Each Choice
Jigme Lingpa (1730-1798)
As the eagle soars in the endless blue,
Its shadow races after it, far below.
Yet space does not divide: bird and shadow
are linked. So too each act-each choice
and consequence.
Jigme Lingpa (1730-1798)
As the eagle soars in the endless blue,
Its shadow races after it, far below.
Yet space does not divide: bird and shadow
are linked. So too each act-each choice
and consequence.
Pekan Teman
Udah pagi boss, bangun plus sikat gigi, smile coz God loves u.
Senang banget dapat pesan pendek menyenangkan dari temanku di pagi buta, tepat jam 05.05. Tumben, temanku bangun pagi-pagi. Hmmmm, pasti Olive anaknya sudah bangun dan dia sedang bermain dengan putri ciliknya yang berusia lima bulan. Thanks ya Yudy!
Beberapa malam sebelumnya, aku minta sama Tuhan agar bisa berhubungan lagi dengan teman-teman lama yang sudah tidak pernah kontak. Besok pagi, aku chatting lagi dengan Yudy. Thanks God! Dia punya banyak cerita baru, termasuk tentang buah hatinya, Olive. Dia sudah pindah rumah dan sudah lebih nyaman sekarang. Yang lebih menyenangkan lagi, temanku ini sudah sering berdoa bareng dengan istrinya.
Minggu ini aku beri nama Pekan Teman. Aku sengaja mengkhususkan diri untuk menyapa nama-nama yang ada dalam daftar teman. Aku cuma bilang selamat pagi, siang, malam, dan menanyakan kabar. Aku ingin mereka tahu bahwa aku di sini, tidak ke mana-mana :)
Ada beberapa teman yang langsung membalas sapaanku. Yang satu sedang sibuk jadi mandor di sela-sela urusan kantor dan rumah tangga barunya. Namanya, Julita. Sebenarnya dia teman kuliah adikku. Tapi, rasanya nih, dia lebih dekat denganku, dalam arti lebih sering ketemu dan mengobrol panjang denganku dibanding adikku. Ketika menikah, dia beberapa kali mengontakku untuk mengirimkan undangan. Aku juga senang mengikuti misa pernikahan selain karena dia dan Andi suaminya terlihat happy, kornya juga bagus banget nget nget.
Yang lain, Yuli, teman SMA-ku. Sekarang dia pimpinan salah satu LSM perempuan di Kupang. Kita tidak sempat ketemu waktu dia membawa anaknya berobat di Jakarta. Kita cuma telepon-teleponan. Aku merasa bersalah banget tidak sempat ketemu. Aku lebih sedih lagi mendengar jawabannya ketika aku minta maaf padanya. "Aku ngerti, di Jakarta orang-orang pada sibuk." Pelan sih, tapi dalam banget, hiks. Dia bilang mau ke Jakarta lagi, November mendatang dan minta ditemani membeli buku. Aku janji tidak akan melewatkan kesempatan ini, apapun alasannya. Harus!
Di zaman serba sibuk--sibuk??????--begini, sering kali aku menghubungi teman karena perlu-perlu saja. Mungkin karena aku juga sering bertanya-tanya sendiri begitu ada teman lama yang menghubungi. "Ada apa?" Aku memang jarang menggunakan kata tumben, nggak enak hati :)
Syukur deh kalau memang temanku sedang butuh sesuatu. Tapi kalau tidak kan kasihan juga. Mana aku sering lagi dijawab dengan: "Memangnya nggak boleh telepon untuk nanya kabar?" Padahal, aku juga kerap menerima pernyataan serupa.
Tidak semua teman yang aku hubungi beberapa hari ini memberi respons. Tapi itu tidak penting. Aku juga sering kok suam-suam kuku menerima telepon, pesan singkat, dan email dari teman-temanku. Bahkan, aku sering membiarkan begitu saja sms atau surat dari teman-teman, maap beribu maap, hiks. Tapi, respons positif, negatif, atau netral bukan alasan untuk berhenti memperhatikan dan berhubungan dengan teman kan :) Dan, masih ada beberapa teman lagi yang belum aku hubungi. Siap-siap... sent.
Udah pagi boss, bangun plus sikat gigi, smile coz God loves u.
Senang banget dapat pesan pendek menyenangkan dari temanku di pagi buta, tepat jam 05.05. Tumben, temanku bangun pagi-pagi. Hmmmm, pasti Olive anaknya sudah bangun dan dia sedang bermain dengan putri ciliknya yang berusia lima bulan. Thanks ya Yudy!
