Kartu Ultah dari Surga
INI kali pertama aku merayakan ulang tahun tanpa orang-orang terdekat. Sampai detik terakhir menutup tanggal 15, aku baru sekali menerima telepon ucapan selamat. Trims Me, Ben, Angela, dan Oma yang telah meneleponku pagi-pagi. I love you all. Aneh juga, dari rumah kok nggak ada yang menelepon. Apa semua sudah kehilangan memori hari ulang tahunku? Ampun deh kalau memang benar begitu :) (Iya, iya, becanda). Selama sebulan ini aku nggak pakai nomor XL, berganti kartu Simpati, jadi Mama nggak bisa menelepon. Yang lainnya juga nggak bisa mengontakku karena sinyal lagi ngambek. Tapi terima kasih ya, untuk semua doanya. Amin.
Jen, my lovely sister, mengucapkan selamat di blog. Thanks bo’i. Sing sabar ya, beberapa minggu ini kita nggak bisa misa bareng di Tebet. Semoga dirimu menemukan The Red (devil hehehe). Peace.
Jangan mengira nggak ada yang mengucapkan selamat ulang tahun lantas b’day-ku kusut. Aku sudah merayakan sejak jarum jam mendekati angka 12 malam dan melewati puluhan menit. Selesai berdoa bareng Neni (di hari ketiga novena kami), air mataku menetes saat membaca Firman; Amsal 15.
Aku pernah mendengar dari seseorang bahwa sebagian dari kepribadian kita tertulis dalam bab yang sama dengan angka hari ulang tahun. Masuk akal juga karena Amsal kan terdiri dari 31 bab, sesuai dengan tanggal sempurna dalam kalander. Dan, beberapa teman dan saudara sudah membuktikan ini. Ada beberapa sikap dasar mereka yang memang terungkap dalam bab di Amsal yang sama dengan tanggal lahir mereka. Kalau nggak percaya, coba deh baca Amsal sekarang :)
Jika ternyata “mengerikan” (kalau sudah baca Amsal sesuai tanggal lahir, mu bakalan paham mengapa aku memberikan tanda petik di kata mengerikan), jangan cepat-cepat ditutup. Baca deh dengan pikiran jernih dan jujur, mungkin ini bisa membuat kita lebih mengenal diri sendiri.
Perayaan ultahku tak berlalu dengan air mata karena membaca Amsal 15. Lihat saja, untuk pertama kalinya aku berdoa pagi di taman di Pantai Kupu-Kupu yang menawan seperti namanya. Aku difoto di beberapa tempat yang elok oleh Pak Fotografer yang spesial pula. Aku melihat hasil foto-fotonya dengan tak percaya. Indah sekali. Jangan begitu dong mukanya, maksudku pemandangannya yang indah bukan akunya hehehe.
Di hari istimewa ini aku juga seolah-olah terdampar di Bali. Aku berfoto-foto di depan pura dan penari-penari Bali yang dikeliling belasan dinner table seperti yang ada di hotel-hotel berbintang di Nusa Dua. Menyaksikan berbagai tarian Bali yang menarik, atraktif, dan membuatku tertawa memegang perut. Aku mendapat banyak teman baru. Dari yang dewasa sampai anak kecil.
Hari ini juga penuh gelak tawa. Aku menonton pertandingan bola voli di lapangan yang bekas empang. Jadi, dari atas para pemainnya nggak kelihatan, hanya bola yang lari bolak balik. Yang membuat aku tertawa terpingkal-pingkal, wasit tidak menyemprit saat salah satu pemain menerima bola dengan lutut.
Kejadian kocak juga terjadi saat menonton pertandingan sepak bola di lapangan dekat Pantai Ide. Kedua pemain berebut bola dan saling berbenturan. Salah satu pemain bertubuh gelap dengan tubuh dan perut yang subur. Dia bertanding tanpa kaos. Lawannya berbadan atletis dan lebih gesit. “Wah lihat-lihat dulu ini, bukan tabrak kerbau tapi kambing,” kata si kambing, eh salah, si atletis sebelum membentur pohon.
Wah, kalau aku tulis semua kejadian menyenangkan hari ini nggak cukup waktu dan menelan banyak halaman. Nanti pada malas baca lagi :)
Sebenarnya aku cuma mau bilang begini. Hari ultahku begitu menyenangkan dan indah. Karena yang pertama kali mengucapkan selamat ulang tahun padaku adalah Bapa di surga. Melalui Amsal 15 sebagai birthday card aku menikmati hari ulang tahunku ini dengan hati yang gembira, wajah yang berseri-seri, dan mata yang bersinar-sinar. Adakah kado yang lebih besar dari itu?
