Madrinha
"Yaah, dia udah punya anak," kata seorang cowok yang nongkrong di warung dekat gereja ketika aku berjalan menuntun keponakanku Nera, yang disusul Moses dan Wulan yang digandeng Jenny, adikku. Kami mau mengikuti misa malam. Minggu kemarin sangat istimewa. Sebab, aku bisa beribadat dengan tiga anak baptisku.
Sebenarnya aku punya empat anak baptis. Yang pertama, namanya Marsel. Hubungan kita tidak terlalu dekat. Bisa jadi karena aku memang ditunjuk begitu saja sebagai ibu permandian beberapa jam sebelum Marsel kecil dibaptis. Kita cuma bertemu saat ada acara keluarga. Itu pun jarang, bisa dua tahun sekali. Tapi, setiap ketemu, Marsel yang sekarang sudah berumur sekitar 10 tahun (kalau nggak salah) selalu diingatkan Mamanya. "Marsel, ini Ibu Baptis kamu."
Aku juga menjadi Mama Ani (Mama Serani) dari Wulan dan Nera. Kali ini, penunjukannya memang agak sedikit sesuai prosedur biasa. Meski aku tidak sempat ikut pertemuan dengan orang tua dan pastur sebagai salah satu syarat.
Aku punya foto dengan Nera dan Wulan. Nera cantik sekali dengan kepala dilingkari bando berpita putih. Wulan juga tersenyum manis memeluk erat tanganku. Foto ini diambil beberapa saat setelah permandian Nera. Kami sering melihat-lihat album foto permandian dan tertawa-tawa sendiri. Ini sering membuat Moses kecilku iri.
Suatu ketika tiba-tiba saja Moses mengusulkan dirinya untuk menjadi anak seraniku. Dia juga ingin seperti Wulan dan Nera, jadi anak seraniku. Aku sih, iya-iya saja. Apalagi melihat bibir Moses yang maju beberapa inci kalau ngambek. Jadilah kita berdua sepakat menjadi ibu dan anak ani. Meski, ibu dan ayah baptis Moses juga ada.
Aku senang jadi Mama Ani. Seperti sulap, sim salabim, punya anak tanpa hamil dan melahirkan :) Nggak bukan itu alasannya. Aku senang jadi Mama Ani karena aku juga punya Mama Ani yang baik banget. Aku berharap bisa jadi Mama Ani yang minimal seperti Mama Aniku.
Mama Ani seperti ibu kedua bagiku dan juga dokter yang mengobatiku setiap sakit. Setiap liburan aku pasti menginap atau bermain seharian di rumah Mama Aniku. Aku sangat dekat dengan anak-anak Mama Ani sampai sekarang. Aku senang berjalan bersama Mama Ani. Selalu saja ada yang menyapa kami, bahkan sampai di pasar-pasar. Mama Aniku bidan yang bekerja di rumah sakit dan membuka klinik bersalin juga di rumahnya. Jadi banyak yang kenal dekat Mama Aniku.
Waktu kecil Mama Ani membuatkan aku baju hangat yang dirajut dengan warna merah hati. Adikku, Jenny, yang juga anak seraninya, juga dibikinkan sweater dengan model yang berbeda dengan aksen benang kuning di ujung lengan baju hangatnya. Aku senang memakai baju ini meski di siang bolong. Bukan itu saja. Bapa Aniku juga selalu mengirimkan aku dan Jenny buah-buah yang matang di kebunnya. Ketika sudah kuliah, kita masih menerima kartu ucapan selamat yang disisipi uang untuk "makan bakso". Kita berdua benar-benar dihujani perhatian dan kasih.
Mama Aniku punya puluhan anak serani. Kata Ellen, anaknya, semua anak serani Mama Ani--minus aku dan Jenny--datang pada upacara kematian Mama Aniku, tahun silam. Ellen tidak menyangka anak serani mamanya begitu banyak dan tidak dia kenal. Tapi, semua anak seraninya punya kisah yang menyenangkan tentang Mama Ani mereka yang murah senyum ini.
Di Timor Timur peranan ayah dan ibu baptis lebih menonjol. Tanggung jawab Madrinha--dibaca Madrinya--dan Padrinha (padrinya) tidak cuma mencakup hal-hal rohani tapi hingga menanggung biaya hidup anak seraninya. Meski begitu, tak jarang pemilihan orang tua baptis semata untuk mempererat hubungan orang tua si anak. Bukan memperhatikan kebutuhan anak. Banyak anak yang tidak mengenal baik orang tua baptisnya dan sebaliknya. Orang tua baptis cuma jadi pajangan kemudian bubar jalan setelah di luar gereja, hiks.