Beberapa malam sebelumnya, aku minta sama Tuhan agar bisa berhubungan lagi dengan teman-teman lama yang sudah tidak pernah kontak. Besok pagi, aku chatting lagi dengan Yudy. Thanks God! Dia punya banyak cerita baru, termasuk tentang buah hatinya, Olive. Dia sudah pindah rumah dan sudah lebih nyaman sekarang. Yang lebih menyenangkan lagi, temanku ini sudah sering berdoa bareng dengan istrinya.
Minggu ini aku beri nama Pekan Teman. Aku sengaja mengkhususkan diri untuk menyapa nama-nama yang ada dalam daftar teman. Aku cuma bilang selamat pagi, siang, malam, dan menanyakan kabar. Aku ingin mereka tahu bahwa aku di sini, tidak ke mana-mana :)
Ada beberapa teman yang langsung membalas sapaanku. Yang satu sedang sibuk jadi mandor di sela-sela urusan kantor dan rumah tangga barunya. Namanya, Julita. Sebenarnya dia teman kuliah adikku. Tapi, rasanya nih, dia lebih dekat denganku, dalam arti lebih sering ketemu dan mengobrol panjang denganku dibanding adikku. Ketika menikah, dia beberapa kali mengontakku untuk mengirimkan undangan. Aku juga senang mengikuti misa pernikahan selain karena dia dan Andi suaminya terlihat happy, kornya juga bagus banget nget nget.
Yang lain, Yuli, teman SMA-ku. Sekarang dia pimpinan salah satu LSM perempuan di Kupang. Kita tidak sempat ketemu waktu dia membawa anaknya berobat di Jakarta. Kita cuma telepon-teleponan. Aku merasa bersalah banget tidak sempat ketemu. Aku lebih sedih lagi mendengar jawabannya ketika aku minta maaf padanya. "Aku ngerti, di Jakarta orang-orang pada sibuk." Pelan sih, tapi dalam banget, hiks. Dia bilang mau ke Jakarta lagi, November mendatang dan minta ditemani membeli buku. Aku janji tidak akan melewatkan kesempatan ini, apapun alasannya. Harus!
Di zaman serba sibuk--sibuk??????--begini, sering kali aku menghubungi teman karena perlu-perlu saja. Mungkin karena aku juga sering bertanya-tanya sendiri begitu ada teman lama yang menghubungi. "Ada apa?" Aku memang jarang menggunakan kata tumben, nggak enak hati :)
Syukur deh kalau memang temanku sedang butuh sesuatu. Tapi kalau tidak kan kasihan juga. Mana aku sering lagi dijawab dengan: "Memangnya nggak boleh telepon untuk nanya kabar?" Padahal, aku juga kerap menerima pernyataan serupa.
Tidak semua teman yang aku hubungi beberapa hari ini memberi respons. Tapi itu tidak penting. Aku juga sering kok suam-suam kuku menerima telepon, pesan singkat, dan email dari teman-temanku. Bahkan, aku sering membiarkan begitu saja sms atau surat dari teman-teman, maap beribu maap, hiks. Tapi, respons positif, negatif, atau netral bukan alasan untuk berhenti memperhatikan dan berhubungan dengan teman kan :) Dan, masih ada beberapa teman lagi yang belum aku hubungi. Siap-siap... sent.
Your Share
Abraham Joshua Heschel
Remember that there is a meaning beyond absurdity. Be sure that every little deed counts, that every word has power. Never forget that you can still do your share to redeem the world in spite of all absurdities and frustrations and disappointments.
Abraham Joshua Heschel
Remember that there is a meaning beyond absurdity. Be sure that every little deed counts, that every word has power. Never forget that you can still do your share to redeem the world in spite of all absurdities and frustrations and disappointments.
Layangan di Kerangkeng
Minggu, 18 September.
Aku tahu hari ini aku akan bertemu seseorang. Perasaan itu datang sejak pagi. Begitu keluar rumah untuk misa jam sembilan pagi, aku sudah tahu akan kembali saat gelap. Meski aku belum tahu pasti siapa yang akan aku temui :)
Hari ini aku sengaja tidak ikut Sekolah Minggu. Ada banyak kakak di sana. Jam sembilan gereja selalu penuh. Aku turun lagi setelah tidak menemukan tempat duduk di balkon. Dari tangga balkon aku melihat bangku yang rada lowong. Aku akan duduk di samping Om yang sering aku temui saat misa harian sore. Om ini tetanggaku, kita sudah sering bertukar senyum, tapi aku belum tahu namanya.
