Layangan di Kerangkeng
Minggu, 18 September.
Aku tahu hari ini aku akan bertemu seseorang. Perasaan itu datang sejak pagi. Begitu keluar rumah untuk misa jam sembilan pagi, aku sudah tahu akan kembali saat gelap. Meski aku belum tahu pasti siapa yang akan aku temui :)
Hari ini aku sengaja tidak ikut Sekolah Minggu. Ada banyak kakak di sana. Jam sembilan gereja selalu penuh. Aku turun lagi setelah tidak menemukan tempat duduk di balkon. Dari tangga balkon aku melihat bangku yang rada lowong. Aku akan duduk di samping Om yang sering aku temui saat misa harian sore. Om ini tetanggaku, kita sudah sering bertukar senyum, tapi aku belum tahu namanya.
Di tengah misa aku melihat temanku, De. Aku menunggu hingga dia selesai berdoa dan keluar bareng. Kita sudah cukup lama tidak ketemu. Sekitar tiga pekan lebih. Terakhir dia buru-buru menutup telepon ketika aku mengatakan tidak jadi ke rumahnya. Siang itu terlalu panas dan urusanku belum selesai.
Dia mengajak aku ikut rapat dengannya. Tapi aku menolak. Lebih baik aku kumpul-kumpul dengan kakak-kakak SM sembari menunggu dia. Namun, kelompokku bubar dan dia belum selesai rapat. Akhirnya, aku ikut rapat dengan teman-teman De :) Mereka membahas persiapan untuk retreat dan mungkin aku bisa ikut.
Selesai rapat, kita ke rumah De. Makan asinan sayur dan es tong tong. Kita makan es tong tong dua kali, belinya di mas yang sama lagi:) Aku masih bertanya-tanya, masak sih, De yang harus aku temui. Bukan dia ah, pasti ada orang lain.
Iseng-iseng aku bertanya pada De tentang aktivitas uniknya. De sering telepon-teleponan dengan beberapa narapidana Kristen di lembaga pemasyarakatan di Jakarta. Mula-mula dia menghubungi keponakannya melalui nomor telepon salah satu napi yang belakangan sering dia telepon. Setelah itu dia sering menghubungi mereka. Bahkan, ada dua temannya yang "sudah melihat bulan" istilah untuk keluar penjara.
De tahu banyak istilah penjara dan beberapa hal luar biasa di dalam penjara. Salah seorang temannya berpenghasilan 80 juta sebulan dari komisi mengatur judi bola dari penjara. Kebanyakan temannya adalah napi kerah putih dan narkoba. Dia tahu berapa kamar penjara lengkap dengan harga dan fasilitasnya. Salah satu temannya membayar "kos" Rp 3 juta sebulan agar bisa makan nasi dan sedikit daging, plus kipas angin, dan kamar sel tidak dikunci. Biaya ini di luar ongkos untuk mengambil uang dari ATM. Semakin besar uang yang diambil, semakin tinggi biaya capeknya. Nggak percaya kan, aku juga :)
Tiba-tiba dia mengajak aku menelepon salah satu temannya itu. Aku langsung menolak. Takut salah bicara, takut menyinggung, dan nggak nyambung. Aku cuma mau mendengar dia berbicara dengan temannya itu. Tanpa disangka-sangka dia menyorongkan gagang telepon ke tanganku. Ditodong begitu aku tak punya pilihan selain bicara dengan temannya De.
Sebelumnya aku sudah tahu sedikit tentang temannya ini. Dia dibui karena mengedarkan shabu-shabu. Dia meninggalkan istrinya dan beberapa anaknya. Usianya sekitar 50-an tahun. Aku memanggilnya Om. Dia membalas sapaanku dan menyebut namanya dengan ramah.
"Lagi main layangan di kerangkeng," kata dia ketika aku tanya aktivitasnya.
"Ha? Emang bisa main layangan di sel?"
"Ya, di luar dong, kan ada lapangan."
Kita tidak bicara banyak. Sebab, baterai telepon selulernya sangat lemah. Tapi, dia berjanji akan mengobrol lagi. Aku cuma diam. Aku lega. Mmmm, rupanya Om ini yang harus aku temui.
Terus terang aku takut bicara dengan dia. Padahal, kita berjauhan. Ketakutan ini hampir sama ketika aku wawancara telepon dengan salah satu orang dengan HIV/AIDS. Waktu itu, tidak semua orang yang terserang virus HIV mau bicara--sekarang juga sih, tapi lebih mendingan.
Perasaan takut ini lebih ringan sih dibandingkan ketika aku pertama kali mengetahui bahwa orang yang menyambutku dengan ciuman pipi kiri dan kanan menderita HIV/AIDS dalam sebuah acara. Aku membayangkan pipinya yang jerawatan bertemu dengan pipiku yang juga ada jerawatnya. Aku tetap merasa ngeri meski aku tahu tidak akan tertular hanya dengan cium pipi.
Tapi dalam hati aku bersyukur dengan ketidaktahuanku--masih pemula geto lo--sikapku pada sebut saja Clara dan Nelly, sama seperti ketika aku berbicara dengan teman-temanku saja. Tak ada jarak. Lagi pula apa yang aku takutkan. Orang waras mana yang mau sakit, tak peduli jenis penyakit, cara penularan, dan gaya hidupnya. Nggak ada. Girangkah dikucilkan? Di saat sakit lagi.
Aku senang bicara dengan Om itu. Aku jadi ingat semua orang "bebas" yang sudah lama tidak aku kontak. Ternyata kepedulianku terhadap teman-temanku yang sedang terkerangkeng. Bikin daftar teman ah, siapa saja yang sudah lama tidak aku kontak. Ih banyak juga ternyata, hiks.