INI kali pertama aku merayakan ulang tahun tanpa orang-orang terdekat. Sampai detik terakhir menutup tanggal 15, aku baru sekali menerima telepon ucapan selamat. Trims Me, Ben, Angela, dan Oma yang telah meneleponku pagi-pagi. I love you all. Aneh juga, dari rumah kok nggak ada yang menelepon. Apa semua sudah kehilangan memori hari ulang tahunku? Ampun deh kalau memang benar begitu :) (Iya, iya, becanda). Selama sebulan ini aku nggak pakai nomor XL, berganti kartu Simpati, jadi Mama nggak bisa menelepon. Yang lainnya juga nggak bisa mengontakku karena sinyal lagi ngambek. Tapi terima kasih ya, untuk semua doanya. Amin.
Jen, my lovely sister, mengucapkan selamat di blog. Thanks bo’i. Sing sabar ya, beberapa minggu ini kita nggak bisa misa bareng di Tebet. Semoga dirimu menemukan The Red (devil hehehe). Peace.
Jangan mengira nggak ada yang mengucapkan selamat ulang tahun lantas b’day-ku kusut. Aku sudah merayakan sejak jarum jam mendekati angka 12 malam dan melewati puluhan menit. Selesai berdoa bareng Neni (di hari ketiga novena kami), air mataku menetes saat membaca Firman; Amsal 15.
Aku pernah mendengar dari seseorang bahwa sebagian dari kepribadian kita tertulis dalam bab yang sama dengan angka hari ulang tahun. Masuk akal juga karena Amsal kan terdiri dari 31 bab, sesuai dengan tanggal sempurna dalam kalander. Dan, beberapa teman dan saudara sudah membuktikan ini. Ada beberapa sikap dasar mereka yang memang terungkap dalam bab di Amsal yang sama dengan tanggal lahir mereka. Kalau nggak percaya, coba deh baca Amsal sekarang :)
Jika ternyata “mengerikan” (kalau sudah baca Amsal sesuai tanggal lahir, mu bakalan paham mengapa aku memberikan tanda petik di kata mengerikan), jangan cepat-cepat ditutup. Baca deh dengan pikiran jernih dan jujur, mungkin ini bisa membuat kita lebih mengenal diri sendiri.
Perayaan ultahku tak berlalu dengan air mata karena membaca Amsal 15. Lihat saja, untuk pertama kalinya aku berdoa pagi di taman di Pantai Kupu-Kupu yang menawan seperti namanya. Aku difoto di beberapa tempat yang elok oleh Pak Fotografer yang spesial pula. Aku melihat hasil foto-fotonya dengan tak percaya. Indah sekali. Jangan begitu dong mukanya, maksudku pemandangannya yang indah bukan akunya hehehe.
Di hari istimewa ini aku juga seolah-olah terdampar di Bali. Aku berfoto-foto di depan pura dan penari-penari Bali yang dikeliling belasan dinner table seperti yang ada di hotel-hotel berbintang di Nusa Dua. Menyaksikan berbagai tarian Bali yang menarik, atraktif, dan membuatku tertawa memegang perut. Aku mendapat banyak teman baru. Dari yang dewasa sampai anak kecil.
Hari ini juga penuh gelak tawa. Aku menonton pertandingan bola voli di lapangan yang bekas empang. Jadi, dari atas para pemainnya nggak kelihatan, hanya bola yang lari bolak balik. Yang membuat aku tertawa terpingkal-pingkal, wasit tidak menyemprit saat salah satu pemain menerima bola dengan lutut.
Kejadian kocak juga terjadi saat menonton pertandingan sepak bola di lapangan dekat Pantai Ide. Kedua pemain berebut bola dan saling berbenturan. Salah satu pemain bertubuh gelap dengan tubuh dan perut yang subur. Dia bertanding tanpa kaos. Lawannya berbadan atletis dan lebih gesit. “Wah lihat-lihat dulu ini, bukan tabrak kerbau tapi kambing,” kata si kambing, eh salah, si atletis sebelum membentur pohon.
Wah, kalau aku tulis semua kejadian menyenangkan hari ini nggak cukup waktu dan menelan banyak halaman. Nanti pada malas baca lagi :)
Sebenarnya aku cuma mau bilang begini. Hari ultahku begitu menyenangkan dan indah. Karena yang pertama kali mengucapkan selamat ulang tahun padaku adalah Bapa di surga. Melalui Amsal 15 sebagai birthday card aku menikmati hari ulang tahunku ini dengan hati yang gembira, wajah yang berseri-seri, dan mata yang bersinar-sinar. Adakah kado yang lebih besar dari itu?
