Terlalu Lama Kita Berdiam
Aneh.
Setiap hari menulis, kecuali Minggu, tapi tidak pernah bisa mengisi blog ini dengan kata-kataku sendiri.
Tapi, tiba-tiba rindu sekali menulis di blog ini.
Kenapa?
Karena, Ari Lasso merayuku dengan "Aku dan Dirimu."
"Sudah terlalu lama kita berdiam...."
Rupanya, Ari Lasso bisa jadi pemantik inspirasi menulisku. Trims Ari Lasso hehehe.
Aku pikir, aku bisa menulis karena melihat gambar yang menarik. Atau karena sudah ada judul di kepala. Atau karena ingin sekali curhat tentang seseorang tanpa ketahuan. Atau karena ada gerakan untuk menulis. Atau karena ingin orang lain di luar sana--mungkin Anda--bisa tersenyum, menangis, marah, tenang, gembira, atau datar-datar saja membaca tulisanku, seperti juga perasaanku ketika menulis. Atau, apalagi, ya....
Tapi, semua itu tidak terbukti sepenuhnya. Karena alasan-alasan tadi tidak lantas membuat aku menulis.
Dan, akhirnya, Ari Lasso bilang,
"Tiba saatnya kita saling bicara...
Tentang rindu yang menggebu...."
Tentang rindu yang menggebu...."
Hari ini, ketika hubungan Indonesia dan Australia sedang hangat, aku juga merasakan kehangatan. Tapi, ini jauh berbeda dengan dua negara itu.
Aku menghangat karena tenang. Bisa dengar teman-temanku menyanyi, seperti ingin mengalahkan Trio Ambisi dengan lagu-lagu yang dahulu cuma ada di kaset. Bisa kerja satu ruangan dengan sahabat baikku. Bisa misa harian setiap pagi atau sore--tapi aku agak malas belakangan ini--karena ada dua gereja yang begitu dekat dengan lokasiku. Bisa ikut kebaktian setiap minggu di tempat kerjaku dan aku terlibat di dalamnya. Dan, bisa menulis setiap hari.... Dan, ada seseorang yang sedang belajar untuk dibaptis.... Adakah yang lebih indah dari itu?????? hehehe.
Ada banyak lembar kosong yang saya perlu isi dengan kata-kata penuh syukur.
Oh iya, aku bisa juga meninggalkan nasi...,bisa pulang setiap hari di bawah jam 10 malam..., bisa sama sekali tidak menoleh Facebook, apalagi Twitter--aku gak punya akun hehehe. Bisa tidak terkoneksi....
Temanku bertanya kenapa aku tidak punya BB. "Aku kampungan," aku menjawab.
"Kamu bukan kampungan, tapi tertutup."
Dia mungkin benar.... Dan sekarang aku mau terbuka lagi.... Di sini.
Karena Ari Lasso membujukku lagi....
"Sudah terlalu lama kita berdiam...."
Komat-Kamit Seperti Hana
Tadi siang
saya mengikuti kebaktian Jumat siang. Teman yang membawakan Firman
meminta kita membaca kisah Hana berdoa meminta anak dalam 1 Samuel
1:1-28.
Jadi, Hana bernazar dan setiap hari berdoa di Bait Allah meminta anak. Saking seriusnya berdoa, dia tidak sadar sedang diperhatikan Imam Eli. Sang Imam menyangka perempuan yang sudah bertahun-tahun merindukan bayi dalam rumahnya itu "mabuk". Soalnya, bibirnya komat-kamit tanpa suara.
"Bukan, tuanku, aku seorang perempuan yang sangat bersusah hati; anggur ataupun minuman yang memabukkan tidak kuminum, melainkan aku mencurahkan isi hatiku di hadapan TUHAN," Hana menjelaskan pada Imam Eli.
Jadi, Hana bernazar dan setiap hari berdoa di Bait Allah meminta anak. Saking seriusnya berdoa, dia tidak sadar sedang diperhatikan Imam Eli. Sang Imam menyangka perempuan yang sudah bertahun-tahun merindukan bayi dalam rumahnya itu "mabuk". Soalnya, bibirnya komat-kamit tanpa suara.
