Sendirian
Kadang-kadang aku ingin bersembunyi dari orang-orang. Tak mau bersua dan menyapa. Aku ingin diam dan memasang wajah tanpa ekspresi. Tak ada suara dan senyum. Tak ada sentuhan. Tak ada gerakan dadah, setengah membungkuk, geleng kepala atau mengangguk. Aku ingin benar-benar sendirian.
Temanku pernah mengingatkan bahwa manusia itu makhluk yang berorganisasi. Dia selalu butuh orang lain. Aku tidak menyanggah. Itu benar adanya. Tapi, ya, itu tadi ada saat-saat aku benar-benar ingin sendirian saja. Dan, sejauh ini, kesempatan itu belum pernah mampir atau aku yang justru melewatkannya...
Rencanaku untuk menghabiskan waktu untuk diriku sendiri selalu tidak kesampaian. Ambil contoh, aku sedang menyusun rencana itu ketika sepupu kecilku mengatakan mau menginap di tempat kosku. Seperti biasa, rencanaku hilang begitu saja. Aku lebih tertarik bersama sepupuku ini. Coba deh, dia bela-belain mengisi beberapa hari liburnya di kontrakanku. Mana ada anak kecil yang mau liburan dengan anak-anak kos-kosan. Nggak ada kan. Memang :) Tapi, Angela, sepupuku, mau. Dan, Wulan mendapat kehormatan menemaninya dan menginap juga di tempatku.
Setelah tiga hari menginap dan makan dengan gaya anak kos, Angelaku yang kala itu baru naik kelas empat SD dijemput Om dan Tanteku. Aku memang dekat dengan sepupu-sepupuku tersayang ini sejak mereka lahir. Sebab, aku dahulu tinggal bersama mereka. Kita jarang ketemu karena mereka pindah di daerah Cileduk. Mau ke sana jauh banget. Sudah begitu kita nggak bisa lama-lama paling banter empat jam. Kalau menginap juga nggak enak pulangnya, macet. Ah, jarak memang paling enak dijadikan kambing guling, eh, hitam :)
Seminggu kemudian, adik Angela, Lino namanya, minta menginap di tempatku. Ini benar-benar surprise. Linoku ini masih tidur sekamar dengan mama dan papanya dan agak kolokan. Aku benar-benar terharu. Jadilah Lino yang naik kelas dua menginap di tempat kami Jumat sampai Sabtu sore. Moses yang menemani dia.
Selama itu Lino benar-benar tidak manja. Manis banget. Moses yang justru sengaja memamerkan kemanjaannya. Seperti anak-anak lainnya, Lino juga tersipu malu ketika aku mengajak Jeny, adikku, dan Moses menciuminya serentak setelah aba-aba "Semua sayang Lino." Kami sekeluarga terbiasa melakukan ini pada semua anak-anak kecil. Dan reaksi mereka sama: malu-malu dan menunggu agar dicium serentak berkali-kali dengan aba-aba yang diubah-ubah. "Semua sayang tangan, pipi, kepala, rambut... Lino."
Tapi, rencana berubah. Lino mau dijemput Minggu siang saja. Sebab, dia mau ikut PAA. Linoku ini ternyata gampang bergaul. Dia bisa menghafal semua nama anak-anak dalam tempo cepat. Dia juga bersemangat, termasuk ketika menggambar. PAA sudah selesai, dan anak-anak mulai meninggalkan rumah Abangku. Tiba-tiba Lino menangis dengan keras. Rupanya gambarnya berantakan gara-gara ditabrak salah satu anak yang masih balita. Aku sudah berusaha membujuknya dengan memberikan gambar baru. "Tapi, aku capek Kak," katanya dengan mata berlinang. Kolokannya keluar deh.
Abangku dan Moses berusaha membujuknya. Moses mengajari dia mengakali gambarnya dengan menggores krayon dengan warna yang sama. Meski ogah-ogahan akhirnya dia tersenyum juga.
Selesai misa Minggu siang, aku, Lino, Wulan, Moses, Nera, Abangku dan istrinya langsung ke tempat mainan anak-anak di mal terdekat. Kita janjian ketemu Om dan Tanteku di sana. Selesai makan dan bermain akhirnya kita semua pulang. Omku mengantarkan Abangku ke rumahnya dan aku memilih pulang sendiri ke tempatku dan menolak diantar. Akhirnya aku bisa sendirian juga pikirku. Aku langsung ke salon.
