Si Mata Satu
Akhirnya aku jadi juga mengunjungi Martha. Setelah janjian bertahun-tahun (berapa tahun ya Mar) dan setelah dia dua kali pindah dari tempat yang lama. Menyenangkan.
Aku terheran-heran begitu berada di pelataran tempat kosnya setelah menginjak berundah-undak tangga. Kompleks kosnya bagus. Tenang. Tersembunyi. Tapi yang bikin aku heran, aku pernah bermimpi berada di daerah ini. Sampai-sampai pintu dan kursi yang ada di sini juga mirip dengan yang ada dalam mimpiku. Ajaib kan :)
Seperti biasa kita bicara sampai lupa waktu. Dan, aku sempat membaca cukup banyak. Mungkin karena itulah, aku pulang dengan perasaan ada yang mengganjal di mata kiriku. Benar. Dia meradang :)
Moses menjulukiku si mata satu. Karena agar cepat sembuh aku harus menutupi si sakit seperti bajak laut. Sekarang sih sudah mendingan meski air mata masih mengalir sewaktu-waktu. Padahal, buku Deal With It-nya Paula White yang aku pinjam dari Martha belum selesai kubaca. Jumat ini harus dikembalikan lagi.
Yang lebih gawat, aku harus menulis (tulisannya ditunggu) dengan bertumpu pada satu mata. Jadinya begitu deh, penuh air mata kayak film Bollywood.
Kasihan mataku. Sering dipakai terlalu banyak dan dalam kondisi yang tidak layak pula. Dia kesakitan di saat aku sangat membutuhkannya...
Akhirnya aku jadi juga mengunjungi Martha. Setelah janjian bertahun-tahun (berapa tahun ya Mar) dan setelah dia dua kali pindah dari tempat yang lama. Menyenangkan.
Aku terheran-heran begitu berada di pelataran tempat kosnya setelah menginjak berundah-undak tangga. Kompleks kosnya bagus. Tenang. Tersembunyi. Tapi yang bikin aku heran, aku pernah bermimpi berada di daerah ini. Sampai-sampai pintu dan kursi yang ada di sini juga mirip dengan yang ada dalam mimpiku. Ajaib kan :)
Seperti biasa kita bicara sampai lupa waktu. Dan, aku sempat membaca cukup banyak. Mungkin karena itulah, aku pulang dengan perasaan ada yang mengganjal di mata kiriku. Benar. Dia meradang :)
Moses menjulukiku si mata satu. Karena agar cepat sembuh aku harus menutupi si sakit seperti bajak laut. Sekarang sih sudah mendingan meski air mata masih mengalir sewaktu-waktu. Padahal, buku Deal With It-nya Paula White yang aku pinjam dari Martha belum selesai kubaca. Jumat ini harus dikembalikan lagi.
Yang lebih gawat, aku harus menulis (tulisannya ditunggu) dengan bertumpu pada satu mata. Jadinya begitu deh, penuh air mata kayak film Bollywood.
Kasihan mataku. Sering dipakai terlalu banyak dan dalam kondisi yang tidak layak pula. Dia kesakitan di saat aku sangat membutuhkannya...