"Love is a taste of paradise."-- Sholem Aleichem
Doakan Aja
Kemarin dua orang menelepon setelah mendapat sms dariku. Yang pertama sahabatku yang bicara begitu pelan sampai-sampai aku harus menyuruh semua orang di rumah diam agar bisa mendengar suaranya. Sahabatku ini menelepon dengan suara pelan karena memang sudah tengah malam di tempatnya. Meski dalam kondisi suara hilang muncul kami tetap bicara panjang lebar, maklum ibu-ibu arisan :)
Karena dia baru saja memiliki baby, kami bicara banyak tentang keponakan baruku itu. Juga membahas banyak topik, termasuk mengenang saat-saat kita bersama dulu. Kita janjian untuk ketemu tahun depan di Kupang. Iya dong, Sarah harus kenal tantenya. Harus.
Sekitar lima menit dadah dengan sahabatku tadi, telepon berdering lagi. Ternyata dari sobat lamaku yang baik banget. Dia meledekku pelit karena tidak pernah meneleponnya. Nggak masalah Pak.
Seperti biasa sobatku ini kembali mengajakku makan siang. Tapi, aku menolak. Waktu makan siang kan terbatas. Padahal, aku cerewet, jangan sampai dia nggak balik ke kantor lagi hehehe.
Ternyata bapak yang bahasa Indonesianya mulai jatuh bangun ini sedang siap-siap cuti. Dia mau menemani istrinya yang akan melahirkan anak kedua. Selamat ya, Pak.
Dalam pembicaraan dengan serius dia berpesan padaku agar kita tetap bisa beteman.
"Jangan sampai pernikahan membuat persahabatan kita putus."
Wah wah.
Temanku ini memang baru mendapat sms dari suami salah satu temannya. Dalam pesan singkat itu, suami temannya itu meminta agar dia berhenti mengirimkan sms dan menelepon HP istrinya karena telah "mengganggu keutuhan rumah tangga" orang.
"Sebelum menikah, saya dan istri saya berdiskusi panjang lebar tentang ini. Kami sepakat pernikahan tidak akan mengubah aktivitas kita masing-masing. Saya boleh berhubungan dengan teman-teman saya, begitu juga istri saya silakan berhubungan dengan teman-temannya. Kita harus saling percaya."
"Iya deh, Pak."
Agar tidak terus-terus dikuliahi, aku mengganti topik. Aku mendoakan agar anak keduanya perempuan. Mereka memang sengaja tidak mau memastikan jenis kelamin anak keduanya. Namun, dia tertawa saja saat aku meminta dia mengatakan amin.
"Kenapa harus anak perempuan?"
"Kan kakaknya laki-laki, biar lengkap gitu."
Dia tetap tertawa dan tidak mau mengatakan amin. Meski aku tahu persis dia pasti ingin mendapatkan anak perempuan. Soalnya, begitu mendengar kata "anak perempuan" sobatku ini tertawa lebih kencang. Mudah-mudahan, anaknya perempuan, amin.
"Nanti kalau kamu punya anak perempuan, kita jodohin aja sama anak laki-lakiku."
Na lo, apa-apaan nih. Zaman Siti Nurbaya banget.
Hmmm menarik juga usulannya heheheh. Tapi aku belum tahu rupa anak laki-lakinya yang tinggal di Australia itu. Ampun deh, aku bahkan lupa muka anaknya hehehe, lagian bicara anak sama bapak-bapak nggak seseru saat ngobrol hal yang sama dengan ibu-ibu hehehe.
Ya, mungkin kita harus cepat-cepat makan bareng supaya aku bisa lihat foto anak cowoknya. Tapi, kayaknya nggak bisa begitu juga deh. Soalnya, dia baru kembali ke Jakarta lagi Agustus nanti :)
Entah karena terpengaruh kata-kata sobatku tadi atau tidak, saat bicara dengan teman adikku beberapa jam kemudian, dengan spontan aku bertanya, "Kamu dah punya pacar belum?"
Aku lumayan tahu dan dekat teman Ronny, adikku ini. Kami beberapa kali doa bersama. Teman adikku ini mengatakan dia baru putus dengan pacarnya.
"Nanti aku kenalin dengan ponakanku, ya, dia cantik lo. Cewek Timor Leste," kataku sambil mengedipkan mata.
"Dia tinggal di mana?"
"Di Bogor," aku dan Ronny sama-sama menjawab.
Tadi sore, Ronny bercerita tentang temannya itu.
"Nanti pas acara kawinan dia [keponakanku] ada nggak," Ronny menirukan kata-kata temannya.
Ternyata teman Ronny juga bersemangat menanggapi usulanku. Mulai bertanya-tanya tentang keponakanku itu. Suit-suit.