Begitu tiba di rumah, Jeny langsung bertanya, "Kok baru pulang?" Belum sempat menjawab, Moses muncul menyambutku. Lo?
"Moses kasihan liat Ne pulang sendiri. Lino kan minta Opa (Omku) ngejar Ne biar dianterin. Tapi, Ne udah nggak ada. Kita semua kasihan liat Ne jalan sendirian. Jadi Papa antar Moses ke sini." Hmmm, baru mau sendirian :)
Minggu kemarin, aku menolak dengan halus untuk bertemu teman-temanku. Aku memang masih sibuk dengan urusan pindah kontrakan. Kayaknya rumah masih berantakan. Padahal, teman-temanku ini mau bersabar menungguku sampai jam lima sore. Aku malah memilih mematikan HP agar tidak dihubungi. Kalau nggak begini, kapan aku bisa sendirian... Padahal, aku nggak sendirian banget, aku melewatkan waktu dengan dua adik tersayangku.
Keesokan harinya aku pikir aku bisa sendirian sampai malam. Aku juga menolak bertemu teman-temanku dengan alasan nggak bisa keluar rumah karena belum bikin duplikat kunci rumah. Jeny baru hari pertama kerja jadi pulang petang dan Ronny ke kampus sampai malam.
Tapi, sekitar jam empat sore, ada suara yang membangunkanku dari tidur. Itu pasti Mbak Christine. Dia menemukan tempat baruku. "Aku cari-cari aja, kalau nggak ketemu nggak apa-apa, kalau ketemu ya, syukur," kata dia, dengan suara keras. Temanku yang satu ini selalu bicara dengan suara kencang.
Mbakku ini ke tempatku sambil menunggu waktu untuk misa harian. Wah, ada teman, aku pun bersemangat ikut misa dengan dia. Selesai misa dia bilang, "Maaf ya aku bangunin kamu. Padahal kamu mau istirahat." "Nggak, kalau Mbak nggak ke tempatku aku nggak ada di sini sekarang," kataku.
Sambil menikmati keheningan gereja aku bergumam sendiri. "Terima kasih Tuhan untuk mengingatkan aku bahwa aku tidak akan pernah sendirian, bahkan di saat aku pikir aku sedang menikmati kesendirianku."
Kadang-kadang aku ingin bersembunyi dari orang-orang. Tak mau bersua dan menyapa. Aku ingin diam dan memasang wajah tanpa ekspresi. Tak ada suara dan senyum. Tak ada sentuhan. Tak ada gerakan dadah, setengah membungkuk, geleng kepala atau mengangguk. Aku ingin benar-benar sendirian.
Temanku pernah mengingatkan bahwa manusia itu makhluk yang berorganisasi. Dia selalu butuh orang lain. Aku tidak menyanggah. Itu benar adanya. Tapi, ya, itu tadi ada saat-saat aku benar-benar ingin sendirian saja. Dan, sejauh ini, kesempatan itu belum pernah mampir atau aku yang justru melewatkannya...
Rencanaku untuk menghabiskan waktu untuk diriku sendiri selalu tidak kesampaian. Ambil contoh, aku sedang menyusun rencana itu ketika sepupu kecilku mengatakan mau menginap di tempat kosku. Seperti biasa, rencanaku hilang begitu saja. Aku lebih tertarik bersama sepupuku ini. Coba deh, dia bela-belain mengisi beberapa hari liburnya di kontrakanku. Mana ada anak kecil yang mau liburan dengan anak-anak kos-kosan. Nggak ada kan. Memang :) Tapi, Angela, sepupuku, mau. Dan, Wulan mendapat kehormatan menemaninya dan menginap juga di tempatku.
Setelah tiga hari menginap dan makan dengan gaya anak kos, Angelaku yang kala itu baru naik kelas empat SD dijemput Om dan Tanteku. Aku memang dekat dengan sepupu-sepupuku tersayang ini sejak mereka lahir. Sebab, aku dahulu tinggal bersama mereka. Kita jarang ketemu karena mereka pindah di daerah Cileduk. Mau ke sana jauh banget. Sudah begitu kita nggak bisa lama-lama paling banter empat jam. Kalau menginap juga nggak enak pulangnya, macet. Ah, jarak memang paling enak dijadikan kambing guling, eh, hitam :)
Seminggu kemudian, adik Angela, Lino namanya, minta menginap di tempatku. Ini benar-benar surprise. Linoku ini masih tidur sekamar dengan mama dan papanya dan agak kolokan. Aku benar-benar terharu. Jadilah Lino yang naik kelas dua menginap di tempat kami Jumat sampai Sabtu sore. Moses yang menemani dia.