"Bukan, tuanku, aku seorang perempuan yang sangat bersusah hati; anggur ataupun minuman yang memabukkan tidak kuminum, melainkan aku mencurahkan isi hatiku di hadapan TUHAN," Hana menjelaskan pada Imam Eli.
“Pergilah
dengan selamat, Allah Israel akan memberikan kepadamu apa yang engkau
minta dari pada-Nya,” kata Imam Eli.
Hana yang tadinya bermuka muram, pulang dengan wajah ceria. Dan, singkat kata
dia hamil dan melahirkan Samuel yang berarti “aku telah memintanya
dari Tuhan.”
Dan, setelah
habis masa menyapih, Hana menepati nazarnya, dan menyerahkan Samuel
anaknya kepada Allah dalam pengasuhan Nabi Eli.
Temanku yang
berkaca mata ini juga membacakan kisah tentang Ricardo Izecson “Kaka”
dos Santos Leite, pemain sepakbola Brasil, yang kecelakaan dan sakit
parah. Dalam penderitaannya, anak seorang penginjil besar di Negeri
Sombrero itu bernazar jika dia sembuh, dia akan menyerahkan semua
hidupnya untuk Tuhan.
Satu tahun
kemudian, seperti Hana, Kaka sembuh secara ajaib dan bahkan masuk
dalam tim nasional saat Tim Samba merebut Piala Dunia 2002. Dia
menepati nazarnya dengan memakai kaus putih bertuliskan “I Belong
to Jesus” setiap memasukkan gol atau meraih kemenangan.
Ketika
ditanya seorang wartawan, dia mengatakan, “semua kemenangan itu
datang dari Yesus.” Kaos “I Belong to Jesus” juga menjadi tren
bagi sejumlah pemain Brasil dan pemain internasional lainnya.
Kedua kisah
ini, terutama Hana, benar-benar mengingatkanku.
Saya baru
sadar bahwa saya mungkin seperti Hana yang beberapa hari terakhir
keranjingan ke gereja untuk misa dan berdoa. Mungkin bagi beberapa
teman saya seperti perempuan “mabuk”. Setiap hari misa :-)
Saya juga
belum mendapatkan apa yang saya minta. Tapi, wajah saya juga tidak
muram-muram amat :-) Malah aku selalu pulang dengan pengetahuan yang
baru, dengan sukacita yang lain dari hari kemarin, dan pengalaman
akan Yesus yang tidak sama dari waktu ke waktu.
Jadi,
seperti Hana, saya masih komat-kamit meminta pada Tuhan.
Tapi, yang
menarik dalam nazar dan doaku, bahwa, Tuhan benar-benar membantuku
agar saya bisa misa setiap hari. Selain waktu yang longar, saya
bahkan dibawa ke gereja yang jam misanya pas sehinga saya tidak
sampai absen untuk misa harian :-). Bahkan, ketika saya pergi, saya
pasti pulang beberapa menit sebelum saya berjalan kaki ke gereja.
Memang saya
tidak memakai kaus “I Belong to Jesus”. Tetapi, saya harus bisa
bilang bahwa memang “I Belong to Jesus”, karena begitu yang
terjadi.
Bahasa Pangan
Sejak Rabu Abu silam sampai Paskah, saya dan teman saya membuka "warung" di meja di samping tempat saya bisa menulis. Ini inisiatif teman saya yang ingin "membagi roti" ketika umat Katolik sedang berada dalam masa pra-Paskah, 40 hari melakukan puasa dan pantang untuk memasuki Paskah mulia.
Saya juga mendapatkan istilah "buka warung" ini dari salah seorang teman yang menyelutukkan kata itu ketika saya sedang ke dapur untuk mencuci panci untuk menanak nasi.
Jadi, biasanya, sekitar jam 5 sore atau mendekati jam enam, saya masak nasi di meja itu. Kemudian kami makan bersama setelah aroma nasi pandan sudah tercium di ruangan. Nanti sekitar jam 8 malam lewat, saya mencuci panci itu, memasukkan dalam plastik khusus dan mengelap meja agar cakep seperti sedia kala. Begitulah.
Jadi, biasanya, sekitar jam 5 sore atau mendekati jam enam, saya masak nasi di meja itu. Kemudian kami makan bersama setelah aroma nasi pandan sudah tercium di ruangan. Nanti sekitar jam 8 malam lewat, saya mencuci panci itu, memasukkan dalam plastik khusus dan mengelap meja agar cakep seperti sedia kala. Begitulah.
