Serak Oh Serak
Nggak enak ternyata kehilangan suara. Ini nggak ada hubungannya dengan pemilihan kepala daerah. Aku benar-benar nggak bisa bicara. Seperti ada spons kasar yang mengganjal tenggorokanku. Sulit sekali mengeluarkan suara.
Aku pikir, ah ini pasti gara-gara kecapekan. Tenggorokanku memang selalu ngambek kalau aku kurang tidur. Suaraku akan normal kalau sudah cukup tidur. Tapi, kali ini rada beda. Masak aku kehilangan suara dari Sabtu pagi sampai sekarang. Jenny, adikku, yang sering cari makan jual suara malah sehat-sehat saja. "Emang lo abis nyanyi berapa ratus lagu," kata Jenny, Sabtu malam. Dia baru pulang menyanyi di salah satu pesta pernikahan. Aku hanya bisa mengepalkan tangan ke arahnya.
Hari Minggu juga begitu. Suaraku juga belum mau keluar. Aku memang nggak minum obat tapi vitamin dan banyak minum air putih. Aku bicara juga tapi agak sulit. Jadi adikku yang lebih banyak bicara, aku cuma menggeleng dan mengangguk. Dia juga yang melayaniku dengan sangat-sangat baik. Padahal, aku cuma kehilangan suara.
Waktu kita makan di warung dekat rumah, Jenny langsung berdiri melihat aku cemberut menatap air tawar yang dibawa Mbak warung. "Kurang panas?" kata dia sambil mengambil gelas itu dan menukarnya dengan air panas. Hmmm kesempatan jadi nyonya besar nih he he he.
Mustinya aku beristirahat saja di rumah. Tapi, aku tetap menemani Jenny ke mal. Soalnya, dia memasang tampang memelas supaya aku mengiyakan kemauannya. Aku juga mau lagi :)
Suaraku masih tidak normal ketika kita balik ke rumah. Bahkan, aku masih sempat bicara dengan Moses dan Wulan yang tak percaya aku tidak mau bicara dengan mereka karena tak ada suara. "Ih aneh suara Ne," kata Wulan. "Ini Ne? Suaranya kok berubah?" kata Moses. Aku masih harus mengobrol dengan dua teman lain. Benar-benar capek.
Ternyata penderitaanku bertambah waktu misa. Aku baru sadar bahwa aku tidak bisa bernyanyi. Hanya lipsing. Aduhhhh. Setiap memaksa mengeluarkan suara, seperti ada sesuatu yang mau putus di tenggorokan. Aku membayangkan apa yang terjadi dengan pita suaraku. Apakah dia berapi, memerah, atau malah sedang terjepit.
Aku belum pernah kehilangan suara sampai tidak bisa bernyanyi. Bersenandung saja sulit. Aku berusaha menyanyi dalam hati. Tapi, saat kehilangan suara, bernyanyi dalam hati tidak menyenangkan sama sekali. Tersiksa. Masak aku nggak bisa memuji Tuhan dengan suaraku. Menakutkan. Benar.
Di saat tak berdaya begini aku sadar bahwa lebih baik bernyanyi memuji Tuhan dengan suara sumbang dari pada lipsing karena tidak ada suara. Aku juga menyesal karena sering menertawakan orang bernyanyi dengan not yang lari sana sini, sudah begitu kencang lagi. Maaf ya.
Ternyata memuji Tuhan dengan suara itu indah. Tak peduli sumbang atau harmoni. Lebih baik serak oh serak karena bernyanyi memuji Tuhan daripada tidak bisa memuji Tuhan karena kehilangan suara. Sungguh.
Nggak enak ternyata kehilangan suara. Ini nggak ada hubungannya dengan pemilihan kepala daerah. Aku benar-benar nggak bisa bicara. Seperti ada spons kasar yang mengganjal tenggorokanku. Sulit sekali mengeluarkan suara.
Aku pikir, ah ini pasti gara-gara kecapekan. Tenggorokanku memang selalu ngambek kalau aku kurang tidur. Suaraku akan normal kalau sudah cukup tidur. Tapi, kali ini rada beda. Masak aku kehilangan suara dari Sabtu pagi sampai sekarang. Jenny, adikku, yang sering cari makan jual suara malah sehat-sehat saja. "Emang lo abis nyanyi berapa ratus lagu," kata Jenny, Sabtu malam. Dia baru pulang menyanyi di salah satu pesta pernikahan. Aku hanya bisa mengepalkan tangan ke arahnya.
Hari Minggu juga begitu. Suaraku juga belum mau keluar. Aku memang nggak minum obat tapi vitamin dan banyak minum air putih. Aku bicara juga tapi agak sulit. Jadi adikku yang lebih banyak bicara, aku cuma menggeleng dan mengangguk. Dia juga yang melayaniku dengan sangat-sangat baik. Padahal, aku cuma kehilangan suara.