Mengantuk, Tidur, dan Bangun dengan Senyum
SATU bulan bertandang ke Sorowako, pasti menarik. Begitu pertama kali aku merespons tawaran seorang teman. Setelah teken kontrak untuk ke kecamatan terkaya di Sulawesi Selatan (begitu kata seorang warga yang aku temui di Pasar Magani), aku langsung bersiap-siap. Pakaian-pakaian sudah masuk koper. Tapi, tunggu punya tunggu, kok kepastian berangkat tak kunjung datang. Satu per satu isi koper keluar lagi :)
Saat menunggu itu, aku menerima tawaran untuk ke Kupang. Iya dong, masa aku menolak ke Kupang. Aku kan bisa ngelayap malam-malam dari hotel dan tidur dengan Mama di rumah kuning. Tiga hari lagi. Lumayan. Aku dan Kak Ida—yang baik hati menyodorkan tawaran lezat ini-- bahkan sudah membahas agar setelah dari Kupang aku langsung menginap di Jakarta untuk sebuah acara. Sebab, puncak acaranya bertepatan dengan ulang tahunku. Siapa tahu aku dapat hadiah dari Pak Ketum, begitu katanya.
Tapi semua rencana buyar. Pada 12 November, tanggal yang sama dengan booking tiket ke Kupang—aku harus ke Sorowako. Dengan permohonan maaf segede gentong, akhirnya aku batal ke Kupang. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk pulang kampung gratis :)
Pasti pada penasaran tentang Sorowako kan. Sorowako adalah kota nikel di salah satu kecamatan di Kabupaten Luwu Timur, Sulsel. Kota ini berjarak 600 kilometer dari Kota Makassar, ibu kota Sulsel. Butuh waktu 12 jam untuk perjalanan darat dan memakan waktu satu jam untuk terbang dari Bandar Udara Hasanuddin yang modern dan keren itu ke kota yang berada di pinggir Danau Motano. Aku ke sini dalam urusan penulisan buku.
Ini adalah perjalanan keduaku ke Makassar dan pertama ke Sorowako. Pesawat Garuda yang membawa aku dan Pak Fotografer ini akan terus ke Manado setelah melambaikan tangan pada penumpang yang turun di Ujungpandang. Aku sempat miris melihat para penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke ibu kota Sulawesi Utara itu. Dalam hati aku bilang, “Papa di surga, kapan ya, aku ke Manado? Jadi kangen makan pisang goreng manado di Ambassador Mall deh. (Loe juga kan Neniiiiii)
Dan, akhirnya sampai juga aku ke Sorowako. Pemandangannya benar-benar bikin aku tersenyum sampai mengantuk, tertidur, bangun, dan tersenyum lagi. Memang indah dan bahkan lebih indah dari foto pemandangan yang aku lihat sebelumnya. Jauh lebih cantik dari yang aku bayangkan. Ajaib benar karya tangan Sang Pencipta.
Beberapa jam setelah istirahat kami dibawa ke Pantai Ide. Karena lokasinya masih dalam perbaikan, kami harus melewati plang “dilarang masuk.” Ada beberapa anak perempuan sedang bermain-main di dermaga dan bernyanyi. Rasanya aku ingin menjadi salah satu dari mereka supaya bisa nyebur. Dalam kipasan angin sore yang lembut dan menyegarkan, aku melihat bulan di antara awan. Seperti hosti besar yang dijaga dua malaikat kecil. Wajah malaikat-malaikat kecilku (Moses, Wulan, dan Nera) langsung menari-nari di awan.
Bicara soal pantai, aku juga ingin mencicipi seasin apakah air Pantai Ide ini. Untung saja aku nggak jadi mencoba. Sebab, aku nggak bakalan mencecap rasa asin. Secara, namanya saja pantai, sebenarnya ini adalah bagian dari Danau Motano yang berwarna hijau toska. Padahal, aku sempat bertanya-tanya, kok bisa, pantai dan danau menyatu. Apa kata dunia? Mungkin mereka menamakan pantai karena merindukan pada pantai. Tapi mana pasirnya???
Hari pertama di Sorowako sangat menyenangkan. Semua ketegangan akibat goncangan hebat dalam badan pesawat di angkasa Makassar lenyap. Seperti yang aku bilang tadi, aku senyum-senyum sendiri dan berkali-kali bilang “Makasih Pa (di Surga)” sampai mengantuk, tidur, dan bangun dengan senyum.
