Pak Polisi
Usianya mendekati 64 tahun. Kulit wajahnya masih kencang. Alisnya tebal dan tidak beraturan, mirip pendekar dalam serial film laga Cina. Dahulu kumis panjang melintang di antara hidung dan bibirnya. Bahkan, kumis Pak Raden kalah seram dengan miliknya. Sekarang wajahnya klimis. Pipinya juga lembut saat dicium. Begitu juga tangannya, halus seperti bayi.
Hari-hari, Bung Romeo Charlie--begitu panggilan sayang saya pada ayah--lebih banyak berkisar dari kamar tidur, ruang makan, ruang televisi, dan teras rumah. Aktvitas fisiknya berhenti total setelah terserang stroke pada 1996 hingga sekarang. Lengannya tidak berotot lagi. Jalannya juga harus dibantu tongkat.
Dahulu suaranya menggelegar. Sekali memanggil saja, saya langsung terbirit-birit dengan air mata berderai. Orang-orang juga segan (mungkin juga takut) padanya. Dia tidak peduli, jika marah, tidak pernah memandang anak buah, rekan seangkatan, bahkan atasan. Jarang sekali orang mau berurusan dengan dia.
Setiap menyebut namanya, komentar yang muncul tak jauh dari kata galak, berani, nekat, suka berkelahi, pokoknya segala hal yang berbau kekerasan. Entah kebetulan atau tidak, mereka yang mengenal Bung Romeo Charlie selalu mengakhiri testimoni dengan kata: dia keras tapi polisi yang bersih.
Mungkin mereka benar. Sewaktu kecil saya pernah melihat sendiri tindakan brutal ayah. Waktu itu dia menjadi kapolsek di salah satu kecamatan. Karena pegawai negeri dengan nomor induk pegawai provinsi, ibu saya tidak bisa ikut pindah bersama ayah. Setiap liburan dan Sabtu-Minggu saya--yang paling dekat dengan ayah--selalu ke rumah dinas ayah yang jaraknya sekitar 45 kilometer dari asrama polisi tempat kami tinggal.
Suatu malam saya terbangun mendengar ribut-ribut di ruang tamu. Aneh, Blacky, anjing kampung yang biasa cuma boleh tidur di depan pintu kamar, sudah ada di bawah tempat tidur. Karena penasaran saya turun dan mendekati pintu. Tapi, Blacky menyalak pelan, berkaing-kaing pelan, seperti melarang saya membuka pintu rumah bergaya Belanda yang panjang sekitar tujuh kaki anak usia delapan tahun itu.
Tapi saya nekat. Kamar tamu gelap. Cahaya datang dari lampu kamar tidur yang menyelinap di balik pintu yang terbuka. Ada genangan air berwarna merah. Seorang pria sedang mengepel genangan air itu. Pelipis kirinya berdarah. Ayah segera menyuruh saya masuk. Karena takut saya segera masuk dan tertidur seolah tidak terjadi apa-apa.
Ternyata, Om Domi, nama pria yang tadi malam terluka itu. Pelipisnya yang berdarah sudah diperban. Hampir seminggu dia tinggal di rumah dinas ayah. Dia yang memasak nasi, mencuci piring, membantu ayah mengurusi kolam ikan emasnya, dan mengajari saya berbagai hal tentang beternak itik dan bebek. Dia baik sekali.
Tapi, Om Domi pergi, begitu ibu saya datang. Saya mendengar ibu mengomeli ayah yang berani-beraninya membiarkan tersangka pembunuh tinggal di rumah. Rupanya, pada malam itu, ayah menginterogasi Om Domi di rumah. Pasti Om Domi diberi bogem mentah karena mengaku membunuh istrinya dengan kayu tajam di pelipis istrinya. Istrinya meninggal karena kehilangan banyak darah. Kadang-kadang saya membayangkan sendiri, kalau di zaman reformasi, ayah saya pasti bisa disel karena menginterogasi dengan kekerasan atau diadukan karena melanggar hak asasi manusia.