Waktu kita makan di warung dekat rumah, Jenny langsung berdiri melihat aku cemberut menatap air tawar yang dibawa Mbak warung. "Kurang panas?" kata dia sambil mengambil gelas itu dan menukarnya dengan air panas. Hmmm kesempatan jadi nyonya besar nih he he he.
Mustinya aku beristirahat saja di rumah. Tapi, aku tetap menemani Jenny ke mal. Soalnya, dia memasang tampang memelas supaya aku mengiyakan kemauannya. Aku juga mau lagi :)
Suaraku masih tidak normal ketika kita balik ke rumah. Bahkan, aku masih sempat bicara dengan Moses dan Wulan yang tak percaya aku tidak mau bicara dengan mereka karena tak ada suara. "Ih aneh suara Ne," kata Wulan. "Ini Ne? Suaranya kok berubah?" kata Moses. Aku masih harus mengobrol dengan dua teman lain. Benar-benar capek.
Ternyata penderitaanku bertambah waktu misa. Aku baru sadar bahwa aku tidak bisa bernyanyi. Hanya lipsing. Aduhhhh. Setiap memaksa mengeluarkan suara, seperti ada sesuatu yang mau putus di tenggorokan. Aku membayangkan apa yang terjadi dengan pita suaraku. Apakah dia berapi, memerah, atau malah sedang terjepit.
Aku belum pernah kehilangan suara sampai tidak bisa bernyanyi. Bersenandung saja sulit. Aku berusaha menyanyi dalam hati. Tapi, saat kehilangan suara, bernyanyi dalam hati tidak menyenangkan sama sekali. Tersiksa. Masak aku nggak bisa memuji Tuhan dengan suaraku. Menakutkan. Benar.
Di saat tak berdaya begini aku sadar bahwa lebih baik bernyanyi memuji Tuhan dengan suara sumbang dari pada lipsing karena tidak ada suara. Aku juga menyesal karena sering menertawakan orang bernyanyi dengan not yang lari sana sini, sudah begitu kencang lagi. Maaf ya.
Ternyata memuji Tuhan dengan suara itu indah. Tak peduli sumbang atau harmoni. Lebih baik serak oh serak karena bernyanyi memuji Tuhan daripada tidak bisa memuji Tuhan karena kehilangan suara. Sungguh.
Tanpa Bertanya
Senang banget punya teman baru. Hal baru banyak bermunculan. Sabtu kemarin, misalnya, aku kenalan dengan Vi, temannya teman, di tempat pemakaman. Kita pulang bareng selesai pemakaman dan sempat cerita-cerita. Baru beberapa jam saja sudah banyak hal baru yang aku temui. Yang menarik dari temanku ini, dia begitu cepat menilai diriku. "Hmmmm bagus banget, hebat banget," kata Vi mengolok-olokku karena berkali-kali mengucapkan kata-kata itu.
Komentar Vi ini membuat aku segera menghentikan gerakan bibir setiap ingin mengucapkan kata-kata itu. Padahal, memang benar. Aku mengucapkan itu sebagai reaksi atas hal-hal bagus dan hebat yang dia lontarkan. Sebaliknya dia merasa itu cuma masalah biasa yang tidak perlu direspons dengan begitu. Akhirnya aku capek juga harus berhenti mengucapkan kata-kata itu. "Biarin napa, mulut-mulut gue," kataku akhirnya.
Aku dan Vi sudah bertukar nomor telepon dan berjanji akan lebih sering ketemuan. Tentu saja dengan atau tanpa temanku yang temannya Vi. Soalnya begitu ngrobrol kayaknya kita langsung klik klek. Dia juga berjanji mengajariku menulis skenario. Saat ini dia adalah mahasiswa jurusan skenario di IKJ.
Kemarin, Kwan, salah satu teman baru mengirim pesan yang cukup mengejutkan. Kita berkenalan sejak minggu kedua Desember. Sejak itu, dia sering mengirimiku e-mail. Pernah dalam sehari dia menulis enam surat elektronik. Udah begitu pesannya pendek-pendek lagi. Tapi, pelan-pelan frekuensi pengiriman suratnya berkurang. Dia selalu mengirim pesan setiap Senin.
Aku merasa masih belum nyambung dengan Kwan. Maksudnya, beda dengan Vi yang langsung bisa akrab sekali ketemu, dengan Kwan aku masih dalam tahap meraba-raba seperti apa dia. Lagian, dia baik banget rajin mengirim surat padaku.
