“Ketika Aku...”
Aku bangun pukul tujuh lewat. Perutku yang membangunkanku. Biasanya pada jam yang sama perut kecilku ini sudah terisi sarapan hangat dan segelas teh manis. Tapi, kayaknya pagi ini dia tersenyum kecil dengan kopi moccachino yang mengepul di cangkir bening.
Aku harus bersiap-siap untuk ikut misa pukul 09.00. Aku sudah janjian dengan seorang tante untuk pergi bareng setenga jam sebelum misa mulai. Kami berdua berjalan kaki ke gereja.
Ini pertama kali aku ikut misa di Gereja Hati Kudus Kramat, Jakarta Pusat. Gereja dengan langit setinggi sekitar lima kali tinggiku yang hampir mencapai 160 sentimeter. Apa perkiraanku ketinggian ya??? Soalnya, tingginya itu membawa kesan yang sangat dan amat lapang bagiku. Angin berseliweran dari beberapa kipas angin yang menggantung di sepertiga dari pilar yang menyangga atap.
Patung St Antonius dengan bayi Yesus di kiri dan patung St. Fransiskus dari Asisi dengan dua telapak tangan rebah di dada membentuk huruf x. Tadi sebelum mencapai pintu gerbang aku melihat seorang romo berjubah cokelat dengan tali pinggang putih, seperti tali pramuka. Dia Romo Fransiskan rupanya, seperti St Antontius dan St Fransiskus yang berdiri beberapa meter sebelum altar. Altar gereja ini bercahaya ke-emasan.
Bunda Maria menanti di sayap kiri altar dan Hati Kudus Yesus berdiri dengan tangan terbuka di sayap kanan.
Aku duduk di bangku paling depan di deretan kursi yang barisan belakanganya berjarak sekitar satu meter dari pintu masuk gereja. Aku pun tenggelam dalam liturgi di misa. Di luar mendung.
Ternyata, Romo yang tadi aku lihat di depan gereja itu yang memberikan kotbah. Aku sering melihat Romo ini memimpin misa pagi di kapel susteran Bunda Hati Kudus. Rasanya berbeda melihat Romo ini memakai jubah Fransiskannya. Menggetarkan. Begitu sederhana. Biasanya tubuh gempalnya ditutup jubah putih atau hijau, kuning atau merah saat memimpin misa pagi.
Romo berkaca mata ini bercerita tentang sebuah tradisi di Jepang. Yakni, ada suatu saat ketika orang-orang Jepang membawa orang tuanya yang renta dan pikun ke hutan. Di sanalah para orang tua yang tak berdaya ini dibuang.
Adalah seorang pria yang menjalankan tradisi ini. Dia menggendong ibunya yang kakinya lumpuh ke hutan lebat. Sepanjang perjalanan, tangan ibunya berusaha mengambil ranting-ranting pohon di dekatnya. Menjatuhkan ranting-ranting itu ke tanah. Sampailah mereka di tengah hutan. Dengan berat si anak mengucapkan kata-kata perpisahan.
“Ibu, saya sangat sedih harus melakukan ini,” kata si anak.
Ibunya menjawab lembut.
“Ibu mengerti anakku. Ibu menyayangimu sejak kamu dalam kandungan dan memeliharamu sampai besar. Ibu tetap menyayangimu sampai saat ini dan terus melindungimu. Sepanjang jalan tadi ibu sudah meninggalkan jejak ranting agar kamu tidak tersesat keluar dari hutan. Ibu tetap menyayangimu, Nak.”
Si anak menangis keras dan memeluk ibunya. Dia menggendong ibunya dan membawa pulang ibunya melintasi ranting-ranting kayu dan pulang ke rumah. Dia memelihara ibunya dengan penuh kasih sayang sampai maut menjemput ibunya.
Dalam penutup kotbahnya, Romo berambut keriting ini mengingatkan kembali tentang peringatan misa hari ini: Hari Raya Yesus Kristus Raja Alam Semesta. Ini adalah misa terakhir sebelum memasuki masa Adven pekan depan.
Romo berkata, “Siapakah Rajamu sekarang? Kekuasaan? Keuangan? Kecemasan? Dirimu? Kecabulan? Karier? Kekhawatiran? Pikiran jahat?
Apakah Yesus Raja Semesta Alam sudah benar-benar menjadi Rajamu? Raja dalam keluargamu? Raja dalam hari-harimu? Raja dalam hatimu?
Bagaimana kamu bisa melayani Rajamu?” kata Romo.
Aku tahu jawabannya. Semuanya ada dalam bacaan Injil yang Romo bacakan tadi di Matius 25:31-46.
“Ketika Aku lapar... beri Aku makan...
Ketika Aku haus,... beri Aku minum...
Ketika Aku orang asing,... beri Aku tumpangan
Ketika Aku telanjang,... beri Aku pakaian
Ketika Aku sakit dan dalam penjara,... lawat Aku.”
Dalam duduk tegak, napas teratur dan mata tertutup aku menyimak kotbah penuh rahmat dari Romo yang penuh rahmat.
Dalam misa yang tersaput mendung aku bermandikan rahmat. Aku mau seperti Bunda Teresa, maju dan “berbuat kecil” melayani Yesus Raja Semesta Alamku dengan “kasih yang besar”. Kasihnya semua datang dari dan karena Tuhan saja.
Tulisan kecil “Ketika Aku...” ini adalah awal.