Sepanjang pengetahuan saya, ayah tidak pernah menerima tamu di rumah. Tapi, pernah ada juga pengusaha yang nekat. Dia berbicara dan tertawa lepas dengan ayah. Suasana segar itu berubah ketika suara ayah mengguntur. Saya dan saudara-saudara segera mengomeli tamu itu. Hmmmm pasti dia menawari ayah uang. Belum tahu dia.
Waktu kecil saya dan saudara-saudara juga sering menangis karena dimarahi setiap ada tamu yang memberi kami uang. Meski kerabat dekat kami sendiri. Terus terang saya tidak menangis karena tidak mendapat uang. Tapi, kenapa om, tante, atau saudara tadi memberikan uang di depan ayah. Waktu itu ayah bilang, "Akar segala kejahatan adalah cinta uang,".
Sebagai anak polisi yang berkarier dari bintara saya tahu persis bagaimana susahnya hidup di asrama. Gaji polisi tidak besar. Padahal, saban hari harus berurusan dengan masalah. Kalau tidak ada persoalan siapa yang mau ke kantor polisi. Namun, ayah tidak pernah sekalipun membicarakan masalah yang sedang ditangani. Ayah baru bercerita ketika kita mengkonfirmasi setelah mendengar dari berbagai orang. "Dengan senyum setengah mengejek ayah selalu bilang, ingat saya ini aparat negara."
Ayah pernah marah besar ketika anak-anak ogah-ogahan makan bersama gara-gara mau menonton televisi berwarna di rumah tetangga. Ketika kita punya televisi berwarna tetangga malah sudah punya video player yang bisa karaoke. Ketika kita berkunjung ke rumah tetangga, dengan santai ayah bertanya dengan suara gunturnya. "Gaji kau berapa kok bisa beli barang-barang begini!" Si tetangga cuma melongo.
Begitulah ayah. Bicara tanpa mempedulikan perasaan orang. Aku tak tahu persis berapa banyak orang yang tersinggung dengan omongannya. Berapa orang yang sudah merasakan tinjunya. Tapi, tak sedikit orang yang begitu hangat menyambut kami begitu tahu kami anak Bung Romoe Charlie. Setiap doa kelompok di rumah tidak pernah sepi. Sebab, selesai berdoa kita juga sering sharing sampai larut malam: di rumah Om Romeo Charlie yang galak itu. Lucunya, kami dibiarkan bermain, berteriak, dan bernyanyi sekencang-kencangnya meski di samping tempat tidurnya. Sebaliknya, jangan pernah deh menangis, karena sedikit saja mendengar tangisan bisa gawat.
Ayah saya--dan banyak polisi lain--bukan malaikat. Tapi, saya tahu persis ayah memang dilahirkan untuk menjadi polisi. Dia selalu beraksi melihat ada yang tidak beres. Namun, sering kali ayah main keras. Bahkan, anak-anaknya sering ditanyai mirip penjahat kriminal. Kami semua pernah menjadi sasaran kekerasan ayah.
Tapi, saya begitu mencintai ayah. Benar kata orang kita tidak bisa memilih ayah. Kalau tidak disiplin dan super galak, saya [mungkin] tumbuh sebagai perempuan yang mudah menyerah dan mengerut setiap digertak. Punya ayah yang sangat keras membuat saya tahan banting dan sabar menghadapi orang dengan tipe serupa. Bahkan, saya selalu tertantang memenangkan orang yang galak dengan kelembutan. "Ah, dia nggak ada apa-apa dibanding ayah," begitu prinsip saya. Minimal, kami, anak-anaknya bisa menjadi polisi bagi diri sendiri.
Pada suatu kesempatan, seorang kerabat polisi yang baru keluar penjara karena menerima uang dari tersangka datang menemui ayah. Seperti biasa, kami selalu bernostalgia tentang teman-teman polisi ayah. Begitu dia pulang, saya mencium hangat pipi ayah. Saya bilang saya tidak pernah menyesal punya ayah seorang polisi. Kami memang tidak punya apa-apa. Tinggal di rumah pribadi saja baru terwujud setelah ayah pensiunan belasan tahun. Tapi, pengalaman tinggal di asrama adalah kenangan paling manis dalam hidup saya.