Hari ini, dua kali aku menerima e-mail dari dia. Pertama, seperti biasa, dia cuma datang untuk menyapa. Aku membalasnya dan minta dia mendoakanku. Ini hanya akal-akalan saja, karena bingung mau bilang apa ke dia :)
Eh, dia membalas cepat dengan pesan yang singkat seperti biasa. "Absolutely... (aku sensor dikit ya hehhe) Without question, I pray for your strength and confidence."
Kok bisa? Aku memang dalam kondisi butuh banget kekuatan dan lagi kurang (banget) percaya diri. Kenapa bisa pas begini? Hmmm, mungkin hanya teman baik yang bisa begitu.
Senang banget punya teman baru. Hal baru banyak bermunculan. Sabtu kemarin, misalnya, aku kenalan dengan Vi, temannya teman, di tempat pemakaman. Kita pulang bareng selesai pemakaman dan sempat cerita-cerita. Baru beberapa jam saja sudah banyak hal baru yang aku temui. Yang menarik dari temanku ini, dia begitu cepat menilai diriku. "Hmmmm bagus banget, hebat banget," kata Vi mengolok-olokku karena berkali-kali mengucapkan kata-kata itu.
Komentar Vi ini membuat aku segera menghentikan gerakan bibir setiap ingin mengucapkan kata-kata itu. Padahal, memang benar. Aku mengucapkan itu sebagai reaksi atas hal-hal bagus dan hebat yang dia lontarkan. Sebaliknya dia merasa itu cuma masalah biasa yang tidak perlu direspons dengan begitu. Akhirnya aku capek juga harus berhenti mengucapkan kata-kata itu. "Biarin napa, mulut-mulut gue," kataku akhirnya.
Aku dan Vi sudah bertukar nomor telepon dan berjanji akan lebih sering ketemuan. Tentu saja dengan atau tanpa temanku yang temannya Vi. Soalnya begitu ngrobrol kayaknya kita langsung klik klek. Dia juga berjanji mengajariku menulis skenario. Saat ini dia adalah mahasiswa jurusan skenario di IKJ.
Kemarin, Kwan, salah satu teman baru mengirim pesan yang cukup mengejutkan. Kita berkenalan sejak minggu kedua Desember. Sejak itu, dia sering mengirimiku e-mail. Pernah dalam sehari dia menulis enam surat elektronik. Udah begitu pesannya pendek-pendek lagi. Tapi, pelan-pelan frekuensi pengiriman suratnya berkurang. Dia selalu mengirim pesan setiap Senin.
Aku merasa masih belum nyambung dengan Kwan. Maksudnya, beda dengan Vi yang langsung bisa akrab sekali ketemu, dengan Kwan aku masih dalam tahap meraba-raba seperti apa dia. Lagian, dia baik banget rajin mengirim surat padaku.
Hari ini, dua kali aku menerima e-mail dari dia. Pertama, seperti biasa, dia cuma datang untuk menyapa. Aku membalasnya dan minta dia mendoakanku. Ini hanya akal-akalan saja, karena bingung mau bilang apa ke dia :)
Eh, dia membalas cepat dengan pesan yang singkat seperti biasa. "Absolutely... (aku sensor dikit ya hehhe) Without question, I pray for your strength and confidence."
Kok bisa? Aku memang dalam kondisi butuh banget kekuatan dan lagi kurang (banget) percaya diri. Kenapa bisa pas begini? Hmmm, mungkin hanya teman baik yang bisa begitu.
Lima Huruf
Dia tahu cintaku
Aku tahu cintanya
Dia rasa cintaku
Aku rasa cintanya
Dia pikir cintaku
Aku pikir cintanya
Dia buat cintaku
Aku buat cintanya
Dia bilang cintaku
Aku bilang cintanya
Dia di sana dan tetap di sana
Aku di sini dan tetap di sini
Dia punya hari esok
Aku punya hari kemarin
Hari ini adalah lima huruf
Dia tahu cintaku
Aku tahu cintanya
Dia rasa cintaku
Aku rasa cintanya
Dia pikir cintaku
Aku pikir cintanya
Dia buat cintaku
Aku buat cintanya
Dia bilang cintaku
Aku bilang cintanya
Dia di sana dan tetap di sana
Aku di sini dan tetap di sini
Dia punya hari esok
Aku punya hari kemarin
Hari ini adalah lima huruf
Belajar Menikmati
Suara lembut itu menggetarkan aku di ujung tahun. "Nikmati apa yang sudah kau miliki."
"Apa yang sudah kumiliki?"
"Banyak banget. Nggak cukup waktu untuk menyebut dengan detail."
"Apa yang sudah kunikmati?"
"Banyak banget juga. Nggak terhitung."