Sayangnya dia tidak mungkin ketemu dengan keponakanku itu. Tapi, mungkin saja, dalam pesta pernikahan salah satu keponakanku [begini nih kalau keluarga besar, keponakan di mana-mana] aku bisa saja memperkenalkan dia pada nona-nona yang lain hehehe. Ting ting.
Tapi, aku mengingatkan Ronny. "Bilangin dia, tenaaaaang, didoakan aja dulu."
"Aku juga sudah bilang santaai woeeeee, doakan duluuuuu," kata Ronny.
Kemarin dua orang menelepon setelah mendapat sms dariku. Yang pertama sahabatku yang bicara begitu pelan sampai-sampai aku harus menyuruh semua orang di rumah diam agar bisa mendengar suaranya. Sahabatku ini menelepon dengan suara pelan karena memang sudah tengah malam di tempatnya. Meski dalam kondisi suara hilang muncul kami tetap bicara panjang lebar, maklum ibu-ibu arisan :)
Karena dia baru saja memiliki baby, kami bicara banyak tentang keponakan baruku itu. Juga membahas banyak topik, termasuk mengenang saat-saat kita bersama dulu. Kita janjian untuk ketemu tahun depan di Kupang. Iya dong, Sarah harus kenal tantenya. Harus.
Sekitar lima menit dadah dengan sahabatku tadi, telepon berdering lagi. Ternyata dari sobat lamaku yang baik banget. Dia meledekku pelit karena tidak pernah meneleponnya. Nggak masalah Pak.
Seperti biasa sobatku ini kembali mengajakku makan siang. Tapi, aku menolak. Waktu makan siang kan terbatas. Padahal, aku cerewet, jangan sampai dia nggak balik ke kantor lagi hehehe.
Ternyata bapak yang bahasa Indonesianya mulai jatuh bangun ini sedang siap-siap cuti. Dia mau menemani istrinya yang akan melahirkan anak kedua. Selamat ya, Pak.
Dalam pembicaraan dengan serius dia berpesan padaku agar kita tetap bisa beteman.
"Jangan sampai pernikahan membuat persahabatan kita putus."
Wah wah.
Temanku ini memang baru mendapat sms dari suami salah satu temannya. Dalam pesan singkat itu, suami temannya itu meminta agar dia berhenti mengirimkan sms dan menelepon HP istrinya karena telah "mengganggu keutuhan rumah tangga" orang.
"Sebelum menikah, saya dan istri saya berdiskusi panjang lebar tentang ini. Kami sepakat pernikahan tidak akan mengubah aktivitas kita masing-masing. Saya boleh berhubungan dengan teman-teman saya, begitu juga istri saya silakan berhubungan dengan teman-temannya. Kita harus saling percaya."
"Iya deh, Pak."
Agar tidak terus-terus dikuliahi, aku mengganti topik. Aku mendoakan agar anak keduanya perempuan. Mereka memang sengaja tidak mau memastikan jenis kelamin anak keduanya. Namun, dia tertawa saja saat aku meminta dia mengatakan amin.
"Kenapa harus anak perempuan?"
"Kan kakaknya laki-laki, biar lengkap gitu."
Dia tetap tertawa dan tidak mau mengatakan amin. Meski aku tahu persis dia pasti ingin mendapatkan anak perempuan. Soalnya, begitu mendengar kata "anak perempuan" sobatku ini tertawa lebih kencang. Mudah-mudahan, anaknya perempuan, amin.
"Nanti kalau kamu punya anak perempuan, kita jodohin aja sama anak laki-lakiku."
Na lo, apa-apaan nih. Zaman Siti Nurbaya banget.
Hmmm menarik juga usulannya heheheh. Tapi aku belum tahu rupa anak laki-lakinya yang tinggal di Australia itu. Ampun deh, aku bahkan lupa muka anaknya hehehe, lagian bicara anak sama bapak-bapak nggak seseru saat ngobrol hal yang sama dengan ibu-ibu hehehe.
Ya, mungkin kita harus cepat-cepat makan bareng supaya aku bisa lihat foto anak cowoknya. Tapi, kayaknya nggak bisa begitu juga deh. Soalnya, dia baru kembali ke Jakarta lagi Agustus nanti :)
Entah karena terpengaruh kata-kata sobatku tadi atau tidak, saat bicara dengan teman adikku beberapa jam kemudian, dengan spontan aku bertanya, "Kamu dah punya pacar belum?"
Aku lumayan tahu dan dekat teman Ronny, adikku ini. Kami beberapa kali doa bersama. Teman adikku ini mengatakan dia baru putus dengan pacarnya.
"Nanti aku kenalin dengan ponakanku, ya, dia cantik lo. Cewek Timor Leste," kataku sambil mengedipkan mata.
"Dia tinggal di mana?"
"Di Bogor," aku dan Ronny sama-sama menjawab.
