<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Thursday, August 19, 2004
Ayo Sekolah

Liburan sekolah sudah selesai. Sampai besok masuk sekolah, Irene--sebut saja begitu--tidak tahu dia naik kelas atau tetap duduk di bangku kelas enam di salah satu sekolah dasar negeri contoh di kawasan Cipinang-Cempadek, Jakarta Timur. Kok bisa? "Mama belum bayar uang sumbangan Rp 10 ribu supaya bisa ambil rapor," kata gadis berusia 12 belas tahun yang pernah sekali tinggal kelas ini, pelan.

Aneh. Saban hari Irene tak pernah berhenti jajan. Mulai dari bakso, beli panada atau pisang goreng cokelat, dan berbagai kudapan dalam kemasan lain. Jika ditotal duit yang dia keluarkan setiap hari bisa lebih dari Rp 5.000. Kenapa Irene tidak bisa membayar duit Rp 10 ribu? "Tahu tuh, Mama belum punya uang," kata gadis kecil bertubuh kerempeng ini.

Lain lagi dengan Sita. Gadis kecil ini ingin sekali menjadi murid di salah satu sekolah Katolik di bilangan Jakarta Pusat. Meski ayahnya sudah mengurusi "surat miskin" dari Ketua Lingkungan jauh-jauh hari sebelum pendaftaran sekolah dibuka, Karin tak bisa juga terdaftar di sekolah tersebut. Menjelang Juli, Ayahnya belum juga memiliki uang cukup untuk membayar uang masuk.

Gara-gara alasan uang, Sita dan Budi adiknya terpaksa bersekolah di taman kanak-kanak Islam di dekat rumahnya mereka di kawasan Jakarta Timur. Keduanya bahkan sudah menghafal beberapa doa dalam bahasa Arab. Sita yang cuek tidak pernah merapal doa-doa tersebut di rumahnya. Namun, sekali-sekali adiknya, Budi, menghafalkan doa-doa itu, meski dia sering mengecilkan suaranya ketika sadar sedang dipandangi ayah atau ibunya. Anehnya, di antara anak-anak tetangga, tidak ada yang berani mengikuti kuis-kuisan Kitab Suci atau bahasa Inggris dengan Budi. Takut dikalahkan anak kecil yang sekarang duduk di TK B ini.

Belum cukup sampai di situ. Ketika mendaftar di sekolah negeri yang menurut para tetangga favorit, Ibu Sita harus menahan sakit hati. Semula, salah seorang guru terlihat begitu bersemangat melihat rapor TK Sita. Apalagi, Ibu Karin juga melampirkan hasil tes IQ putri pertamanya yang tertinggi di TK-nya yakni, 129 atau masuk dalam kategori cerdas. Namun, Sita tidak diterima dengan alasan tidak jelas. Sementara teman-temannya yang "biasa-biasa" saja di TK yang sama dengan Sita justru diterima. "Kenapa Pak, karena saya Kristen ya," kata Ibu Sita, setengah kesal.

Akhirnya Sita terdaftar di salah satu sekolah contoh. Di sekolah ini kebanyakan gurunya adalah orang Batak--itu juga kata tetangga. Memang orang tua Sita tidak perlu mengerutkan kening memikirkan uang sekolah. Namun, mereka harus membeli paket buku dan seragam olah raga yang jika ditotal Rp 200 ribu. Sampai seminggu sekolah, orang tua Sita belum bisa memenuhi semuanya itu. "Kalau ada uang Mama pasti beli sepatu baru, baju olah raga, dan buku." Sita mengiyakan dan segera meninggalkan ibunya agar bisa bermain dengan teman-temannya.

Sita sudah punya seragam baru merah putih. Seragam putih-putihnya adalah baju bekas temannya yang sekarang duduk di kelas enam. Sepatunya juga bekas dan agak kebesaran. Di lingkungan tempat mereka tinggal, ibu-ibu tidak segan-segan melungsurkan baju-baju bekas anaknya ke tetangga yang lain. Sita memang diajarkan untuk tidak harus memakai barang-barang baru. Dia tetap ke sekolah baru tanpa tas dan sepatu baru. Bahkan, pada hari pertama sekolah, Sita sudah meminta pekerjaan rumah dari ibunya. Maklum di sekolah barunya dia lebih banyak menguap karena guru memberi pelajaran nama-nama hari.

Sementara Putri tampak bersemangat dengan tas punggungnya. Gadis kecil yang berusia hampir tujuh tahun ini bangga sekali mengatakan pada semua orang bahwa dia sekarang murid kelas satu di SD negeri yang sama dengan kakaknya. Putri bisa masuk SD tanpa menunjukkan ijazah TK. Bisa jadi, pada awalnya dia akan sedikit tertatih karena belum lancar membaca. Ya, lagi-lagi uang membuat ayah Putri yang bekerja di bengkel tak merasa perlu menyekolahkan anaknya di TK. "Dia itu pintar, tak usah pake TK-TK segala," kata ayahnya.

Sita dan Budi lebih beruntung karena ibunya lumayan telaten mengajari anak-anaknya. Mereka juga sering mendapat hadiah buku-buku dari kerabatnya. Tak jarang anak-anak lain juga mengerjakan pekerjaan rumah bersama di rumah mereka. Rumah kakak beradik ini memang sering jadi tempat bermain para bocah. Bahkan, Budi yang lebih sabar sering mengajari teman-temannya yang seumuran, lebih muda, atau lebih tua beberapa bulan untuk membaca. Tentu saja sembari bermain. Maklum Budi masih berumur lima tahun lebih.

Irene, Sita, Budi, dan Putri hanya segelintir dari anak-anak yang tidak bisa mengecap pendidikan karena alasan di luar mereka. Mereka cuma anak yang tidak bisa memutuskan apalagi seenaknya menentukan keinginannya untuk mendapat pendidikan seperti yang mereka inginkan. Namun, mereka bersyukur bisa sekolah. Meski kadang-kadang mereka juga bolos karena tidak ada ongkos ke sekolah.

Anak-anak ini berada di dekat kita. Bahkan, tempat tinggal mereka cuma beberapa meter dari tiga gereja. Puji Tuhan, salah satu gereja baru saja membuka kursus bahasa Inggris gratis setiap Minggu. Selain itu, mereka juga mendapat pendalaman Alkitab anak (PAA) setiap Kamis dan Sabtu. Selanjutnya mereka mengikuti sekolah Minggu di masing-masing gereja setiap Ahad.

Anak-anak ini benar-benar gembira mengikuti sekolah rohani. Karena tidak perlu memakai baju seragam atau baju bagus. Di sana mereka bisa bernyanyi, bermain, tebak-tebakan, dan melakukan berbagai aktivitas rohani. Sementara tak jauh dari mereka, sejumlah orang dewasa--termasuk ayah, ibu, om, bahkan oma dan opa--sedang bermain judi.

Khusus hari Sabtu, mereka mendapatkan minuman dan kue. Tak jarang anak-anak memesan penganan kesukaan mereka untuk pertemuan berikutnya. Semuanya gratis. Dan, ini membuat mereka tahu bahwa betapa baiknya Tuhan. Mereka juga tahu bahwa tidak perlu kaya untuk memberi. Mereka bisa berbagi dalam keterbatasan. Dan, pelajaran ini tidak ada dalam kurikulum sekolah negeri, swasta, dengan harga uang masuk murah, sedang atau mengoyak kantong.

0 Comments :

Post a Comment

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
links
resources
hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community