Banjir
Dua puluh menit lagi jam tujuh pagi. Ujung hidungku dingin. Tubuhku hangat terbungkus selimut. Hujan di luar.
Suara-suara orang di depan rumah naik turun. Nggak jelas. Sejak semalam aku mendengar banyak orang di luar. Suara-suara yang sama aku dengar lagi ketika tersadar pagi buta tadi. Tapi, aku sama sekali nggak berniat membuka korden jendela.
Aku bersyukur untuk pagi yang dingin dan tubuh yang hangat. Inilah saat yang indah untuk menghitung berkat. Nggak usah buru-buru bangkit mematikan lampu. Jangan dulu mendengar lagu. Hanya diam dan merenung di tempat tidur.
Jam tujuh lewat lima menit aku bangun. Lagu Where Could I Go, But to the Lord membuka hariku. Masih gerimis saat aku membersihkan rumah. Bunga-bunga sudah kuyup.
Hampir jam delapan. Aku sudah siap-siap ke kantor. Nggak usah buru-buru masih hujan. Setelah berdoa aku membaca Mazmur 31. Kamar begitu tenang dan hangat. Aku keluar kamar mendengar suara kecil Ben memanggil.
Aku ke kantor bareng Me, menumpang mobil Rani, teman Me. Bersyukur karena di tengah hujan nggak repot naik angkutan umum. Sampai di kantor dengan aman dan nyaman.
Di kantor sambil minum kopi panas aku kembali mengingat suasana di rumah. Saat menutup pintu kamar sebelum keluar aku sempat menyibakkan korden jendela. Banyak orang di luar. Perempuan. Laki-laki. Anak-anak. Oma dan opa.
Ada mobil boks penuh barang dan makanan. Dua posko banjir dengan spanduk besar. Posko sebuah partai dan posko sebuah RW. Ada juga tenda biru yang dibuka khusus untuk jualan. Ada pisang goreng panas serta mi instan goreng dan rebus di bawah tenda.
Aku sudah berniat pulang. Keluar kantor bersandal jepit. Pasti di luar becek. Macet. Ternyata di pinggir jalan begitu banyak orang. Iring-iringan orang dan kendaraan nyaris sama padat. Orang-orang itu nggak kebagian angkutan. Setelah makan nasi goreng dan nongkrong sebentar di luar gedung, aku kembali ke kantor. Lebih nyaman menghabiskan malam dalam ruangan. Meski bulan saat itu cantik.
Aku di sini. Hangat dibalut jaket. Penuh nyanyian. Banjir di luar.
Dua puluh menit lagi jam tujuh pagi. Ujung hidungku dingin. Tubuhku hangat terbungkus selimut. Hujan di luar.
Suara-suara orang di depan rumah naik turun. Nggak jelas. Sejak semalam aku mendengar banyak orang di luar. Suara-suara yang sama aku dengar lagi ketika tersadar pagi buta tadi. Tapi, aku sama sekali nggak berniat membuka korden jendela.
Aku bersyukur untuk pagi yang dingin dan tubuh yang hangat. Inilah saat yang indah untuk menghitung berkat. Nggak usah buru-buru bangkit mematikan lampu. Jangan dulu mendengar lagu. Hanya diam dan merenung di tempat tidur.
Jam tujuh lewat lima menit aku bangun. Lagu Where Could I Go, But to the Lord membuka hariku. Masih gerimis saat aku membersihkan rumah. Bunga-bunga sudah kuyup.
Hampir jam delapan. Aku sudah siap-siap ke kantor. Nggak usah buru-buru masih hujan. Setelah berdoa aku membaca Mazmur 31. Kamar begitu tenang dan hangat. Aku keluar kamar mendengar suara kecil Ben memanggil.
Aku ke kantor bareng Me, menumpang mobil Rani, teman Me. Bersyukur karena di tengah hujan nggak repot naik angkutan umum. Sampai di kantor dengan aman dan nyaman.
Di kantor sambil minum kopi panas aku kembali mengingat suasana di rumah. Saat menutup pintu kamar sebelum keluar aku sempat menyibakkan korden jendela. Banyak orang di luar. Perempuan. Laki-laki. Anak-anak. Oma dan opa.
Ada mobil boks penuh barang dan makanan. Dua posko banjir dengan spanduk besar. Posko sebuah partai dan posko sebuah RW. Ada juga tenda biru yang dibuka khusus untuk jualan. Ada pisang goreng panas serta mi instan goreng dan rebus di bawah tenda.
Aku sudah berniat pulang. Keluar kantor bersandal jepit. Pasti di luar becek. Macet. Ternyata di pinggir jalan begitu banyak orang. Iring-iringan orang dan kendaraan nyaris sama padat. Orang-orang itu nggak kebagian angkutan. Setelah makan nasi goreng dan nongkrong sebentar di luar gedung, aku kembali ke kantor. Lebih nyaman menghabiskan malam dalam ruangan. Meski bulan saat itu cantik.
Aku di sini. Hangat dibalut jaket. Penuh nyanyian. Banjir di luar.