Eh....... Tapi, benar juga. Setelah dipikir-pikir, aku memang belum menikmati semua yang aku miliki. Iya. Benar. Ih, kok bisa, sih? Ke mana aja aku selama ini? Wah wah wah. Aneh.
Tiba-tiba aku jadi ingat tanaman bambu emeraldku. Aku juga tidak yakin sudah memberi tanaman hias itu minum yang cukup. Rasanya, bambu hoki di pot kobokan plastik itu ada di dapur, di samping kompor. Tuh kan, benar. Aku bahkan tidak tahu persis letak tanaman hiasku yang daunnya tumbuh lebih rimbun ketimbang bambu keberuntungan di rumah Abangku. Kapan aku benar-benar menikmati kecantikannya?
Tadi malam tiba-tiba mataku tertumpu pada sebuah buku di rak buku. Buku dengan cover mata itu menarik perhatianku karena berdiri tidak seragam dengan teman-temannya. Buku itu belum disampul, tak ada tanda tanganku, dan belum diberi stempel Taman Bacaan Efraim. Kok aku belum baca ya? Tuh, kan benar lagi. Hmmmm, ada banyak buku yang belum aku baca... Ada beberapa yang aku titipkan di Lisa...
Aduh, aku kan punya dua hiasan dinding "cewek banget" yang masih terbungkus. Hiasan art deco yang aku bopong sendiri--berat lagi--dari Bogor itu ada dalam kardus....
O o. Masih banyak barang di rumahku yang belum pernah kunikmati. Aku jadi ingat lagi, lagi, dan lagi satu per satu yang sudah kumiliki di rumah dan belum kunikmati, hiks. Helloooo. Anybody home?
Iya, benar. Itu kan baru benda-benda yang tampak dengan mata telanjang, di dalam rumahku. Kapan terakhir aku menikmati [benar-benar menikmati] bulan, bintang, hangat matahari, hujan...?
Bagaimana dengan hal-hal tidak tersentuh yang sudah kumiliki atau kuterima? Senyum, perhatian, teguran, mimpi, gelap, terang, mendung, udara, oksigen...
Aduhhhh, aku harus belajar keras untuk menikmati semua yang kumiliki, hiks. Bukan mengucap syukur saja...
Suara lembut itu menggetarkan aku di ujung tahun. "Nikmati apa yang sudah kau miliki."
"Apa yang sudah kumiliki?"
"Banyak banget. Nggak cukup waktu untuk menyebut dengan detail."
"Apa yang sudah kunikmati?"
"Banyak banget juga. Nggak terhitung."
Eh....... Tapi, benar juga. Setelah dipikir-pikir, aku memang belum menikmati semua yang aku miliki. Iya. Benar. Ih, kok bisa, sih? Ke mana aja aku selama ini? Wah wah wah. Aneh.
Tiba-tiba aku jadi ingat tanaman bambu emeraldku. Aku juga tidak yakin sudah memberi tanaman hias itu minum yang cukup. Rasanya, bambu hoki di pot kobokan plastik itu ada di dapur, di samping kompor. Tuh kan, benar. Aku bahkan tidak tahu persis letak tanaman hiasku yang daunnya tumbuh lebih rimbun ketimbang bambu keberuntungan di rumah Abangku. Kapan aku benar-benar menikmati kecantikannya?
Tadi malam tiba-tiba mataku tertumpu pada sebuah buku di rak buku. Buku dengan cover mata itu menarik perhatianku karena berdiri tidak seragam dengan teman-temannya. Buku itu belum disampul, tak ada tanda tanganku, dan belum diberi stempel Taman Bacaan Efraim. Kok aku belum baca ya? Tuh, kan benar lagi. Hmmmm, ada banyak buku yang belum aku baca... Ada beberapa yang aku titipkan di Lisa...
Aduh, aku kan punya dua hiasan dinding "cewek banget" yang masih terbungkus. Hiasan art deco yang aku bopong sendiri--berat lagi--dari Bogor itu ada dalam kardus....
O o. Masih banyak barang di rumahku yang belum pernah kunikmati. Aku jadi ingat lagi, lagi, dan lagi satu per satu yang sudah kumiliki di rumah dan belum kunikmati, hiks. Helloooo. Anybody home?
Iya, benar. Itu kan baru benda-benda yang tampak dengan mata telanjang, di dalam rumahku. Kapan terakhir aku menikmati [benar-benar menikmati] bulan, bintang, hangat matahari, hujan...?
Bagaimana dengan hal-hal tidak tersentuh yang sudah kumiliki atau kuterima? Senyum, perhatian, teguran, mimpi, gelap, terang, mendung, udara, oksigen...
Aduhhhh, aku harus belajar keras untuk menikmati semua yang kumiliki, hiks. Bukan mengucap syukur saja...