Rumah Pelangi
AAku berdiri di depan Rumah Pelangi. Udara wangi. Bukan harum parfum, pengharum ruangan, atau aroma terapi. Seperti campuran bau tanah basah, harum jagung muda yang kulitnya baru dikoyak, roti panggang, dan susu cokelat yang diseduh air mendidih. Nikmat. Tenang. Bibirku tak mau terkatup.
Mataku mencari-cari anjing dan ayam di sekitar rumah. Tidak terdengar salakan. Tidak terdengar cicit anak ayam yang berkeliaran mencubit-cubit rumput. Induk ayam juga tidak nampak. Mungkin di rumah ini tidak ada hewan peliharaan.
Aku masih berdiri di depan Rumah Pelangi. Perhatianku beralih ke dua jalan setapak yang membelah rumput yang basah oleh hujan. Jalan sepanjang sekitar 16 kaki orang dewasa itu ditata dari batu-batu kali. Batu-batu itu dicat dengan warna cerah. Merah, biru laut, hijau pupus, oranye, kuning bunga matahari, dan ungu terong muda. Perpaduan warna di jalan setapak kanan dan kiri tidak seragam. Mungkin dicat oleh anak kecil si pemilik rumah.
Aku baru sadar Rumah Pelangi tidak memiliki pagar.
Aku masih belum bergeser dari pijakan. Rumah itu begitu sunyi. Gorden di dua jendela belum tersibak dari kaca yang masih berembun. Kotak jendela kiri berbentuk saku piyama tanpa jahitan. Bentuk kotak jendela kanan juga sama tapi lebih lebar sekitar satu jengkal dari kembarannya. Kotak jendela bercat putih menempel di tembok bercat hijau pupus. Sekali lagi aku mengira jendela ini dibuat oleh anak kecil.
Aku mundur satu langkah. Kakiku rada berat. Pelan-pelan aku mencabut kaki kiriku. Tanah basah dan rumput bayi ikut tercerabuk. Warna sandal jepitku tidak keruan. Kaki cokelatku melekat di sandal warna biru tua dengan strip kuning, ungu, merah, bercampur lumpur cokelat dengan irisan panjang pendek rerumputan. Aku mundur lagi beberapa langkah. Perlahan-lahan. Hati-hati. Tali sandal jepitku harus tetap dalam posisi merangkak antara kaki dan tubuh ibunya.
Aku kembali menatap rumah pelangi. Ha? Ada anak perempuan bertopi jerami yang mendekati jendela kanan. Aku tidak mendengar gerakannya. Sepertinya gadis kecil bertopi jerami itu juga tidak tahu aku sedang menatapnya.
Hop! Gadis kecil itu melompat. Rambut hitamnya yang diikat seadanya ikut terbang dan kembali mendarat di jaket kotak-kotak biru putihnya. Tangannya bertumpu di dagu jendela. Mengintip. Satu tangannya mengetuk kaca jendela beberapa kali.
Dia meloncat meninggalkan jendela. Kesepuluh jarinya dikibas-kibaskan. Hop! Hop! Tangannya kembali menempel di dagu jendela. Sebagian kaki kirinya yang telanjang bertumpu di tembok yang berlubang. Lutut kanannya mencium tembok dan kakinya membentuk sudut. Dia menggedor kaca jendela dengan kepalanya. Tak sabar.
Jendela perlahan terbuka. Horden jatuh begitu saja. Rupanya penutup jendela itu cuma disematkan begitu saja dari pintu. Tak lama kemudian pintu bercat merah muda itu terbuka. Sebelum masuk, gadis kecil itu menggaruk-garuk kakinya di keset. Sebuah tangan memberikan dia lap hitam. Si gadis masuk setelah membersihakan kaki dan membuka topi jeraminya.
Aku mendekati Rumah Pelangi. Tidak ada suara. Masih sunyi. Tapi bau harum itu makin terasa. Aku ingin sekali mengetuk pintu. Tapi, mereka tidak mengenalku. Aku orang asing. Aku mendekati jendela kiri yang masih tertutup, mencoba melihat isi rumah dari balik kaca. Tapi, tuan rumah belum menyingkap kain penutup jendela kaca.
Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Mungkin aku bisa berkenalan dengan si pemilik rumah. Tapi tidak ada sahutan. Sayup-sayup aku mendengar suara orang-orang bicara.
Aku membuka gerendel. Pintu tidak terkunci. Aku masuk dan langsung berhadapan dengan ruang tamu. Ada seperangkat sofa berwarna hijau daun pisang muda. Meja kecil diletakkan di tengah karpet berwarn pelangi dengan warna ungu muda yang dominan. Ada boneka beramput kuning tidur di meja...
***
Aku sedang menatap gambar rumah pelangiku. Rumah pelangi yang kugambar sendiri dengan krayon. Dibentuk dari enam garis hitam yang nyaris sama panjang. Bentuk segi empat dengan segi tiga di atasnya. Lima garis setengah lingkaran menudungi rumah itu. Garis bujur itu masing-masing berwarna ungu terong, biru muda, oranye, kuning, dan merah. Terereng, jadilah rumah pelangi kecilku...