Di tengah misa aku melihat temanku, De. Aku menunggu hingga dia selesai berdoa dan keluar bareng. Kita sudah cukup lama tidak ketemu. Sekitar tiga pekan lebih. Terakhir dia buru-buru menutup telepon ketika aku mengatakan tidak jadi ke rumahnya. Siang itu terlalu panas dan urusanku belum selesai.
Dia mengajak aku ikut rapat dengannya. Tapi aku menolak. Lebih baik aku kumpul-kumpul dengan kakak-kakak SM sembari menunggu dia. Namun, kelompokku bubar dan dia belum selesai rapat. Akhirnya, aku ikut rapat dengan teman-teman De :) Mereka membahas persiapan untuk retreat dan mungkin aku bisa ikut.
Selesai rapat, kita ke rumah De. Makan asinan sayur dan es tong tong. Kita makan es tong tong dua kali, belinya di mas yang sama lagi:) Aku masih bertanya-tanya, masak sih, De yang harus aku temui. Bukan dia ah, pasti ada orang lain.
Iseng-iseng aku bertanya pada De tentang aktivitas uniknya. De sering telepon-teleponan dengan beberapa narapidana Kristen di lembaga pemasyarakatan di Jakarta. Mula-mula dia menghubungi keponakannya melalui nomor telepon salah satu napi yang belakangan sering dia telepon. Setelah itu dia sering menghubungi mereka. Bahkan, ada dua temannya yang "sudah melihat bulan" istilah untuk keluar penjara.
De tahu banyak istilah penjara dan beberapa hal luar biasa di dalam penjara. Salah seorang temannya berpenghasilan 80 juta sebulan dari komisi mengatur judi bola dari penjara. Kebanyakan temannya adalah napi kerah putih dan narkoba. Dia tahu berapa kamar penjara lengkap dengan harga dan fasilitasnya. Salah satu temannya membayar "kos" Rp 3 juta sebulan agar bisa makan nasi dan sedikit daging, plus kipas angin, dan kamar sel tidak dikunci. Biaya ini di luar ongkos untuk mengambil uang dari ATM. Semakin besar uang yang diambil, semakin tinggi biaya capeknya. Nggak percaya kan, aku juga :)
Tiba-tiba dia mengajak aku menelepon salah satu temannya itu. Aku langsung menolak. Takut salah bicara, takut menyinggung, dan nggak nyambung. Aku cuma mau mendengar dia berbicara dengan temannya itu. Tanpa disangka-sangka dia menyorongkan gagang telepon ke tanganku. Ditodong begitu aku tak punya pilihan selain bicara dengan temannya De.
Sebelumnya aku sudah tahu sedikit tentang temannya ini. Dia dibui karena mengedarkan shabu-shabu. Dia meninggalkan istrinya dan beberapa anaknya. Usianya sekitar 50-an tahun. Aku memanggilnya Om. Dia membalas sapaanku dan menyebut namanya dengan ramah.
"Lagi main layangan di kerangkeng," kata dia ketika aku tanya aktivitasnya.
"Ha? Emang bisa main layangan di sel?"
"Ya, di luar dong, kan ada lapangan."
Kita tidak bicara banyak. Sebab, baterai telepon selulernya sangat lemah. Tapi, dia berjanji akan mengobrol lagi. Aku cuma diam. Aku lega. Mmmm, rupanya Om ini yang harus aku temui.
Terus terang aku takut bicara dengan dia. Padahal, kita berjauhan. Ketakutan ini hampir sama ketika aku wawancara telepon dengan salah satu orang dengan HIV/AIDS. Waktu itu, tidak semua orang yang terserang virus HIV mau bicara--sekarang juga sih, tapi lebih mendingan.
Perasaan takut ini lebih ringan sih dibandingkan ketika aku pertama kali mengetahui bahwa orang yang menyambutku dengan ciuman pipi kiri dan kanan menderita HIV/AIDS dalam sebuah acara. Aku membayangkan pipinya yang jerawatan bertemu dengan pipiku yang juga ada jerawatnya. Aku tetap merasa ngeri meski aku tahu tidak akan tertular hanya dengan cium pipi.
