Wendying
Kami kedatangan tamu. Wendying (meniru cara seorang Oma memanggil dia). Dia bersama kami empat hari. Aku sendiri tidak menghitung berapa lama kami bersama. Sebab, rasanya sebentar. Padahal, kami belum banyak bercerita.
Saat bercerita aku berkali-kali mengingatkan dia. Gemas melihat dia sering minder dengan profesinya. "Aku kan cuma pembantu," kata cewek yang sudah lima tahun lebih menjadi pekerja rumah tangga di Singapura. Padahal, itu pekerjaan halal. Dia bekerja keras untuk mengumpulkan dolar Singapura. Tidak menipu siapapun. Tidak mencuri uang siapapun. Uangnya juga yang membuat beberapa rumah di kampungnya mendapatkan listrik.
Hanya beberapa jam aku mendengar banyak hal. Dia tahu persis betapa buruk kehidupan pembantu di Negeri Singa. Salah satu yang selalu dia kenang, saban Rabu, dia harus membersihkan kaca apartemen di lantai 20. Tapi, imannya justru bertumbuh pesat di saat-saat penuh air mata itu.
Dia bercerita ketika menolong majikannya saat mengalami pendarahan hebat. "Mam, kita berdoa ya, supaya pendarahannya berhenti dan kita bisa ke rumah sakit."
"Coba kita lihat apa yang Tuhanmu bisa lakukan," kata Mam yang lemas kekurangan darah."
Lima menit kemudian pendarahan berhenti dan mereka ke rumah sakit. Selama di rumah sakit, praktis Wendying yang menjaga dan merawat majikan perempuannya. "Kenapa kamu begitu baik pada saya. Padahal, saya jahat sama kamu." Wendying sempat mengingat betapa sakit hati melihat Alkitabnya dibuang di tempat sampah. "Saya menganggap Mam seperti Mama saya sendiri," kata dia kemudian.
Setelah itu Mam dan keluarganya memperlakukan dia dengan baik. Sangat baik. Dia makan satu meja. Diajak berlibur bersama keluarga besarnya. Dia tidak boleh menolak. Sebab, majikannya berkali-kali menegaskan bahwa Wendying adalah saudaranya.
Namun, penyakit majikannya memang parah. Dia harus menjalani perawatan di rumah sakit. Selama di rumah sakit, setiap hari, Wendying mendoakan dan membacakan Alkitab buat Mamnya. Setelah menerima Yesus, Mam meminta Wendying mendoakan agar anak perempuan dan ibunya juga menjadi orang percaya. Majikannya meninggal dunia setelah meminta Wendying membacakakan Alkitab dan mendoakan dia. "Berdoa pakai bahasamu saja, Tuhan tahu," kata Mam sebelum melepas ajal. Bukan cuma Mam saja yang percaya. Keluarga besarnya juga menerima Yesus.
Wendying yang lebih leluasa keluar rumah belakangan punya kegiatan baru. Dia yang mengirimkan uang teman-temannya ke kampung. Jika ada pembantu yang disiksa, dia akan menelepon polisi. Dia juga yang membantu para TKW untuk mengurus paspor dan visa ke petugas resmi bukan calo. "Aku punya semua nomor penting embassy dan polisi," dia tersenyum memamarkan deretan gigi putihnya. Dia juga membuat banyak TKW bertobat. Dia memang sudah memutuskan untuk menjadi pelayan bagi para TKW.
Kemarin Wendying pulang. Selesai melepas Wendying di jalan depan rumah, aku bertemu tetanggaku. Rumahnya persis di depanku. Dia menanyakan tamu yang baru datang. Pertanyaan basi yang sering mampir. Aku tahu bahwa tetanggaku ini sangat memperhatikan kami. Dia curiga karena ada orang asing di rumah. Tenang saja :)
Sebaliknya, aku malah sedang memikirkan untuk membuat kunci duplikat lebih. Jadi, kami tidak punya alasan untuk tidak menerima tamu dengan alasan tidak ada kunci. Wendying juga sempat kaget mendapati rumah kami kosong. Dia hanya duduk di ruang tamu tanpa berani ke mana-mana. Padahal, dia memegang kunci rumah. "Kak nggak takut ya, tinggalin kunci," kata dia. Aku cuma tertawa. Kita saling kenal dari kecil.
Lagipula, aku, Neni, dan Ronny memang sudah sepakat untuk membiarkan pintu kami terbuka buat siapa saja. Kami berusaha melayani siapapun yang datang dalam segala keterbatasan. Dalam Ibrani 12:2, Rasul Paulus bilang: "Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat. Dan, seperti Wendying, tamu-tamu kami adalah malaikat.
