Menemukan Sahabat
Minggu yang cerah. Aku berjalan menunduk memperhatikan betis dan kaki-kaki yang terbalut sepatu dan sandal yang lalu lalang di jalan kecil di luar pagar pelataran Katedral Bogor. Jam 10.30. Mataku berhenti pada anak kecil yang berdiri merapat di ujung salah satu meja yang penuh jajanan.
Senyumku merekah. Si kecil yang berambut cokelat kemerahan itu tak lain adalah Benedict Mathew. Bola mataku bergerak ke atas. Mama Ben tampak sibuk memilih-milih jajanan. Sebelah tangannya memegang Ben dan tangan yang satunya menggenggam tas plastik hitam.
"Beeeen!" Benedict kaget mendengar sapaanku. Mulutnya terbuka menampilkan dua gigi kelincinya. Ben mengenakan kemeja batik merah marun dan celana kurdoray krem. Sepatunya hitam. Cakep banget. Aku mencium kepalanya.
Mata Ben bersinar saat melihat Moses mendekatinya dan memegang tangannya erat. "Haaai, Bowzez!" Dia tersenyum juga pada Wulan dan Neni yang berebut menyentuhnya.
Aku langsung menegur Mamanya Ben. "Baru pulang gereja, ya?" Aku mencari-cari Angela dan Papanya Ben. "Kami berdua aja," kata Mamanya Ben yang siang itu juga mengenakan gaun motif batik. Biar serasi sama si Ben, rupanya. Senangnya melihat Me membawa Ben ke gereja.
Sekitar jam sembilan, Mama Ben sms janjian ketemu. Ben gereja di Zebaoth, berdekatan dengan Katedral. Namun, kami tidak bisa ketemu setelah pulang gereja, karena jadwal kebaktian beda. Ehhhh, ternyata kita ketemu juga.
Melihat Ibu membawa anaknya ke gereja adalah salah satu gambar yang paling aku kagumi. Aku senang berlama-lama melihat pemandangan itu. Melihat cara mereka tersenyum satu sama lain. Saat-saat mereka saling pasang sinyal untuk kata "tidak" atau "jangan". Saat-saat si ibu mulai menjawab pertanyaan si kecil yang meluncur tanpa rem meski orang-orang sedang berdoa. Atau ketika si ibu terlihat begitu malu dan tidak enak hati karena buah hatinya begitu nakal dan kelakuannya sangat "memalukan".
Di Katedral Bogor, pastor akan memberkati anak-anak setelah selesai memberi komuni. Anak-anak berdiri dalam barisan, berjalan pelan, hingga di mendapat berkat dari Pastor. Para orang tua juga masuk dalam antrean ini. Mereka menggendong atau membimbing putra-putrinya yang belum masih belajar jalan.
Aku senang melihat wajah anak-anak itu. Juga ekspresi ayah dan ibu yang membawa anak-anaknya. Pernah sekali ada anak perempuan yang berbaris sambil minum susu botol. Tidak semua umat melihat. Namun, gaya Romo yang menirukan gaya berjalan putri kecil itu justru menarik perhatian. Semua yang melihat ikut tertawa bersama Romo. Sementara anak kecil berkuncir dua dengan tas punggung pink itu tetap tidak melepaskan botol susunya dan berlari kecil ke tempat duduk orang tuanya.
Minggu silam, aku juga berjalan-jalan dengan seorang ibu dan anaknya. Kami ke mal. Sepulang mal aku bertanya, "Nggak ke gereja?" Ibu ini menggeleng kepalanya dengan lemah.
Aku selalu senang dan rindu melihat ibu membawa anaknya ke gereja. Aku senang melihat Mama Ben di antara teman-teman kantornya. Dia kelihatan tegas, cantik, dan profesional. Tapi, aku lebih senang melihat dia membawa Ben ke gereja. Dia lebih anggun, penuh kasih, dan menurutku itu melebihi apapun. Sangat hebat.
Ada perasaan hangat dan lembut saat melihat ibu membawa anaknya ke gereja. Dadaku bergetar-getar. Gembira yang tidak berlebihan. Tenang. Teduh.
