Jreng-jreng
Aku perhatikan beberapa bulan terakhir ini aku lebih banyak bernyanyi. Aku jadi benar-benar membutuhkan gitar. Hmm aku nggak jago jreng-jreng sih. Tapi, aku bisa memainkan beberapa lagu dengan perpindahan kunci G, A, dan D saja, he he he.
Aku belajar gitar juga dari Hani, istri Abangku. Aku belajar cara memetik senar. Caranya sederhana banget, dimulai dengan dengan menggerakkan jari telunjuk, tengah, dan manis berurutan. Setelah luwes barulah aku mulai memetik dawai gitar. Dan, sampai sekarang aku nggak bisa jreng-jreng. Aneh kan, heheheh. Kalau kita PAA aku cuma bisa memetik gitar. Sahabat-sahabat kecilku suka menertawakanku. Dedy yang kelas dua SMP itu bahkan sering gemas melihat aku tidak bisa jreng-jreng juga.
Sebenarnya Ronny adikku sudah mengajariku. Pertama belajar bisa dong. Tapi, aku lebih senang memainkan gitar dengan memetik senar. Kedengarannya lebih jernih, tenang, nggak ramai, dan sangat personal. Tapi, lagu-lagu berirama cepat dan riang jadi sendu semua. Hello aku kan main untuk diriku sendiri, syukur-syukur kalau ada yang menikmati.
Dahulu di rumah kami ada gitar. Gitar itu milik Ronny, adikku. Karena dia lagi senang-senangnya berorganisasi dan menginap di markasnya, gitar itu juga ikut pindah rumah. Jadi, kalau ingin main gitar, ya, harus ke Bogor.
Di Bogor ada dua gitar. Yang gede punya Abangku. Senarnya agak kasar dan tajam. Dahulu sih, jariku agak kapalan, tapi sekarang sudah kembali normal. Jadi kalau main gitar nggak bisa lama, sakit. Nah, gitar Moses paling asyik. Ukurannya kecil dan senarnya juga mungil, lembut, dan nggak bikin jari perih.
Moses sih nggak tertarik main gitar. Dia memang sering ngejreng sendiri tapi lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan menonton film Ultraman dan teman-temannya. Jadi, aku dan Jenny bermaksud meminjam gitar dengan kain pembungkus kotak-kotak putih biru muda itu. Tapi, belum kesampaian. Soalnya, kasihan juga kalo Moses dan Nera--yang lebih sering mengobok-obok gitar itu--mau jreng-jreng harus pakai gitar gede Abangku.
Aku dan Jenny sepakat akan membeli gitar. Gitar gede dengan senar yang tidak membuat jari kami depresi. Kami berdua sudah bertekad untuk belajar gitar lebih sungguh. Bisa bermain untuk orang lain juga. Targetku sederhana saja, agar PAA tidak cuma penuh pujian saat ada Abang dan Ronny yang bermain gitar. Jenny dan aku juga bisa mengiringi sahabat-sahabat kecilku bernyanyi.
Jenny lebih jago dan menguasai beberapa kunci. Dia sudah berkali-kali mengajariku beberapa kunci. Tapi, aku suka nggak peduli, dan sering menyanyikan berbagai lagu dengan tiga kunci andalan itu. Sejauh ini berhasil, meski mereka sering menertawakanku. Nggak masalah, aku menyanyi buat diriku kan. Gengsi lagi kalau berhenti bermain gitar apalagi menyanyi karena tertawaan orang. Sorry nggak gue banget, he he he.
Dan, ini juga penting, kami juga bisa bermain gitar di rumah di Kupang. Jadi koleksi buku-buku lagu Mamaku nggak cuma berfungsi maksimal kalau ada Abangku dan Ronny di rumah. Kami juga nggak histeris mengetahui ada teman yang bisa main gitar apalagi piano. Selama ini kami begitu, he he.
Di rumah di Kupang, kami punya pengiring sejati, Arit. Dia itu sudah seperti adik kami yang paling bungsu. Tapi, dia lebih banyak memainkan lagu-lagu rohani. Aku sudah membayangkan untuk menunjukkan kemampuanku pada adikku Wisye dan kakakku Lita. Mereka juga bisa bermain gitar dengan tiga kunci saja. Mereka pasti iri.
Hmmm mulai deh muluk-muluk. Kapan beli gitarnya Non?
