Merindukan Pelukan
Sabtu subuh itu begitu dingin. Aku bangun dari tidur pulas semalam. Tapi ada sesuatu yang mengganggu. Keinginan yang nggak biasa ini juga belum beranjak setelah tubuhku tersiram air dingin yang menyegarkan.
Hari itu aku terbangun dengan perasaan rindu. Aku kangen berada dalam pelukan. Aku rindu pelukan ayahku.
Perasaan rindu pelukan ini muncul karena memang hari itu, dalam retret yang aku ikuti, ada kesempatan untuk membasuh kaki seseorang yang figurnya mirip dengan orang yang pernah menyakiti. Apalagi, memang benar, aku menemukan seseorang opa yang rupanya persis seperti Padre Pio, eh, maksudku ayahku. Dia beruban, kulitnya terang, dan rambutnya juga sudah menipis dengan kulit yang dari jauh tampak begitu lembut. Setiap memandang opa itu memeluk "anak dan cucu"-nya aku jadi ingat ayahku. Duh, aku makin nggak tahan ingin segera dipeluk.
Tapi, aku juga harus sabar. Karena aku tidak rindu dipeluk dalam proses mengampuni dan diampuni. Proses pengampunan itu sudah kami lakukan beberapa jam sebelum ayahku pergi ke rumah Bapa di surga.
Begitu acara selesai, aku langsung keluar ruangan untuk mendapati Opa itu. Tapi, ternyata Opa Padre Pio itu kembali ke ruanga karena ada beberapa orang yang membutuhkan dia sebagai figur untuk proses pembasuhan kaki. Jadilah aku kembali ke tempat semula dengan pikiran kita bisa ketemu di tempat makan.
Di ruangan makan, aku melihat Opa sedang duduk di meja yang tak jauh dari pintu. Aku tidak segera mendekatinya. Kasihan Opa pasti capek. Dia perlu makan dan rileks sebentar. Eh, selesai makan, ternyata Opa menghilang meski sudah aku cari ke mana-mana. Kesempatan untuk minta dipeluk itu lenyap dalam gelap. Padahal, aku berdoa sungguh untuk itu, hiks.
Andai Juan Mann ada di sini. Aku pasti akan melompat dalam rentangan kedua tangannya --tangan kirinya memegang kertas "Free Hugs"-- dan masuk ke dalam pelukannya. Tapi, yang terjadi adalah aku kembali ke tempat tidur dengan memendam rindu akan pelukan. Aku berharap menemukan Opa itu keesokan harinya dan meminta dia memelukku.
Hari baru. Sampai menjelang siang aku belum juga melihat tanda-tanda keberadaan Opa. Bahkan sampai misa berakhir. Benarkah Engkau tidak menjawab doaku? Aku masih menunggu, Tuhan. Masih percaya. Masih berharap.
Umat sudah mulai meninggalkan gereja. Saat itulah aku melihat Tante yang tidur sekamar denganku. Dia duduk di depan pintu keluar menunggu gadis yang menemani dia datang dan akan pulang bersamanya. Aku bergegas mendekati mereka untuk memberi salam perpisahan.
Aku lebih dahulu mencium pipi kiri dan kanan si gadis yang juga satu kamar denganku. Kemudian aku mendekati Tante. Setengah berlutut aku mencium pipi kiri dan kanannya. Pipinya lembut. Tapi, dingin. Tiba-tiba aku berkata, "Boleh ya, aku peluk Tante."
Tante mengangguk dalam diam. Tangannya terbuka. Aku memeluk Tante tidak sekencang pelukan Nera atau Moses. Secara, nggak semua orang suka dipeluk. Aku berbisik semoga Tante tetap semangat dan sehat. Dalam pelukannya aku merasakan damai, kehangatan, dan kedekatan yang indah. Ketika melepaskan pelukan itu, aku melihat mata Tante berkaca-kaca. Aku mencium lagi kedua pipi Tante. Masih dingin. Mata Tante menatap aku lekat saat aku pergi.
Aku bertanya-tanya dalam hati, "Kapan terakhir kali Tante dipeluk?" Kalau tahu begitu, kenapa dari kemarin-kemarin aku tidak memeluk Tante. Aku malah mencari-cari Opa yang jauh dan entah di mana.
Akhirnya rinduku terjawab. What a lovely hug. Thanks my dear God, please hold me closer.
Hari itu aku terbangun dengan perasaan rindu. Aku kangen berada dalam pelukan. Aku rindu pelukan ayahku.
Perasaan rindu pelukan ini muncul karena memang hari itu, dalam retret yang aku ikuti, ada kesempatan untuk membasuh kaki seseorang yang figurnya mirip dengan orang yang pernah menyakiti. Apalagi, memang benar, aku menemukan seseorang opa yang rupanya persis seperti Padre Pio, eh, maksudku ayahku. Dia beruban, kulitnya terang, dan rambutnya juga sudah menipis dengan kulit yang dari jauh tampak begitu lembut. Setiap memandang opa itu memeluk "anak dan cucu"-nya aku jadi ingat ayahku. Duh, aku makin nggak tahan ingin segera dipeluk.
Tapi, aku juga harus sabar. Karena aku tidak rindu dipeluk dalam proses mengampuni dan diampuni. Proses pengampunan itu sudah kami lakukan beberapa jam sebelum ayahku pergi ke rumah Bapa di surga.
Begitu acara selesai, aku langsung keluar ruangan untuk mendapati Opa itu. Tapi, ternyata Opa Padre Pio itu kembali ke ruanga karena ada beberapa orang yang membutuhkan dia sebagai figur untuk proses pembasuhan kaki. Jadilah aku kembali ke tempat semula dengan pikiran kita bisa ketemu di tempat makan.