AAku berdiri di depan Rumah Pelangi. Udara wangi. Bukan harum parfum, pengharum ruangan, atau aroma terapi. Seperti campuran bau tanah basah, harum jagung muda yang kulitnya baru dikoyak, roti panggang, dan susu cokelat yang diseduh air mendidih. Nikmat. Tenang. Bibirku tak mau terkatup.
Mataku mencari-cari anjing dan ayam di sekitar rumah. Tidak terdengar salakan. Tidak terdengar cicit anak ayam yang berkeliaran mencubit-cubit rumput. Induk ayam juga tidak nampak. Mungkin di rumah ini tidak ada hewan peliharaan.
Aku masih berdiri di depan Rumah Pelangi. Perhatianku beralih ke dua jalan setapak yang membelah rumput yang basah oleh hujan. Jalan sepanjang sekitar 16 kaki orang dewasa itu ditata dari batu-batu kali. Batu-batu itu dicat dengan warna cerah. Merah, biru laut, hijau pupus, oranye, kuning bunga matahari, dan ungu terong muda. Perpaduan warna di jalan setapak kanan dan kiri tidak seragam. Mungkin dicat oleh anak kecil si pemilik rumah.
Aku baru sadar Rumah Pelangi tidak memiliki pagar.
Aku masih belum bergeser dari pijakan. Rumah itu begitu sunyi. Gorden di dua jendela belum tersibak dari kaca yang masih berembun. Kotak jendela kiri berbentuk saku piyama tanpa jahitan. Bentuk kotak jendela kanan juga sama tapi lebih lebar sekitar satu jengkal dari kembarannya. Kotak jendela bercat putih menempel di tembok bercat hijau pupus. Sekali lagi aku mengira jendela ini dibuat oleh anak kecil.
Aku mundur satu langkah. Kakiku rada berat. Pelan-pelan aku mencabut kaki kiriku. Tanah basah dan rumput bayi ikut tercerabuk. Warna sandal jepitku tidak keruan. Kaki cokelatku melekat di sandal warna biru tua dengan strip kuning, ungu, merah, bercampur lumpur cokelat dengan irisan panjang pendek rerumputan. Aku mundur lagi beberapa langkah. Perlahan-lahan. Hati-hati. Tali sandal jepitku harus tetap dalam posisi merangkak antara kaki dan tubuh ibunya.
Aku kembali menatap rumah pelangi. Ha? Ada anak perempuan bertopi jerami yang mendekati jendela kanan. Aku tidak mendengar gerakannya. Sepertinya gadis kecil bertopi jerami itu juga tidak tahu aku sedang menatapnya.
Hop! Gadis kecil itu melompat. Rambut hitamnya yang diikat seadanya ikut terbang dan kembali mendarat di jaket kotak-kotak biru putihnya. Tangannya bertumpu di dagu jendela. Mengintip. Satu tangannya mengetuk kaca jendela beberapa kali.
Dia meloncat meninggalkan jendela. Kesepuluh jarinya dikibas-kibaskan. Hop! Hop! Tangannya kembali menempel di dagu jendela. Sebagian kaki kirinya yang telanjang bertumpu di tembok yang berlubang. Lutut kanannya mencium tembok dan kakinya membentuk sudut. Dia menggedor kaca jendela dengan kepalanya. Tak sabar.
Jendela perlahan terbuka. Horden jatuh begitu saja. Rupanya penutup jendela itu cuma disematkan begitu saja dari pintu. Tak lama kemudian pintu bercat merah muda itu terbuka. Sebelum masuk, gadis kecil itu menggaruk-garuk kakinya di keset. Sebuah tangan memberikan dia lap hitam. Si gadis masuk setelah membersihakan kaki dan membuka topi jeraminya.
Aku mendekati Rumah Pelangi. Tidak ada suara. Masih sunyi. Tapi bau harum itu makin terasa. Aku ingin sekali mengetuk pintu. Tapi, mereka tidak mengenalku. Aku orang asing. Aku mendekati jendela kiri yang masih tertutup, mencoba melihat isi rumah dari balik kaca. Tapi, tuan rumah belum menyingkap kain penutup jendela kaca.
Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Mungkin aku bisa berkenalan dengan si pemilik rumah. Tapi tidak ada sahutan. Sayup-sayup aku mendengar suara orang-orang bicara.
Aku membuka gerendel. Pintu tidak terkunci. Aku masuk dan langsung berhadapan dengan ruang tamu. Ada seperangkat sofa berwarna hijau daun pisang muda. Meja kecil diletakkan di tengah karpet berwarn pelangi dengan warna ungu muda yang dominan. Ada boneka beramput kuning tidur di meja...
***
Aku sedang menatap gambar rumah pelangiku. Rumah pelangi yang kugambar sendiri dengan krayon. Dibentuk dari enam garis hitam yang nyaris sama panjang. Bentuk segi empat dengan segi tiga di atasnya. Lima garis setengah lingkaran menudungi rumah itu. Garis bujur itu masing-masing berwarna ungu terong, biru muda, oranye, kuning, dan merah. Terereng, jadilah rumah pelangi kecilku...