Beberapa hari silam, saya dan teman yang jadi motor "rumah roti" itu membahas tentang "gandum terbaik" dalam Mazmur 147 ayat 14. Saya tidak mencantumkan ayatnya di sini, biar kalian baca sendiri, ya, hehehe.
Saya bilang kepada teman saya itu bahwa ketika misa pagi, Romo yang memimpin misa bicara tentang bahasa pangan.
Rupanya setelah kebangkitan, Yesus berjalan bersama dua murid-Nya dari Yerusalem ke Emaus. Mereka menempuh perjalanan yang cukup jauh--sebuah tafsiran mengatakan jaraknya sekitar 12 kilometer--dan pasti lama, secara jalan kaki. Tapi, kedua murid ini tidak tahu bahwa orang yang bicaranya membuat hati mereka berkobar-kobar itu adalah Yesus. Oh iya, lupa, bacaan tadi ada di Lukas 24:35-48. Dibaca sendiri, ya :-)
Nah, dua murid ini, baru mengenali Yesus setelah sudah tiba di Emaus, tepatnya "ketika Yesus memecah-mecahkan roti."
Setelah menggunakan bahasa pangan, yaitu memecah-mecahkan roti, barulah dua murid itu mengenali Yesus.
Teman saya langsung menaruh jarinya ke mulutnya yang menganga. "Jadi, selama kita buka rumah roti, Yesus hadir. Selama ini, saya tanya-tanya terus kenapa Tuhan suruh saya sediakan makanan. Ternyata ini jawabannya," kata dia, geleng-geleng kepala kemudian tertawa lepas.
Roh Doa
Beberapa bulan belakangan ini saya ada dalam lingkaran doa yang berbeda dari biasanya. Minimal tiga hari dalam sepekan saya bersama seorang teman berdoa bersama di salah satu ruangan di tempat kami bekerja. Ini belum pernah saya alami sepanjang saya mulai bekerja--dibayar setiap bulan--sejak sekitar 17 tahun lampau.
Firman yang kami dapatkan saat berdoa juga selalu pas dengan apa yang terjadi atau akan terjadi pada kehidupan kami. Dan, saya yang kebagian membuka Alkitab untuk mendengarkan apa yang ingin Tuhan bilang pada kami.
Kemarin, kami membaca tentang Daniel 3. Semua aspek kami bahas. Sampai juga tentang Nebudkadnezar yang marah besar karena Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menolak menyembah patung sembahan dia.
Raja Babel itu lantas memerintahkan beberapa prajuritnya yang sangat kuat untuk mengikat Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, kemudian mencampakkan mereka ke dalam perapian yang menyala-nyala--yang tujuh kali lebih panas dari biasanya.
Kami berdua bertanya-tanya sekuat apa ikatan dari prajurit yang paling kuat di Babel sana????
Kami kemudian melanjutkan ke ayat-ayat berikut. Rupanya saking panasnya, prajurit perkasa yang mengikat dan mendorong tiga sekawan kesayangan Allah itu ke dalam perapian, sampai terpanggang hidup-hidup dan tewas. Sementara tiga sekawan yang mengatakan,
"Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu."
justru aman-aman saja, baik saat dimasukkan ke perapian, di dalam tungku yang menyala-nyala, sampai keluar dari perapian.
Hari ini, saya seperti merasakan ada "prajurit-prajurit terkuat" yang mengikat kencang saya. Tapi, hari ini, juga saya juga saya baru tahu saya diikat. Saya tahu persis bahwa yang mengikat saya tidak tahu bahwa dia sedang berada di bawah titah Nebudkadnezar si Raja Pendusta itu.
Dan, saya akan mendoakan prajurit-prajurit itu selalu, seperti biasanya. Cuma bedanya, sekarang saya meminta BAPA-ku yang BAIK untuk mencurahkan roh doa buat mereka. Roh doa yang tujuh kali lebih berkobar dalam hati mereka, amin.
Luar biasa memang Firman Tuhan. Baru kemarin dibaca, hari ini saya memahami, mengalami, dan menjadikan kata-kata suci itu sebagai doa.
BAPA, buatlah roh doaku tujuh kali lebih panas dari biasanya, amin!
Labels: Doa