SATU bulan bertandang ke Sorowako, pasti menarik. Begitu pertama kali aku merespons tawaran seorang teman. Setelah teken kontrak untuk ke kecamatan terkaya di Sulawesi Selatan (begitu kata seorang warga yang aku temui di Pasar Magani), aku langsung bersiap-siap. Pakaian-pakaian sudah masuk koper. Tapi, tunggu punya tunggu, kok kepastian berangkat tak kunjung datang. Satu per satu isi koper keluar lagi :)
Saat menunggu itu, aku menerima tawaran untuk ke Kupang. Iya dong, masa aku menolak ke Kupang. Aku kan bisa ngelayap malam-malam dari hotel dan tidur dengan Mama di rumah kuning. Tiga hari lagi. Lumayan. Aku dan Kak Ida—yang baik hati menyodorkan tawaran lezat ini-- bahkan sudah membahas agar setelah dari Kupang aku langsung menginap di Jakarta untuk sebuah acara. Sebab, puncak acaranya bertepatan dengan ulang tahunku. Siapa tahu aku dapat hadiah dari Pak Ketum, begitu katanya.
Tapi semua rencana buyar. Pada 12 November, tanggal yang sama dengan booking tiket ke Kupang—aku harus ke Sorowako. Dengan permohonan maaf segede gentong, akhirnya aku batal ke Kupang. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk pulang kampung gratis :)
Pasti pada penasaran tentang Sorowako kan. Sorowako adalah kota nikel di salah satu kecamatan di Kabupaten Luwu Timur, Sulsel. Kota ini berjarak 600 kilometer dari Kota Makassar, ibu kota Sulsel. Butuh waktu 12 jam untuk perjalanan darat dan memakan waktu satu jam untuk terbang dari Bandar Udara Hasanuddin yang modern dan keren itu ke kota yang berada di pinggir Danau Motano. Aku ke sini dalam urusan penulisan buku.
Ini adalah perjalanan keduaku ke Makassar dan pertama ke Sorowako. Pesawat Garuda yang membawa aku dan Pak Fotografer ini akan terus ke Manado setelah melambaikan tangan pada penumpang yang turun di Ujungpandang. Aku sempat miris melihat para penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke ibu kota Sulawesi Utara itu. Dalam hati aku bilang, “Papa di surga, kapan ya, aku ke Manado? Jadi kangen makan pisang goreng manado di Ambassador Mall deh. (Loe juga kan Neniiiiii)
Dan, akhirnya sampai juga aku ke Sorowako. Pemandangannya benar-benar bikin aku tersenyum sampai mengantuk, tertidur, bangun, dan tersenyum lagi. Memang indah dan bahkan lebih indah dari foto pemandangan yang aku lihat sebelumnya. Jauh lebih cantik dari yang aku bayangkan. Ajaib benar karya tangan Sang Pencipta.
Beberapa jam setelah istirahat kami dibawa ke Pantai Ide. Karena lokasinya masih dalam perbaikan, kami harus melewati plang “dilarang masuk.” Ada beberapa anak perempuan sedang bermain-main di dermaga dan bernyanyi. Rasanya aku ingin menjadi salah satu dari mereka supaya bisa nyebur. Dalam kipasan angin sore yang lembut dan menyegarkan, aku melihat bulan di antara awan. Seperti hosti besar yang dijaga dua malaikat kecil. Wajah malaikat-malaikat kecilku (Moses, Wulan, dan Nera) langsung menari-nari di awan.
Bicara soal pantai, aku juga ingin mencicipi seasin apakah air Pantai Ide ini. Untung saja aku nggak jadi mencoba. Sebab, aku nggak bakalan mencecap rasa asin. Secara, namanya saja pantai, sebenarnya ini adalah bagian dari Danau Motano yang berwarna hijau toska. Padahal, aku sempat bertanya-tanya, kok bisa, pantai dan danau menyatu. Apa kata dunia? Mungkin mereka menamakan pantai karena merindukan pada pantai. Tapi mana pasirnya???
Hari pertama di Sorowako sangat menyenangkan. Semua ketegangan akibat goncangan hebat dalam badan pesawat di angkasa Makassar lenyap. Seperti yang aku bilang tadi, aku senyum-senyum sendiri dan berkali-kali bilang “Makasih Pa (di Surga)” sampai mengantuk, tidur, dan bangun dengan senyum.