Tapi dalam hati aku bersyukur dengan ketidaktahuanku--masih pemula geto lo--sikapku pada sebut saja Clara dan Nelly, sama seperti ketika aku berbicara dengan teman-temanku saja. Tak ada jarak. Lagi pula apa yang aku takutkan. Orang waras mana yang mau sakit, tak peduli jenis penyakit, cara penularan, dan gaya hidupnya. Nggak ada. Girangkah dikucilkan? Di saat sakit lagi.
Aku senang bicara dengan Om itu. Aku jadi ingat semua orang "bebas" yang sudah lama tidak aku kontak. Ternyata kepedulianku terhadap teman-temanku yang sedang terkerangkeng. Bikin daftar teman ah, siapa saja yang sudah lama tidak aku kontak. Ih banyak juga ternyata, hiks.
Minggu, 18 September.
Aku tahu hari ini aku akan bertemu seseorang. Perasaan itu datang sejak pagi. Begitu keluar rumah untuk misa jam sembilan pagi, aku sudah tahu akan kembali saat gelap. Meski aku belum tahu pasti siapa yang akan aku temui :)
Hari ini aku sengaja tidak ikut Sekolah Minggu. Ada banyak kakak di sana. Jam sembilan gereja selalu penuh. Aku turun lagi setelah tidak menemukan tempat duduk di balkon. Dari tangga balkon aku melihat bangku yang rada lowong. Aku akan duduk di samping Om yang sering aku temui saat misa harian sore. Om ini tetanggaku, kita sudah sering bertukar senyum, tapi aku belum tahu namanya.
Di tengah misa aku melihat temanku, De. Aku menunggu hingga dia selesai berdoa dan keluar bareng. Kita sudah cukup lama tidak ketemu. Sekitar tiga pekan lebih. Terakhir dia buru-buru menutup telepon ketika aku mengatakan tidak jadi ke rumahnya. Siang itu terlalu panas dan urusanku belum selesai.
Dia mengajak aku ikut rapat dengannya. Tapi aku menolak. Lebih baik aku kumpul-kumpul dengan kakak-kakak SM sembari menunggu dia. Namun, kelompokku bubar dan dia belum selesai rapat. Akhirnya, aku ikut rapat dengan teman-teman De :) Mereka membahas persiapan untuk retreat dan mungkin aku bisa ikut.
Selesai rapat, kita ke rumah De. Makan asinan sayur dan es tong tong. Kita makan es tong tong dua kali, belinya di mas yang sama lagi:) Aku masih bertanya-tanya, masak sih, De yang harus aku temui. Bukan dia ah, pasti ada orang lain.
Iseng-iseng aku bertanya pada De tentang aktivitas uniknya. De sering telepon-teleponan dengan beberapa narapidana Kristen di lembaga pemasyarakatan di Jakarta. Mula-mula dia menghubungi keponakannya melalui nomor telepon salah satu napi yang belakangan sering dia telepon. Setelah itu dia sering menghubungi mereka. Bahkan, ada dua temannya yang "sudah melihat bulan" istilah untuk keluar penjara.
De tahu banyak istilah penjara dan beberapa hal luar biasa di dalam penjara. Salah seorang temannya berpenghasilan 80 juta sebulan dari komisi mengatur judi bola dari penjara. Kebanyakan temannya adalah napi kerah putih dan narkoba. Dia tahu berapa kamar penjara lengkap dengan harga dan fasilitasnya. Salah satu temannya membayar "kos" Rp 3 juta sebulan agar bisa makan nasi dan sedikit daging, plus kipas angin, dan kamar sel tidak dikunci. Biaya ini di luar ongkos untuk mengambil uang dari ATM. Semakin besar uang yang diambil, semakin tinggi biaya capeknya. Nggak percaya kan, aku juga :)
Tiba-tiba dia mengajak aku menelepon salah satu temannya itu. Aku langsung menolak. Takut salah bicara, takut menyinggung, dan nggak nyambung. Aku cuma mau mendengar dia berbicara dengan temannya itu. Tanpa disangka-sangka dia menyorongkan gagang telepon ke tanganku. Ditodong begitu aku tak punya pilihan selain bicara dengan temannya De.
Sebelumnya aku sudah tahu sedikit tentang temannya ini. Dia dibui karena mengedarkan shabu-shabu. Dia meninggalkan istrinya dan beberapa anaknya. Usianya sekitar 50-an tahun. Aku memanggilnya Om. Dia membalas sapaanku dan menyebut namanya dengan ramah.