Dahulu ayah begitu bangga menceritakan bagaimana dia menangkap penjahat atau membongkar suatu kasus. Tapi, sekarang, ayah tidak mau mendengar kisah-kisah gelapnya. "Jangan kau bangga dengan nista ayahmu," kata ayah. Mungkin karena ayah sekarang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya yang dahulu menjadi senjata sekarang lemah. Bahkan untuk berdiri saja harus dipapah.
Polisi lain pensiun dengan dengan tubuh yang sehat. Bahkan bisa bekerja perusahaan lain. Tapi, ayah malah menghabiskan masa tuanya dengan separuh badan lumpuh. Tapi, satu hal yang membuat aku bangga, ayah saya tidak mempunyai catatan hitam. "Saya tidak malu mengaku anak polisi karena punya ayah seperti Bung Romeo Charlie!" Begitu komentar saya di setiap kesempatan. Reaksi ayah juga tidak pernah berubah: selalu menangis.
Ada sesuatu hal yang sering mengganggu pikiran saya. Saya tidak pernah mendoakan ayah, khusus tentang panggilannya sebagai polisi. Saya cuma meminta agar ayah selamat. Saya lupa berdoa agar setiap bekerja ayah tak lain adalah bayangan Yesus yang memakai seragam cokelat. Bayangkan saja kalau Yesus Kristus terpancar dalam setiap aktivitas ayah--dan semua polisi.
Dahulu, kami punya acara kecil setiap 1 Juli. Setelah selesai upacara HUT Bhayangkara, ayah selalu kembali dengan pakaian lengkap upacara dan membawa pulang kotak makanan. Setelah itu kami memeluk dan memberi ciuman sambil berkatan "Selamat HUT Polri". Sudah hampir 12 tahun saya tidak melakukan ritual ini. Karena kami berpisah cukup jauh. Bicara di telepon juga tidak bisa menggantikan suasana itu. Saya rindu memeluk ayah dan mengatakan "Selamat HUT Polri Bung Romeo Charlie!"
(Tulisan ini dipersembahkan buat semua polisi baik pensiunan maupun aktif dan keluarga besar Polri.)
Usianya mendekati 64 tahun. Kulit wajahnya masih kencang. Alisnya tebal dan tidak beraturan, mirip pendekar dalam serial film laga Cina. Dahulu kumis panjang melintang di antara hidung dan bibirnya. Bahkan, kumis Pak Raden kalah seram dengan miliknya. Sekarang wajahnya klimis. Pipinya juga lembut saat dicium. Begitu juga tangannya, halus seperti bayi.
Hari-hari, Bung Romeo Charlie--begitu panggilan sayang saya pada ayah--lebih banyak berkisar dari kamar tidur, ruang makan, ruang televisi, dan teras rumah. Aktvitas fisiknya berhenti total setelah terserang stroke pada 1996 hingga sekarang. Lengannya tidak berotot lagi. Jalannya juga harus dibantu tongkat.
Dahulu suaranya menggelegar. Sekali memanggil saja, saya langsung terbirit-birit dengan air mata berderai. Orang-orang juga segan (mungkin juga takut) padanya. Dia tidak peduli, jika marah, tidak pernah memandang anak buah, rekan seangkatan, bahkan atasan. Jarang sekali orang mau berurusan dengan dia.
Setiap menyebut namanya, komentar yang muncul tak jauh dari kata galak, berani, nekat, suka berkelahi, pokoknya segala hal yang berbau kekerasan. Entah kebetulan atau tidak, mereka yang mengenal Bung Romeo Charlie selalu mengakhiri testimoni dengan kata: dia keras tapi polisi yang bersih.
Mungkin mereka benar. Sewaktu kecil saya pernah melihat sendiri tindakan brutal ayah. Waktu itu dia menjadi kapolsek di salah satu kecamatan. Karena pegawai negeri dengan nomor induk pegawai provinsi, ibu saya tidak bisa ikut pindah bersama ayah. Setiap liburan dan Sabtu-Minggu saya--yang paling dekat dengan ayah--selalu ke rumah dinas ayah yang jaraknya sekitar 45 kilometer dari asrama polisi tempat kami tinggal.
