Papa yang Bangga
Satu hal yang menarik saat misa hari Minggu adalah acara setelah komuni. Saat rombongan anak-anak mulai berjalan dalam dua baris sepanjang koridor tengah gereja. Barisan anak kecil yang kadang bersama orang tua, saudara atau pengasuhnya ini selalu membuatku tersenyum lama. Ada banyak taburan ekspresi indah di sini.
Nera kecilku biasanya sudah mulai meninggalkan bangku begitu Romo mulai turun dari altar untuk membagikan komuni. Padahal, umat di bangku paling depan yang pertama kali menerima komuni belum keluar dari bangku pun.
Nera memang mau lebih dahulu agar menjadi orang yang paling pertama menerima berkat dari Romo. Artinya, dia harus menunggu beberapa lama dalam barisan kecilnya itu untuk bisa maju ke depan menerima berkat Romo.
Setelah komuni terakhir dibagikan pada umat, barulah anak-anak kecil ini berbaris untuk mendapatkan Romo. Aku selalu memperhatikan, hampir setiap Romo memberi berkat dengan senyum, hangat, dan penuh sayang. Jadi pengen jadi anak kecil lagi deh hehehehe.
Aku suka sekali melihat wajah anak-anak kecil itu. Ada yang segera berlari dengan malu-malu menuju tempat duduk. Ada yang berjalan seperti suster atau romo kecil dengan tangan yang dalam posisi doa dan berjalan tegak. Ada yang berjalan sambil cengengesan. Ada yang mengejar teman atau adiknya. Ada yang menggandeng tangan adiknya seperti ibu menggandeng anaknya. Sementara sang adik berusaha lepas dari pegangan kakaknya. Ada yang menangis sambil mencari-cari orang tuanya. Ada yang tak mau kembali ke tempat duduk. Ada yang bahkan mencoba mengantre lagi untuk mendapat berkat.
Wajah-wajah pengantarnya juga selalu menyiratkan sesuatu. Hampir semua memancarkan wajah bangga karena telah membawa anaknya. Juga wajah bangga untuk memamerkan buah hatinya. Seperti mau bilang ke satu gereja, “Ini anak gue geto lo.’
Tapi, hari Minggu kemarin ada pemandangan yang belum pernah aku saksikan. Karena terlalu asyik berdoa, aku sampai tidak memperhatikan wajah-wajah anak yang berada di barisan paling depan untuk menerima berkat. Padahal, dari tempat dudukku aku bisa melihat wajah mereka ketika mereka maju mendekati barisan bangku terdepan.
Tetapi, gerakan seorang pria yang berjalan dari ujung deretan bangku sebelah kanan mengikuti anaknya yang berada di barisan tengah mengusikku. Pria ini berdiri paling depan, persis di depan bangku paling depan. Dia pasti menunggu anaknya.
Karena jaraknya terlalu jauh, saya juga tidak bisa melihat ke arah mana matanya menatap. Tapi, sorot bangganya itu yang membuat saya penasaran melihat anaknya. Saya bisa melihatnya karena dia berdiri paling depan dan umat dalam posisi duduk.
Tak berapa lama dia menunduk untuk meraih anaknya yang baru diberkati. Biasanya memang orang tuanya segera meraih anaknya dalam pelukan atau sekadar memegang tangan anaknya untuk bersama-sama ke bangku.
Ayah ini ternyata menggendong anaknya. Saya masih tidak bisa melihat jelas. Tapi, dia menggendong anak dengan baju garis-garis warna dasar abu-abu dengan setrip putih. Dia menggendong anaknya dengan sorot sayang dan wajah yang bangga.
Kami memang berada dalam posisi yang tidak terlalu dekat tapi aku bisa melihat dia berjalan dengan kepala tegak terangkat. Dia menggendong anaknya dalam posisi menghadapkan anaknya ke depan.
