Sayang-Sayang
Dalam perjalanan pulang setelah bertemu Judith, Selasa silam, aku ingat dua adikku, Neni dan Ronny. Aku nggak pernah jalan bareng, bahkan untuk sekadar makan di mal. Sekali dua kali mereka pernah protes. "Kalau sama Moses, Wulan, Nera saja, ke mana juga mau, sama kita pelit," kata mereka. Yeeeee, apaan sih.
Memang aku jarang jalan bareng dengan mereka. Lebih sering pergi dengan Neni, tapi memang aku lebih sering bersama tiga kucingku itu. Kalau jalan bertiga, aku, Ronny, dan Neni hampir jarang. Apa tidak pernah ya? Lupa tuh.
Sebenarnya kita sudah sering janjian untuk jalan bersama. Tapi, pas hari H buyar. Entah karena aku nggak bisa, atau Neni, atau Ronny. Begitu terus. Jadilah kita jarang punya waktu untuk bersama-sama.
Sekali-kali aku mengajak mereka tanpa rencana. Tapi, tetap saja, hanya salah satu dari adikku yang datang. Ronny selalu punya alasan. Dia memang sibuk dengan PMKRI. Sebagai pemandu sorak utama dia berorganisasi, aku harus siap dong menerima risiko.
Tapi setelah aku pikir kembali, aku baru sadar bahwa kita beberapa kali jalan bareng. Bukan untuk belanja atau makan-makan sih. Hmmm, ternyata, kami pergi sama-sama hanya untuk kegiatan yang tak jauh-jauh dari doa :) Mamaku yang senang.
Pernah sekali waktu selesai berdoa di Jagakarsa, Jaksel, aku dan Neni bercerita. Kak Ida, sepupuku, rupanya tertarik melihat kita. Kata Kak Ida, kita seperti teman lama. "Kayak nggak pernah ketemu," kata Kak Ida.
Memang. Meski tidur satu kasur, kita kayaknya nggak pernah puas berbagi cerita. Beberapa kali aku dan Neni juga aku dan Rony bercerita sampai pagi. Saat masuk malam, godaan untuk tidak masuk kerja besar banget. Berkali-kali aku terlambat karena nggak mau beranjak dari mereka. Tak jarang mereka menyetel muka memelas. "Tak usah ke kantor ajaaa, kayaknya loe pucat deh," begitu salah satu rayuan maut mereka. Sebaliknya mereka lebih tegas, mau meninggalkan aku saat harus pergi. Curaaaaang.
Kemarin kami jalan bareng lagi. Rony mengajak salah satu temannya. Lagi-lagi kita pergi untuk doa bersama. Setelah itu, Rony dan temannya ke Blok M, Neni ke rumah, dan aku ke kantor. Pasti sebentar di rumah, kita akan bercerita panjang lagi.
Kami memang selalu terbuka, mendukung, dan tak sungkan mengkritik. Kalau Neni sebal pada Rony aku yang jadi penengah. Kalau Ronny nggak senang cara Neni, aku yang jadi juru bicara. Kalau aku yang kesal sama Rony, Neni yang sering jadi penyambung lidahku. Kalau aku sebal pada Neni, langsung dong melabrak dia.
Kita sering bertengkar dan marahan. Soalnya, aku sering banget jadi nenek sihir. Kalau melihat rumah berantakan, ting ting, taringku muncul sendiri. Kadang-kadang kami beradu mulut. Tapi, sering mereka mengalah padaku. Mungkin mereka ingat pesan Mamaku, bahwa aku kakak. Enaknya jadi kakak hehehe. Meski begitu aku tahu kami saling menyayangi. Buktinya sederhana: satu per satu selalu bilang kangen bila tidak berjumpa satu sama lain.
Beberapa kali kami pernah bertengkar di depan Wulan, Moses, dan Nera. Namun, kami sering cepat sadar--di depan mereka saja--dan saling memberi kode untuk pura-pura berkelahi. Dan, akhirnya malah jadi adegan komedi. Moses pasti akan mendukungku, ikut-ikut meninju Neni atau Ronny. Sedangkan Wulan lebih banyak tertawa. Nera lain lagi. Dia bergantian memukuli aku atau Neni atau Ronny. Dan, berkali-kali dia menghardik dengan mata melotot. "Heiiiiii, adik kakak itu harus sayang-sayang tau!"
