Aku nggak peduli. Semua yang keluar dari dirinya aku tanggapi dengan kata atau kalimat yang justru membuatku tergelak sendiri.
Sampai akhirnya dia mengatakan, "Ini yang namanya jayuisme."
"Apaan?" kataku.
"Per-jayus-an," dia menjawab.
"Emang apa jayus?" ujarku lagi
"Jawab aja sendiri."
Aku pura-pura tak mengerti. Walau aku tahu bahwa dia bilang aku jayus. Yeeeeeeeee! Biarin!
"Masih mau cerita tentang Spongebob, nggak?" kata dia.
"Nggak, maaf, ya," aku menjawab.
"He he, kalau begitu aku jalan-jalan dulu. Cuaca lagi bagus nih."
"Dah"
"Iya, banyak yang sedang berjemur ya. Dah!"
"Yup."
Begitu deh. Kita sudah lama nggak cerita-cerita. Begitu ketemu aku sedang garing banget. Kasihan temanku ini, bisa bertahan di atas 15 menit saja sudah lumayan. Maaf ya, calon presiden--dia menyebut dirinya begitu :) Kali ini aku hanya ingin jadi jaka sembung main gitar, nggak nyambung jreng jreng!
Kadang-kadang penyakitku untuk bicara apa saja yang terlintas di pikiran kumat. Seperti kemarin ketika aku chatting dengan seorang teman. Kita memang sudah lama tidak kontak. Begitu ketemu malah bicara yang nggak jelas. Topik obrolan loncat sana, loncat sini. Belum beres satu cerita sudah masuk ke tengah kisah yang lain. Baru mau serius bicara tentang satu masalah, eh, mundur lagi ke akhir omongan yang lain. Begitu terus.
Memang hanya orang-orang tertentu yang bisa meladeniku di saat aneh seperti ini. Yang pasti kakak, adik, dan sahabat-sahabatku mampu menimpali setiap omonganku. Sebab, mereka juga menemukan kelucuan yang sama. Bahkan, kadang-kadang kata atau ide yang keluar dari mereka bisa lebih liar atau tidak terpikirkan. Pokoknya apa yang kita bicarakan tak bakal lari dari tujuan utama bisa bikin ketawa.
Aku menikmati saat-saat ini. Sebab, syaraf di otakku seperti sedang dalam posisi siaga satu. Semuanya siap merespons apa saja dengan tujuan untuk lucu-lucuan. Semata-mata untuk tersenyum atau tertawa. Aku bahkan tidak bisa menunjukkan apa yang kita obrolkan, karena semuanya hilang begitu saja. Obrolannya bisa meliuk ke kiri, ke kanan, ditarik mundur, maju, atau mentok. Tak perlu pakai logika.
Aku juga nggak menyangka temanku yang satu ini bisa tahan bicara denganku dalam kondisi begini. Meski beberapa kali dia berusaha menghubungkan omonganku dengan logika. "Logikanya kan begitu," kata dia. Oh, please deh! Capek saya! Nggak lucu!
Yang pasti aku senang banget. Sebab, semua yang keluar dari diriku diawali, ditengahi, dan diakhiri dengan senyuman. Kadang-kadang dengan tertawa lebar, tanganku yang satu menutup mulut dan yang lain memegang perut.
Aku nggak bisa meraba temanku itu happy atau nggak. Aku nggak bisa melihat ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya. Yang pasti, dia beberapa kali meledekku, ehm, malah menghinaku. Meski dengan mengikutsertakan tanda peace dan badut. Aku nggak peduli. Semua yang keluar dari dirinya aku tanggapi dengan kata atau kalimat yang justru membuatku tergelak sendiri.
Sampai akhirnya dia mengatakan, "Ini yang namanya jayuisme."
"Apaan?" kataku.
"Per-jayus-an," dia menjawab.
"Emang apa jayus?" ujarku lagi
"Jawab aja sendiri."
Aku pura-pura tak mengerti. Walau aku tahu bahwa dia bilang aku jayus. Yeeeeeeeee! Biarin!
"Masih mau cerita tentang Spongebob, nggak?" kata dia.
"Nggak, maaf, ya," aku menjawab.
"He he, kalau begitu aku jalan-jalan dulu. Cuaca lagi bagus nih."
"Dah"
"Iya, banyak yang sedang berjemur ya. Dah!"
"Yup."
Begitu deh. Kita sudah lama nggak cerita-cerita. Begitu ketemu aku sedang garing banget. Kasihan temanku ini, bisa bertahan di atas 15 menit saja sudah lumayan. Maaf ya, calon presiden--dia menyebut dirinya begitu :) Kali ini aku hanya ingin jadi jaka sembung main gitar, nggak nyambung jreng jreng!