Di situlah saya bisa melihat anaknya jelas. Anaknya laki-laki. Berambut cepak. Berkulit putih. Sepertinya putranya yang tingginya seperti anak kelas satu atau dua sekolah dasar itu adalah anak berkebutuhan khusus.
Dada saya langsung tertusuk. Si ayah menggendong anaknya dengan wajahnya menghadap ke orang-orang. Seperti ayah-ayah yang lain dia juga mau bilang, “Anak gue geto lo.”
Pemandangan yang mendasyatkan.
Ketika banyak ayah mencintai anaknya karena prestasi, keahlian, keberhasilan, kehebatan. Ketika banyak ayah yang bangga hanya ketika anak-anaknya baik, manis, pintar, rajin, cantik, ganteng, sehat... Ketika banyak ayah banga karena anaknya sempurna seperti yang ada dalam iklan-iklan... Hari ini aku melihat seorang ayah yang bangga akan anaknya yang berkebutuhan khusus.
Selesai misa aku sudah siap-siap mendekati bangku ayah yang bangga ini. Aku penasaran melihat mereka berdua dari dekat. Aku juga ingin tahu bagaimana rupa ibunya.
Tapi sesuatu dalam diriku menahanku. Ada sesuatu yang lebih penting dari itu yang membuat aku terduduk dalam diam.
Aku seperti melihat diriku sendiri sebagai anak yang berkebutuhan khusus yang dipandang dengan sorot sayang dan bangga oleh Papaku di surga. Aku juga seperti melihat bahwa Papaku yang di Surga juga menggendongku dengan mukaku menghadap ke depan dan mau bilang pada dunia “Anak gue geto lo”.
Betapa berharganya aku mempunyai Papa yang bangga. Aku bersyukur karena dalam segala kekurangan dan ketidakberdayaanku aku tetap bisa menatap dunia dengan kepala tegak dan dagu terangkat karena ada dalam gendongan Papa yang bangga.
Bersama alunan lembut suara Nikita aku ingin bernyanyi,
Ke manakah kami mencari kasih sejati...
...Yang kami tahu hanya Kau yang mampu
Pulihkan segala sesuatu ...
Kami butuhkan sentuhan tangan-Mu
Kami tak dapat jalan sendiri
Kami perlu Kau Tuhan
Nera kecilku biasanya sudah mulai meninggalkan bangku begitu Romo mulai turun dari altar untuk membagikan komuni. Padahal, umat di bangku paling depan yang pertama kali menerima komuni belum keluar dari bangku pun.
Nera memang mau lebih dahulu agar menjadi orang yang paling pertama menerima berkat dari Romo. Artinya, dia harus menunggu beberapa lama dalam barisan kecilnya itu untuk bisa maju ke depan menerima berkat Romo.
Setelah komuni terakhir dibagikan pada umat, barulah anak-anak kecil ini berbaris untuk mendapatkan Romo. Aku selalu memperhatikan, hampir setiap Romo memberi berkat dengan senyum, hangat, dan penuh sayang. Jadi pengen jadi anak kecil lagi deh hehehehe.
Aku suka sekali melihat wajah anak-anak kecil itu. Ada yang segera berlari dengan malu-malu menuju tempat duduk. Ada yang berjalan seperti suster atau romo kecil dengan tangan yang dalam posisi doa dan berjalan tegak. Ada yang berjalan sambil cengengesan. Ada yang mengejar teman atau adiknya. Ada yang menggandeng tangan adiknya seperti ibu menggandeng anaknya. Sementara sang adik berusaha lepas dari pegangan kakaknya. Ada yang menangis sambil mencari-cari orang tuanya. Ada yang tak mau kembali ke tempat duduk. Ada yang bahkan mencoba mengantre lagi untuk mendapat berkat.
Wajah-wajah pengantarnya juga selalu menyiratkan sesuatu. Hampir semua memancarkan wajah bangga karena telah membawa anaknya. Juga wajah bangga untuk memamerkan buah hatinya. Seperti mau bilang ke satu gereja, “Ini anak gue geto lo.’