Suatu malam saya terbangun mendengar ribut-ribut di ruang tamu. Aneh, Blacky, anjing kampung yang biasa cuma boleh tidur di depan pintu kamar, sudah ada di bawah tempat tidur. Karena penasaran saya turun dan mendekati pintu. Tapi, Blacky menyalak pelan, berkaing-kaing pelan, seperti melarang saya membuka pintu rumah bergaya Belanda yang panjang sekitar tujuh kaki anak usia delapan tahun itu.
Tapi saya nekat. Kamar tamu gelap. Cahaya datang dari lampu kamar tidur yang menyelinap di balik pintu yang terbuka. Ada genangan air berwarna merah. Seorang pria sedang mengepel genangan air itu. Pelipis kirinya berdarah. Ayah segera menyuruh saya masuk. Karena takut saya segera masuk dan tertidur seolah tidak terjadi apa-apa.
Ternyata, Om Domi, nama pria yang tadi malam terluka itu. Pelipisnya yang berdarah sudah diperban. Hampir seminggu dia tinggal di rumah dinas ayah. Dia yang memasak nasi, mencuci piring, membantu ayah mengurusi kolam ikan emasnya, dan mengajari saya berbagai hal tentang beternak itik dan bebek. Dia baik sekali.
Tapi, Om Domi pergi, begitu ibu saya datang. Saya mendengar ibu mengomeli ayah yang berani-beraninya membiarkan tersangka pembunuh tinggal di rumah. Rupanya, pada malam itu, ayah menginterogasi Om Domi di rumah. Pasti Om Domi diberi bogem mentah karena mengaku membunuh istrinya dengan kayu tajam di pelipis istrinya. Istrinya meninggal karena kehilangan banyak darah. Kadang-kadang saya membayangkan sendiri, kalau di zaman reformasi, ayah saya pasti bisa disel karena menginterogasi dengan kekerasan atau diadukan karena melanggar hak asasi manusia.
Sepanjang pengetahuan saya, ayah tidak pernah menerima tamu di rumah. Tapi, pernah ada juga pengusaha yang nekat. Dia berbicara dan tertawa lepas dengan ayah. Suasana segar itu berubah ketika suara ayah mengguntur. Saya dan saudara-saudara segera mengomeli tamu itu. Hmmmm pasti dia menawari ayah uang. Belum tahu dia.
Waktu kecil saya dan saudara-saudara juga sering menangis karena dimarahi setiap ada tamu yang memberi kami uang. Meski kerabat dekat kami sendiri. Terus terang saya tidak menangis karena tidak mendapat uang. Tapi, kenapa om, tante, atau saudara tadi memberikan uang di depan ayah. Waktu itu ayah bilang, "Akar segala kejahatan adalah cinta uang,".
Sebagai anak polisi yang berkarier dari bintara saya tahu persis bagaimana susahnya hidup di asrama. Gaji polisi tidak besar. Padahal, saban hari harus berurusan dengan masalah. Kalau tidak ada persoalan siapa yang mau ke kantor polisi. Namun, ayah tidak pernah sekalipun membicarakan masalah yang sedang ditangani. Ayah baru bercerita ketika kita mengkonfirmasi setelah mendengar dari berbagai orang. "Dengan senyum setengah mengejek ayah selalu bilang, ingat saya ini aparat negara."
Ayah pernah marah besar ketika anak-anak ogah-ogahan makan bersama gara-gara mau menonton televisi berwarna di rumah tetangga. Ketika kita punya televisi berwarna tetangga malah sudah punya video player yang bisa karaoke. Ketika kita berkunjung ke rumah tetangga, dengan santai ayah bertanya dengan suara gunturnya. "Gaji kau berapa kok bisa beli barang-barang begini!" Si tetangga cuma melongo.
Begitulah ayah. Bicara tanpa mempedulikan perasaan orang. Aku tak tahu persis berapa banyak orang yang tersinggung dengan omongannya. Berapa orang yang sudah merasakan tinjunya. Tapi, tak sedikit orang yang begitu hangat menyambut kami begitu tahu kami anak Bung Romoe Charlie. Setiap doa kelompok di rumah tidak pernah sepi. Sebab, selesai berdoa kita juga sering sharing sampai larut malam: di rumah Om Romeo Charlie yang galak itu. Lucunya, kami dibiarkan bermain, berteriak, dan bernyanyi sekencang-kencangnya meski di samping tempat tidurnya. Sebaliknya, jangan pernah deh menangis, karena sedikit saja mendengar tangisan bisa gawat.
