Beking
"Kamu kok tenang-tenang saja. Siapa beking kamu!"
Abangku kena musibah. Sepeda motornya ditabrak dari belakang ketika berada di belakang truk yang sedang berhenti sejenak menunggu mobil di depannya yang akan belok. Abangku cuma lecet-lecet karena segera meloncat ketika diseruduk. Namun, pengemudi sepeda motor yang menabrak itu yang parah. Dia harus dirawat di rumah sakit dan dioperasi.
Gawatnya entah kenapa Abangku tidak melaporkan kecelakaan ini ke polisi. Dia malah memilih jalan damai. Abangku, sopir truk dan keneknya bersedia ikut untuk membantu pengendara sepeda motor yang parah itu.
Terus datanglah seseorang yang mengaku omnya korban. Dengan mengaku mayor polisi dia menekan-nekan Abangku supaya membiayai operasi korban dengan menetapkan nilai nominal tertentu. Bukan cuma itu, dia juga mengancam dan sempat membawa-bawa preman dengan maksud mengintimidasi Abangku. Tapi, orang-orang yang dibawa mayor itu mengajak Abangku berdoa dan menyarankan Abangku memberi uang semampunya. Tapi, si mayor tetap ngotot dengan jumlah nominal tertentu.
Aku sebal banget mendengar cerita ini dari Abangku yang meneleponku di kantor jam satu pagi lebih. Mustinya Abangku tahu harus buat apa dalam kondisi-kondisi begini. Tapi, dia memilih menyelesaikan masalah bukan dengan prosedur yang benar, yakni di kantor polisi. Padahal, dia bisa mencabut laporan setelah itu. Sudah begitu, si mayor menahan sepeda motor dan STNK Abangku lagi. Dan, Abangku manut saja. Huuuuuuu.
Si mayor juga memaksa Abangku meneken surat pernyataan bahwa Abangku bersalah dan mau membiayai si korban sampai sembuh. "Wah, kalau begini kita selesaikan di kantor polisi saja. Saya tidak salah kok," kata Abangku. "Saya kenal semua polisi di sini, nanti kamu malah dimintai uang sama mereka," kata si mayor ini. Benar-benar deh. Aku cuma bilang di telepon, "Berdoa, berdoa," setelah mengomeli Abangku beberapa saat.
Ini bukan kali pertama Abangku berhubungan dengan masalah yang berbau hukum. Aku juga sering bertanya-tanya sendiri tentang pengalaman hidup Abangku itu. Dia harus ditegur Tuhan dengan cara yang keras. Dengan cara lembut sepertinya nggak mempan. Aku hanya berdoa agar kali ini, Abangku benar-benar mau serius sama Tuhan, nggak datang pas susaaaaaaaaaaaah saja.
Sampai di rumah, istri Abangku meneleponku. Abangku sedang menemui si mayor untuk mengambil sepeda motor dan STNK. Istrinya bilang, Abangku sempat berkonsultasi dengan pengacara yang menyarankan dia lapor polisi. "Itu pemerasan namanya." Temannya yang lain menyarankan bujuk dulu si mayor agar mengembalikan STNK. "Kalau nggak mau, baru kita turun!"
Aku bilang sama iparku agar mengajak suaminya itu berdoa bareng sama anak-anak. Coba renungkan kembali hubungan keluarga mereka dengan Tuhan. "Iya, aku juga sudah bicara dengan dia. Mungkin bukan kamu saja, aku juga nggak benar sama Tuhan," kata iparku. Aku tak berhenti memuji Tuhan sepanjang perbincangan itu. Sebab, iparku tidak pernah berbicara begini sama aku. Selesai menelepon aku kembali berdoa yang sama: biar Abangku dan istrinya mau serius sama Tuhan nggak datang pas perluuuuuuuuu saja.
Keesokan harinya, sekitar jam delapan malam, aku kembali menelepon rumah Abangku. "Sudah aman," kata istrinya. Dia pun bercerita. Abangku pergi menemui si mayor ditemani keponakanku. Anehnya, Abangku dan keponakanku hanya menunggu di luar rumah korban. Dia juga dilarang menemui korban di rumah sakit. Padahal, mereka mau menjenguk korban yang ternyata buruh di Cileungsi, Jabar. Si mayor hanya mau menyerahkan STNK dan sepeda motor setelah Abangku menyerahkan uang yang dia tentukan.
