<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Friday, August 19, 2005
Happy Are They
Brother Roger of Taize


One of the first things Christ says in the Gospel is this: "Happy the simple-hearted!" Yes, happy those who head towards simplicity, simplicity of heart and simplicity of life.

A simple heart attempts to live in the present moment, to welcome each day as God`s today... Simplifying our life enables us to share with the least fortunate, in order to alleviate suffering where there is disease, poverty, famine...

Where can we find the simplicity indispensable for living out the Gospel? Some words of Christ enlighten us. One day he said to his disciples, "Let the little children come to me; the realities of God are for those who are like them."

And so we would like to say to God: "God, you love us: turn us into people who are humble; give us great simplicity in our prayer, in human relationships, in welcoming others."


Thursday, August 18, 2005
Kabut Tipis

Perasaanku tidak enak hari ini. Ada yang mengganggu hatiku dan mempengaruhi gerak tubuhku. Tapi, pikiranku tak mampu menemukan butiran pasir yang mengusik beberapa jam di hari ke-18 ini.

Rasanya tidak ada hal yang aku lewati sejak membuka hari ini di rumah. Ada sapaan selamat pagi menyegarkan dari seorang teman. Ada susu cokelat hangat di antara instrumen lembut dari saksofon Didi SSS. Aku keluar rumah diantar suara legit Ruben Studdard Flying Without Wings...

Di kantor juga ramai seperti biasa. Ada canda dan tawa lebar. Belum lama duduk di depan monitor, dengan semangat 45, temanku Toti (Bakar), berteriak di antara pintu ruanganku. "Tin, gue besok maen bola di Senayan." Dia juga menyebutkan lengkap lokasi dan jam pertandingan dengan kencang. "Oh ya, aku ke sana deh, besok kan jadwal Dony Kesuma latihan sofbol," kataku. Dia meringis di antara gelak teman-teman lain. (Tenang Toti Bakar :), akan ada rombongan pemandu sorak yang bergerak ke Senayan, besok. Toti Bakarku ini dulu anggota Persija Junior dan nyaris masuk Primavera--seangkatan dengan Kurniawan Dwi Julianto. Yang terpenting Toti Bakar ini temanku! Mana mungkin aku melewatkan kesempatan menonton dia bertarung melawan kesebelasan lantai tujuh, hehehhe)

Hari merangkak sore. Menit dan jam berjalan. Aku tetap makan bakwan di bawah jembatan di depan kantor (aku jarang absen). Aku chatting dengan beberapa teman sekaligus :) Aku bertukar pesan dan berbagi kata cinta. Tapi, tetap saja perasaan tak enak itu masih ada. Kenapa ya?

Mungkin ada yang marah padaku. Tapi, aku nggak tahu. Wah. Kenapa nggak bilang terus terang, ya? Nggak enak kan, aku ketawa-ketiwi, sementara ada yang sakit hati. Bisa disangka sedang menambah bara di hati dan pikirannya.... Padahal, aku benar-benar nggak tahu. Maafkan daku, hiks. Mungkin ini cuma perasaanku saja.

Teeetot! Waktu untuk bermain-main dengan perasaan sudah selesai. Ada banyak warna di luar sana yang mulai memudar. Mau harimu terus ditudingi kabut tipis? Ngggggggggggggggak!

Dan, pesan itu masuk ketika hari mendekati petang. Days, smtms lost its taste. And only when I realize, there still you, then my feeling smile again. Thanks...So much for just bein there.... Tongkat peri ada di tanganku. "Enyahlah kabut tipis. Deeeeh!"

Thanks Marta :) I love you!


Friday, August 12, 2005
A Circle of Compassion
Albert Einstein

A human being is a part of the whole that we call the universe, a part limited in time and space. And yet we experience ourselves, our thoughts and feelings, as something separated from the rest-a kind of optical illusion of our consciousness. This illusion is a prison for us, restricting us to our personal desires and to affection for only the few people nearest us. Our task must be to free ourselves from this prison by widening our circle of compassion to embrace all living beings and all of nature.


Tuesday, August 09, 2005
Sendirian

Kadang-kadang aku ingin bersembunyi dari orang-orang. Tak mau bersua dan menyapa. Aku ingin diam dan memasang wajah tanpa ekspresi. Tak ada suara dan senyum. Tak ada sentuhan. Tak ada gerakan dadah, setengah membungkuk, geleng kepala atau mengangguk. Aku ingin benar-benar sendirian.

