Marah
Tak enak marahan sama adik atau kakak sendiri. Pun ribut-ribut dengan teman atau sahabat dekat. Terakhir aku bertengkar hebat dengan adik laki-lakiku. Untunglah perang urat leher ini tidak sampai pada adegan smack down seperti di televisi.
Sebenarnya aku benci berkata-kata dengan nada keras apalagi marah-marah. Bukan apa-apa, aku benar-benar seperti orang idot saat marah. Kata-kataku melantur dan sering nggak nyambung. Sudah begitu, aku juga sering mengabsen penghuni kebun binatang. Tapi, aku sudah tidak pernah memaki dengan nama-nama binatang lagi sekarang. [Hore :) Ini Kemajuan].
Beberapa kali aku juga pernah menerbangkan barang-barang yang ada di sekitarku saat lagi gusar. Anehnya, lemparanku selalu salah sasaran dan tak bertenaga. Alhasil orang yang aku lempar malah tertawa-tawa melihatku. Sejak itulah aku berhenti melampiaskan emosi dengan melempari sasaran kemarahanku. Karena sekali lagi aku tidak mau terlihat bodoh. Norak. Maklum, setiap marah, lawanku pasti akan terpingkal-pingkal melihat aksiku. Daripada terlihat bego mendingan nggak melempari barang deh.
Kemarahan membuat kedua belah pihak sakit: yang marah dan yang dimarahi. Aku sakit hati betul mendapati adikku berteriak dan balas menghardik. Adikku juga pasti gondok banget mendengar kecerewetanku yang pasti melewati ambang batas normal. Kita sama-sama menangis. Aku menangis karena tak menyangka adikku, yang paling aku sayangi, menjawabku dengan volume suara ekstra tinggi. Sedangkan adikku mungkin--ini cuma dugaan-- menangis karena menahan keras agar tangannya tidak sampai menamparku di puncak kemarahannya. Setelah itu kita berdua mogok bicara sekitar dua minggu.
Mungkin aku dan adikku memang tidak bisa mengkiritik satu sama lain karena alasan terlalu sayang. Tidak mau membuat satu sama lain sakit hati. Meski itu untuk kebaikan masing-masing. Bisa saja lantaran kita berdua memang tidak pernah tegas menyampaikan unek-unek. Kata-kata, intonasi, dan mimik saat kita bicara tidak pas dengan waktu dan situasi masing-masing. Misalnya, dia mau curhat pada saat aku capek. Aku juga lebih sering mengomentari debu di rak bukuku tanpa memuji dia karena mengepel lantai hingga cemerlang bak cermin.
Bukannya kita tidak pernah saling protes. Tapi itu lebih banyak dilontarkan dalam bentuk canda. Sindiran itu sempat membuat kuping panas, tapi cuma berhenti sampai di mulut dengan balas menyindir lagi-lagi dengan berseloroh. Omongan dalam bentuk olok-olok ini tidak pernah sampai ke hati. Akhirnya kita tetap membuat kesalahan yang sama.
Di balik kemarahan itu, aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar mengenal adikku, begitu juga sebaliknya. Adikku menyimpan begitu banyak kepahitan tentang aku. Sama seperti dia, kekesalanku pada adikku juga menumpuk. Mestinya masalah ini bisa kita selesaikan dengan bicara. Kita kan keluarga, masak keakraban kakak adik terwujud dengan meledek saja, tanpa benar-benar ngomong dari hati ke hati.
Terus terang selesai bertengkar aku sangat lega. Aku bisa memuntahkan kejengkelan bulanan atau menahunku. Aku tahu apa saja kekesalan adikku yang dipendam begitu lama. Marah itu menguras energi. Malam itu aku tidur nyenyak. Aku puas. Sebab, di tengah kemarahanku kata-kata "Aku sayang kamu" meluncur dari mulutku. Pasti adikku kaget. Selama hidup aku tidak pernah mengatakan kalimat itu dalam situasi normal. Aneh ya.
