Rumah Pelangi
AAku berdiri di depan Rumah Pelangi. Udara wangi. Bukan harum parfum, pengharum ruangan, atau aroma terapi. Seperti campuran bau tanah basah, harum jagung muda yang kulitnya baru dikoyak, roti panggang, dan susu cokelat yang diseduh air mendidih. Nikmat. Tenang. Bibirku tak mau terkatup.
Mataku mencari-cari anjing dan ayam di sekitar rumah. Tidak terdengar salakan. Tidak terdengar cicit anak ayam yang berkeliaran mencubit-cubit rumput. Induk ayam juga tidak nampak. Mungkin di rumah ini tidak ada hewan peliharaan.
Aku masih berdiri di depan Rumah Pelangi. Perhatianku beralih ke dua jalan setapak yang membelah rumput yang basah oleh hujan. Jalan sepanjang sekitar 16 kaki orang dewasa itu ditata dari batu-batu kali. Batu-batu itu dicat dengan warna cerah. Merah, biru laut, hijau pupus, oranye, kuning bunga matahari, dan ungu terong muda. Perpaduan warna di jalan setapak kanan dan kiri tidak seragam. Mungkin dicat oleh anak kecil si pemilik rumah.
Aku baru sadar Rumah Pelangi tidak memiliki pagar.
Aku masih belum bergeser dari pijakan. Rumah itu begitu sunyi. Gorden di dua jendela belum tersibak dari kaca yang masih berembun. Kotak jendela kiri berbentuk saku piyama tanpa jahitan. Bentuk kotak jendela kanan juga sama tapi lebih lebar sekitar satu jengkal dari kembarannya. Kotak jendela bercat putih menempel di tembok bercat hijau pupus. Sekali lagi aku mengira jendela ini dibuat oleh anak kecil.
Aku mundur satu langkah. Kakiku rada berat. Pelan-pelan aku mencabut kaki kiriku. Tanah basah dan rumput bayi ikut tercerabuk. Warna sandal jepitku tidak keruan. Kaki cokelatku melekat di sandal warna biru tua dengan strip kuning, ungu, merah, bercampur lumpur cokelat dengan irisan panjang pendek rerumputan. Aku mundur lagi beberapa langkah. Perlahan-lahan. Hati-hati. Tali sandal jepitku harus tetap dalam posisi merangkak antara kaki dan tubuh ibunya.
Aku kembali menatap rumah pelangi. Ha? Ada anak perempuan bertopi jerami yang mendekati jendela kanan. Aku tidak mendengar gerakannya. Sepertinya gadis kecil bertopi jerami itu juga tidak tahu aku sedang menatapnya.
Hop! Gadis kecil itu melompat. Rambut hitamnya yang diikat seadanya ikut terbang dan kembali mendarat di jaket kotak-kotak biru putihnya. Tangannya bertumpu di dagu jendela. Mengintip. Satu tangannya mengetuk kaca jendela beberapa kali.
Dia meloncat meninggalkan jendela. Kesepuluh jarinya dikibas-kibaskan. Hop! Hop! Tangannya kembali menempel di dagu jendela. Sebagian kaki kirinya yang telanjang bertumpu di tembok yang berlubang. Lutut kanannya mencium tembok dan kakinya membentuk sudut. Dia menggedor kaca jendela dengan kepalanya. Tak sabar.
Jendela perlahan terbuka. Horden jatuh begitu saja. Rupanya penutup jendela itu cuma disematkan begitu saja dari pintu. Tak lama kemudian pintu bercat merah muda itu terbuka. Sebelum masuk, gadis kecil itu menggaruk-garuk kakinya di keset. Sebuah tangan memberikan dia lap hitam. Si gadis masuk setelah membersihakan kaki dan membuka topi jeraminya.
Aku mendekati Rumah Pelangi. Tidak ada suara. Masih sunyi. Tapi bau harum itu makin terasa. Aku ingin sekali mengetuk pintu. Tapi, mereka tidak mengenalku. Aku orang asing. Aku mendekati jendela kiri yang masih tertutup, mencoba melihat isi rumah dari balik kaca. Tapi, tuan rumah belum menyingkap kain penutup jendela kaca.
Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Mungkin aku bisa berkenalan dengan si pemilik rumah. Tapi tidak ada sahutan. Sayup-sayup aku mendengar suara orang-orang bicara.