Temanku pernah mengingatkan bahwa manusia itu makhluk yang berorganisasi. Dia selalu butuh orang lain. Aku tidak menyanggah. Itu benar adanya. Tapi, ya, itu tadi ada saat-saat aku benar-benar ingin sendirian saja. Dan, sejauh ini, kesempatan itu belum pernah mampir atau aku yang justru melewatkannya...

Rencanaku untuk menghabiskan waktu untuk diriku sendiri selalu tidak kesampaian. Ambil contoh, aku sedang menyusun rencana itu ketika sepupu kecilku mengatakan mau menginap di tempat kosku. Seperti biasa, rencanaku hilang begitu saja. Aku lebih tertarik bersama sepupuku ini. Coba deh, dia bela-belain mengisi beberapa hari liburnya di kontrakanku. Mana ada anak kecil yang mau liburan dengan anak-anak kos-kosan. Nggak ada kan. Memang :) Tapi, Angela, sepupuku, mau. Dan, Wulan mendapat kehormatan menemaninya dan menginap juga di tempatku.

Setelah tiga hari menginap dan makan dengan gaya anak kos, Angelaku yang kala itu baru naik kelas empat SD dijemput Om dan Tanteku. Aku memang dekat dengan sepupu-sepupuku tersayang ini sejak mereka lahir. Sebab, aku dahulu tinggal bersama mereka. Kita jarang ketemu karena mereka pindah di daerah Cileduk. Mau ke sana jauh banget. Sudah begitu kita nggak bisa lama-lama paling banter empat jam. Kalau menginap juga nggak enak pulangnya, macet. Ah, jarak memang paling enak dijadikan kambing guling, eh, hitam :)

Seminggu kemudian, adik Angela, Lino namanya, minta menginap di tempatku. Ini benar-benar surprise. Linoku ini masih tidur sekamar dengan mama dan papanya dan agak kolokan. Aku benar-benar terharu. Jadilah Lino yang naik kelas dua menginap di tempat kami Jumat sampai Sabtu sore. Moses yang menemani dia.

Selama itu Lino benar-benar tidak manja. Manis banget. Moses yang justru sengaja memamerkan kemanjaannya. Seperti anak-anak lainnya, Lino juga tersipu malu ketika aku mengajak Jeny, adikku, dan Moses menciuminya serentak setelah aba-aba "Semua sayang Lino." Kami sekeluarga terbiasa melakukan ini pada semua anak-anak kecil. Dan reaksi mereka sama: malu-malu dan menunggu agar dicium serentak berkali-kali dengan aba-aba yang diubah-ubah. "Semua sayang tangan, pipi, kepala, rambut... Lino."

Tapi, rencana berubah. Lino mau dijemput Minggu siang saja. Sebab, dia mau ikut PAA. Linoku ini ternyata gampang bergaul. Dia bisa menghafal semua nama anak-anak dalam tempo cepat. Dia juga bersemangat, termasuk ketika menggambar. PAA sudah selesai, dan anak-anak mulai meninggalkan rumah Abangku. Tiba-tiba Lino menangis dengan keras. Rupanya gambarnya berantakan gara-gara ditabrak salah satu anak yang masih balita. Aku sudah berusaha membujuknya dengan memberikan gambar baru. "Tapi, aku capek Kak," katanya dengan mata berlinang. Kolokannya keluar deh.

Abangku dan Moses berusaha membujuknya. Moses mengajari dia mengakali gambarnya dengan menggores krayon dengan warna yang sama. Meski ogah-ogahan akhirnya dia tersenyum juga.

Selesai misa Minggu siang, aku, Lino, Wulan, Moses, Nera, Abangku dan istrinya langsung ke tempat mainan anak-anak di mal terdekat. Kita janjian ketemu Om dan Tanteku di sana. Selesai makan dan bermain akhirnya kita semua pulang. Omku mengantarkan Abangku ke rumahnya dan aku memilih pulang sendiri ke tempatku dan menolak diantar. Akhirnya aku bisa sendirian juga pikirku. Aku langsung ke salon.