Minggu, 18 September.
Aku tahu hari ini aku akan bertemu seseorang. Perasaan itu datang sejak pagi. Begitu keluar rumah untuk misa jam sembilan pagi, aku sudah tahu akan kembali saat gelap. Meski aku belum tahu pasti siapa yang akan aku temui :)
Hari ini aku sengaja tidak ikut Sekolah Minggu. Ada banyak kakak di sana. Jam sembilan gereja selalu penuh. Aku turun lagi setelah tidak menemukan tempat duduk di balkon. Dari tangga balkon aku melihat bangku yang rada lowong. Aku akan duduk di samping Om yang sering aku temui saat misa harian sore. Om ini tetanggaku, kita sudah sering bertukar senyum, tapi aku belum tahu namanya.
Di tengah misa aku melihat temanku, De. Aku menunggu hingga dia selesai berdoa dan keluar bareng. Kita sudah cukup lama tidak ketemu. Sekitar tiga pekan lebih. Terakhir dia buru-buru menutup telepon ketika aku mengatakan tidak jadi ke rumahnya. Siang itu terlalu panas dan urusanku belum selesai.
Dia mengajak aku ikut rapat dengannya. Tapi aku menolak. Lebih baik aku kumpul-kumpul dengan kakak-kakak SM sembari menunggu dia. Namun, kelompokku bubar dan dia belum selesai rapat. Akhirnya, aku ikut rapat dengan teman-teman De :) Mereka membahas persiapan untuk retreat dan mungkin aku bisa ikut.
Selesai rapat, kita ke rumah De. Makan asinan sayur dan es tong tong. Kita makan es tong tong dua kali, belinya di mas yang sama lagi:) Aku masih bertanya-tanya, masak sih, De yang harus aku temui. Bukan dia ah, pasti ada orang lain.
Iseng-iseng aku bertanya pada De tentang aktivitas uniknya. De sering telepon-teleponan dengan beberapa narapidana Kristen di lembaga pemasyarakatan di Jakarta. Mula-mula dia menghubungi keponakannya melalui nomor telepon salah satu napi yang belakangan sering dia telepon. Setelah itu dia sering menghubungi mereka. Bahkan, ada dua temannya yang "sudah melihat bulan" istilah untuk keluar penjara.
De tahu banyak istilah penjara dan beberapa hal luar biasa di dalam penjara. Salah seorang temannya berpenghasilan 80 juta sebulan dari komisi mengatur judi bola dari penjara. Kebanyakan temannya adalah napi kerah putih dan narkoba. Dia tahu berapa kamar penjara lengkap dengan harga dan fasilitasnya. Salah satu temannya membayar "kos" Rp 3 juta sebulan agar bisa makan nasi dan sedikit daging, plus kipas angin, dan kamar sel tidak dikunci. Biaya ini di luar ongkos untuk mengambil uang dari ATM. Semakin besar uang yang diambil, semakin tinggi biaya capeknya. Nggak percaya kan, aku juga :)
Tiba-tiba dia mengajak aku menelepon salah satu temannya itu. Aku langsung menolak. Takut salah bicara, takut menyinggung, dan nggak nyambung. Aku cuma mau mendengar dia berbicara dengan temannya itu. Tanpa disangka-sangka dia menyorongkan gagang telepon ke tanganku. Ditodong begitu aku tak punya pilihan selain bicara dengan temannya De.
Sebelumnya aku sudah tahu sedikit tentang temannya ini. Dia dibui karena mengedarkan shabu-shabu. Dia meninggalkan istrinya dan beberapa anaknya. Usianya sekitar 50-an tahun. Aku memanggilnya Om. Dia membalas sapaanku dan menyebut namanya dengan ramah.
"Lagi main layangan di kerangkeng," kata dia ketika aku tanya aktivitasnya.
"Ha? Emang bisa main layangan di sel?"
"Ya, di luar dong, kan ada lapangan."
Kita tidak bicara banyak. Sebab, baterai telepon selulernya sangat lemah. Tapi, dia berjanji akan mengobrol lagi. Aku cuma diam. Aku lega. Mmmm, rupanya Om ini yang harus aku temui.
Terus terang aku takut bicara dengan dia. Padahal, kita berjauhan. Ketakutan ini hampir sama ketika aku wawancara telepon dengan salah satu orang dengan HIV/AIDS. Waktu itu, tidak semua orang yang terserang virus HIV mau bicara--sekarang juga sih, tapi lebih mendingan.
Perasaan takut ini lebih ringan sih dibandingkan ketika aku pertama kali mengetahui bahwa orang yang menyambutku dengan ciuman pipi kiri dan kanan menderita HIV/AIDS dalam sebuah acara. Aku membayangkan pipinya yang jerawatan bertemu dengan pipiku yang juga ada jerawatnya. Aku tetap merasa ngeri meski aku tahu tidak akan tertular hanya dengan cium pipi.
Tapi dalam hati aku bersyukur dengan ketidaktahuanku--masih pemula geto lo--sikapku pada sebut saja Clara dan Nelly, sama seperti ketika aku berbicara dengan teman-temanku saja. Tak ada jarak. Lagi pula apa yang aku takutkan. Orang waras mana yang mau sakit, tak peduli jenis penyakit, cara penularan, dan gaya hidupnya. Nggak ada. Girangkah dikucilkan? Di saat sakit lagi.
Aku senang bicara dengan Om itu. Aku jadi ingat semua orang "bebas" yang sudah lama tidak aku kontak. Ternyata kepedulianku terhadap teman-temanku yang sedang terkerangkeng. Bikin daftar teman ah, siapa saja yang sudah lama tidak aku kontak. Ih banyak juga ternyata, hiks.