Selama itu Lino benar-benar tidak manja. Manis banget. Moses yang justru sengaja memamerkan kemanjaannya. Seperti anak-anak lainnya, Lino juga tersipu malu ketika aku mengajak Jeny, adikku, dan Moses menciuminya serentak setelah aba-aba "Semua sayang Lino." Kami sekeluarga terbiasa melakukan ini pada semua anak-anak kecil. Dan reaksi mereka sama: malu-malu dan menunggu agar dicium serentak berkali-kali dengan aba-aba yang diubah-ubah. "Semua sayang tangan, pipi, kepala, rambut... Lino."
Tapi, rencana berubah. Lino mau dijemput Minggu siang saja. Sebab, dia mau ikut PAA. Linoku ini ternyata gampang bergaul. Dia bisa menghafal semua nama anak-anak dalam tempo cepat. Dia juga bersemangat, termasuk ketika menggambar. PAA sudah selesai, dan anak-anak mulai meninggalkan rumah Abangku. Tiba-tiba Lino menangis dengan keras. Rupanya gambarnya berantakan gara-gara ditabrak salah satu anak yang masih balita. Aku sudah berusaha membujuknya dengan memberikan gambar baru. "Tapi, aku capek Kak," katanya dengan mata berlinang. Kolokannya keluar deh.
Abangku dan Moses berusaha membujuknya. Moses mengajari dia mengakali gambarnya dengan menggores krayon dengan warna yang sama. Meski ogah-ogahan akhirnya dia tersenyum juga.
Selesai misa Minggu siang, aku, Lino, Wulan, Moses, Nera, Abangku dan istrinya langsung ke tempat mainan anak-anak di mal terdekat. Kita janjian ketemu Om dan Tanteku di sana. Selesai makan dan bermain akhirnya kita semua pulang. Omku mengantarkan Abangku ke rumahnya dan aku memilih pulang sendiri ke tempatku dan menolak diantar. Akhirnya aku bisa sendirian juga pikirku. Aku langsung ke salon.
Begitu tiba di rumah, Jeny langsung bertanya, "Kok baru pulang?" Belum sempat menjawab, Moses muncul menyambutku. Lo?
"Moses kasihan liat Ne pulang sendiri. Lino kan minta Opa (Omku) ngejar Ne biar dianterin. Tapi, Ne udah nggak ada. Kita semua kasihan liat Ne jalan sendirian. Jadi Papa antar Moses ke sini." Hmmm, baru mau sendirian :)
Minggu kemarin, aku menolak dengan halus untuk bertemu teman-temanku. Aku memang masih sibuk dengan urusan pindah kontrakan. Kayaknya rumah masih berantakan. Padahal, teman-temanku ini mau bersabar menungguku sampai jam lima sore. Aku malah memilih mematikan HP agar tidak dihubungi. Kalau nggak begini, kapan aku bisa sendirian... Padahal, aku nggak sendirian banget, aku melewatkan waktu dengan dua adik tersayangku.
Keesokan harinya aku pikir aku bisa sendirian sampai malam. Aku juga menolak bertemu teman-temanku dengan alasan nggak bisa keluar rumah karena belum bikin duplikat kunci rumah. Jeny baru hari pertama kerja jadi pulang petang dan Ronny ke kampus sampai malam.
Tapi, sekitar jam empat sore, ada suara yang membangunkanku dari tidur. Itu pasti Mbak Christine. Dia menemukan tempat baruku. "Aku cari-cari aja, kalau nggak ketemu nggak apa-apa, kalau ketemu ya, syukur," kata dia, dengan suara keras. Temanku yang satu ini selalu bicara dengan suara kencang.
Mbakku ini ke tempatku sambil menunggu waktu untuk misa harian. Wah, ada teman, aku pun bersemangat ikut misa dengan dia. Selesai misa dia bilang, "Maaf ya aku bangunin kamu. Padahal kamu mau istirahat." "Nggak, kalau Mbak nggak ke tempatku aku nggak ada di sini sekarang," kataku.
Sambil menikmati keheningan gereja aku bergumam sendiri. "Terima kasih Tuhan untuk mengingatkan aku bahwa aku tidak akan pernah sendirian, bahkan di saat aku pikir aku sedang menikmati kesendirianku."