Aku membuka gerendel. Pintu tidak terkunci. Aku masuk dan langsung berhadapan dengan ruang tamu. Ada seperangkat sofa berwarna hijau daun pisang muda. Meja kecil diletakkan di tengah karpet berwarn pelangi dengan warna ungu muda yang dominan. Ada boneka beramput kuning tidur di meja...
***
Aku sedang menatap gambar rumah pelangiku. Rumah pelangi yang kugambar sendiri dengan krayon. Dibentuk dari enam garis hitam yang nyaris sama panjang. Bentuk segi empat dengan segi tiga di atasnya. Lima garis setengah lingkaran menudungi rumah itu. Garis bujur itu masing-masing berwarna ungu terong, biru muda, oranye, kuning, dan merah. Terereng, jadilah rumah pelangi kecilku...
AAku berdiri di depan Rumah Pelangi. Udara wangi. Bukan harum parfum, pengharum ruangan, atau aroma terapi. Seperti campuran bau tanah basah, harum jagung muda yang kulitnya baru dikoyak, roti panggang, dan susu cokelat yang diseduh air mendidih. Nikmat. Tenang. Bibirku tak mau terkatup.
Mataku mencari-cari anjing dan ayam di sekitar rumah. Tidak terdengar salakan. Tidak terdengar cicit anak ayam yang berkeliaran mencubit-cubit rumput. Induk ayam juga tidak nampak. Mungkin di rumah ini tidak ada hewan peliharaan.
Aku masih berdiri di depan Rumah Pelangi. Perhatianku beralih ke dua jalan setapak yang membelah rumput yang basah oleh hujan. Jalan sepanjang sekitar 16 kaki orang dewasa itu ditata dari batu-batu kali. Batu-batu itu dicat dengan warna cerah. Merah, biru laut, hijau pupus, oranye, kuning bunga matahari, dan ungu terong muda. Perpaduan warna di jalan setapak kanan dan kiri tidak seragam. Mungkin dicat oleh anak kecil si pemilik rumah.
Aku baru sadar Rumah Pelangi tidak memiliki pagar.
Aku masih belum bergeser dari pijakan. Rumah itu begitu sunyi. Gorden di dua jendela belum tersibak dari kaca yang masih berembun. Kotak jendela kiri berbentuk saku piyama tanpa jahitan. Bentuk kotak jendela kanan juga sama tapi lebih lebar sekitar satu jengkal dari kembarannya. Kotak jendela bercat putih menempel di tembok bercat hijau pupus. Sekali lagi aku mengira jendela ini dibuat oleh anak kecil.
Aku mundur satu langkah. Kakiku rada berat. Pelan-pelan aku mencabut kaki kiriku. Tanah basah dan rumput bayi ikut tercerabuk. Warna sandal jepitku tidak keruan. Kaki cokelatku melekat di sandal warna biru tua dengan strip kuning, ungu, merah, bercampur lumpur cokelat dengan irisan panjang pendek rerumputan. Aku mundur lagi beberapa langkah. Perlahan-lahan. Hati-hati. Tali sandal jepitku harus tetap dalam posisi merangkak antara kaki dan tubuh ibunya.
Aku kembali menatap rumah pelangi. Ha? Ada anak perempuan bertopi jerami yang mendekati jendela kanan. Aku tidak mendengar gerakannya. Sepertinya gadis kecil bertopi jerami itu juga tidak tahu aku sedang menatapnya.
Hop! Gadis kecil itu melompat. Rambut hitamnya yang diikat seadanya ikut terbang dan kembali mendarat di jaket kotak-kotak biru putihnya. Tangannya bertumpu di dagu jendela. Mengintip. Satu tangannya mengetuk kaca jendela beberapa kali.
Dia meloncat meninggalkan jendela. Kesepuluh jarinya dikibas-kibaskan. Hop! Hop! Tangannya kembali menempel di dagu jendela. Sebagian kaki kirinya yang telanjang bertumpu di tembok yang berlubang. Lutut kanannya mencium tembok dan kakinya membentuk sudut. Dia menggedor kaca jendela dengan kepalanya. Tak sabar.