Perasaan seperti ini muncul pertama kali saat aku mendapat komuni pertama. Saat itu, aku yang masih kelas tiga SD berdiri di antara ayah dan ibuku. Aku memakai gaun putih dan tidak berhenti bernyanyi dalam hati "Biarkanlah anak-anak. Biarkanlah anak-anak. Datang pada-KU. Datang pada-KU. Mereka sahabatKU...
Aku senang ibuku menemaniku ke gereja saat itu. Aku senang meski waktu itu aku belum mengerti arti sahabat. Untuk merayakan itu, jika boleh, seperti kecil dahulu, aku ingin sekali berguling-guling di lapangan bola di dekat rumahku dengan gaun putihku itu.
Minggu yang cerah. Aku berjalan menunduk memperhatikan betis dan kaki-kaki yang terbalut sepatu dan sandal yang lalu lalang di jalan kecil di luar pagar pelataran Katedral Bogor. Jam 10.30. Mataku berhenti pada anak kecil yang berdiri merapat di ujung salah satu meja yang penuh jajanan.
Senyumku merekah. Si kecil yang berambut cokelat kemerahan itu tak lain adalah Benedict Mathew. Bola mataku bergerak ke atas. Mama Ben tampak sibuk memilih-milih jajanan. Sebelah tangannya memegang Ben dan tangan yang satunya menggenggam tas plastik hitam.
"Beeeen!" Benedict kaget mendengar sapaanku. Mulutnya terbuka menampilkan dua gigi kelincinya. Ben mengenakan kemeja batik merah marun dan celana kurdoray krem. Sepatunya hitam. Cakep banget. Aku mencium kepalanya.
Mata Ben bersinar saat melihat Moses mendekatinya dan memegang tangannya erat. "Haaai, Bowzez!" Dia tersenyum juga pada Wulan dan Neni yang berebut menyentuhnya.
Aku langsung menegur Mamanya Ben. "Baru pulang gereja, ya?" Aku mencari-cari Angela dan Papanya Ben. "Kami berdua aja," kata Mamanya Ben yang siang itu juga mengenakan gaun motif batik. Biar serasi sama si Ben, rupanya. Senangnya melihat Me membawa Ben ke gereja.
Sekitar jam sembilan, Mama Ben sms janjian ketemu. Ben gereja di Zebaoth, berdekatan dengan Katedral. Namun, kami tidak bisa ketemu setelah pulang gereja, karena jadwal kebaktian beda. Ehhhh, ternyata kita ketemu juga.
Melihat Ibu membawa anaknya ke gereja adalah salah satu gambar yang paling aku kagumi. Aku senang berlama-lama melihat pemandangan itu. Melihat cara mereka tersenyum satu sama lain. Saat-saat mereka saling pasang sinyal untuk kata "tidak" atau "jangan". Saat-saat si ibu mulai menjawab pertanyaan si kecil yang meluncur tanpa rem meski orang-orang sedang berdoa. Atau ketika si ibu terlihat begitu malu dan tidak enak hati karena buah hatinya begitu nakal dan kelakuannya sangat "memalukan".
Di Katedral Bogor, pastor akan memberkati anak-anak setelah selesai memberi komuni. Anak-anak berdiri dalam barisan, berjalan pelan, hingga di mendapat berkat dari Pastor. Para orang tua juga masuk dalam antrean ini. Mereka menggendong atau membimbing putra-putrinya yang belum masih belajar jalan.
Aku senang melihat wajah anak-anak itu. Juga ekspresi ayah dan ibu yang membawa anak-anaknya. Pernah sekali ada anak perempuan yang berbaris sambil minum susu botol. Tidak semua umat melihat. Namun, gaya Romo yang menirukan gaya berjalan putri kecil itu justru menarik perhatian. Semua yang melihat ikut tertawa bersama Romo. Sementara anak kecil berkuncir dua dengan tas punggung pink itu tetap tidak melepaskan botol susunya dan berlari kecil ke tempat duduk orang tuanya.