Begitu tiba di rumah, Jeny langsung bertanya, "Kok baru pulang?" Belum sempat menjawab, Moses muncul menyambutku. Lo?

"Moses kasihan liat Ne pulang sendiri. Lino kan minta Opa (Omku) ngejar Ne biar dianterin. Tapi, Ne udah nggak ada. Kita semua kasihan liat Ne jalan sendirian. Jadi Papa antar Moses ke sini." Hmmm, baru mau sendirian :)

Minggu kemarin, aku menolak dengan halus untuk bertemu teman-temanku. Aku memang masih sibuk dengan urusan pindah kontrakan. Kayaknya rumah masih berantakan. Padahal, teman-temanku ini mau bersabar menungguku sampai jam lima sore. Aku malah memilih mematikan HP agar tidak dihubungi. Kalau nggak begini, kapan aku bisa sendirian... Padahal, aku nggak sendirian banget, aku melewatkan waktu dengan dua adik tersayangku.

Keesokan harinya aku pikir aku bisa sendirian sampai malam. Aku juga menolak bertemu teman-temanku dengan alasan nggak bisa keluar rumah karena belum bikin duplikat kunci rumah. Jeny baru hari pertama kerja jadi pulang petang dan Ronny ke kampus sampai malam.

Tapi, sekitar jam empat sore, ada suara yang membangunkanku dari tidur. Itu pasti Mbak Christine. Dia menemukan tempat baruku. "Aku cari-cari aja, kalau nggak ketemu nggak apa-apa, kalau ketemu ya, syukur," kata dia, dengan suara keras. Temanku yang satu ini selalu bicara dengan suara kencang.

Mbakku ini ke tempatku sambil menunggu waktu untuk misa harian. Wah, ada teman, aku pun bersemangat ikut misa dengan dia. Selesai misa dia bilang, "Maaf ya aku bangunin kamu. Padahal kamu mau istirahat." "Nggak, kalau Mbak nggak ke tempatku aku nggak ada di sini sekarang," kataku.

Sambil menikmati keheningan gereja aku bergumam sendiri. "Terima kasih Tuhan untuk mengingatkan aku bahwa aku tidak akan pernah sendirian, bahkan di saat aku pikir aku sedang menikmati kesendirianku."

Saturday, August 06, 2005
Beking

"Kamu kok tenang-tenang saja. Siapa beking kamu!"

Abangku kena musibah. Sepeda motornya ditabrak dari belakang ketika berada di belakang truk yang sedang berhenti sejenak menunggu mobil di depannya yang akan belok. Abangku cuma lecet-lecet karena segera meloncat ketika diseruduk. Namun, pengemudi sepeda motor yang menabrak itu yang parah. Dia harus dirawat di rumah sakit dan dioperasi.

Gawatnya entah kenapa Abangku tidak melaporkan kecelakaan ini ke polisi. Dia malah memilih jalan damai. Abangku, sopir truk dan keneknya bersedia ikut untuk membantu pengendara sepeda motor yang parah itu.

Terus datanglah seseorang yang mengaku omnya korban. Dengan mengaku mayor polisi dia menekan-nekan Abangku supaya membiayai operasi korban dengan menetapkan nilai nominal tertentu. Bukan cuma itu, dia juga mengancam dan sempat membawa-bawa preman dengan maksud mengintimidasi Abangku. Tapi, orang-orang yang dibawa mayor itu mengajak Abangku berdoa dan menyarankan Abangku memberi uang semampunya. Tapi, si mayor tetap ngotot dengan jumlah nominal tertentu.

Aku sebal banget mendengar cerita ini dari Abangku yang meneleponku di kantor jam satu pagi lebih. Mustinya Abangku tahu harus buat apa dalam kondisi-kondisi begini. Tapi, dia memilih menyelesaikan masalah bukan dengan prosedur yang benar, yakni di kantor polisi. Padahal, dia bisa mencabut laporan setelah itu. Sudah begitu, si mayor menahan sepeda motor dan STNK Abangku lagi. Dan, Abangku manut saja. Huuuuuuu.