Jendela perlahan terbuka. Horden jatuh begitu saja. Rupanya penutup jendela itu cuma disematkan begitu saja dari pintu. Tak lama kemudian pintu bercat merah muda itu terbuka. Sebelum masuk, gadis kecil itu menggaruk-garuk kakinya di keset. Sebuah tangan memberikan dia lap hitam. Si gadis masuk setelah membersihakan kaki dan membuka topi jeraminya.
Aku mendekati Rumah Pelangi. Tidak ada suara. Masih sunyi. Tapi bau harum itu makin terasa. Aku ingin sekali mengetuk pintu. Tapi, mereka tidak mengenalku. Aku orang asing. Aku mendekati jendela kiri yang masih tertutup, mencoba melihat isi rumah dari balik kaca. Tapi, tuan rumah belum menyingkap kain penutup jendela kaca.
Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Mungkin aku bisa berkenalan dengan si pemilik rumah. Tapi tidak ada sahutan. Sayup-sayup aku mendengar suara orang-orang bicara.
Aku membuka gerendel. Pintu tidak terkunci. Aku masuk dan langsung berhadapan dengan ruang tamu. Ada seperangkat sofa berwarna hijau daun pisang muda. Meja kecil diletakkan di tengah karpet berwarn pelangi dengan warna ungu muda yang dominan. Ada boneka beramput kuning tidur di meja...
***
Aku sedang menatap gambar rumah pelangiku. Rumah pelangi yang kugambar sendiri dengan krayon. Dibentuk dari enam garis hitam yang nyaris sama panjang. Bentuk segi empat dengan segi tiga di atasnya. Lima garis setengah lingkaran menudungi rumah itu. Garis bujur itu masing-masing berwarna ungu terong, biru muda, oranye, kuning, dan merah. Terereng, jadilah rumah pelangi kecilku...
Tak Cukup
Usahaku selama tiga pekan ini berantakan. Mengecewakan. Tapi, mau bilang apa. Kadang-kadang sesuatu yang aku kerjakan tidak berakhir seperti yang aku rencanakan.
Semua ini bermula ketika aku menawarkan diri membantu sahabatku yang kelimpungan memikirkan undangan pernikahan. Aku tahu bahwa persiapan menuju altar itu tidak mudah. Ada saja hal-hal besar, sedang, maupun secuil yang bisa merontokkan semangat dan menghabiskan energi. Dengan mengurusi undangan, aku berharap sahabatku ini bisa lebih sedikit tenang dan berkonsentrasi pada segunung masalah lain.
Sahabatku ini perfeksionis. Jadi, aku sebenarnya cuma membantu mengurusi undangan dengan model, ukuran, teks, dan desain logo yang datang dari sahabatku. Sebagai mantan sekretaris, sahabatku bahkan memberi instruksi soal teknik pengetikan seperti rata kanan dan rata kiri. Detail banget.
Aku berhubungan dengan percetakan yang direkomendasikan oleh temannya sahabatku yang lain. Aku sebenarnya membutuhkan percetakan yang bisa kerja cepat. Yang lebih menarik lagi, orang percetakan bisa menemui aku. Jadi aku tidak perlu repot-repot.
Ternyata semuanya tidak semulus yang aku bayangkan. Selalu ada yang kurang setiap bertemu dengan orang percetakan. Padahal, semuanya sudah jelas. Koreksi yang diberikan dalam pertemuan sebelumnya tidak juga diperbaiki. Bahkan ketika liburan pun orang percetakan minta bertemu meski aku sudah menolak. Gawatnya lagi, ketika bertemu, program yang dia bawa tidak bisa dibuka dalam waktu cepat di warung internet di dekat rumahku. Setelah dibuka lagi-lagi aku menemukan banyak kesalahan. Aku benar-benar mau menginjak jempol kakinya keras-keras dengan sandal pletak-pletok yang kupakai.
Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah memberi duit panjar lebih dari separuh total harga yang disepakati. Padahal, harga yang dipatok lebih mahal dari harga di percetakan lain yang aku ketahui ketika mencari pita untuk contoh undangan. Temanku yang biasa berurusan dengan percetakan bahkan membuka rahasia soal harga yang sebenarnya. Meski menyesal, aku berprinsip tak baik membanding-bandingkan sesuatu yang sudah disepakati. Sahabatku sudah oke dengan harga yang ditawarkan percetakan. Yang kami butuhkan adalah undangan cepat kelar.