Minggu silam, aku juga berjalan-jalan dengan seorang ibu dan anaknya. Kami ke mal. Sepulang mal aku bertanya, "Nggak ke gereja?" Ibu ini menggeleng kepalanya dengan lemah.
Aku selalu senang dan rindu melihat ibu membawa anaknya ke gereja. Aku senang melihat Mama Ben di antara teman-teman kantornya. Dia kelihatan tegas, cantik, dan profesional. Tapi, aku lebih senang melihat dia membawa Ben ke gereja. Dia lebih anggun, penuh kasih, dan menurutku itu melebihi apapun. Sangat hebat.
Ada perasaan hangat dan lembut saat melihat ibu membawa anaknya ke gereja. Dadaku bergetar-getar. Gembira yang tidak berlebihan. Tenang. Teduh.
Perasaan seperti ini muncul pertama kali saat aku mendapat komuni pertama. Saat itu, aku yang masih kelas tiga SD berdiri di antara ayah dan ibuku. Aku memakai gaun putih dan tidak berhenti bernyanyi dalam hati "Biarkanlah anak-anak. Biarkanlah anak-anak. Datang pada-KU. Datang pada-KU. Mereka sahabatKU...
Aku senang ibuku menemaniku ke gereja saat itu. Aku senang meski waktu itu aku belum mengerti arti sahabat. Untuk merayakan itu, jika boleh, seperti kecil dahulu, aku ingin sekali berguling-guling di lapangan bola di dekat rumahku dengan gaun putihku itu.
Tamu Tak Diundang
Jerawat memang menyebalkan. Sering mampir tanpa permisi dan pergi meninggalkan bekas. Tamu yang menjengkelkan ini tak tahu diri. Bukannya cepat-cepat pergi, malah berlama-lama di wajahku hehehe.
Punya kulit berminyak dan sensitif memang rawan. Harus ekstra menjaga kebersihan muka dan nggak boleh main-main dengan kosmetik. Salah-salah pakai kosmetik bakal berujung ke dokter kulit. Padahal, antrean di dokter kulit itu kan panjang seperti ular.
Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan seorang teman yang juga saudara. Yang pertama aku lihat adalah wajahnya yang makin kinclong. Ternyata, mukanya cemerlang karena berbagai krim dari klinik kulit di daerah Jaksel. Dan, aku justru berjerawat lagi karena tidak menggunakan produk dari tempat ini.
Menggunakan berbagai krim perawatan dari klinik kulit ini memang dahsyat. Kulitku jadi mulus, sehat, dan kinclong. Tapi, aku benar-benar nggak sabaran dengan proses penggunaan krim-krim itu, apalagi jika mau keluar rumah. Harus menunggu sekitar lima menit dahulu baru menggunakan krim kedua. Kemudian tunggu lima menit lagi untuk sampai pada tahap menaburkan bedak. Ribeeeeet banget untuk jadi cantik, ya, hehehehe. Jadi, aku putuskan stop aja deh.
Aku sudah beberapa kali berganti dokter kulit. Terakhir, Martha mengajakku ikut ke dokter kulit saat temannya dari Bandung sedang ke Jakarta untuk berobat. Tapi, aku menggeleng kepala cepat-cepat. Mending aku membaca di kosnya yang nyaman itu.
Aku sudah beberapa kali ke dokter kulit. Hasilnya menakjubkan. Tapi, jika kosmetik perawatannya habis, harus beli ke tempat-tempat tertentu. Seringnya jauh dan antreeee bikin mau muntah. Jadi, masalah bukan pada dokter kulit, tapi ada di aku.
Sekarang, jerawatku rada menjinak. Aku menggunakan obat dari saudaraku yang aku ceritakan tadi (tapi bukan dari klinik kulit). Perawatannya simpel dan aku bisa menggunakan salah satu kosmetik yang dijual bebas. Dalam beberapa hari, wajahku sudah kembali "normal" lagi. Yeaaah!
Sedih juga saat jerawat datang berbondong-bondong. Komentar orang-orang itu, lo: sering membuat panik dan bikin hati meleleh. Moses bahkan punya pekerjaan baru untuk menghitung berapa jerawat di wajahku. "Ternyata lebih banyak dari tahi lalat Ne!" kata dia. Benar-benar.
