<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Wednesday, November 23, 2011

Papa yang Bangga 

Satu hal yang menarik saat misa hari Minggu adalah acara setelah komuni. Saat rombongan anak-anak mulai berjalan dalam dua baris sepanjang koridor tengah gereja. Barisan anak kecil yang kadang bersama orang tua, saudara atau pengasuhnya ini selalu membuatku tersenyum lama. Ada banyak taburan ekspresi indah di sini.

Nera kecilku biasanya sudah mulai meninggalkan bangku begitu Romo mulai turun dari altar untuk membagikan komuni. Padahal, umat di bangku paling depan yang pertama kali menerima komuni belum keluar dari bangku pun.

Nera memang mau lebih dahulu agar menjadi orang yang paling pertama menerima berkat dari Romo. Artinya, dia harus menunggu beberapa lama dalam barisan kecilnya itu untuk bisa maju ke depan menerima berkat Romo.

Setelah komuni terakhir dibagikan pada umat, barulah anak-anak kecil ini berbaris untuk mendapatkan Romo. Aku selalu memperhatikan, hampir setiap Romo memberi berkat dengan senyum, hangat, dan penuh sayang. Jadi pengen jadi anak kecil lagi deh hehehehe.

Aku suka sekali melihat wajah anak-anak kecil itu. Ada yang segera berlari dengan malu-malu menuju tempat duduk. Ada yang berjalan seperti suster atau romo kecil dengan tangan yang dalam posisi doa dan berjalan tegak. Ada yang berjalan sambil cengengesan. Ada yang mengejar teman atau adiknya. Ada yang menggandeng tangan adiknya seperti ibu menggandeng anaknya. Sementara sang adik berusaha lepas dari pegangan kakaknya. Ada yang menangis sambil mencari-cari orang tuanya. Ada yang tak mau kembali ke tempat duduk. Ada yang bahkan mencoba mengantre lagi untuk mendapat berkat.

Wajah-wajah pengantarnya juga selalu menyiratkan sesuatu. Hampir semua memancarkan wajah bangga karena telah membawa anaknya. Juga wajah bangga untuk memamerkan buah hatinya. Seperti mau bilang ke satu gereja, “Ini anak gue geto lo.’

Tapi, hari Minggu kemarin ada pemandangan yang belum pernah aku saksikan. Karena terlalu asyik berdoa, aku sampai tidak memperhatikan wajah-wajah anak yang berada di barisan paling depan untuk menerima berkat. Padahal, dari tempat dudukku aku bisa melihat wajah mereka ketika mereka maju mendekati barisan bangku terdepan.

Tetapi, gerakan seorang pria yang berjalan dari ujung deretan bangku sebelah kanan mengikuti anaknya yang berada di barisan tengah mengusikku. Pria ini berdiri paling depan, persis di depan bangku paling depan. Dia pasti menunggu anaknya.

Karena jaraknya terlalu jauh, saya juga tidak bisa melihat ke arah mana matanya menatap. Tapi, sorot bangganya itu yang membuat saya penasaran melihat anaknya. Saya bisa melihatnya karena dia berdiri paling depan dan umat dalam posisi duduk.

Tak berapa lama dia menunduk untuk meraih anaknya yang baru diberkati. Biasanya memang orang tuanya segera meraih anaknya dalam pelukan atau sekadar memegang tangan anaknya untuk bersama-sama ke bangku.

Ayah ini ternyata menggendong anaknya. Saya masih tidak bisa melihat jelas. Tapi, dia menggendong anak dengan baju garis-garis warna dasar abu-abu dengan setrip putih. Dia menggendong anaknya dengan sorot sayang dan wajah yang bangga.

Kami memang berada dalam posisi yang tidak terlalu dekat tapi aku bisa melihat dia berjalan dengan kepala tegak terangkat. Dia menggendong anaknya dalam posisi menghadapkan anaknya ke depan.

Di situlah saya bisa melihat anaknya jelas. Anaknya laki-laki. Berambut cepak. Berkulit putih. Sepertinya putranya yang tingginya seperti anak kelas satu atau dua sekolah dasar itu adalah anak berkebutuhan khusus.

Dada saya langsung tertusuk. Si ayah menggendong anaknya dengan wajahnya menghadap ke orang-orang. Seperti ayah-ayah yang lain dia juga mau bilang, “Anak gue geto lo.”

Pemandangan yang mendasyatkan.

Ketika banyak ayah mencintai anaknya karena prestasi, keahlian, keberhasilan, kehebatan. Ketika banyak ayah yang bangga hanya ketika anak-anaknya baik, manis, pintar, rajin, cantik, ganteng, sehat... Ketika banyak ayah banga karena anaknya sempurna seperti yang ada dalam iklan-iklan... Hari ini aku melihat seorang ayah yang bangga akan anaknya yang berkebutuhan khusus.

Selesai misa aku sudah siap-siap mendekati bangku ayah yang bangga ini. Aku penasaran melihat mereka berdua dari dekat. Aku juga ingin tahu bagaimana rupa ibunya.

Tapi sesuatu dalam diriku menahanku. Ada sesuatu yang lebih penting dari itu yang membuat aku terduduk dalam diam.

Aku seperti melihat diriku sendiri sebagai anak yang berkebutuhan khusus yang dipandang dengan sorot sayang dan bangga oleh Papaku di surga. Aku juga seperti melihat bahwa Papaku yang di Surga juga menggendongku dengan mukaku menghadap ke depan dan mau bilang pada dunia “Anak gue geto lo”.

Betapa berharganya aku mempunyai Papa yang bangga. Aku bersyukur karena dalam segala kekurangan dan ketidakberdayaanku aku tetap bisa menatap dunia dengan kepala tegak dan dagu terangkat karena ada dalam gendongan Papa yang bangga.

Bersama alunan lembut suara Nikita aku ingin bernyanyi,

Ke manakah kami mencari kasih sejati...
...Yang kami tahu hanya Kau yang mampu
Pulihkan segala sesuatu ...
Kami butuhkan sentuhan tangan-Mu

Kami tak dapat jalan sendiri

Kami perlu Kau Tuhan

0 Comments :

Post a Comment

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community