Bola Bekel
Dua puluh lima pasang mata memandangku. Aku berdiri bertembok lemari agar bisa bersandar sekali-sekali. Kakiku gemetaran dan lemas. Keringat juga tidak mau stop. Tanganku kusembunyikan di belakang pinggang agar vibrasinya tidak terlalu mencolok. Baru kali ini aku berada di depan banyak orang.
Mata-mata itu tetap menyorotiku. Yang paling kecil berumur sekitar satu tahun dan yang paling gede SMU--dia datang dengan rok abu-abu. Ada tatapan curiga, penasaran, ingin tahu, kosong, tak peduli, geli, bersinar-sinar, dan oh, anak laki-laki yang duduk paling ujung itu seperti merencanakan sesuatu. Bahaya. "Yesussss toloooong aku bodoh, aku cuma ingin bercerita tentang Engkau," kataku berkali-kali.
Udara di ruang tamu itu cukup gerah. Kipas angin yang dipasang di dekat kakiku tak berdaya menghalau panas. Cuaca di pertengahan Agustus 2002 itu memang tak berangin. Sinarnya matahari seperti menyenter penuh rumah yang disesaki anak-anak itu, sebelum meredup. Itulah pertama kali aku berdiri di hadapan sobat-sobatku untuk Pendalaman Alkitab Anak (PAA).
Ada tiga wajah yang ikut tegang. Wulan, Moses, dan Nera. Tiga keponakanku ini yang mengomporiku untuk memberi PAA. Sebab, kakak yang memberi PAA tidak datang lagi karena masa magang yang ditugaskan dari sekolah teologinya sudah selesai. PAA akan dimulai lagi kalau ada kakak lain yang memilih tempat itu sebagai lokasi pelayanan. Dan, sudah berbulan-bulan tidak ada PAA. Padahal, mereka ingin PAA.
Sementara aku sudah bertahun-tahun berdoa agar bisa jadi guru SM. Aku punya folder sendiri tentang pelajaran dan berbagai aktivitas SM dan selalu ingin belajar tentang itu. Tapi, tetap saja aku gentar juga. Meski aku ingin meloncat-loncat kegirangan melihat jawaban Tuhan. Aku tidak saja jadi guru tapi juga diberi anak-anak, tempat, bahan-bahan, dan sokongan penuh dari tiga keponakanku plus Abangku dan Hani, istrinya. Benar-benar Tuhan itu ajaib, semuanya indah pada waktu-NYA.
Wulan berkali-kali meminta teman-temannya tenang. Moses malah lebih sering memandangi teman-temannya dan berkali-kali mengatakan, "Ihhhh bandel banget." Sedangkan Nera berdiri memelukku, memelototi teman-teman kecilnya, dan sekali-kali menendang anak lain yang ingin mendekatiku.
Suasana mencair setelah Abangku mulai bermain gitar. Kita pun bernyanyi. Wulan berkali-kali memberi sinyal agar aku mengikuti gerakannya. Maklum aku buta soal itu, hiks. Aku hanya tahu beberapa lagu tapi nggak tahu gerakannya yang pasti. Aku sudah belajar banyak lagu lengkap dengan gerakan. Tapi, di hari H semua buyar.
Hari itu kami belajar bahwa Yesus mencintai anak-anak. Yesus menegur murid-murid-Nya karena melarang anak-anak datang pada-Nya. Padahal, saat itu, murid-murid tahu Yesus capek banget. Mereka kasihan melihat Yesus harus mendengar anak-anak menangis, anak-anak berkelahi, anak-anak minta digendong, anak-anak pipis, anak-anak teriak-teriak.
Anak-anak hanya mau dekat dengan Yesus. Dan, Yesus tersenyum pada setiap anak, membuka tangan lebar-lebar untuk merangkul beberapa anak sekaligus. Yesus nggak marah kalau anak-anak ribut. Yesus menegur lembut anak-anak yang nakal. Yesus tahu anak-anak itu baik, sopan, lembut, dan mau bermain dengan Yesus. Yesus ingin banyak anak datang pada-Nya. Sebab, Yesus sayang pada anak-anak. Mereka pulang setelah doa penutup, minum teh manis, dan mendapat satu potong kue marmer.