Dalam perjalanan pulang setelah bertemu Judith, Selasa silam, aku ingat dua adikku, Neni dan Ronny. Aku nggak pernah jalan bareng, bahkan untuk sekadar makan di mal. Sekali dua kali mereka pernah protes. "Kalau sama Moses, Wulan, Nera saja, ke mana juga mau, sama kita pelit," kata mereka. Yeeeee, apaan sih.
Memang aku jarang jalan bareng dengan mereka. Lebih sering pergi dengan Neni, tapi memang aku lebih sering bersama tiga kucingku itu. Kalau jalan bertiga, aku, Ronny, dan Neni hampir jarang. Apa tidak pernah ya? Lupa tuh.
Sebenarnya kita sudah sering janjian untuk jalan bersama. Tapi, pas hari H buyar. Entah karena aku nggak bisa, atau Neni, atau Ronny. Begitu terus. Jadilah kita jarang punya waktu untuk bersama-sama.
Sekali-kali aku mengajak mereka tanpa rencana. Tapi, tetap saja, hanya salah satu dari adikku yang datang. Ronny selalu punya alasan. Dia memang sibuk dengan PMKRI. Sebagai pemandu sorak utama dia berorganisasi, aku harus siap dong menerima risiko.
Tapi setelah aku pikir kembali, aku baru sadar bahwa kita beberapa kali jalan bareng. Bukan untuk belanja atau makan-makan sih. Hmmm, ternyata, kami pergi sama-sama hanya untuk kegiatan yang tak jauh-jauh dari doa :) Mamaku yang senang.
Pernah sekali waktu selesai berdoa di Jagakarsa, Jaksel, aku dan Neni bercerita. Kak Ida, sepupuku, rupanya tertarik melihat kita. Kata Kak Ida, kita seperti teman lama. "Kayak nggak pernah ketemu," kata Kak Ida.
Memang. Meski tidur satu kasur, kita kayaknya nggak pernah puas berbagi cerita. Beberapa kali aku dan Neni juga aku dan Rony bercerita sampai pagi. Saat masuk malam, godaan untuk tidak masuk kerja besar banget. Berkali-kali aku terlambat karena nggak mau beranjak dari mereka. Tak jarang mereka menyetel muka memelas. "Tak usah ke kantor ajaaa, kayaknya loe pucat deh," begitu salah satu rayuan maut mereka. Sebaliknya mereka lebih tegas, mau meninggalkan aku saat harus pergi. Curaaaaang.
Kemarin kami jalan bareng lagi. Rony mengajak salah satu temannya. Lagi-lagi kita pergi untuk doa bersama. Setelah itu, Rony dan temannya ke Blok M, Neni ke rumah, dan aku ke kantor. Pasti sebentar di rumah, kita akan bercerita panjang lagi.
Kami memang selalu terbuka, mendukung, dan tak sungkan mengkritik. Kalau Neni sebal pada Rony aku yang jadi penengah. Kalau Ronny nggak senang cara Neni, aku yang jadi juru bicara. Kalau aku yang kesal sama Rony, Neni yang sering jadi penyambung lidahku. Kalau aku sebal pada Neni, langsung dong melabrak dia.
Kita sering bertengkar dan marahan. Soalnya, aku sering banget jadi nenek sihir. Kalau melihat rumah berantakan, ting ting, taringku muncul sendiri. Kadang-kadang kami beradu mulut. Tapi, sering mereka mengalah padaku. Mungkin mereka ingat pesan Mamaku, bahwa aku kakak. Enaknya jadi kakak hehehe. Meski begitu aku tahu kami saling menyayangi. Buktinya sederhana: satu per satu selalu bilang kangen bila tidak berjumpa satu sama lain.
Beberapa kali kami pernah bertengkar di depan Wulan, Moses, dan Nera. Namun, kami sering cepat sadar--di depan mereka saja--dan saling memberi kode untuk pura-pura berkelahi. Dan, akhirnya malah jadi adegan komedi. Moses pasti akan mendukungku, ikut-ikut meninju Neni atau Ronny. Sedangkan Wulan lebih banyak tertawa. Nera lain lagi. Dia bergantian memukuli aku atau Neni atau Ronny. Dan, berkali-kali dia menghardik dengan mata melotot. "Heiiiiii, adik kakak itu harus sayang-sayang tau!"