Ayah saya--dan banyak polisi lain--bukan malaikat. Tapi, saya tahu persis ayah memang dilahirkan untuk menjadi polisi. Dia selalu beraksi melihat ada yang tidak beres. Namun, sering kali ayah main keras. Bahkan, anak-anaknya sering ditanyai mirip penjahat kriminal. Kami semua pernah menjadi sasaran kekerasan ayah.
Tapi, saya begitu mencintai ayah. Benar kata orang kita tidak bisa memilih ayah. Kalau tidak disiplin dan super galak, saya [mungkin] tumbuh sebagai perempuan yang mudah menyerah dan mengerut setiap digertak. Punya ayah yang sangat keras membuat saya tahan banting dan sabar menghadapi orang dengan tipe serupa. Bahkan, saya selalu tertantang memenangkan orang yang galak dengan kelembutan. "Ah, dia nggak ada apa-apa dibanding ayah," begitu prinsip saya. Minimal, kami, anak-anaknya bisa menjadi polisi bagi diri sendiri.
Pada suatu kesempatan, seorang kerabat polisi yang baru keluar penjara karena menerima uang dari tersangka datang menemui ayah. Seperti biasa, kami selalu bernostalgia tentang teman-teman polisi ayah. Begitu dia pulang, saya mencium hangat pipi ayah. Saya bilang saya tidak pernah menyesal punya ayah seorang polisi. Kami memang tidak punya apa-apa. Tinggal di rumah pribadi saja baru terwujud setelah ayah pensiunan belasan tahun. Tapi, pengalaman tinggal di asrama adalah kenangan paling manis dalam hidup saya.
Dahulu ayah begitu bangga menceritakan bagaimana dia menangkap penjahat atau membongkar suatu kasus. Tapi, sekarang, ayah tidak mau mendengar kisah-kisah gelapnya. "Jangan kau bangga dengan nista ayahmu," kata ayah. Mungkin karena ayah sekarang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya yang dahulu menjadi senjata sekarang lemah. Bahkan untuk berdiri saja harus dipapah.
Polisi lain pensiun dengan dengan tubuh yang sehat. Bahkan bisa bekerja perusahaan lain. Tapi, ayah malah menghabiskan masa tuanya dengan separuh badan lumpuh. Tapi, satu hal yang membuat aku bangga, ayah saya tidak mempunyai catatan hitam. "Saya tidak malu mengaku anak polisi karena punya ayah seperti Bung Romeo Charlie!" Begitu komentar saya di setiap kesempatan. Reaksi ayah juga tidak pernah berubah: selalu menangis.
Ada sesuatu hal yang sering mengganggu pikiran saya. Saya tidak pernah mendoakan ayah, khusus tentang panggilannya sebagai polisi. Saya cuma meminta agar ayah selamat. Saya lupa berdoa agar setiap bekerja ayah tak lain adalah bayangan Yesus yang memakai seragam cokelat. Bayangkan saja kalau Yesus Kristus terpancar dalam setiap aktivitas ayah--dan semua polisi.
Dahulu, kami punya acara kecil setiap 1 Juli. Setelah selesai upacara HUT Bhayangkara, ayah selalu kembali dengan pakaian lengkap upacara dan membawa pulang kotak makanan. Setelah itu kami memeluk dan memberi ciuman sambil berkatan "Selamat HUT Polri". Sudah hampir 12 tahun saya tidak melakukan ritual ini. Karena kami berpisah cukup jauh. Bicara di telepon juga tidak bisa menggantikan suasana itu. Saya rindu memeluk ayah dan mengatakan "Selamat HUT Polri Bung Romeo Charlie!"
(Tulisan ini dipersembahkan buat semua polisi baik pensiunan maupun aktif dan keluarga besar Polri.)