Sumber Kuatku
Siang itu begitu panas. Angin yang bertiup lembut di antara pohon-pohon yang memagari bangku yang aku duduk tak mampu mengusir gerah. Peluh mengalir di kening, hidung, dan daerah di atas bibirku. Aku sedang menunggu hasil rapat dadakan tiga dosen soal skirpsiku. Perbincangan mereka akan menentukan aku pantas untuk sidang skripsi atau tahun depan.
Sms silih berganti masuk ke telepon genggamku. Kata-kata yang meluncur dari orang tua, saudara, dan sahabat-sahabatku itu benar-benar menyejukkan.. Aku memang duduk sendiri menatap pintu ruang rapat. Namun, pesan-pesan singkat dan doa mereka membuat aku tidak sendirian. Mereka seolah-olah ada di sisiku. Memelukku erat dan memberi semangat saat pikiranku masih terpusat pada hasil rapat para dosen.
Sore itu keputusannya turun. Seperti yang aku yakini, aku memang boleh mengikuti sidang. Yessss! Thanks God!
Tak masuk akal memang memikirkan soal skripsiku ini. Aku termasuk yang paling dahulu mengambil mata kuliah skripsi dibanding teman-teman seangkatan. Tapi, aku juga yang paling telat menyelesaikan tugas akhir ini.
Begitu banyak alasan yang bisa aku sebutkan. Aku bekerja sehingga tidak ada waktu untuk melakukan penelitian. Dosen pembimbingku ke kampus saat malam dan hanya pada hari-hari tertentu. Jarak kampus dan kantor terlalu jauh. Buku-buku referensi nggak lengkap. Karena persoalan terakhir ini aku bahkan sampai berganti rumusan masalah lebih dari tiga kali. Tapi, aku tahu persis semua itu cuma pembelaan diri.
Para dosen sampai harus merapatkan masalah skripsiku karena aku membuat skripsiku hanya dengan tiga kali bimbingan. Para dosen benar, kasusku ini bisa membuat mahasiswa-mahasiswa yang lain protes. Sebab, mereka bimbingan selama enam bulan, sedangkan aku cuma satu minggu lebih dan nekat ikut sidang skripsi.
Berkali-kali juga aku menjelaskan bahwa skripsiku ini sudah berlangsung dua tahun dengan masalah yang sama sehingga tidak perlu banyak bimbingan. Lagipula dosen pembimbingku yang juga pengajar senior di kampusku juga menyemangatiku untuk segera menyelesaikan skripsiku semester ini juga.
Ternyata keputusan iya agar aku segera sidang tidak membuat persoalan berjalan lancar. Masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Sikap ketua jurusanku juga sangat-sangat tidak menyenangkan. Namun, aku menghadapinya dengan senyum dan sabar. Aku sudah berjanji dalam hati bahwa halangan apapun akan aku terjang. Sebab, kali ini aku benar-benar bergantung pada TUHAN untuk menyelesaikan skripsiku.
Sidang dimulai. Beberapa masalah yang bisa menjadi celah untuk memancing debat aku beri garis ungu. Aku menandai semua kelemahan dalam skripsiku. Sebelum masuk ruang sidang, aku berdoa agar Tuhan membutakan mata para dosen agar tidak menananyai aku khususnya pada kata-kata yang aku tandai tadi.
Sidang berlangsung tidak kurang dari 20 menit. Aku memang cukup menguasai masalah jurnalistik dan jender yang aku angkat. Sebab, selama ini aku memang mengikuti betul perkembangan masalah ini. Namun, di atas segalanya, aku benar-benar menyerahkan semua usahaku pada TUHAN. Sepanjang sidang hatiku bernyanyi, “Tak kuandalkan kekuatanku, namun yang pasti Kau tetap selamanya, Allah sumber kuatku….
Semua teman melonjak-lonjak saat mendengarkan, kami semua ternyata lulus sidang. Aku nggak tertawa, nggak menangis, juga nggak jingkrak-jingkrak. Sebab, dalam hati aku percaya aku pasti lulus.
Di antara keributan itu, aku mendengar suara yang bergema lembut di telingaku. “Coba dari dulu kamu tidak bersandar pada pengertianmu sendiri dan mengandalkan Aku?”
Ya, benar. Aku membutuhkan dua tahun lebih untuk menyelesaikan skripsiku. Namun, dengan TUHAN aku menyelesaikan skripsi dan sidang dalam tempo dua pekan. Wow!