Aku nggak pernah menghitung pengeluaranku untuk urusan wajah berjerawatku. Sebab, bujet untuk urusan menggusur jerawat ini memang gede. Sekali berobat biayanya bisa lebih besar dari uang perpuluhanku. Kadang-kadang aku harus berobat sekali seminggu!
Yang lebih menyedihkan lagi, saat memakai obat jerawat, aku jadi nggak leluasa mencium selamat tidur malaikat-malaikatku.
Heiiii, kamu! Benar, kamu, tamu tak diundang! Nih terima tendangan mautku. PERGIIIIIIIIIIIIIIIIIII!
Jerawat memang menyebalkan. Sering mampir tanpa permisi dan pergi meninggalkan bekas. Tamu yang menjengkelkan ini tak tahu diri. Bukannya cepat-cepat pergi, malah berlama-lama di wajahku hehehe.
Punya kulit berminyak dan sensitif memang rawan. Harus ekstra menjaga kebersihan muka dan nggak boleh main-main dengan kosmetik. Salah-salah pakai kosmetik bakal berujung ke dokter kulit. Padahal, antrean di dokter kulit itu kan panjang seperti ular.
Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan seorang teman yang juga saudara. Yang pertama aku lihat adalah wajahnya yang makin kinclong. Ternyata, mukanya cemerlang karena berbagai krim dari klinik kulit di daerah Jaksel. Dan, aku justru berjerawat lagi karena tidak menggunakan produk dari tempat ini.
Menggunakan berbagai krim perawatan dari klinik kulit ini memang dahsyat. Kulitku jadi mulus, sehat, dan kinclong. Tapi, aku benar-benar nggak sabaran dengan proses penggunaan krim-krim itu, apalagi jika mau keluar rumah. Harus menunggu sekitar lima menit dahulu baru menggunakan krim kedua. Kemudian tunggu lima menit lagi untuk sampai pada tahap menaburkan bedak. Ribeeeeet banget untuk jadi cantik, ya, hehehehe. Jadi, aku putuskan stop aja deh.
Aku sudah beberapa kali berganti dokter kulit. Terakhir, Martha mengajakku ikut ke dokter kulit saat temannya dari Bandung sedang ke Jakarta untuk berobat. Tapi, aku menggeleng kepala cepat-cepat. Mending aku membaca di kosnya yang nyaman itu.
Aku sudah beberapa kali ke dokter kulit. Hasilnya menakjubkan. Tapi, jika kosmetik perawatannya habis, harus beli ke tempat-tempat tertentu. Seringnya jauh dan antreeee bikin mau muntah. Jadi, masalah bukan pada dokter kulit, tapi ada di aku.
Sekarang, jerawatku rada menjinak. Aku menggunakan obat dari saudaraku yang aku ceritakan tadi (tapi bukan dari klinik kulit). Perawatannya simpel dan aku bisa menggunakan salah satu kosmetik yang dijual bebas. Dalam beberapa hari, wajahku sudah kembali "normal" lagi. Yeaaah!
Sedih juga saat jerawat datang berbondong-bondong. Komentar orang-orang itu, lo: sering membuat panik dan bikin hati meleleh. Moses bahkan punya pekerjaan baru untuk menghitung berapa jerawat di wajahku. "Ternyata lebih banyak dari tahi lalat Ne!" kata dia. Benar-benar.
Aku nggak pernah menghitung pengeluaranku untuk urusan wajah berjerawatku. Sebab, bujet untuk urusan menggusur jerawat ini memang gede. Sekali berobat biayanya bisa lebih besar dari uang perpuluhanku. Kadang-kadang aku harus berobat sekali seminggu!
Yang lebih menyedihkan lagi, saat memakai obat jerawat, aku jadi nggak leluasa mencium selamat tidur malaikat-malaikatku.
Heiiii, kamu! Benar, kamu, tamu tak diundang! Nih terima tendangan mautku. PERGIIIIIIIIIIIIIIIIIII!