Sampai pada hari H, aku masih dibuat tidak tenang. Orang percetakan janji akan dibawa pada pagi hari. Tapi molor hingga jam sepuluh malam. Akhirnya, undangan dikirim tanpa memeriksa isi dalam kardus yang sudah dilem rapat. Serba buru-buru. Untunglah aku ditemani Lisa, sahabatku, yang sejak pagi menemani aku untuk urusan yang serba nggak beres ini. Dalam perjalanan ke kantor jasa pengiriman, dia menelepon akan menyusul karena lupa memasukkan plastik pembungkus undangan. Kepalaku langsung bertanduk.
Maaf-maaf saja deh, aku capek berbasa-basi dengan dia. Meski aku tahu dia sudah bekerja keras untuk itu. Itu tugasnya. Kenapa aku musti dibikin repot? Dia bisa pulang tidur karena sudah dibayar. Sedangkan aku harus bersiap-siap disemprot sahabatku.
Dugaanku benar. Sahabatku komplain. Dalam kondisi kurang tidur aku kembali mencari percetakan untuk mencetak undangan baru. Aku nggak mau menjadi sumber masalah baru buat sahabatku ini. Akhirnya aku menemukan percetakan baru dan langsung membayar duit panjar dengan janji undangan selesai enam hari sesudahnya. Tapi aku batalkan lagi perjanjiannya tiga jam kemudian karena sahabatku menolak keras.
Aku nggak bisa memejamkan mata dengan perasaan bersalah ini. Niatnya membantu malah merepotkan. Yang bikin nggak enak hati lagi, sahabatku sempat tak bicara denganku. Dia tidak lagi kirim sms, hiks. Dan lagi-lagi, Moses kecilku yang menemaniku di saat-saat pahit seperti ini. Bahkan aku bisa tidur di tengah cuaca yang ampun deh kok makin panas saja ya, Jakarta dari hari ke hari.
Tak terbayang persahabatanku yang sudah terjalin bertahun-tahun hampir remuk dalam hitungan hari. Diawali dengan tawaranku untuk membantu lagi. Aku tak tahu sampai berapa lama cuaca buruk ini pulih. Aku merasa berada dalam kondisi tidak cukup... Tidak cukup membantu, tidak cukup tidak cukup berusaha, tidak cukup menyediakan waktu, tidak cukup memuaskan, tidak cukup sabar, rasanya semuanya serba tidak cukup...
Aku tidak akan menghubungi sahabatku dahulu. Sebab, aku tahu persis kondisi dia. Padahal, aku tahu sahabatku ini pasti butuh teman di saat-saat penuh tekanan seperti ini. Aku yang harus bersabar sampai keadaan benar-benar aman. Diam. Menunggu. Pasrah. Berdoa. Berserah.
Ternyata tidak perlu waktu lama untuk kembali pada keadaan normal. Sahabatku sms lagi. Pesannya sangat datar awalnya. Tapi, akhirnya aku seperti menemukan dirinya lagi. Hari Minggu aku sms dia pagi-pagi. Dia membalas pesan singkatku. "Pagi Tine sayangku, aku baru perjamuan, dapat firman tentang bahtera Nuh bahwa bencana adalah anugerah Tuhan..."
Difficulties should not depress or divert us. The Cause that has gripped us is so great that the small weaknesses of individuals cannot destroy it. Therefore I ask you only one thing: do not be so worried about yourself. Free yourself from all your plans and aims. They occupy you far too much. Surrender yourself to the sun, the rain, and the wind, as do the flowers and the birds. Surrender yourself to God. Wish for nothing but one thing: that His will be done, that His kingdom come, and that His nature be revealed. Then all will be well.(Eberhard Arnold)
Usahaku selama tiga pekan ini berantakan. Mengecewakan. Tapi, mau bilang apa. Kadang-kadang sesuatu yang aku kerjakan tidak berakhir seperti yang aku rencanakan.
Semua ini bermula ketika aku menawarkan diri membantu sahabatku yang kelimpungan memikirkan undangan pernikahan. Aku tahu bahwa persiapan menuju altar itu tidak mudah. Ada saja hal-hal besar, sedang, maupun secuil yang bisa merontokkan semangat dan menghabiskan energi. Dengan mengurusi undangan, aku berharap sahabatku ini bisa lebih sedikit tenang dan berkonsentrasi pada segunung masalah lain.