Sebagai Mama Ani (suit suit) aku ingin mereka rajin ke gereja, bukan cuma ke Sekolah Minggu saja. Mengajak mereka ke gereja mula-mula tidak menyenangkan. Bisa bikin pasaran jatuh :) Apalagi mendengar komentar seperti tadi itu, "Ya, dia sudah punya anak!"
Sudah begitu, tiga anak baptisku ini bukan tipe anak yang suka duduk tenang. Aksi mereka kerap membuat umat lain terganggu. Nggak enak juga sih. Tapi, bagaimana ya, aku ingin mereka happy juga di rumah Tuhan.
Belakangan aku malah senang menggandeng mereka ke gereja. Bahkan, Moses kecilku juga sudah lumayan dikenal. Dia kerap disapa oleh ibu atau anak kecil yang tidak dikenalnya. Mungkin mereka lucu mendengar cara dia menyanyikan lagu Bapa Kami. Dia sering bernyanyi lebih lambat dari umat. Mana suaranya bertenaga lagi.
Kadang-kadang nggak enak juga sama umat yang lain. Ketika yang lain berdoa, mereka malah asyik bertanya tentang banyak hal dengan suara selalu kencang. Ditambah lagi dengan adegan berantem karena berebut sesuatu. Tiba-tiba bilang haus, mau pipis, memukul-mukul bangku, dan bergaya aneh-aneh. Sekali waktu Moses berdiri dengan tangan terentang cukup lama. Setelah aku dekati ternyata dia bilang sedang disalib sambil memandang patung salib Yesus.
Lama-lama aku terbiasa dengan aksi mereka. Aku bisa khusyuk di antara berbagai aktivitas anak seraniku ini. Aku baru bergerak jika ulah mereka sudah keterlaluan. Aku pernah memarahi Nera kecilku karena mondar-mandir di setiap bangku sepanjang misa. Sudah begitu mulutnya komat-kamit. Beberapa kali ibu yang duduk di depanku menoleh ke belakang untuk memelototi Nera. Tapi jawaban polos Nera justru membuat aku tak berdaya. "Memangnya ini rumah siapa?"
Aku berharap dan berusaha menjadi Madrinha yang minimal penuh kasih seperti Mama Aniku. Sebab, anak-anak baptisku ini memberi banyak hal dahsyat dalam hidupku. Gara-gara mereka juga aku memberikan Pendalaman Alkitab Anak (PAA). Sebab, aku ingin mereka mengenal kasih Yesus sejak kecil. Dan, betapa beruntungnya aku karena ketiga malaikatku ini membuka lebar kesempatan itu.
"Yaah, dia udah punya anak," kata seorang cowok yang nongkrong di warung dekat gereja ketika aku berjalan menuntun keponakanku Nera, yang disusul Moses dan Wulan yang digandeng Jenny, adikku. Kami mau mengikuti misa malam. Minggu kemarin sangat istimewa. Sebab, aku bisa beribadat dengan tiga anak baptisku.
Sebenarnya aku punya empat anak baptis. Yang pertama, namanya Marsel. Hubungan kita tidak terlalu dekat. Bisa jadi karena aku memang ditunjuk begitu saja sebagai ibu permandian beberapa jam sebelum Marsel kecil dibaptis. Kita cuma bertemu saat ada acara keluarga. Itu pun jarang, bisa dua tahun sekali. Tapi, setiap ketemu, Marsel yang sekarang sudah berumur sekitar 10 tahun (kalau nggak salah) selalu diingatkan Mamanya. "Marsel, ini Ibu Baptis kamu."
Aku juga menjadi Mama Ani (Mama Serani) dari Wulan dan Nera. Kali ini, penunjukannya memang agak sedikit sesuai prosedur biasa. Meski aku tidak sempat ikut pertemuan dengan orang tua dan pastur sebagai salah satu syarat.
Aku punya foto dengan Nera dan Wulan. Nera cantik sekali dengan kepala dilingkari bando berpita putih. Wulan juga tersenyum manis memeluk erat tanganku. Foto ini diambil beberapa saat setelah permandian Nera. Kami sering melihat-lihat album foto permandian dan tertawa-tawa sendiri. Ini sering membuat Moses kecilku iri.
Suatu ketika tiba-tiba saja Moses mengusulkan dirinya untuk menjadi anak seraniku. Dia juga ingin seperti Wulan dan Nera, jadi anak seraniku. Aku sih, iya-iya saja. Apalagi melihat bibir Moses yang maju beberapa inci kalau ngambek. Jadilah kita berdua sepakat menjadi ibu dan anak ani. Meski, ibu dan ayah baptis Moses juga ada.
Aku senang jadi Mama Ani. Seperti sulap, sim salabim, punya anak tanpa hamil dan melahirkan :) Nggak bukan itu alasannya. Aku senang jadi Mama Ani karena aku juga punya Mama Ani yang baik banget. Aku berharap bisa jadi Mama Ani yang minimal seperti Mama Aniku.