Saat menunggu itu, sepupuku--papanya keponakanku--berkali-kali menelepon. Melihat ini, si mayor jadi naik darah. "Kamu punya beking, ya, makanya tenang-tenang saja. Siapa beking kamu!" Abangku tak peduli. Setelah ditanya beberapa kali Abangku menjawab juga. "Saya nggak punya beking. Beking saya Tuhan!"
Si mayor masuk ke rumah dan beberapa saat keluar lagi. Namun, suasana sudah lebih cair. Setelah berbincang-bincang ketahuan, ternyata si mayor ini bukan polisi. "Saya tentara, 16 tahun tugas di Timor Timur," kata dia. Keponakanku orang Timtim yang prointegrasi. Jadilah mereka mengobrol soal Timtim.
Rupanya si mayor ini memang terbiasa jadi beking dan dibekingi orang. Makanya yang ada di otaknya cuma itu. Semua orang yang dia sebut, ternyata keluarga sepupuku, papanya keponakanku. Sikapnya jadi berubah 180 derajat. "Di ujung telepon sepupuku bilang, dia pasti kroco, jangan bawa-bawa militer dengan saya."
Si mayor berubah sikap dalam sekejap. Dia memanggil Abangku, "Dek." Dia juga menelepon istri Abangku untuk minta maaf. Persoalan selesai dengan damai dan Abangku hari itu juga membawa pulang sepeda motor dan STNK. Sepeda motor yang rusak itu bisa jalan dari Cilengsi ke rumahnya di Bogor.
Lihat, apa yang terjadi ketika Abangku mengucapkan; "Bekingku Tuhan!"
"Iya, dia berdoa berlutut semalaman, Ne. Seharian aku juga berdoa terus dengan anak-anak," kata iparku.
Aku lega. Tuhan memang dahsyat. Semoga, Abangku dan istrinya benar-benar serius untuk dibekingi Tuhan. Amin.
"Kamu kok tenang-tenang saja. Siapa beking kamu!"
Abangku kena musibah. Sepeda motornya ditabrak dari belakang ketika berada di belakang truk yang sedang berhenti sejenak menunggu mobil di depannya yang akan belok. Abangku cuma lecet-lecet karena segera meloncat ketika diseruduk. Namun, pengemudi sepeda motor yang menabrak itu yang parah. Dia harus dirawat di rumah sakit dan dioperasi.
Gawatnya entah kenapa Abangku tidak melaporkan kecelakaan ini ke polisi. Dia malah memilih jalan damai. Abangku, sopir truk dan keneknya bersedia ikut untuk membantu pengendara sepeda motor yang parah itu.
Terus datanglah seseorang yang mengaku omnya korban. Dengan mengaku mayor polisi dia menekan-nekan Abangku supaya membiayai operasi korban dengan menetapkan nilai nominal tertentu. Bukan cuma itu, dia juga mengancam dan sempat membawa-bawa preman dengan maksud mengintimidasi Abangku. Tapi, orang-orang yang dibawa mayor itu mengajak Abangku berdoa dan menyarankan Abangku memberi uang semampunya. Tapi, si mayor tetap ngotot dengan jumlah nominal tertentu.
Aku sebal banget mendengar cerita ini dari Abangku yang meneleponku di kantor jam satu pagi lebih. Mustinya Abangku tahu harus buat apa dalam kondisi-kondisi begini. Tapi, dia memilih menyelesaikan masalah bukan dengan prosedur yang benar, yakni di kantor polisi. Padahal, dia bisa mencabut laporan setelah itu. Sudah begitu, si mayor menahan sepeda motor dan STNK Abangku lagi. Dan, Abangku manut saja. Huuuuuuu.
Si mayor juga memaksa Abangku meneken surat pernyataan bahwa Abangku bersalah dan mau membiayai si korban sampai sembuh. "Wah, kalau begini kita selesaikan di kantor polisi saja. Saya tidak salah kok," kata Abangku. "Saya kenal semua polisi di sini, nanti kamu malah dimintai uang sama mereka," kata si mayor ini. Benar-benar deh. Aku cuma bilang di telepon, "Berdoa, berdoa," setelah mengomeli Abangku beberapa saat.
