"Bapa takut?"
"Iya, Bapa takut."
Itulah percakapan terakhir aku dan Bapaku saat Paskah kemarin. Waktu itu aku terdiam lama dan akhirnya berkata. "Rasul Paulus bilang: "Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan." Kemudian kita berdua diam. Lama.
Bapa tergolek lemah di rumah sakit saat aku menengoknya Kamis pekan silam. Waktu itu sekitar jam sembilan malam lebih. Lubang hidungnya ditempeli selang oksigen dan selang makanan. Pandangan matanya kosong dan biji matanya berlari pelan ke kiri dan kanan. Ada jarum infus di tangan kanannya. Badannya panas.
"Ba, ini Ne." Napasnya memburu dan tangan kiri dan kakinya bergetar hebat. Aku mencium hidungnya, kedua pipinya, dan keningnya. Aku berdoa di telinga kanannya. Rasanya tidak puas bicara di telinganya saja. Aku mau Bapa melihat aku bicara.
Aku pindah di sisi kanan, agar bisa melihat Bapa. Bola matanya masih berputar-putar tanpa bisa melihatku. Tapi aku memaksa bicara di depan Bapa.
"Bapa takut?" aku bertanya.
Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Bahu kanannya juga ikut bergerak. Bapa berusaha bicara. Namun tidak ada kata yang keluar. Suaranya tertahan di tenggorokan. Bibirnya bergerak dan akhirnya membentuk gerakan seperti orang meniup balon. "Ufffffffffff!" Kami bertatapan lama. Aku berusaha tersenyum. Jangan sampai ada air mata. Akhirnya Bapa menutup sendiri matanya. Tertidur sebentar. Aku takut.
Sakit tidak membuat Bapa kehilangan semangat untuk menyenangkan kami. Bapa memberi reaksi dengan jari kelingking kirinya. Bahkan Bapa sempat menendang dengan kaki kirinya ketika kakakku Lita meminta "Bung Clemens" menendang bola untuk kesebelasan favoritnya Belanda. Kami semua tertawa.
Kami semua, enam anaknya, eh tujuh ditambah Nora, bercerita yang lucu-lucu saat kita kecil. Bapa menggerakkan tangan kirinya. Kami juga memutarkan lagu kesayangannya: Green-Green Grass of Home. Setiap berdoa kami selalu menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan Bapa belakangan ini.
Sisa hidupku ini
Ku serahkan buat Tuhan
Untuk melayani-MU
Sampai akhir hidupku
Oh Tuhan, saya lemah
Brikan kuasa Firman-Mu
untuk menjadi pekerja-MU
Sabtu, 17 Juni, sekitar jam sembilan kami berdoa bersama. Ruangan penuh. Seperti sedang doa lingkungan saja. Om Dion yang memimpin doa berbicara dalam bahasa Manggarai pada Bapa. Intinya sebagai Om, dia menyampaikan terima kasih kami--Mama dan anak-anak--pada Bapa. Berkali-kali dalam doa, Om Dion meminta kesembuhan dari Tuhan.
Di tengah doa, satu persatu kami, mulai dari Mama hingga adik bungsuku berdoa. Kami semua meminta maaf, berterima kasih, dan bicara pada Tuhan tentang semua kebaikan Bapa terhadap kami.
Jam setengah 12 malam aku memberikan obat tidur dan darah tinggi lewat selang. Tak lama kemudian batuk dan mengeluarkan cairan bening dari mulutnya. Panasnya juga tidak turun meski sudah dikompres dan disuntik. Dokter yang datang meminta kami semua tetap berdoa karena Bapa dalam kondisi sekarat.
Semua keluarga dekat dihubungi. Satu per satu keluarga berdatangan di pagi buta itu. Setiap orang berbisik di telinga Bapa. Kami mengelilingi Bapa. Kami berdoa meminta Roh Kudus menuntun kami untuk berdoa dengan benar, membaca Firman dan memuji yang seturut kehendak Allah. Kami tidak putus-putus berdoa, membaca firman, dan bernyanyi.
Ujung kaki Bapa mulai dingin. Tangan kirinya yang terus kugenggam masih panas. Tubuh Bapa bergetar keras persis setelah aku membaca, "TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung." (Mazmur 146:7b). Guncangan keras itu membuat aku berhenti membaca.
Ronny adikku menyuruh aku terus membaca. Aku melanjutkan, "TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya. TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya!"
Aku tahu napas Bapa sudah berhenti. Kemah kediamannya dibongkar tepat tanggal 18, sama dengan tanggal kelahirannya. Dua belas tahun, tiga bulan, sembilan hari Bapa bergelut dengan stroke. Terlalu berat salib yang dipikul. Kami semua mengantar dan melepas Bapa dengan penuh cinta. Aku lega. Puji Tuhan. Haleluya! Daaaaahhhhhhhhh Baaaaa.
5 Comments :
Membaca postingan Tina kali ini tidak ada yang bisa kuucapkan selain kekagumanku pada Tina dan keluarga yang begitu tabah saat menemani detik-detik terakhir Bapanya.....Tuhan kan beri tempat yang terindah tuk Bapa kamu di Surga Tin.....
# by 8:04 PM
-------------------- , atNe, aku turut sukacita kamu dah kambek. Huggsss....
# by Ang Tek Khun, at 8:34 PM
--------------------Ne, seneng yah bisa nemenin bokap dihari2 terakhirnya. Jadi kenangan terindahnya Samson deh. :)
# by 11:58 AM
-------------------- , atAmin. Trims Judith :)
--------------------
Iya Dew, kan terukir abadi sebagai kenangan yang terindaaaah :)
Ya, Pak Khun, aku dah balik dengan semangat :)