<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Monday, July 12, 2004
Marah

Tak enak marahan sama adik atau kakak sendiri. Pun ribut-ribut dengan teman atau sahabat dekat. Terakhir aku bertengkar hebat dengan adik laki-lakiku. Untunglah perang urat leher ini tidak sampai pada adegan smack down seperti di televisi.

Sebenarnya aku benci berkata-kata dengan nada keras apalagi marah-marah. Bukan apa-apa, aku benar-benar seperti orang idot saat marah. Kata-kataku melantur dan sering nggak nyambung. Sudah begitu, aku juga sering mengabsen penghuni kebun binatang. Tapi, aku sudah tidak pernah memaki dengan nama-nama binatang lagi sekarang. [Hore :) Ini Kemajuan].

Beberapa kali aku juga pernah menerbangkan barang-barang yang ada di sekitarku saat lagi gusar. Anehnya, lemparanku selalu salah sasaran dan tak bertenaga. Alhasil orang yang aku lempar malah tertawa-tawa melihatku. Sejak itulah aku berhenti melampiaskan emosi dengan melempari sasaran kemarahanku. Karena sekali lagi aku tidak mau terlihat bodoh. Norak. Maklum, setiap marah, lawanku pasti akan terpingkal-pingkal melihat aksiku. Daripada terlihat bego mendingan nggak melempari barang deh.

Kemarahan membuat kedua belah pihak sakit: yang marah dan yang dimarahi. Aku sakit hati betul mendapati adikku berteriak dan balas menghardik. Adikku juga pasti gondok banget mendengar kecerewetanku yang pasti melewati ambang batas normal. Kita sama-sama menangis. Aku menangis karena tak menyangka adikku, yang paling aku sayangi, menjawabku dengan volume suara ekstra tinggi. Sedangkan adikku mungkin--ini cuma dugaan-- menangis karena menahan keras agar tangannya tidak sampai menamparku di puncak kemarahannya. Setelah itu kita berdua mogok bicara sekitar dua minggu.

Mungkin aku dan adikku memang tidak bisa mengkiritik satu sama lain karena alasan terlalu sayang. Tidak mau membuat satu sama lain sakit hati. Meski itu untuk kebaikan masing-masing. Bisa saja lantaran kita berdua memang tidak pernah tegas menyampaikan unek-unek. Kata-kata, intonasi, dan mimik saat kita bicara tidak pas dengan waktu dan situasi masing-masing. Misalnya, dia mau curhat pada saat aku capek. Aku juga lebih sering mengomentari debu di rak bukuku tanpa memuji dia karena mengepel lantai hingga cemerlang bak cermin.

Bukannya kita tidak pernah saling protes. Tapi itu lebih banyak dilontarkan dalam bentuk canda. Sindiran itu sempat membuat kuping panas, tapi cuma berhenti sampai di mulut dengan balas menyindir lagi-lagi dengan berseloroh. Omongan dalam bentuk olok-olok ini tidak pernah sampai ke hati. Akhirnya kita tetap membuat kesalahan yang sama.

Di balik kemarahan itu, aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar mengenal adikku, begitu juga sebaliknya. Adikku menyimpan begitu banyak kepahitan tentang aku. Sama seperti dia, kekesalanku pada adikku juga menumpuk. Mestinya masalah ini bisa kita selesaikan dengan bicara. Kita kan keluarga, masak keakraban kakak adik terwujud dengan meledek saja, tanpa benar-benar ngomong dari hati ke hati.

Terus terang selesai bertengkar aku sangat lega. Aku bisa memuntahkan kejengkelan bulanan atau menahunku. Aku tahu apa saja kekesalan adikku yang dipendam begitu lama. Marah itu menguras energi. Malam itu aku tidur nyenyak. Aku puas. Sebab, di tengah kemarahanku kata-kata "Aku sayang kamu" meluncur dari mulutku. Pasti adikku kaget. Selama hidup aku tidak pernah mengatakan kalimat itu dalam situasi normal. Aneh ya.

0 Comments :

Post a Comment

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community