Kami kedatangan tamu. Wendying (meniru cara seorang Oma memanggil dia). Dia bersama kami empat hari. Aku sendiri tidak menghitung berapa lama kami bersama. Sebab, rasanya sebentar. Padahal, kami belum banyak bercerita.
Saat bercerita aku berkali-kali mengingatkan dia. Gemas melihat dia sering minder dengan profesinya. "Aku kan cuma pembantu," kata cewek yang sudah lima tahun lebih menjadi pekerja rumah tangga di Singapura. Padahal, itu pekerjaan halal. Dia bekerja keras untuk mengumpulkan dolar Singapura. Tidak menipu siapapun. Tidak mencuri uang siapapun. Uangnya juga yang membuat beberapa rumah di kampungnya mendapatkan listrik.
Hanya beberapa jam aku mendengar banyak hal. Dia tahu persis betapa buruk kehidupan pembantu di Negeri Singa. Salah satu yang selalu dia kenang, saban Rabu, dia harus membersihkan kaca apartemen di lantai 20. Tapi, imannya justru bertumbuh pesat di saat-saat penuh air mata itu.
Dia bercerita ketika menolong majikannya saat mengalami pendarahan hebat. "Mam, kita berdoa ya, supaya pendarahannya berhenti dan kita bisa ke rumah sakit."
"Coba kita lihat apa yang Tuhanmu bisa lakukan," kata Mam yang lemas kekurangan darah."
Lima menit kemudian pendarahan berhenti dan mereka ke rumah sakit. Selama di rumah sakit, praktis Wendying yang menjaga dan merawat majikan perempuannya. "Kenapa kamu begitu baik pada saya. Padahal, saya jahat sama kamu." Wendying sempat mengingat betapa sakit hati melihat Alkitabnya dibuang di tempat sampah. "Saya menganggap Mam seperti Mama saya sendiri," kata dia kemudian.
Setelah itu Mam dan keluarganya memperlakukan dia dengan baik. Sangat baik. Dia makan satu meja. Diajak berlibur bersama keluarga besarnya. Dia tidak boleh menolak. Sebab, majikannya berkali-kali menegaskan bahwa Wendying adalah saudaranya.
Namun, penyakit majikannya memang parah. Dia harus menjalani perawatan di rumah sakit. Selama di rumah sakit, setiap hari, Wendying mendoakan dan membacakan Alkitab buat Mamnya. Setelah menerima Yesus, Mam meminta Wendying mendoakan agar anak perempuan dan ibunya juga menjadi orang percaya. Majikannya meninggal dunia setelah meminta Wendying membacakakan Alkitab dan mendoakan dia. "Berdoa pakai bahasamu saja, Tuhan tahu," kata Mam sebelum melepas ajal. Bukan cuma Mam saja yang percaya. Keluarga besarnya juga menerima Yesus.
Wendying yang lebih leluasa keluar rumah belakangan punya kegiatan baru. Dia yang mengirimkan uang teman-temannya ke kampung. Jika ada pembantu yang disiksa, dia akan menelepon polisi. Dia juga yang membantu para TKW untuk mengurus paspor dan visa ke petugas resmi bukan calo. "Aku punya semua nomor penting embassy dan polisi," dia tersenyum memamarkan deretan gigi putihnya. Dia juga membuat banyak TKW bertobat. Dia memang sudah memutuskan untuk menjadi pelayan bagi para TKW.
Kemarin Wendying pulang. Selesai melepas Wendying di jalan depan rumah, aku bertemu tetanggaku. Rumahnya persis di depanku. Dia menanyakan tamu yang baru datang. Pertanyaan basi yang sering mampir. Aku tahu bahwa tetanggaku ini sangat memperhatikan kami. Dia curiga karena ada orang asing di rumah. Tenang saja :)
Sebaliknya, aku malah sedang memikirkan untuk membuat kunci duplikat lebih. Jadi, kami tidak punya alasan untuk tidak menerima tamu dengan alasan tidak ada kunci. Wendying juga sempat kaget mendapati rumah kami kosong. Dia hanya duduk di ruang tamu tanpa berani ke mana-mana. Padahal, dia memegang kunci rumah. "Kak nggak takut ya, tinggalin kunci," kata dia. Aku cuma tertawa. Kita saling kenal dari kecil.
Lagipula, aku, Neni, dan Ronny memang sudah sepakat untuk membiarkan pintu kami terbuka buat siapa saja. Kami berusaha melayani siapapun yang datang dalam segala keterbatasan. Dalam Ibrani 12:2, Rasul Paulus bilang: "Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat. Dan, seperti Wendying, tamu-tamu kami adalah malaikat.