Tadi sore, Ronny bercerita tentang temannya itu.
"Nanti pas acara kawinan dia [keponakanku] ada nggak," Ronny menirukan kata-kata temannya.
Ternyata teman Ronny juga bersemangat menanggapi usulanku. Mulai bertanya-tanya tentang keponakanku itu. Suit-suit.
Sayangnya dia tidak mungkin ketemu dengan keponakanku itu. Tapi, mungkin saja, dalam pesta pernikahan salah satu keponakanku [begini nih kalau keluarga besar, keponakan di mana-mana] aku bisa saja memperkenalkan dia pada nona-nona yang lain hehehe. Ting ting.
Tapi, aku mengingatkan Ronny. "Bilangin dia, tenaaaaang, didoakan aja dulu."
"Aku juga sudah bilang santaai woeeeee, doakan duluuuuu," kata Ronny.
"When the one man loves the one woman and the one woman loves the one man, the very angels desert heaven and come and sit in that house and sing for joy." (Brahma Sutra)
Sejiwa
Mamaku sakit. Beberapa pekan ini aku jadi perawat yang manis manja grup deh. Kasihan Mamaku, lagi liburan, sakit, masak ditinggal sendirian. Jadi aku memilih di rumah ketimbang keluar, termasuk absen untuk pertama kalinya dalam acara doa bersama.
Selama sakit aku jadi lebih mengenal Mamaku. Aku jadi merasa lebih dekat dengan Mamaku. Selama ini terus terang aku lebih sering memperhatikan Bapaku. Dalam pikiranku, Mama masih punya lima anak lain dan mereka bisa memberi perhatian pada Mama. Jahat ya, hehehe.
Aku nggak pernah dapat kesempatan untuk melayani Bapaku selama sakit. Sekarang malah aku punya begitu banyak waktu dan kesempatan untuk merawat Mamaku.
Aku nggak pernah menyangka Mamaku justru sakit saat liburan. Tapi, aku juga bersyukur untuk semua pengalaman yang kami alami selama Mama dalam kondisi sakit. Asal tahu saja, aku punya kebiasaan baru: tersenyum dan tertawa tanpa alasan. Nggak gokil kok, hanya bawaannya happy terus.
Ya, aku kadang-kadang aku nggak sabaran dan bahkan putus asa menghadapi Mamaku yang sering bandel banget, hehehe. Mama selalu memuntahkan makanan yang nggak pas dengan seleranya. Please deh, sakit geto lo. Masak mau makan yang enak-enak. Benar-benar deh. Lagian aku kan nggak pintar masak. Pertama kali masak bubur hangus, hahaha.
Agar acara makan berjalan lancar, Abangku sampai-sampai datang dari Bogor untuk menyuapi Mama. Jadi kalau Mama mulai ogah-ogahan makan, aku mengancam menelepon Abangku agar datang. "Jangan, dia suka paksa-paksa," kata Mamaku.
Dalam kondisi sakit, Mama berkali-kali menyatakan penyesalan karena penyakitnya membuat aku nggak bisa ke mana-mana. Sampai-sampai aku menerima telepon jauh-jauh agar Mama tidak mendengar obrolanku dengan orang yang menelepon. Padahal, Mama lebih penting dari semua itu. Aku sekarang hanya punya satu Mama :)
Kadang-kadang kata-kata Mama sering membuat mataku berair. Mama selalu mengucapkan terima kasih untuk apa yang aku buat. Kata-kata ini juga diucapkan Bapaku pada Mama yang merawat dia selama sakit. Aku juga sering meminta maaf kalau-kalau kelakuanku menyakiti Mama. Mama juga sering mengatakan hal yang sama selama merawat Bapaku.
Dan, aku jadi tahu siapa pacar pertama Mamaku. Rahasia ini terbongkar setelah aku mengatakan pacar pertama Bapaku. "Hmmm pantas, Bapa kelihatan panik waktu ... (menyebut nama) sakit," kata Mamaku, terpancing.
Aku menikmati betul sinar dan binar yang muncul dari wajah seseorang saat menceritakan kisah cintanya. Coba deh, tanya-tanya tentang pacar pertama Mama atau Papamu. Lihat wajah mereka. Kalau marah karena malu dan dianggap kurang ajar, ya, nggak apa-apa, coba lagi.com deh. Nggak semua orang mau terbuka pada kali pertama. Tapi, sepanjang pengalamanku mengorek-korek kisah cinta pertama seseorang--kebanyakan oma dan opa dan orang-orang yang lebih tua--cerita cinta selalu membuat seseorang tersenyum dan bersemangat. Perasaan itu juga menular padaku.