Sabtu depannya aku masih tetap gemetaran. Suaraku juga masih bergelombang. Sebab, aku tahu anak-anak ini sudah sering mencicipi persekutuan seperti ini --kecuali yang umurnya satu sampai tiga tahun. Bahkan ada beberapa yang masih tidak percaya padaku. Apalagi, sejak awal aku berterus terang bahwa aku belum pernah Sekolah Minggu, PAA, dan semacamnya. Aku juga mengakui tidak bisa menjawab semua pertanyaan dan menguasai setiap gerakan dan lagu. Jadi aku minta diajari jadi kita bisa saling belajar tentang Yesus dari Alkitab.
Di hari kedua ini aku memberi gambar untuk diwarnai. Selesai menggambar dan minum teh, ada sekitar tujuh anak berusia antara 6-12 tahun tidak mau beranjak dari rumah Abangku itu. Mereka masih ingin bermain puzzle dan kwartet. Aku ikutan sekaligus mengajari mereka cara bermain kwartet. Sebab, Moses juga sibuk dengan kartu-kartu raksasa di tangan mungilnya.
Suasana masih kaku sampai pada pertemuan ketiga. Seperti biasa selesai berdoa, anak-anak belum mau pulang. Ada yang menyanyi, bermain kwartet, dan puzzle. Tiba-tiba Wulan menghilang dan datang membawa bekel. Spontan aku mengajak Wulan dan beberapa anak lain yang tidak kebagian main kwartet bermain bola karet kecil dan delapan buah mainan berwarna keemasan itu. Wulan terheran-heran karena menyangka aku tidak bisa. Aku belum cerita padanya bahwa kalau ada kesempatan aku masih bermain bekel dengan Mamaku.
Anak-anak yang lain juga tertarik. Lingkaran kwartet pun berakhir. Mereka mengelilingi konferensi lantai bundar kami. Semua berebut ingin bermain. Jenny adikku juga meminta salah satu anak untuk membeli bola dan bekel sehingga ada dua kelompok. Bahkan, Deddy dan Felix juga ikut bermain. Mereka juga tak mengira aku dan Jenny bisa bermain bola bekel meski rada kagok dengan peraturan baru mereka dan beberapa gaya yang asing.
Hari itu kami tertawa dan saling mengolok. Meneriaki yang curang dan memuji yang gape. Satu-satu anak mulai bertanya dan bercerita tentang dirinya dan teman-temannya. Bicaranya tidak ada yang pelan. Lingkaran kami tak lepas juga meski beberapa anak mulai disuruh pulang untuk makan malam.
"Ne, Maya makan dulu ya, jangan pulang ya." "Ihhhh, Mbah apaan sih, David masih kenyang," kata sobat kecilku ini berkerut memasang puzzle. Karena nggak enak, aku memutuskan untuk berhenti dulu. "Ahhhhhh Ne, biarin aja, ayo kita main lagi," kata mereka kompak. Sebenarnya aku juga senang bermain bola bekel. Apalagi mendapati jariku ternyata masih lentik dan luwes memutar balik besi-besi kecil itu. Jadilah kita bermain terus.
Aku baru berhenti ketika kakak perempuan Felix berteriak keras memanggil adiknya sambil melihat sumber kerumunan kecil itu. Matanya seperti mau bilang padaku, "Ih kayak anak kecil aja." Aku malu juga sih. Tapi, nggak apa-apa ah. Meski masih enggan, aku tahu bahwa anak-anak itu berusaha mendekatiku. Pura-pura memperhatikan tanganku lebih dekat agar bisa menyentuhku. Aku juga disoraki karena melanggar peraturan mereka.
Sejak awal aku berdoa agar bisa menjadi teman mereka. Bahwa aku juga sama dengan mereka, suka belajar tapi lebih senang lagi bermain. Perasaanku seperti bekel yang dibolak-balik tak keruan, melenting-lenting seperti bola karet. Sebab, aku merasa sudah menyedot separuh kepercayaan mereka. Aku ingin masuk dalam lingkaran mereka, lebih dekat dengan mereka, menjadi teman mereka, sehingga kita bisa belajar PAA bersama.