Sahabatku ini perfeksionis. Jadi, aku sebenarnya cuma membantu mengurusi undangan dengan model, ukuran, teks, dan desain logo yang datang dari sahabatku. Sebagai mantan sekretaris, sahabatku bahkan memberi instruksi soal teknik pengetikan seperti rata kanan dan rata kiri. Detail banget.
Aku berhubungan dengan percetakan yang direkomendasikan oleh temannya sahabatku yang lain. Aku sebenarnya membutuhkan percetakan yang bisa kerja cepat. Yang lebih menarik lagi, orang percetakan bisa menemui aku. Jadi aku tidak perlu repot-repot.
Ternyata semuanya tidak semulus yang aku bayangkan. Selalu ada yang kurang setiap bertemu dengan orang percetakan. Padahal, semuanya sudah jelas. Koreksi yang diberikan dalam pertemuan sebelumnya tidak juga diperbaiki. Bahkan ketika liburan pun orang percetakan minta bertemu meski aku sudah menolak. Gawatnya lagi, ketika bertemu, program yang dia bawa tidak bisa dibuka dalam waktu cepat di warung internet di dekat rumahku. Setelah dibuka lagi-lagi aku menemukan banyak kesalahan. Aku benar-benar mau menginjak jempol kakinya keras-keras dengan sandal pletak-pletok yang kupakai.
Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah memberi duit panjar lebih dari separuh total harga yang disepakati. Padahal, harga yang dipatok lebih mahal dari harga di percetakan lain yang aku ketahui ketika mencari pita untuk contoh undangan. Temanku yang biasa berurusan dengan percetakan bahkan membuka rahasia soal harga yang sebenarnya. Meski menyesal, aku berprinsip tak baik membanding-bandingkan sesuatu yang sudah disepakati. Sahabatku sudah oke dengan harga yang ditawarkan percetakan. Yang kami butuhkan adalah undangan cepat kelar.
Sampai pada hari H, aku masih dibuat tidak tenang. Orang percetakan janji akan dibawa pada pagi hari. Tapi molor hingga jam sepuluh malam. Akhirnya, undangan dikirim tanpa memeriksa isi dalam kardus yang sudah dilem rapat. Serba buru-buru. Untunglah aku ditemani Lisa, sahabatku, yang sejak pagi menemani aku untuk urusan yang serba nggak beres ini. Dalam perjalanan ke kantor jasa pengiriman, dia menelepon akan menyusul karena lupa memasukkan plastik pembungkus undangan. Kepalaku langsung bertanduk.
Maaf-maaf saja deh, aku capek berbasa-basi dengan dia. Meski aku tahu dia sudah bekerja keras untuk itu. Itu tugasnya. Kenapa aku musti dibikin repot? Dia bisa pulang tidur karena sudah dibayar. Sedangkan aku harus bersiap-siap disemprot sahabatku.
Dugaanku benar. Sahabatku komplain. Dalam kondisi kurang tidur aku kembali mencari percetakan untuk mencetak undangan baru. Aku nggak mau menjadi sumber masalah baru buat sahabatku ini. Akhirnya aku menemukan percetakan baru dan langsung membayar duit panjar dengan janji undangan selesai enam hari sesudahnya. Tapi aku batalkan lagi perjanjiannya tiga jam kemudian karena sahabatku menolak keras.
Aku nggak bisa memejamkan mata dengan perasaan bersalah ini. Niatnya membantu malah merepotkan. Yang bikin nggak enak hati lagi, sahabatku sempat tak bicara denganku. Dia tidak lagi kirim sms, hiks. Dan lagi-lagi, Moses kecilku yang menemaniku di saat-saat pahit seperti ini. Bahkan aku bisa tidur di tengah cuaca yang ampun deh kok makin panas saja ya, Jakarta dari hari ke hari.
Tak terbayang persahabatanku yang sudah terjalin bertahun-tahun hampir remuk dalam hitungan hari. Diawali dengan tawaranku untuk membantu lagi. Aku tak tahu sampai berapa lama cuaca buruk ini pulih. Aku merasa berada dalam kondisi tidak cukup... Tidak cukup membantu, tidak cukup tidak cukup berusaha, tidak cukup menyediakan waktu, tidak cukup memuaskan, tidak cukup sabar, rasanya semuanya serba tidak cukup...