Yang mengherankan Mamaku ternyata punya kebiasaan yang persis seperti mendiang Bapaku. Nggak jelas siapa mengikuti siapa. Gaya dan perilaku Mama berkali-kali membuat aku seperti melihat Bapaku dalam diri istrinya ini. Benar-benar deh. Aku jadi bertanya-tanya inikah yang disebut-sebut orang sejiwa.
Mungkinkah kalau sudah menikah, orang jadi bertukar kebiasaan. Sifat istri pindah ke suami dan sebaliknya. Ada yang bisa menjawab? Aku nggak ada ide. Aku belum menikah dan nggak berencana melakukan itu dalam waktu beberapa pekan ini hehehe.
Mamaku sakit. Beberapa pekan ini aku jadi perawat yang manis manja grup deh. Kasihan Mamaku, lagi liburan, sakit, masak ditinggal sendirian. Jadi aku memilih di rumah ketimbang keluar, termasuk absen untuk pertama kalinya dalam acara doa bersama.
Selama sakit aku jadi lebih mengenal Mamaku. Aku jadi merasa lebih dekat dengan Mamaku. Selama ini terus terang aku lebih sering memperhatikan Bapaku. Dalam pikiranku, Mama masih punya lima anak lain dan mereka bisa memberi perhatian pada Mama. Jahat ya, hehehe.
Aku nggak pernah dapat kesempatan untuk melayani Bapaku selama sakit. Sekarang malah aku punya begitu banyak waktu dan kesempatan untuk merawat Mamaku.
Aku nggak pernah menyangka Mamaku justru sakit saat liburan. Tapi, aku juga bersyukur untuk semua pengalaman yang kami alami selama Mama dalam kondisi sakit. Asal tahu saja, aku punya kebiasaan baru: tersenyum dan tertawa tanpa alasan. Nggak gokil kok, hanya bawaannya happy terus.
Ya, aku kadang-kadang aku nggak sabaran dan bahkan putus asa menghadapi Mamaku yang sering bandel banget, hehehe. Mama selalu memuntahkan makanan yang nggak pas dengan seleranya. Please deh, sakit geto lo. Masak mau makan yang enak-enak. Benar-benar deh. Lagian aku kan nggak pintar masak. Pertama kali masak bubur hangus, hahaha.
Agar acara makan berjalan lancar, Abangku sampai-sampai datang dari Bogor untuk menyuapi Mama. Jadi kalau Mama mulai ogah-ogahan makan, aku mengancam menelepon Abangku agar datang. "Jangan, dia suka paksa-paksa," kata Mamaku.
Dalam kondisi sakit, Mama berkali-kali menyatakan penyesalan karena penyakitnya membuat aku nggak bisa ke mana-mana. Sampai-sampai aku menerima telepon jauh-jauh agar Mama tidak mendengar obrolanku dengan orang yang menelepon. Padahal, Mama lebih penting dari semua itu. Aku sekarang hanya punya satu Mama :)
Kadang-kadang kata-kata Mama sering membuat mataku berair. Mama selalu mengucapkan terima kasih untuk apa yang aku buat. Kata-kata ini juga diucapkan Bapaku pada Mama yang merawat dia selama sakit. Aku juga sering meminta maaf kalau-kalau kelakuanku menyakiti Mama. Mama juga sering mengatakan hal yang sama selama merawat Bapaku.
Dan, aku jadi tahu siapa pacar pertama Mamaku. Rahasia ini terbongkar setelah aku mengatakan pacar pertama Bapaku. "Hmmm pantas, Bapa kelihatan panik waktu ... (menyebut nama) sakit," kata Mamaku, terpancing.
Aku menikmati betul sinar dan binar yang muncul dari wajah seseorang saat menceritakan kisah cintanya. Coba deh, tanya-tanya tentang pacar pertama Mama atau Papamu. Lihat wajah mereka. Kalau marah karena malu dan dianggap kurang ajar, ya, nggak apa-apa, coba lagi.com deh. Nggak semua orang mau terbuka pada kali pertama. Tapi, sepanjang pengalamanku mengorek-korek kisah cinta pertama seseorang--kebanyakan oma dan opa dan orang-orang yang lebih tua--cerita cinta selalu membuat seseorang tersenyum dan bersemangat. Perasaan itu juga menular padaku.
Yang mengherankan Mamaku ternyata punya kebiasaan yang persis seperti mendiang Bapaku. Nggak jelas siapa mengikuti siapa. Gaya dan perilaku Mama berkali-kali membuat aku seperti melihat Bapaku dalam diri istrinya ini. Benar-benar deh. Aku jadi bertanya-tanya inikah yang disebut-sebut orang sejiwa.
Mungkinkah kalau sudah menikah, orang jadi bertukar kebiasaan. Sifat istri pindah ke suami dan sebaliknya. Ada yang bisa menjawab? Aku nggak ada ide. Aku belum menikah dan nggak berencana melakukan itu dalam waktu beberapa pekan ini hehehe.