Sinyal yang Lemah
Setiap Natal aku selalu bertanya kepada Tuhan mau merayakan Natal di mana ya, tahun ini.
Kali ini, aku juga belum bisa memutuskan mau Natalan di mana. Bahkan, sampai Jumat malam, aku masih belum bisa memastikan. Tidak ada tanda-tanda saya harus ke mana di malam Natal ini.
Sabtu pagi, saat akan berangkat kerja, aku bertemu dengan seorang Tante yang setiap hari aku temui.
"Nanti misa Natal di mana?" kata dia.
"Saya belum tahu, mungkin di sini...."
Saya melihat ada kilatan kegembiraan di mata tuanya. Saking kecilnya, saya bicara lagi untuk memastikan itu.
"Saya sih maunya di sini, biar dekat, tapi...."
Kilatan kegembiraan di mata Tante itu muncul lagi dan lebih terang. Dia juga tersenyum hingga giginya kelihatan.
Hati saya bergetar pelan dan aku langsung bicara, "Aku Natalan di sini. Nanti malam kita misa sama-sama ya."
Tante itu benar-benar tersenyum memamerkan giginya. Matanya itu, penuh kegembiraan.
Sampai akhirnya kami berdua misa di malam Natal. Kami duduk terpisah karena begitu banyak umat yang datang. Tapi, sesekali saya melihat dia mengusap air matanya.
Selesai misa, aku menunggu umat pulang karena Tante yang malam itu mengenakan baju kembang-kembang merah muda, ingin berdoa bersama Bunda Maria.
Dalam perjalanan ke tempat doa, aku melihat ada bekas air mata di pipinya.
"Haiiii di malam bayi Yesus lahir kok menangis," aku mengatakan itu untuk menggodanya.
Matanya makin berkaca. "Ini hari saya punya ulang tahun," kata Tante.
Aku langsung memeluk dan menciumnya. Saat itu, aku melihat beberapa suster yang sering aku temui.
"Suster, Tante ini ulang tahuuuunnn," kataku.
Suster-suster langsung mendekatinya. Ada yang mengucapkan selamat ulang tahun dengan menjabat tangannya. Ada beberapa yang memeluk dan menciumnya.
"Kamu bikin saya malu sajaaa," kata Tante tertawa, tapi tersipu juga.
Entah kenapa, aku merasa Tante banyak merayakan ulang tahunnya sendirian. Tidak banyak orang luar yang menyalami ketika Tante merayakan hari kelahirannya. Karena itu, aku seperti ingin bilang pada semua orang untuk memberi Tante ucapan selamat ulang tahun.
Kemudian, aku meninggalkan Tante berdoa sendirian. Saat itu, aku bertemu seorang teman dan kami bercerita.
Selesai Tante berdoa, temanku mengucapkan selamat ulang tahun pada Tanteku dan menggodanya. Kami bertemu lagi dengan beberapa suster dan Romo di luar. Dan, lagi-lagi, aku bilang pada mereka bahwa Tante ulang tahun. Tante terlihat gembira meski malu karena beberapa Romo dan banyak suster yang menyapa dia dengan hangat di hari ultahnya.
Akhirnya aku dan temanku mengantarkan Tante pulang baru kemudian kami keluar untuk makan malam.
Memang, selalu ada sesuatu yang indah saat Natal. Aku hampir saja melewatkan kegembiraan Natal andai tidak mendengar getaran lembut di hatiku pagi itu.
Di Sabtu itu, aku belajar satu: lebih peka lagi pada suara kecil di hatiku. Lebih mendengar sinyal dari dalam hatiku, meski begitu lemah. Sebab, senyum, celotehan, tawa, dan gerak tubuh Tante malam itu membuat aku benar-benar bisa merasakan kegembiraan dalam diri Tante.
Natal tahun ini begitu sederhana, seperti kandang Yesus di Bethlehem, tapi hatiku benar-benar hangat oleh kasih dan damai.
Di Sabtu itu, aku belajar satu: lebih peka lagi pada suara kecil di hatiku. Lebih mendengar sinyal dari dalam hatiku, meski begitu lemah. Sebab, senyum, celotehan, tawa, dan gerak tubuh Tante malam itu membuat aku benar-benar bisa merasakan kegembiraan dalam diri Tante.
Natal tahun ini begitu sederhana, seperti kandang Yesus di Bethlehem, tapi hatiku benar-benar hangat oleh kasih dan damai.
Labels: Natal