Si mayor juga memaksa Abangku meneken surat pernyataan bahwa Abangku bersalah dan mau membiayai si korban sampai sembuh. "Wah, kalau begini kita selesaikan di kantor polisi saja. Saya tidak salah kok," kata Abangku. "Saya kenal semua polisi di sini, nanti kamu malah dimintai uang sama mereka," kata si mayor ini. Benar-benar deh. Aku cuma bilang di telepon, "Berdoa, berdoa," setelah mengomeli Abangku beberapa saat.

Ini bukan kali pertama Abangku berhubungan dengan masalah yang berbau hukum. Aku juga sering bertanya-tanya sendiri tentang pengalaman hidup Abangku itu. Dia harus ditegur Tuhan dengan cara yang keras. Dengan cara lembut sepertinya nggak mempan. Aku hanya berdoa agar kali ini, Abangku benar-benar mau serius sama Tuhan, nggak datang pas susaaaaaaaaaaaah saja.

Sampai di rumah, istri Abangku meneleponku. Abangku sedang menemui si mayor untuk mengambil sepeda motor dan STNK. Istrinya bilang, Abangku sempat berkonsultasi dengan pengacara yang menyarankan dia lapor polisi. "Itu pemerasan namanya." Temannya yang lain menyarankan bujuk dulu si mayor agar mengembalikan STNK. "Kalau nggak mau, baru kita turun!"

Aku bilang sama iparku agar mengajak suaminya itu berdoa bareng sama anak-anak. Coba renungkan kembali hubungan keluarga mereka dengan Tuhan. "Iya, aku juga sudah bicara dengan dia. Mungkin bukan kamu saja, aku juga nggak benar sama Tuhan," kata iparku. Aku tak berhenti memuji Tuhan sepanjang perbincangan itu. Sebab, iparku tidak pernah berbicara begini sama aku. Selesai menelepon aku kembali berdoa yang sama: biar Abangku dan istrinya mau serius sama Tuhan nggak datang pas perluuuuuuuuu saja.

Keesokan harinya, sekitar jam delapan malam, aku kembali menelepon rumah Abangku. "Sudah aman," kata istrinya. Dia pun bercerita. Abangku pergi menemui si mayor ditemani keponakanku. Anehnya, Abangku dan keponakanku hanya menunggu di luar rumah korban. Dia juga dilarang menemui korban di rumah sakit. Padahal, mereka mau menjenguk korban yang ternyata buruh di Cileungsi, Jabar. Si mayor hanya mau menyerahkan STNK dan sepeda motor setelah Abangku menyerahkan uang yang dia tentukan.

Saat menunggu itu, sepupuku--papanya keponakanku--berkali-kali menelepon. Melihat ini, si mayor jadi naik darah. "Kamu punya beking, ya, makanya tenang-tenang saja. Siapa beking kamu!" Abangku tak peduli. Setelah ditanya beberapa kali Abangku menjawab juga. "Saya nggak punya beking. Beking saya Tuhan!"

Si mayor masuk ke rumah dan beberapa saat keluar lagi. Namun, suasana sudah lebih cair. Setelah berbincang-bincang ketahuan, ternyata si mayor ini bukan polisi. "Saya tentara, 16 tahun tugas di Timor Timur," kata dia. Keponakanku orang Timtim yang prointegrasi. Jadilah mereka mengobrol soal Timtim.

Rupanya si mayor ini memang terbiasa jadi beking dan dibekingi orang. Makanya yang ada di otaknya cuma itu. Semua orang yang dia sebut, ternyata keluarga sepupuku, papanya keponakanku. Sikapnya jadi berubah 180 derajat. "Di ujung telepon sepupuku bilang, dia pasti kroco, jangan bawa-bawa militer dengan saya."

Si mayor berubah sikap dalam sekejap. Dia memanggil Abangku, "Dek." Dia juga menelepon istri Abangku untuk minta maaf. Persoalan selesai dengan damai dan Abangku hari itu juga membawa pulang sepeda motor dan STNK. Sepeda motor yang rusak itu bisa jalan dari Cilengsi ke rumahnya di Bogor.

Lihat, apa yang terjadi ketika Abangku mengucapkan; "Bekingku Tuhan!"

"Iya, dia berdoa berlutut semalaman, Ne. Seharian aku juga berdoa terus dengan anak-anak," kata iparku.

Aku lega. Tuhan memang dahsyat. Semoga, Abangku dan istrinya benar-benar serius untuk dibekingi Tuhan. Amin.


home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community