Aku perhatikan beberapa bulan terakhir ini aku lebih banyak bernyanyi. Aku jadi benar-benar membutuhkan gitar. Hmm aku nggak jago jreng-jreng sih. Tapi, aku bisa memainkan beberapa lagu dengan perpindahan kunci G, A, dan D saja, he he he.
Aku belajar gitar juga dari Hani, istri Abangku. Aku belajar cara memetik senar. Caranya sederhana banget, dimulai dengan dengan menggerakkan jari telunjuk, tengah, dan manis berurutan. Setelah luwes barulah aku mulai memetik dawai gitar. Dan, sampai sekarang aku nggak bisa jreng-jreng. Aneh kan, heheheh. Kalau kita PAA aku cuma bisa memetik gitar. Sahabat-sahabat kecilku suka menertawakanku. Dedy yang kelas dua SMP itu bahkan sering gemas melihat aku tidak bisa jreng-jreng juga.
Sebenarnya Ronny adikku sudah mengajariku. Pertama belajar bisa dong. Tapi, aku lebih senang memainkan gitar dengan memetik senar. Kedengarannya lebih jernih, tenang, nggak ramai, dan sangat personal. Tapi, lagu-lagu berirama cepat dan riang jadi sendu semua. Hello aku kan main untuk diriku sendiri, syukur-syukur kalau ada yang menikmati.
Dahulu di rumah kami ada gitar. Gitar itu milik Ronny, adikku. Karena dia lagi senang-senangnya berorganisasi dan menginap di markasnya, gitar itu juga ikut pindah rumah. Jadi, kalau ingin main gitar, ya, harus ke Bogor.
Di Bogor ada dua gitar. Yang gede punya Abangku. Senarnya agak kasar dan tajam. Dahulu sih, jariku agak kapalan, tapi sekarang sudah kembali normal. Jadi kalau main gitar nggak bisa lama, sakit. Nah, gitar Moses paling asyik. Ukurannya kecil dan senarnya juga mungil, lembut, dan nggak bikin jari perih.
Moses sih nggak tertarik main gitar. Dia memang sering ngejreng sendiri tapi lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan menonton film Ultraman dan teman-temannya. Jadi, aku dan Jenny bermaksud meminjam gitar dengan kain pembungkus kotak-kotak putih biru muda itu. Tapi, belum kesampaian. Soalnya, kasihan juga kalo Moses dan Nera--yang lebih sering mengobok-obok gitar itu--mau jreng-jreng harus pakai gitar gede Abangku.
Aku dan Jenny sepakat akan membeli gitar. Gitar gede dengan senar yang tidak membuat jari kami depresi. Kami berdua sudah bertekad untuk belajar gitar lebih sungguh. Bisa bermain untuk orang lain juga. Targetku sederhana saja, agar PAA tidak cuma penuh pujian saat ada Abang dan Ronny yang bermain gitar. Jenny dan aku juga bisa mengiringi sahabat-sahabat kecilku bernyanyi.
Jenny lebih jago dan menguasai beberapa kunci. Dia sudah berkali-kali mengajariku beberapa kunci. Tapi, aku suka nggak peduli, dan sering menyanyikan berbagai lagu dengan tiga kunci andalan itu. Sejauh ini berhasil, meski mereka sering menertawakanku. Nggak masalah, aku menyanyi buat diriku kan. Gengsi lagi kalau berhenti bermain gitar apalagi menyanyi karena tertawaan orang. Sorry nggak gue banget, he he he.
Dan, ini juga penting, kami juga bisa bermain gitar di rumah di Kupang. Jadi koleksi buku-buku lagu Mamaku nggak cuma berfungsi maksimal kalau ada Abangku dan Ronny di rumah. Kami juga nggak histeris mengetahui ada teman yang bisa main gitar apalagi piano. Selama ini kami begitu, he he.
Di rumah di Kupang, kami punya pengiring sejati, Arit. Dia itu sudah seperti adik kami yang paling bungsu. Tapi, dia lebih banyak memainkan lagu-lagu rohani. Aku sudah membayangkan untuk menunjukkan kemampuanku pada adikku Wisye dan kakakku Lita. Mereka juga bisa bermain gitar dengan tiga kunci saja. Mereka pasti iri.
Hmmm mulai deh muluk-muluk. Kapan beli gitarnya Non?
1 Comments :
Tina,pengen dong denger kamu lagi ngejrenk-ngejrenk...pgn deh ketemu. Nti kalo pas di Jakarta boleh dong mampir,hehe....
# by 4:49 PM
-------------------- , at