Dua puluh lima pasang mata memandangku. Aku berdiri bertembok lemari agar bisa bersandar sekali-sekali. Kakiku gemetaran dan lemas. Keringat juga tidak mau stop. Tanganku kusembunyikan di belakang pinggang agar vibrasinya tidak terlalu mencolok. Baru kali ini aku berada di depan banyak orang.
Mata-mata itu tetap menyorotiku. Yang paling kecil berumur sekitar satu tahun dan yang paling gede SMU--dia datang dengan rok abu-abu. Ada tatapan curiga, penasaran, ingin tahu, kosong, tak peduli, geli, bersinar-sinar, dan oh, anak laki-laki yang duduk paling ujung itu seperti merencanakan sesuatu. Bahaya. "Yesussss toloooong aku bodoh, aku cuma ingin bercerita tentang Engkau," kataku berkali-kali.
Udara di ruang tamu itu cukup gerah. Kipas angin yang dipasang di dekat kakiku tak berdaya menghalau panas. Cuaca di pertengahan Agustus 2002 itu memang tak berangin. Sinarnya matahari seperti menyenter penuh rumah yang disesaki anak-anak itu, sebelum meredup. Itulah pertama kali aku berdiri di hadapan sobat-sobatku untuk Pendalaman Alkitab Anak (PAA).
Ada tiga wajah yang ikut tegang. Wulan, Moses, dan Nera. Tiga keponakanku ini yang mengomporiku untuk memberi PAA. Sebab, kakak yang memberi PAA tidak datang lagi karena masa magang yang ditugaskan dari sekolah teologinya sudah selesai. PAA akan dimulai lagi kalau ada kakak lain yang memilih tempat itu sebagai lokasi pelayanan. Dan, sudah berbulan-bulan tidak ada PAA. Padahal, mereka ingin PAA.
Sementara aku sudah bertahun-tahun berdoa agar bisa jadi guru SM. Aku punya folder sendiri tentang pelajaran dan berbagai aktivitas SM dan selalu ingin belajar tentang itu. Tapi, tetap saja aku gentar juga. Meski aku ingin meloncat-loncat kegirangan melihat jawaban Tuhan. Aku tidak saja jadi guru tapi juga diberi anak-anak, tempat, bahan-bahan, dan sokongan penuh dari tiga keponakanku plus Abangku dan Hani, istrinya. Benar-benar Tuhan itu ajaib, semuanya indah pada waktu-NYA.
Wulan berkali-kali meminta teman-temannya tenang. Moses malah lebih sering memandangi teman-temannya dan berkali-kali mengatakan, "Ihhhh bandel banget." Sedangkan Nera berdiri memelukku, memelototi teman-teman kecilnya, dan sekali-kali menendang anak lain yang ingin mendekatiku.
Suasana mencair setelah Abangku mulai bermain gitar. Kita pun bernyanyi. Wulan berkali-kali memberi sinyal agar aku mengikuti gerakannya. Maklum aku buta soal itu, hiks. Aku hanya tahu beberapa lagu tapi nggak tahu gerakannya yang pasti. Aku sudah belajar banyak lagu lengkap dengan gerakan. Tapi, di hari H semua buyar.
Hari itu kami belajar bahwa Yesus mencintai anak-anak. Yesus menegur murid-murid-Nya karena melarang anak-anak datang pada-Nya. Padahal, saat itu, murid-murid tahu Yesus capek banget. Mereka kasihan melihat Yesus harus mendengar anak-anak menangis, anak-anak berkelahi, anak-anak minta digendong, anak-anak pipis, anak-anak teriak-teriak.
Anak-anak hanya mau dekat dengan Yesus. Dan, Yesus tersenyum pada setiap anak, membuka tangan lebar-lebar untuk merangkul beberapa anak sekaligus. Yesus nggak marah kalau anak-anak ribut. Yesus menegur lembut anak-anak yang nakal. Yesus tahu anak-anak itu baik, sopan, lembut, dan mau bermain dengan Yesus. Yesus ingin banyak anak datang pada-Nya. Sebab, Yesus sayang pada anak-anak. Mereka pulang setelah doa penutup, minum teh manis, dan mendapat satu potong kue marmer.