Ini bukan kali pertama Abangku berhubungan dengan masalah yang berbau hukum. Aku juga sering bertanya-tanya sendiri tentang pengalaman hidup Abangku itu. Dia harus ditegur Tuhan dengan cara yang keras. Dengan cara lembut sepertinya nggak mempan. Aku hanya berdoa agar kali ini, Abangku benar-benar mau serius sama Tuhan, nggak datang pas susaaaaaaaaaaaah saja.
Sampai di rumah, istri Abangku meneleponku. Abangku sedang menemui si mayor untuk mengambil sepeda motor dan STNK. Istrinya bilang, Abangku sempat berkonsultasi dengan pengacara yang menyarankan dia lapor polisi. "Itu pemerasan namanya." Temannya yang lain menyarankan bujuk dulu si mayor agar mengembalikan STNK. "Kalau nggak mau, baru kita turun!"
Aku bilang sama iparku agar mengajak suaminya itu berdoa bareng sama anak-anak. Coba renungkan kembali hubungan keluarga mereka dengan Tuhan. "Iya, aku juga sudah bicara dengan dia. Mungkin bukan kamu saja, aku juga nggak benar sama Tuhan," kata iparku. Aku tak berhenti memuji Tuhan sepanjang perbincangan itu. Sebab, iparku tidak pernah berbicara begini sama aku. Selesai menelepon aku kembali berdoa yang sama: biar Abangku dan istrinya mau serius sama Tuhan nggak datang pas perluuuuuuuuu saja.
Keesokan harinya, sekitar jam delapan malam, aku kembali menelepon rumah Abangku. "Sudah aman," kata istrinya. Dia pun bercerita. Abangku pergi menemui si mayor ditemani keponakanku. Anehnya, Abangku dan keponakanku hanya menunggu di luar rumah korban. Dia juga dilarang menemui korban di rumah sakit. Padahal, mereka mau menjenguk korban yang ternyata buruh di Cileungsi, Jabar. Si mayor hanya mau menyerahkan STNK dan sepeda motor setelah Abangku menyerahkan uang yang dia tentukan.
Saat menunggu itu, sepupuku--papanya keponakanku--berkali-kali menelepon. Melihat ini, si mayor jadi naik darah. "Kamu punya beking, ya, makanya tenang-tenang saja. Siapa beking kamu!" Abangku tak peduli. Setelah ditanya beberapa kali Abangku menjawab juga. "Saya nggak punya beking. Beking saya Tuhan!"
Si mayor masuk ke rumah dan beberapa saat keluar lagi. Namun, suasana sudah lebih cair. Setelah berbincang-bincang ketahuan, ternyata si mayor ini bukan polisi. "Saya tentara, 16 tahun tugas di Timor Timur," kata dia. Keponakanku orang Timtim yang prointegrasi. Jadilah mereka mengobrol soal Timtim.
Rupanya si mayor ini memang terbiasa jadi beking dan dibekingi orang. Makanya yang ada di otaknya cuma itu. Semua orang yang dia sebut, ternyata keluarga sepupuku, papanya keponakanku. Sikapnya jadi berubah 180 derajat. "Di ujung telepon sepupuku bilang, dia pasti kroco, jangan bawa-bawa militer dengan saya."
Si mayor berubah sikap dalam sekejap. Dia memanggil Abangku, "Dek." Dia juga menelepon istri Abangku untuk minta maaf. Persoalan selesai dengan damai dan Abangku hari itu juga membawa pulang sepeda motor dan STNK. Sepeda motor yang rusak itu bisa jalan dari Cilengsi ke rumahnya di Bogor.
Lihat, apa yang terjadi ketika Abangku mengucapkan; "Bekingku Tuhan!"
"Iya, dia berdoa berlutut semalaman, Ne. Seharian aku juga berdoa terus dengan anak-anak," kata iparku.
Aku lega. Tuhan memang dahsyat. Semoga, Abangku dan istrinya benar-benar serius untuk dibekingi Tuhan. Amin.