Mama Ani seperti ibu kedua bagiku dan juga dokter yang mengobatiku setiap sakit. Setiap liburan aku pasti menginap atau bermain seharian di rumah Mama Aniku. Aku sangat dekat dengan anak-anak Mama Ani sampai sekarang. Aku senang berjalan bersama Mama Ani. Selalu saja ada yang menyapa kami, bahkan sampai di pasar-pasar. Mama Aniku bidan yang bekerja di rumah sakit dan membuka klinik bersalin juga di rumahnya. Jadi banyak yang kenal dekat Mama Aniku.
Waktu kecil Mama Ani membuatkan aku baju hangat yang dirajut dengan warna merah hati. Adikku, Jenny, yang juga anak seraninya, juga dibikinkan sweater dengan model yang berbeda dengan aksen benang kuning di ujung lengan baju hangatnya. Aku senang memakai baju ini meski di siang bolong. Bukan itu saja. Bapa Aniku juga selalu mengirimkan aku dan Jenny buah-buah yang matang di kebunnya. Ketika sudah kuliah, kita masih menerima kartu ucapan selamat yang disisipi uang untuk "makan bakso". Kita berdua benar-benar dihujani perhatian dan kasih.
Mama Aniku punya puluhan anak serani. Kata Ellen, anaknya, semua anak serani Mama Ani--minus aku dan Jenny--datang pada upacara kematian Mama Aniku, tahun silam. Ellen tidak menyangka anak serani mamanya begitu banyak dan tidak dia kenal. Tapi, semua anak seraninya punya kisah yang menyenangkan tentang Mama Ani mereka yang murah senyum ini.
Di Timor Timur peranan ayah dan ibu baptis lebih menonjol. Tanggung jawab Madrinha--dibaca Madrinya--dan Padrinha (padrinya) tidak cuma mencakup hal-hal rohani tapi hingga menanggung biaya hidup anak seraninya. Meski begitu, tak jarang pemilihan orang tua baptis semata untuk mempererat hubungan orang tua si anak. Bukan memperhatikan kebutuhan anak. Banyak anak yang tidak mengenal baik orang tua baptisnya dan sebaliknya. Orang tua baptis cuma jadi pajangan kemudian bubar jalan setelah di luar gereja, hiks.
Sebagai Mama Ani (suit suit) aku ingin mereka rajin ke gereja, bukan cuma ke Sekolah Minggu saja. Mengajak mereka ke gereja mula-mula tidak menyenangkan. Bisa bikin pasaran jatuh :) Apalagi mendengar komentar seperti tadi itu, "Ya, dia sudah punya anak!"
Sudah begitu, tiga anak baptisku ini bukan tipe anak yang suka duduk tenang. Aksi mereka kerap membuat umat lain terganggu. Nggak enak juga sih. Tapi, bagaimana ya, aku ingin mereka happy juga di rumah Tuhan.
Belakangan aku malah senang menggandeng mereka ke gereja. Bahkan, Moses kecilku juga sudah lumayan dikenal. Dia kerap disapa oleh ibu atau anak kecil yang tidak dikenalnya. Mungkin mereka lucu mendengar cara dia menyanyikan lagu Bapa Kami. Dia sering bernyanyi lebih lambat dari umat. Mana suaranya bertenaga lagi.
Kadang-kadang nggak enak juga sama umat yang lain. Ketika yang lain berdoa, mereka malah asyik bertanya tentang banyak hal dengan suara selalu kencang. Ditambah lagi dengan adegan berantem karena berebut sesuatu. Tiba-tiba bilang haus, mau pipis, memukul-mukul bangku, dan bergaya aneh-aneh. Sekali waktu Moses berdiri dengan tangan terentang cukup lama. Setelah aku dekati ternyata dia bilang sedang disalib sambil memandang patung salib Yesus.
Lama-lama aku terbiasa dengan aksi mereka. Aku bisa khusyuk di antara berbagai aktivitas anak seraniku ini. Aku baru bergerak jika ulah mereka sudah keterlaluan. Aku pernah memarahi Nera kecilku karena mondar-mandir di setiap bangku sepanjang misa. Sudah begitu mulutnya komat-kamit. Beberapa kali ibu yang duduk di depanku menoleh ke belakang untuk memelototi Nera. Tapi jawaban polos Nera justru membuat aku tak berdaya. "Memangnya ini rumah siapa?"
Aku berharap dan berusaha menjadi Madrinha yang minimal penuh kasih seperti Mama Aniku. Sebab, anak-anak baptisku ini memberi banyak hal dahsyat dalam hidupku. Gara-gara mereka juga aku memberikan Pendalaman Alkitab Anak (PAA). Sebab, aku ingin mereka mengenal kasih Yesus sejak kecil. Dan, betapa beruntungnya aku karena ketiga malaikatku ini membuka lebar kesempatan itu.