"Lagi main layangan di kerangkeng," kata dia ketika aku tanya aktivitasnya.
"Ha? Emang bisa main layangan di sel?"
"Ya, di luar dong, kan ada lapangan."
Kita tidak bicara banyak. Sebab, baterai telepon selulernya sangat lemah. Tapi, dia berjanji akan mengobrol lagi. Aku cuma diam. Aku lega. Mmmm, rupanya Om ini yang harus aku temui.
Terus terang aku takut bicara dengan dia. Padahal, kita berjauhan. Ketakutan ini hampir sama ketika aku wawancara telepon dengan salah satu orang dengan HIV/AIDS. Waktu itu, tidak semua orang yang terserang virus HIV mau bicara--sekarang juga sih, tapi lebih mendingan.
Perasaan takut ini lebih ringan sih dibandingkan ketika aku pertama kali mengetahui bahwa orang yang menyambutku dengan ciuman pipi kiri dan kanan menderita HIV/AIDS dalam sebuah acara. Aku membayangkan pipinya yang jerawatan bertemu dengan pipiku yang juga ada jerawatnya. Aku tetap merasa ngeri meski aku tahu tidak akan tertular hanya dengan cium pipi.
Tapi dalam hati aku bersyukur dengan ketidaktahuanku--masih pemula geto lo--sikapku pada sebut saja Clara dan Nelly, sama seperti ketika aku berbicara dengan teman-temanku saja. Tak ada jarak. Lagi pula apa yang aku takutkan. Orang waras mana yang mau sakit, tak peduli jenis penyakit, cara penularan, dan gaya hidupnya. Nggak ada. Girangkah dikucilkan? Di saat sakit lagi.
Aku senang bicara dengan Om itu. Aku jadi ingat semua orang "bebas" yang sudah lama tidak aku kontak. Ternyata kepedulianku terhadap teman-temanku yang sedang terkerangkeng. Bikin daftar teman ah, siapa saja yang sudah lama tidak aku kontak. Ih banyak juga ternyata, hiks.
Hi Love
Hari-hari belakangan ini benar-benar padat merayap. Aku menyebut ini minggu teman. Semua yang terjadi selama ini berhubungan dengan teman-temanku. Ada teman yang menginap di tempatku untuk curhat tentang, ya, apalagi, kekasihnya. Setelah cukup lama mendengar ceritanya, aku cuma bilang, "Jangan sia-siakan kecantikanmu!" Aku heran kenapa sih temanku ini masih percaya sama pacarnya yang dia sendiri nggak yakin cinta benar atau bohongan padanya. Bilang cinta tapi sekaligus meragukan pacarnya. Capek saya :)
Beberapa hari kemudian kita chatting di atas jam 12.00 malam. "Dia yang sms gue duluan, dia bilang hi love, bla bla bla," kata temanku ini.
"Iya, emang nama lo love? Kira-kira ada berapa cewek yang dia sapa dengan pesan yang sama dalam 10 menit?"
"Jahat lo Nek! Ih, kok gue nggak mikir ke situ sih," kata temanku tertawa. Maafkanku sister, aku harus bilang apa lagi :)
Temanku yang lain marah-marah karena aku tidak membalas e-mail-nya. Dia malah mengancam tak mau berteman denganku lagi. Dia bilang kalau aku sayang padanya, aku harus balas emailnya. Padahal, plis deh, aku benar-benar dalam kondisi malasdotcom begitu. Lagian tidak ada hal penting yang aku perlu balas, kita mengobrol setiap hari. Aku bertanya-tanya kenapa ya dia ingin aku menyayangi dia dengan cara dia, bukan membiarkan aku mengasihi dia dengan caraku? Bilang sayang tapi sekaligus ingin berhenti berteman karena alasan yang menurutku sepele. Sampai sekarang dia masih sebal padaku, kayaknya. Tapi, setiap hari dia selalu menyapaku. Iya iya, ntar aku balas emailnya deh :)
Temanku yang satu selalu mengeluh tentang bosnya. "Wah, wah, kenapa nggak kasih senyum manis dan kedipin mata aja sama Masnya--(bosnya)," kataku menahan geli. Hari ini, temanku ini ulang tahun. Saat makan malam dengan dua teman kantornya, aku cuma berdoa mudah-mudahan temanku ini jadian dengan bosnya. Lagian, katanya benci banget, tapi setiap kali ngomongin Masnya itu terus :) Aku kan harus bicara jujur hehehhe.