Aku tidak akan menghubungi sahabatku dahulu. Sebab, aku tahu persis kondisi dia. Padahal, aku tahu sahabatku ini pasti butuh teman di saat-saat penuh tekanan seperti ini. Aku yang harus bersabar sampai keadaan benar-benar aman. Diam. Menunggu. Pasrah. Berdoa. Berserah.
Ternyata tidak perlu waktu lama untuk kembali pada keadaan normal. Sahabatku sms lagi. Pesannya sangat datar awalnya. Tapi, akhirnya aku seperti menemukan dirinya lagi. Hari Minggu aku sms dia pagi-pagi. Dia membalas pesan singkatku. "Pagi Tine sayangku, aku baru perjamuan, dapat firman tentang bahtera Nuh bahwa bencana adalah anugerah Tuhan..."
Difficulties should not depress or divert us. The Cause that has gripped us is so great that the small weaknesses of individuals cannot destroy it. Therefore I ask you only one thing: do not be so worried about yourself. Free yourself from all your plans and aims. They occupy you far too much. Surrender yourself to the sun, the rain, and the wind, as do the flowers and the birds. Surrender yourself to God. Wish for nothing but one thing: that His will be done, that His kingdom come, and that His nature be revealed. Then all will be well.(Eberhard Arnold)
Ramadan
Nasi kotak untuk sahur datang pas jam 02.00 WIB. Ada ayam kecap, tumis tahu-sawi hijau, dua potong tuna tepung plus sambal dalam plastik kecil, dan perkedel. Semua lauk ditempatkan di kotak kecil bergerigi. Nasi yang masih hangat dibungkus plastik dan diatur bersebelahan dengan air mineral kemasan gelas plastik. Tak lupa kerupuk dan semangka ukuran kipas sedang. Nyam-nyam.
Aku senang puasa di bulan Ramadan. Hampir semua teman di ruanganku menjalankan ibadah di bulan suci ini. Jadi aku bisa ikut puasa. Nggak enak makan sendiri. Meski kadang-kadang aku makan juga di kantin dengan teman yang tidak puasa. Namun, tetap semangat ikut buka puasa, apalagi kalau ada kue-kue kecil yang menggoda.
Aku ikut puasa sejak magang di Media Indonesia edisi Minggu sekitar sepuluh tahun silam. Asyik aja. Kita keluar pagi-pagi untuk makan sahur di rumah makan Padang dekat kantorku di bilangan Tebet, Jaksel. Atau ke tempat makan yang membuka dapur untuk sahur. Saat buka puasa juga tak kalah ramai. Kadang-kadang kita menunggu waktu berbuka puasa di kantor atau tempat makan. Kebiasaan ini berlanjut sampai sekarang dengan teman dan kantor yang berbeda.
Empat Ramadan terakhir aku lebih sering sahur dan buka puasa di kantor. Tak perlu keluar uang. Ada nasi kotak lengkap dengan penganan manis untuk buka puasa. Meski kadang-kadang teh manis atau air putih serta kue-kue saja yang masuk mulut. Soalnya aku kasihan ususku langsung dijejali makanan berat setelah cukup lama beristirahat. Biar dia adaptasi dulu dengan makanan yang ringan-ringan dulu.
Buka puasa juga kerap jadi ajang untuk reuni. Kita janjian di satu tempat dan mengundang teman-teman lama. Ketemu, makan, saling ledek, gosip-gosip sedikit mmm kadang-kadang banyak :) dan jarang membahas persoalan serius apalagi pekerjaan. Kalau pun menyentil urusan pekerjaan lebih sekadar untuk lucu-lucuan. Saat inilah masing-masing melemparkan kisah-kisah brutal dan nekat kita yang dulu-dulu. Segar dan menyenangkan. Setelah itu masing-masing pulang dengan janji tetap saling kontak. Namun, itu manis di bibir saja. Sebab, kita hampir pasti tidak ketemu kecuali janjian. Karena itu, buka puasa bareng jarang aku lewatkan. Seru soalnya.