Sabtu depannya aku masih tetap gemetaran. Suaraku juga masih bergelombang. Sebab, aku tahu anak-anak ini sudah sering mencicipi persekutuan seperti ini --kecuali yang umurnya satu sampai tiga tahun. Bahkan ada beberapa yang masih tidak percaya padaku. Apalagi, sejak awal aku berterus terang bahwa aku belum pernah Sekolah Minggu, PAA, dan semacamnya. Aku juga mengakui tidak bisa menjawab semua pertanyaan dan menguasai setiap gerakan dan lagu. Jadi aku minta diajari jadi kita bisa saling belajar tentang Yesus dari Alkitab.
Di hari kedua ini aku memberi gambar untuk diwarnai. Selesai menggambar dan minum teh, ada sekitar tujuh anak berusia antara 6-12 tahun tidak mau beranjak dari rumah Abangku itu. Mereka masih ingin bermain puzzle dan kwartet. Aku ikutan sekaligus mengajari mereka cara bermain kwartet. Sebab, Moses juga sibuk dengan kartu-kartu raksasa di tangan mungilnya.
Suasana masih kaku sampai pada pertemuan ketiga. Seperti biasa selesai berdoa, anak-anak belum mau pulang. Ada yang menyanyi, bermain kwartet, dan puzzle. Tiba-tiba Wulan menghilang dan datang membawa bekel. Spontan aku mengajak Wulan dan beberapa anak lain yang tidak kebagian main kwartet bermain bola karet kecil dan delapan buah mainan berwarna keemasan itu. Wulan terheran-heran karena menyangka aku tidak bisa. Aku belum cerita padanya bahwa kalau ada kesempatan aku masih bermain bekel dengan Mamaku.
Anak-anak yang lain juga tertarik. Lingkaran kwartet pun berakhir. Mereka mengelilingi konferensi lantai bundar kami. Semua berebut ingin bermain. Jenny adikku juga meminta salah satu anak untuk membeli bola dan bekel sehingga ada dua kelompok. Bahkan, Deddy dan Felix juga ikut bermain. Mereka juga tak mengira aku dan Jenny bisa bermain bola bekel meski rada kagok dengan peraturan baru mereka dan beberapa gaya yang asing.
Hari itu kami tertawa dan saling mengolok. Meneriaki yang curang dan memuji yang gape. Satu-satu anak mulai bertanya dan bercerita tentang dirinya dan teman-temannya. Bicaranya tidak ada yang pelan. Lingkaran kami tak lepas juga meski beberapa anak mulai disuruh pulang untuk makan malam.
"Ne, Maya makan dulu ya, jangan pulang ya." "Ihhhh, Mbah apaan sih, David masih kenyang," kata sobat kecilku ini berkerut memasang puzzle. Karena nggak enak, aku memutuskan untuk berhenti dulu. "Ahhhhhh Ne, biarin aja, ayo kita main lagi," kata mereka kompak. Sebenarnya aku juga senang bermain bola bekel. Apalagi mendapati jariku ternyata masih lentik dan luwes memutar balik besi-besi kecil itu. Jadilah kita bermain terus.
Aku baru berhenti ketika kakak perempuan Felix berteriak keras memanggil adiknya sambil melihat sumber kerumunan kecil itu. Matanya seperti mau bilang padaku, "Ih kayak anak kecil aja." Aku malu juga sih. Tapi, nggak apa-apa ah. Meski masih enggan, aku tahu bahwa anak-anak itu berusaha mendekatiku. Pura-pura memperhatikan tanganku lebih dekat agar bisa menyentuhku. Aku juga disoraki karena melanggar peraturan mereka.
Sejak awal aku berdoa agar bisa menjadi teman mereka. Bahwa aku juga sama dengan mereka, suka belajar tapi lebih senang lagi bermain. Perasaanku seperti bekel yang dibolak-balik tak keruan, melenting-lenting seperti bola karet. Sebab, aku merasa sudah menyedot separuh kepercayaan mereka. Aku ingin masuk dalam lingkaran mereka, lebih dekat dengan mereka, menjadi teman mereka, sehingga kita bisa belajar PAA bersama.