Tak Cukup
Usahaku selama tiga pekan ini berantakan. Mengecewakan. Tapi, mau bilang apa. Kadang-kadang sesuatu yang aku kerjakan tidak berakhir seperti yang aku rencanakan.
Semua ini bermula ketika aku menawarkan diri membantu sahabatku yang kelimpungan memikirkan undangan pernikahan. Aku tahu bahwa persiapan menuju altar itu tidak mudah. Ada saja hal-hal besar, sedang, maupun secuil yang bisa merontokkan semangat dan menghabiskan energi. Dengan mengurusi undangan, aku berharap sahabatku ini bisa lebih sedikit tenang dan berkonsentrasi pada segunung masalah lain.
Sahabatku ini perfeksionis. Jadi, aku sebenarnya cuma membantu mengurusi undangan dengan model, ukuran, teks, dan desain logo yang datang dari sahabatku. Sebagai mantan sekretaris, sahabatku bahkan memberi instruksi soal teknik pengetikan seperti rata kanan dan rata kiri. Detail banget.
Aku berhubungan dengan percetakan yang direkomendasikan oleh temannya sahabatku yang lain. Aku sebenarnya membutuhkan percetakan yang bisa kerja cepat. Yang lebih menarik lagi, orang percetakan bisa menemui aku. Jadi aku tidak perlu repot-repot.
Ternyata semuanya tidak semulus yang aku bayangkan. Selalu ada yang kurang setiap bertemu dengan orang percetakan. Padahal, semuanya sudah jelas. Koreksi yang diberikan dalam pertemuan sebelumnya tidak juga diperbaiki. Bahkan ketika liburan pun orang percetakan minta bertemu meski aku sudah menolak. Gawatnya lagi, ketika bertemu, program yang dia bawa tidak bisa dibuka dalam waktu cepat di warung internet di dekat rumahku. Setelah dibuka lagi-lagi aku menemukan banyak kesalahan. Aku benar-benar mau menginjak jempol kakinya keras-keras dengan sandal pletak-pletok yang kupakai.
Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah memberi duit panjar lebih dari separuh total harga yang disepakati. Padahal, harga yang dipatok lebih mahal dari harga di percetakan lain yang aku ketahui ketika mencari pita untuk contoh undangan. Temanku yang biasa berurusan dengan percetakan bahkan membuka rahasia soal harga yang sebenarnya. Meski menyesal, aku berprinsip tak baik membanding-bandingkan sesuatu yang sudah disepakati. Sahabatku sudah oke dengan harga yang ditawarkan percetakan. Yang kami butuhkan adalah undangan cepat kelar.
Sampai pada hari H, aku masih dibuat tidak tenang. Orang percetakan janji akan dibawa pada pagi hari. Tapi molor hingga jam sepuluh malam. Akhirnya, undangan dikirim tanpa memeriksa isi dalam kardus yang sudah dilem rapat. Serba buru-buru. Untunglah aku ditemani Lisa, sahabatku, yang sejak pagi menemani aku untuk urusan yang serba nggak beres ini. Dalam perjalanan ke kantor jasa pengiriman, dia menelepon akan menyusul karena lupa memasukkan plastik pembungkus undangan. Kepalaku langsung bertanduk.
Maaf-maaf saja deh, aku capek berbasa-basi dengan dia. Meski aku tahu dia sudah bekerja keras untuk itu. Itu tugasnya. Kenapa aku musti dibikin repot? Dia bisa pulang tidur karena sudah dibayar. Sedangkan aku harus bersiap-siap disemprot sahabatku.
Dugaanku benar. Sahabatku komplain. Dalam kondisi kurang tidur aku kembali mencari percetakan untuk mencetak undangan baru. Aku nggak mau menjadi sumber masalah baru buat sahabatku ini. Akhirnya aku menemukan percetakan baru dan langsung membayar duit panjar dengan janji undangan selesai enam hari sesudahnya. Tapi aku batalkan lagi perjanjiannya tiga jam kemudian karena sahabatku menolak keras.