Senin depan aku masuk pagi. Aku buka puasa di kantor. Kalau masuk pagi lebih banyak orang di ruangan. Jadi nasi kotaknya dihitung per kepala. Padahal, sebagai editor, kalau nggak ngedit makanan dari kotak yang lain kok aneh :) Tapi, bosku tadi malam sudah wanti-wanti kita. Jangan sampai ada yang sakit hati karena buka puasa dengan kotak yang isinya tidak lengkap.
Padahal, kelucuan justru muncul di saat edit-mengedit itu:) Beberapa menit sebelum waktu buka, masing-masing sudah mengambil nasi kotak. Ada yang bahkan sudah mengintip dahulu isi kotak. Kemudian bekerja sambil menunggu bunyi beduk di televisi. Tak jarang kita menyetel televisi yang lebih dahulu menyiarkan bunyi beduk:) Namanya juga usaha :)
Nasi kotak untuk sahur datang pas jam 02.00 WIB. Ada ayam kecap, tumis tahu-sawi hijau, dua potong tuna tepung plus sambal dalam plastik kecil, dan perkedel. Semua lauk ditempatkan di kotak kecil bergerigi. Nasi yang masih hangat dibungkus plastik dan diatur bersebelahan dengan air mineral kemasan gelas plastik. Tak lupa kerupuk dan semangka ukuran kipas sedang. Nyam-nyam.
Aku senang puasa di bulan Ramadan. Hampir semua teman di ruanganku menjalankan ibadah di bulan suci ini. Jadi aku bisa ikut puasa. Nggak enak makan sendiri. Meski kadang-kadang aku makan juga di kantin dengan teman yang tidak puasa. Namun, tetap semangat ikut buka puasa, apalagi kalau ada kue-kue kecil yang menggoda.
Aku ikut puasa sejak magang di Media Indonesia edisi Minggu sekitar sepuluh tahun silam. Asyik aja. Kita keluar pagi-pagi untuk makan sahur di rumah makan Padang dekat kantorku di bilangan Tebet, Jaksel. Atau ke tempat makan yang membuka dapur untuk sahur. Saat buka puasa juga tak kalah ramai. Kadang-kadang kita menunggu waktu berbuka puasa di kantor atau tempat makan. Kebiasaan ini berlanjut sampai sekarang dengan teman dan kantor yang berbeda.
Empat Ramadan terakhir aku lebih sering sahur dan buka puasa di kantor. Tak perlu keluar uang. Ada nasi kotak lengkap dengan penganan manis untuk buka puasa. Meski kadang-kadang teh manis atau air putih serta kue-kue saja yang masuk mulut. Soalnya aku kasihan ususku langsung dijejali makanan berat setelah cukup lama beristirahat. Biar dia adaptasi dulu dengan makanan yang ringan-ringan dulu.
Buka puasa juga kerap jadi ajang untuk reuni. Kita janjian di satu tempat dan mengundang teman-teman lama. Ketemu, makan, saling ledek, gosip-gosip sedikit mmm kadang-kadang banyak :) dan jarang membahas persoalan serius apalagi pekerjaan. Kalau pun menyentil urusan pekerjaan lebih sekadar untuk lucu-lucuan. Saat inilah masing-masing melemparkan kisah-kisah brutal dan nekat kita yang dulu-dulu. Segar dan menyenangkan. Setelah itu masing-masing pulang dengan janji tetap saling kontak. Namun, itu manis di bibir saja. Sebab, kita hampir pasti tidak ketemu kecuali janjian. Karena itu, buka puasa bareng jarang aku lewatkan. Seru soalnya.
Senin depan aku masuk pagi. Aku buka puasa di kantor. Kalau masuk pagi lebih banyak orang di ruangan. Jadi nasi kotaknya dihitung per kepala. Padahal, sebagai editor, kalau nggak ngedit makanan dari kotak yang lain kok aneh :) Tapi, bosku tadi malam sudah wanti-wanti kita. Jangan sampai ada yang sakit hati karena buka puasa dengan kotak yang isinya tidak lengkap.
Padahal, kelucuan justru muncul di saat edit-mengedit itu:) Beberapa menit sebelum waktu buka, masing-masing sudah mengambil nasi kotak. Ada yang bahkan sudah mengintip dahulu isi kotak. Kemudian bekerja sambil menunggu bunyi beduk di televisi. Tak jarang kita menyetel televisi yang lebih dahulu menyiarkan bunyi beduk:) Namanya juga usaha :)