Dua pekan yang seru. Terlalu banyak yang terjadi. Jarak antara satu peristiwa dan kejadian lain begitu dekat. Nggak semua aku bisa ceritakan di sini. Yang pasti menguras energiku. Kasihan tubuhku, dia tidak kuberi cukup waktu untuk istirahat, untuk tidur dengan jadwal orang normal. Aku benar-benar menyerah setelah perutku mulas. Biasanya ini adalah peringatan terakhir dari tubuhku agar aku berhenti. Tubuhku ingin istirahat. Harus.
Untunglah, ada Ari Lasso dengan Arti Cinta yang bikin aku semangat. Sebab, dia mau aja menyanyi untukku setiap saat. Sudah lebih dari dosis minum obat, tinggal klik :)
Sambutlah aku dengar bisikan hatimu, cececeng cecececeng cececeng cecececeng
Selama jantungku masih berdetak
Selama itu pula engkau milikku
Selama darahku masih mengalir
Cintaku pasti takan pernah berakhir...
Hari-hari belakangan ini benar-benar padat merayap. Aku menyebut ini minggu teman. Semua yang terjadi selama ini berhubungan dengan teman-temanku. Ada teman yang menginap di tempatku untuk curhat tentang, ya, apalagi, kekasihnya. Setelah cukup lama mendengar ceritanya, aku cuma bilang, "Jangan sia-siakan kecantikanmu!" Aku heran kenapa sih temanku ini masih percaya sama pacarnya yang dia sendiri nggak yakin cinta benar atau bohongan padanya. Bilang cinta tapi sekaligus meragukan pacarnya. Capek saya :)
Beberapa hari kemudian kita chatting di atas jam 12.00 malam. "Dia yang sms gue duluan, dia bilang hi love, bla bla bla," kata temanku ini.
"Iya, emang nama lo love? Kira-kira ada berapa cewek yang dia sapa dengan pesan yang sama dalam 10 menit?"
"Jahat lo Nek! Ih, kok gue nggak mikir ke situ sih," kata temanku tertawa. Maafkanku sister, aku harus bilang apa lagi :)
Temanku yang lain marah-marah karena aku tidak membalas e-mail-nya. Dia malah mengancam tak mau berteman denganku lagi. Dia bilang kalau aku sayang padanya, aku harus balas emailnya. Padahal, plis deh, aku benar-benar dalam kondisi malasdotcom begitu. Lagian tidak ada hal penting yang aku perlu balas, kita mengobrol setiap hari. Aku bertanya-tanya kenapa ya dia ingin aku menyayangi dia dengan cara dia, bukan membiarkan aku mengasihi dia dengan caraku? Bilang sayang tapi sekaligus ingin berhenti berteman karena alasan yang menurutku sepele. Sampai sekarang dia masih sebal padaku, kayaknya. Tapi, setiap hari dia selalu menyapaku. Iya iya, ntar aku balas emailnya deh :)
Temanku yang satu selalu mengeluh tentang bosnya. "Wah, wah, kenapa nggak kasih senyum manis dan kedipin mata aja sama Masnya--(bosnya)," kataku menahan geli. Hari ini, temanku ini ulang tahun. Saat makan malam dengan dua teman kantornya, aku cuma berdoa mudah-mudahan temanku ini jadian dengan bosnya. Lagian, katanya benci banget, tapi setiap kali ngomongin Masnya itu terus :) Aku kan harus bicara jujur hehehhe.
Dua pekan yang seru. Terlalu banyak yang terjadi. Jarak antara satu peristiwa dan kejadian lain begitu dekat. Nggak semua aku bisa ceritakan di sini. Yang pasti menguras energiku. Kasihan tubuhku, dia tidak kuberi cukup waktu untuk istirahat, untuk tidur dengan jadwal orang normal. Aku benar-benar menyerah setelah perutku mulas. Biasanya ini adalah peringatan terakhir dari tubuhku agar aku berhenti. Tubuhku ingin istirahat. Harus.
Untunglah, ada Ari Lasso dengan Arti Cinta yang bikin aku semangat. Sebab, dia mau aja menyanyi untukku setiap saat. Sudah lebih dari dosis minum obat, tinggal klik :)
Sambutlah aku dengar bisikan hatimu, cececeng cecececeng cececeng cecececeng
Selama jantungku masih berdetak
Selama itu pula engkau milikku
Selama darahku masih mengalir
Cintaku pasti takan pernah berakhir...