Tapi, hari Minggu kemarin ada pemandangan yang belum pernah aku saksikan. Karena terlalu asyik berdoa, aku sampai tidak memperhatikan wajah-wajah anak yang berada di barisan paling depan untuk menerima berkat. Padahal, dari tempat dudukku aku bisa melihat wajah mereka ketika mereka maju mendekati barisan bangku terdepan.
Tetapi, gerakan seorang pria yang berjalan dari ujung deretan bangku sebelah kanan mengikuti anaknya yang berada di barisan tengah mengusikku. Pria ini berdiri paling depan, persis di depan bangku paling depan. Dia pasti menunggu anaknya.
Karena jaraknya terlalu jauh, saya juga tidak bisa melihat ke arah mana matanya menatap. Tapi, sorot bangganya itu yang membuat saya penasaran melihat anaknya. Saya bisa melihatnya karena dia berdiri paling depan dan umat dalam posisi duduk.
Tak berapa lama dia menunduk untuk meraih anaknya yang baru diberkati. Biasanya memang orang tuanya segera meraih anaknya dalam pelukan atau sekadar memegang tangan anaknya untuk bersama-sama ke bangku.
Ayah ini ternyata menggendong anaknya. Saya masih tidak bisa melihat jelas. Tapi, dia menggendong anak dengan baju garis-garis warna dasar abu-abu dengan setrip putih. Dia menggendong anaknya dengan sorot sayang dan wajah yang bangga.
Kami memang berada dalam posisi yang tidak terlalu dekat tapi aku bisa melihat dia berjalan dengan kepala tegak terangkat. Dia menggendong anaknya dalam posisi menghadapkan anaknya ke depan.
Di situlah saya bisa melihat anaknya jelas. Anaknya laki-laki. Berambut cepak. Berkulit putih. Sepertinya putranya yang tingginya seperti anak kelas satu atau dua sekolah dasar itu adalah anak berkebutuhan khusus.
Dada saya langsung tertusuk. Si ayah menggendong anaknya dengan wajahnya menghadap ke orang-orang. Seperti ayah-ayah yang lain dia juga mau bilang, “Anak gue geto lo.”
Pemandangan yang mendasyatkan.
Ketika banyak ayah mencintai anaknya karena prestasi, keahlian, keberhasilan, kehebatan. Ketika banyak ayah yang bangga hanya ketika anak-anaknya baik, manis, pintar, rajin, cantik, ganteng, sehat... Ketika banyak ayah banga karena anaknya sempurna seperti yang ada dalam iklan-iklan... Hari ini aku melihat seorang ayah yang bangga akan anaknya yang berkebutuhan khusus.
Selesai misa aku sudah siap-siap mendekati bangku ayah yang bangga ini. Aku penasaran melihat mereka berdua dari dekat. Aku juga ingin tahu bagaimana rupa ibunya.
Tapi sesuatu dalam diriku menahanku. Ada sesuatu yang lebih penting dari itu yang membuat aku terduduk dalam diam.
Aku seperti melihat diriku sendiri sebagai anak yang berkebutuhan khusus yang dipandang dengan sorot sayang dan bangga oleh Papaku di surga. Aku juga seperti melihat bahwa Papaku yang di Surga juga menggendongku dengan mukaku menghadap ke depan dan mau bilang pada dunia “Anak gue geto lo”.
Betapa berharganya aku mempunyai Papa yang bangga. Aku bersyukur karena dalam segala kekurangan dan ketidakberdayaanku aku tetap bisa menatap dunia dengan kepala tegak dan dagu terangkat karena ada dalam gendongan Papa yang bangga.
Bersama alunan lembut suara Nikita aku ingin bernyanyi,
Ke manakah kami mencari kasih sejati...
...Yang kami tahu hanya Kau yang mampu
Pulihkan segala sesuatu ...
Kami butuhkan sentuhan tangan-Mu
Kami tak dapat jalan sendiri
Kami perlu Kau Tuhan