Aku nggak bisa memejamkan mata dengan perasaan bersalah ini. Niatnya membantu malah merepotkan. Yang bikin nggak enak hati lagi, sahabatku sempat tak bicara denganku. Dia tidak lagi kirim sms, hiks. Dan lagi-lagi, Moses kecilku yang menemaniku di saat-saat pahit seperti ini. Bahkan aku bisa tidur di tengah cuaca yang ampun deh kok makin panas saja ya, Jakarta dari hari ke hari.
Tak terbayang persahabatanku yang sudah terjalin bertahun-tahun hampir remuk dalam hitungan hari. Diawali dengan tawaranku untuk membantu lagi. Aku tak tahu sampai berapa lama cuaca buruk ini pulih. Aku merasa berada dalam kondisi tidak cukup... Tidak cukup membantu, tidak cukup tidak cukup berusaha, tidak cukup menyediakan waktu, tidak cukup memuaskan, tidak cukup sabar, rasanya semuanya serba tidak cukup...
Aku tidak akan menghubungi sahabatku dahulu. Sebab, aku tahu persis kondisi dia. Padahal, aku tahu sahabatku ini pasti butuh teman di saat-saat penuh tekanan seperti ini. Aku yang harus bersabar sampai keadaan benar-benar aman. Diam. Menunggu. Pasrah. Berdoa. Berserah.
Ternyata tidak perlu waktu lama untuk kembali pada keadaan normal. Sahabatku sms lagi. Pesannya sangat datar awalnya. Tapi, akhirnya aku seperti menemukan dirinya lagi. Hari Minggu aku sms dia pagi-pagi. Dia membalas pesan singkatku. "Pagi Tine sayangku, aku baru perjamuan, dapat firman tentang bahtera Nuh bahwa bencana adalah anugerah Tuhan..."
Difficulties should not depress or divert us. The Cause that has gripped us is so great that the small weaknesses of individuals cannot destroy it. Therefore I ask you only one thing: do not be so worried about yourself. Free yourself from all your plans and aims. They occupy you far too much. Surrender yourself to the sun, the rain, and the wind, as do the flowers and the birds. Surrender yourself to God. Wish for nothing but one thing: that His will be done, that His kingdom come, and that His nature be revealed. Then all will be well.(Eberhard Arnold)
Usahaku selama tiga pekan ini berantakan. Mengecewakan. Tapi, mau bilang apa. Kadang-kadang sesuatu yang aku kerjakan tidak berakhir seperti yang aku rencanakan.
Semua ini bermula ketika aku menawarkan diri membantu sahabatku yang kelimpungan memikirkan undangan pernikahan. Aku tahu bahwa persiapan menuju altar itu tidak mudah. Ada saja hal-hal besar, sedang, maupun secuil yang bisa merontokkan semangat dan menghabiskan energi. Dengan mengurusi undangan, aku berharap sahabatku ini bisa lebih sedikit tenang dan berkonsentrasi pada segunung masalah lain.
Sahabatku ini perfeksionis. Jadi, aku sebenarnya cuma membantu mengurusi undangan dengan model, ukuran, teks, dan desain logo yang datang dari sahabatku. Sebagai mantan sekretaris, sahabatku bahkan memberi instruksi soal teknik pengetikan seperti rata kanan dan rata kiri. Detail banget.
Aku berhubungan dengan percetakan yang direkomendasikan oleh temannya sahabatku yang lain. Aku sebenarnya membutuhkan percetakan yang bisa kerja cepat. Yang lebih menarik lagi, orang percetakan bisa menemui aku. Jadi aku tidak perlu repot-repot.
Ternyata semuanya tidak semulus yang aku bayangkan. Selalu ada yang kurang setiap bertemu dengan orang percetakan. Padahal, semuanya sudah jelas. Koreksi yang diberikan dalam pertemuan sebelumnya tidak juga diperbaiki. Bahkan ketika liburan pun orang percetakan minta bertemu meski aku sudah menolak. Gawatnya lagi, ketika bertemu, program yang dia bawa tidak bisa dibuka dalam waktu cepat di warung internet di dekat rumahku. Setelah dibuka lagi-lagi aku menemukan banyak kesalahan. Aku benar-benar mau menginjak jempol kakinya keras-keras dengan sandal pletak-pletok yang kupakai.
Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah memberi duit panjar lebih dari separuh total harga yang disepakati. Padahal, harga yang dipatok lebih mahal dari harga di percetakan lain yang aku ketahui ketika mencari pita untuk contoh undangan. Temanku yang biasa berurusan dengan percetakan bahkan membuka rahasia soal harga yang sebenarnya. Meski menyesal, aku berprinsip tak baik membanding-bandingkan sesuatu yang sudah disepakati. Sahabatku sudah oke dengan harga yang ditawarkan percetakan. Yang kami butuhkan adalah undangan cepat kelar.
Sampai pada hari H, aku masih dibuat tidak tenang. Orang percetakan janji akan dibawa pada pagi hari. Tapi molor hingga jam sepuluh malam. Akhirnya, undangan dikirim tanpa memeriksa isi dalam kardus yang sudah dilem rapat. Serba buru-buru. Untunglah aku ditemani Lisa, sahabatku, yang sejak pagi menemani aku untuk urusan yang serba nggak beres ini. Dalam perjalanan ke kantor jasa pengiriman, dia menelepon akan menyusul karena lupa memasukkan plastik pembungkus undangan. Kepalaku langsung bertanduk.
Maaf-maaf saja deh, aku capek berbasa-basi dengan dia. Meski aku tahu dia sudah bekerja keras untuk itu. Itu tugasnya. Kenapa aku musti dibikin repot? Dia bisa pulang tidur karena sudah dibayar. Sedangkan aku harus bersiap-siap disemprot sahabatku.
Dugaanku benar. Sahabatku komplain. Dalam kondisi kurang tidur aku kembali mencari percetakan untuk mencetak undangan baru. Aku nggak mau menjadi sumber masalah baru buat sahabatku ini. Akhirnya aku menemukan percetakan baru dan langsung membayar duit panjar dengan janji undangan selesai enam hari sesudahnya. Tapi aku batalkan lagi perjanjiannya tiga jam kemudian karena sahabatku menolak keras.
Aku nggak bisa memejamkan mata dengan perasaan bersalah ini. Niatnya membantu malah merepotkan. Yang bikin nggak enak hati lagi, sahabatku sempat tak bicara denganku. Dia tidak lagi kirim sms, hiks. Dan lagi-lagi, Moses kecilku yang menemaniku di saat-saat pahit seperti ini. Bahkan aku bisa tidur di tengah cuaca yang ampun deh kok makin panas saja ya, Jakarta dari hari ke hari.
Tak terbayang persahabatanku yang sudah terjalin bertahun-tahun hampir remuk dalam hitungan hari. Diawali dengan tawaranku untuk membantu lagi. Aku tak tahu sampai berapa lama cuaca buruk ini pulih. Aku merasa berada dalam kondisi tidak cukup... Tidak cukup membantu, tidak cukup tidak cukup berusaha, tidak cukup menyediakan waktu, tidak cukup memuaskan, tidak cukup sabar, rasanya semuanya serba tidak cukup...
Aku tidak akan menghubungi sahabatku dahulu. Sebab, aku tahu persis kondisi dia. Padahal, aku tahu sahabatku ini pasti butuh teman di saat-saat penuh tekanan seperti ini. Aku yang harus bersabar sampai keadaan benar-benar aman. Diam. Menunggu. Pasrah. Berdoa. Berserah.
Ternyata tidak perlu waktu lama untuk kembali pada keadaan normal. Sahabatku sms lagi. Pesannya sangat datar awalnya. Tapi, akhirnya aku seperti menemukan dirinya lagi. Hari Minggu aku sms dia pagi-pagi. Dia membalas pesan singkatku. "Pagi Tine sayangku, aku baru perjamuan, dapat firman tentang bahtera Nuh bahwa bencana adalah anugerah Tuhan..."
Difficulties should not depress or divert us. The Cause that has gripped us is so great that the small weaknesses of individuals cannot destroy it. Therefore I ask you only one thing: do not be so worried about yourself. Free yourself from all your plans and aims. They occupy you far too much. Surrender yourself to the sun, the rain, and the wind, as do the flowers and the birds. Surrender yourself to God. Wish for nothing but one thing: that His will be done, that His kingdom come, and that His nature be revealed. Then all will be well.(Eberhard Arnold)