Tak enak marahan sama adik atau kakak sendiri. Pun ribut-ribut dengan teman atau sahabat dekat. Terakhir aku bertengkar hebat dengan adik laki-lakiku. Untunglah perang urat leher ini tidak sampai pada adegan smack down seperti di televisi.
Sebenarnya aku benci berkata-kata dengan nada keras apalagi marah-marah. Bukan apa-apa, aku benar-benar seperti orang idot saat marah. Kata-kataku melantur dan sering nggak nyambung. Sudah begitu, aku juga sering mengabsen penghuni kebun binatang. Tapi, aku sudah tidak pernah memaki dengan nama-nama binatang lagi sekarang. [Hore :) Ini Kemajuan].
Beberapa kali aku juga pernah menerbangkan barang-barang yang ada di sekitarku saat lagi gusar. Anehnya, lemparanku selalu salah sasaran dan tak bertenaga. Alhasil orang yang aku lempar malah tertawa-tawa melihatku. Sejak itulah aku berhenti melampiaskan emosi dengan melempari sasaran kemarahanku. Karena sekali lagi aku tidak mau terlihat bodoh. Norak. Maklum, setiap marah, lawanku pasti akan terpingkal-pingkal melihat aksiku. Daripada terlihat bego mendingan nggak melempari barang deh.
Kemarahan membuat kedua belah pihak sakit: yang marah dan yang dimarahi. Aku sakit hati betul mendapati adikku berteriak dan balas menghardik. Adikku juga pasti gondok banget mendengar kecerewetanku yang pasti melewati ambang batas normal. Kita sama-sama menangis. Aku menangis karena tak menyangka adikku, yang paling aku sayangi, menjawabku dengan volume suara ekstra tinggi. Sedangkan adikku mungkin--ini cuma dugaan-- menangis karena menahan keras agar tangannya tidak sampai menamparku di puncak kemarahannya. Setelah itu kita berdua mogok bicara sekitar dua minggu.
Mungkin aku dan adikku memang tidak bisa mengkiritik satu sama lain karena alasan terlalu sayang. Tidak mau membuat satu sama lain sakit hati. Meski itu untuk kebaikan masing-masing. Bisa saja lantaran kita berdua memang tidak pernah tegas menyampaikan unek-unek. Kata-kata, intonasi, dan mimik saat kita bicara tidak pas dengan waktu dan situasi masing-masing. Misalnya, dia mau curhat pada saat aku capek. Aku juga lebih sering mengomentari debu di rak bukuku tanpa memuji dia karena mengepel lantai hingga cemerlang bak cermin.
Bukannya kita tidak pernah saling protes. Tapi itu lebih banyak dilontarkan dalam bentuk canda. Sindiran itu sempat membuat kuping panas, tapi cuma berhenti sampai di mulut dengan balas menyindir lagi-lagi dengan berseloroh. Omongan dalam bentuk olok-olok ini tidak pernah sampai ke hati. Akhirnya kita tetap membuat kesalahan yang sama.
Di balik kemarahan itu, aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar mengenal adikku, begitu juga sebaliknya. Adikku menyimpan begitu banyak kepahitan tentang aku. Sama seperti dia, kekesalanku pada adikku juga menumpuk. Mestinya masalah ini bisa kita selesaikan dengan bicara. Kita kan keluarga, masak keakraban kakak adik terwujud dengan meledek saja, tanpa benar-benar ngomong dari hati ke hati.
Terus terang selesai bertengkar aku sangat lega. Aku bisa memuntahkan kejengkelan bulanan atau menahunku. Aku tahu apa saja kekesalan adikku yang dipendam begitu lama. Marah itu menguras energi. Malam itu aku tidur nyenyak. Aku puas. Sebab, di tengah kemarahanku kata-kata "Aku sayang kamu" meluncur dari mulutku. Pasti adikku kaget. Selama hidup aku tidak pernah mengatakan kalimat itu dalam situasi normal. Aneh ya.