Di ruangan makan, aku melihat Opa sedang duduk di meja yang tak jauh dari pintu. Aku tidak segera mendekatinya. Kasihan Opa pasti capek. Dia perlu makan dan rileks sebentar. Eh, selesai makan, ternyata Opa menghilang meski sudah aku cari ke mana-mana. Kesempatan untuk minta dipeluk itu lenyap dalam gelap. Padahal, aku berdoa sungguh untuk itu, hiks.
Andai Juan Mann ada di sini. Aku pasti akan melompat dalam rentangan kedua tangannya --tangan kirinya memegang kertas "Free Hugs"-- dan masuk ke dalam pelukannya. Tapi, yang terjadi adalah aku kembali ke tempat tidur dengan memendam rindu akan pelukan. Aku berharap menemukan Opa itu keesokan harinya dan meminta dia memelukku.
Hari baru. Sampai menjelang siang aku belum juga melihat tanda-tanda keberadaan Opa. Bahkan sampai misa berakhir. Benarkah Engkau tidak menjawab doaku? Aku masih menunggu, Tuhan. Masih percaya. Masih berharap.
Umat sudah mulai meninggalkan gereja. Saat itulah aku melihat Tante yang tidur sekamar denganku. Dia duduk di depan pintu keluar menunggu gadis yang menemani dia datang dan akan pulang bersamanya. Aku bergegas mendekati mereka untuk memberi salam perpisahan.
Aku lebih dahulu mencium pipi kiri dan kanan si gadis yang juga satu kamar denganku. Kemudian aku mendekati Tante. Setengah berlutut aku mencium pipi kiri dan kanannya. Pipinya lembut. Tapi, dingin. Tiba-tiba aku berkata, "Boleh ya, aku peluk Tante."
Tante mengangguk dalam diam. Tangannya terbuka. Aku memeluk Tante tidak sekencang pelukan Nera atau Moses. Secara, nggak semua orang suka dipeluk. Aku berbisik semoga Tante tetap semangat dan sehat. Dalam pelukannya aku merasakan damai, kehangatan, dan kedekatan yang indah. Ketika melepaskan pelukan itu, aku melihat mata Tante berkaca-kaca. Aku mencium lagi kedua pipi Tante. Masih dingin. Mata Tante menatap aku lekat saat aku pergi.
Aku bertanya-tanya dalam hati, "Kapan terakhir kali Tante dipeluk?" Kalau tahu begitu, kenapa dari kemarin-kemarin aku tidak memeluk Tante. Aku malah mencari-cari Opa yang jauh dan entah di mana.
Akhirnya rinduku terjawab. What a lovely hug. Thanks my dear God, please hold me closer.
Carefully Touching
Aku merasakan seseorang berdiri di belakangku. Ujung jari-jarinya menyentuh pundakku begitu lembut dan hati-hati. Seperti sedang menjaga porselen berharga yang sewaktu-waktu bisa pecah berantakan. Tanpa menoleh aku tahu bahwa yang berdiri persis di belakangku adalah seorang pria. Pundakku seperti melihat dia sedang memandangku dengan penuh kasih. Hati dan mulutnya terus berdoa. Diriku penuh dengan cinta. Dan, saat itu juga, aku jatuh cinta berat...
Pengalaman ini hanya secuil dari keindahan yang aku alami selama ini. Tapi, saat-saat berahmat inilah yang membuat hatiku selalu berpesta. Rugi rasanya tidak memberi senyum pada yang lain. Jika mulutku tidak sanggup menyunggingkan senyum pada dia yang membuat aku kesal atau benci, hatiku akan berinisiatif untuk berdoa sehingga aku melihat si "musuh" dengan kacamata cinta...
Kasih yang mengalir begitu lembut dalam hatiku ternyata sanggup memupuk cinta dalam hidupku. Kasih yang sama sanggup menggerakkan seluruh diriku, tanpa aku sadari. Kadang-kadang tanpa aku sadari pula, sebagian diriku bergerak untuk menyentuh orang-orang di sekitarku. Bedanya, kerapku sentuhanku menjadi seperti dorongan keras sehingga seseorang bisa saja marah (Maap, peace!)
Dalam kondisi tidak mampu mengontrol sentuhan-sentuhan atas nama cinta itu, aku pun menyanyi...
... carefully touching me
causing my eyes to see
Jesus makes beautiful things of my life...
Pengalaman ini hanya secuil dari keindahan yang aku alami selama ini. Tapi, saat-saat berahmat inilah yang membuat hatiku selalu berpesta. Rugi rasanya tidak memberi senyum pada yang lain. Jika mulutku tidak sanggup menyunggingkan senyum pada dia yang membuat aku kesal atau benci, hatiku akan berinisiatif untuk berdoa sehingga aku melihat si "musuh" dengan kacamata cinta...
Kasih yang mengalir begitu lembut dalam hatiku ternyata sanggup memupuk cinta dalam hidupku. Kasih yang sama sanggup menggerakkan seluruh diriku, tanpa aku sadari. Kadang-kadang tanpa aku sadari pula, sebagian diriku bergerak untuk menyentuh orang-orang di sekitarku. Bedanya, kerapku sentuhanku menjadi seperti dorongan keras sehingga seseorang bisa saja marah (Maap, peace!)
Dalam kondisi tidak mampu mengontrol sentuhan-sentuhan atas nama cinta itu, aku pun menyanyi...
... carefully touching me
causing my eyes to see
Jesus makes beautiful things of my life...