Belajar Menikmati
Suara lembut itu menggetarkan aku di ujung tahun. "Nikmati apa yang sudah kau miliki."
"Apa yang sudah kumiliki?"
"Banyak banget. Nggak cukup waktu untuk menyebut dengan detail."
"Apa yang sudah kunikmati?"
"Banyak banget juga. Nggak terhitung."
Eh....... Tapi, benar juga. Setelah dipikir-pikir, aku memang belum menikmati semua yang aku miliki. Iya. Benar. Ih, kok bisa, sih? Ke mana aja aku selama ini? Wah wah wah. Aneh.
Tiba-tiba aku jadi ingat tanaman bambu emeraldku. Aku juga tidak yakin sudah memberi tanaman hias itu minum yang cukup. Rasanya, bambu hoki di pot kobokan plastik itu ada di dapur, di samping kompor. Tuh kan, benar. Aku bahkan tidak tahu persis letak tanaman hiasku yang daunnya tumbuh lebih rimbun ketimbang bambu keberuntungan di rumah Abangku. Kapan aku benar-benar menikmati kecantikannya?
Tadi malam tiba-tiba mataku tertumpu pada sebuah buku di rak buku. Buku dengan cover mata itu menarik perhatianku karena berdiri tidak seragam dengan teman-temannya. Buku itu belum disampul, tak ada tanda tanganku, dan belum diberi stempel Taman Bacaan Efraim. Kok aku belum baca ya? Tuh, kan benar lagi. Hmmmm, ada banyak buku yang belum aku baca... Ada beberapa yang aku titipkan di Lisa...
Aduh, aku kan punya dua hiasan dinding "cewek banget" yang masih terbungkus. Hiasan art deco yang aku bopong sendiri--berat lagi--dari Bogor itu ada dalam kardus....
O o. Masih banyak barang di rumahku yang belum pernah kunikmati. Aku jadi ingat lagi, lagi, dan lagi satu per satu yang sudah kumiliki di rumah dan belum kunikmati, hiks. Helloooo. Anybody home?
Iya, benar. Itu kan baru benda-benda yang tampak dengan mata telanjang, di dalam rumahku. Kapan terakhir aku menikmati [benar-benar menikmati] bulan, bintang, hangat matahari, hujan...?
Bagaimana dengan hal-hal tidak tersentuh yang sudah kumiliki atau kuterima? Senyum, perhatian, teguran, mimpi, gelap, terang, mendung, udara, oksigen...
Aduhhhh, aku harus belajar keras untuk menikmati semua yang kumiliki, hiks. Bukan mengucap syukur saja...
Suara lembut itu menggetarkan aku di ujung tahun. "Nikmati apa yang sudah kau miliki."
"Apa yang sudah kumiliki?"
"Banyak banget. Nggak cukup waktu untuk menyebut dengan detail."
"Apa yang sudah kunikmati?"
"Banyak banget juga. Nggak terhitung."
Eh....... Tapi, benar juga. Setelah dipikir-pikir, aku memang belum menikmati semua yang aku miliki. Iya. Benar. Ih, kok bisa, sih? Ke mana aja aku selama ini? Wah wah wah. Aneh.
Tiba-tiba aku jadi ingat tanaman bambu emeraldku. Aku juga tidak yakin sudah memberi tanaman hias itu minum yang cukup. Rasanya, bambu hoki di pot kobokan plastik itu ada di dapur, di samping kompor. Tuh kan, benar. Aku bahkan tidak tahu persis letak tanaman hiasku yang daunnya tumbuh lebih rimbun ketimbang bambu keberuntungan di rumah Abangku. Kapan aku benar-benar menikmati kecantikannya?
Tadi malam tiba-tiba mataku tertumpu pada sebuah buku di rak buku. Buku dengan cover mata itu menarik perhatianku karena berdiri tidak seragam dengan teman-temannya. Buku itu belum disampul, tak ada tanda tanganku, dan belum diberi stempel Taman Bacaan Efraim. Kok aku belum baca ya? Tuh, kan benar lagi. Hmmmm, ada banyak buku yang belum aku baca... Ada beberapa yang aku titipkan di Lisa...
Aduh, aku kan punya dua hiasan dinding "cewek banget" yang masih terbungkus. Hiasan art deco yang aku bopong sendiri--berat lagi--dari Bogor itu ada dalam kardus....
O o. Masih banyak barang di rumahku yang belum pernah kunikmati. Aku jadi ingat lagi, lagi, dan lagi satu per satu yang sudah kumiliki di rumah dan belum kunikmati, hiks. Helloooo. Anybody home?
Iya, benar. Itu kan baru benda-benda yang tampak dengan mata telanjang, di dalam rumahku. Kapan terakhir aku menikmati [benar-benar menikmati] bulan, bintang, hangat matahari, hujan...?
Bagaimana dengan hal-hal tidak tersentuh yang sudah kumiliki atau kuterima? Senyum, perhatian, teguran, mimpi, gelap, terang, mendung, udara, oksigen...
Aduhhhh, aku harus belajar keras untuk menikmati semua yang kumiliki, hiks. Bukan mengucap syukur saja...