Siang itu begitu panas. Angin yang bertiup lembut di antara pohon-pohon yang memagari bangku yang aku duduk tak mampu mengusir gerah. Peluh mengalir di kening, hidung, dan daerah di atas bibirku. Aku sedang menunggu hasil rapat dadakan tiga dosen soal skirpsiku. Perbincangan mereka akan menentukan aku pantas untuk sidang skripsi atau tahun depan.
Sms silih berganti masuk ke telepon genggamku. Kata-kata yang meluncur dari orang tua, saudara, dan sahabat-sahabatku itu benar-benar menyejukkan.. Aku memang duduk sendiri menatap pintu ruang rapat. Namun, pesan-pesan singkat dan doa mereka membuat aku tidak sendirian. Mereka seolah-olah ada di sisiku. Memelukku erat dan memberi semangat saat pikiranku masih terpusat pada hasil rapat para dosen.
Sore itu keputusannya turun. Seperti yang aku yakini, aku memang boleh mengikuti sidang. Yessss! Thanks God!
Tak masuk akal memang memikirkan soal skripsiku ini. Aku termasuk yang paling dahulu mengambil mata kuliah skripsi dibanding teman-teman seangkatan. Tapi, aku juga yang paling telat menyelesaikan tugas akhir ini.
Begitu banyak alasan yang bisa aku sebutkan. Aku bekerja sehingga tidak ada waktu untuk melakukan penelitian. Dosen pembimbingku ke kampus saat malam dan hanya pada hari-hari tertentu. Jarak kampus dan kantor terlalu jauh. Buku-buku referensi nggak lengkap. Karena persoalan terakhir ini aku bahkan sampai berganti rumusan masalah lebih dari tiga kali. Tapi, aku tahu persis semua itu cuma pembelaan diri.
Para dosen sampai harus merapatkan masalah skripsiku karena aku membuat skripsiku hanya dengan tiga kali bimbingan. Para dosen benar, kasusku ini bisa membuat mahasiswa-mahasiswa yang lain protes. Sebab, mereka bimbingan selama enam bulan, sedangkan aku cuma satu minggu lebih dan nekat ikut sidang skripsi.
Berkali-kali juga aku menjelaskan bahwa skripsiku ini sudah berlangsung dua tahun dengan masalah yang sama sehingga tidak perlu banyak bimbingan. Lagipula dosen pembimbingku yang juga pengajar senior di kampusku juga menyemangatiku untuk segera menyelesaikan skripsiku semester ini juga.
Ternyata keputusan iya agar aku segera sidang tidak membuat persoalan berjalan lancar. Masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Sikap ketua jurusanku juga sangat-sangat tidak menyenangkan. Namun, aku menghadapinya dengan senyum dan sabar. Aku sudah berjanji dalam hati bahwa halangan apapun akan aku terjang. Sebab, kali ini aku benar-benar bergantung pada TUHAN untuk menyelesaikan skripsiku.
Sidang dimulai. Beberapa masalah yang bisa menjadi celah untuk memancing debat aku beri garis ungu. Aku menandai semua kelemahan dalam skripsiku. Sebelum masuk ruang sidang, aku berdoa agar Tuhan membutakan mata para dosen agar tidak menananyai aku khususnya pada kata-kata yang aku tandai tadi.
Sidang berlangsung tidak kurang dari 20 menit. Aku memang cukup menguasai masalah jurnalistik dan jender yang aku angkat. Sebab, selama ini aku memang mengikuti betul perkembangan masalah ini. Namun, di atas segalanya, aku benar-benar menyerahkan semua usahaku pada TUHAN. Sepanjang sidang hatiku bernyanyi, “Tak kuandalkan kekuatanku, namun yang pasti Kau tetap selamanya, Allah sumber kuatku….
Semua teman melonjak-lonjak saat mendengarkan, kami semua ternyata lulus sidang. Aku nggak tertawa, nggak menangis, juga nggak jingkrak-jingkrak. Sebab, dalam hati aku percaya aku pasti lulus.
Di antara keributan itu, aku mendengar suara yang bergema lembut di telingaku. “Coba dari dulu kamu tidak bersandar pada pengertianmu sendiri dan mengandalkan Aku?”
Ya, benar. Aku membutuhkan dua tahun lebih untuk menyelesaikan skripsiku. Namun, dengan TUHAN aku menyelesaikan skripsi dan sidang dalam tempo dua pekan. Wow!