Pengingat Jempolan
Aku sering kurang berminat mengingat nomor atau angka. Sampai sekarang aku lupa nomor telepon rumah orang tuaku. Benar. Setiap menelepon rumah, aku harus melihat daftar nomor telepon dahulu. Saat ini, aku cuma ingat empat nomor telepon rumah dan satu nomor HP--ini nomorku sendiri. Nomor yang aku hafal itu, nomor rumah abangku, sahabatku Lisa, nomor rumahku, dan nomor rumah orang tua sahabatku Merry. Nomor rumah Merry--yang telah menikah--belum terekam, saudari-saudara :)
Aku juga tak terlalu bersemangat mengingat nomor rumah. Akibatnya, aku sering salah masuk rumah. Ini kerap terjadi ketika aku mengunjungi rumah sahabatku, Yana. Padahal, kita bertetangga sekitar lima tahun. Rumahnya seragam, jadi aku sering bingung melewati jalan kecil di antara taman di belakang rumah. Agar tidak nyasar melulu, aku memilih mengikuti rute jalan besar. Jika tidak, telepon saja, biar dia menunggu di dekat rumahnya.
Sampai sekarang ada banyak hal yang aku lupakan. Aku baru menyadari ini ketika bertemu dengan salah satu teman SD-ku. Ada beberapa teman SD yang tidak aku ingat sama sekali. Padahal, kita berteman selama enam tahun. Begitu juga dengan banyak kejadian selama aku masih mengenakan seragam putih merah. "Wah, kamu mulai lupa akar nih," kata temanku itu.
Rupanya aku benar-benar mempraktikkan omongan suster kepala sekolahku waktu SMP. Suster--aku lupa namanya:)--mengajarkan bahwa otak manusia itu seperti komputer dengan kapasitas memori tertentu. Kita bisa memprogram sendiri memori yang perlu kita simpan. Kita juga bisa mengeluarkan memori yang kita anggap harus dibuang. Sejak itulah aku cuma menyimpan memori yang aku rasa benar-benar perlu dan menghapus memori yang tak berguna untuk kemaslahatan bangsa eh, diri sendiri.
Aku menyimpan begitu banyak memori dengan detail. Tapi, ada juga yang aku rekam sekadarnya. Ada juga kejadian yang hilang muncul. Sebagai pemegang kendali memori di kepalaku, aku juga bisa dengan mudah memanggil memori yang jarang terusik. Bisa juga mengisi ulang apa saja yang aku inginkan. Enak banget ya :) Terima kasih suster ...
Kadang-kadang ingatanku eror. Bisa jadi karena capek, terlalu senang, atau sakit. Agar semua kejadian yang aku anggap penting tidak sampai luput, aku menuliskan di catatan harian, tapi, terus terang, aku tidak rajin menulis di sini, hiks. Aku lebih sering menyimpan langsung di komputer alamiku. Ditambah lagi, kadang-kadang lagu, buku, cuaca, gerak-gerik, atau apa saja yang terjadi di sekitarku bisa memanggil memoriku sekaligus mengingatkan aku untuk segera mengusir jauh-jauh ingatan yang harus dibuang.
Aneh bin ajaib, aku baru sadar bahwa ada begitu banyak hal yang aku lupakan. Misalnya, aku ingat penyebab kerenggangan hubungan aku dan mamaku. Kasihan mamaku sampai mengeluh ke saudara-saudaraku karena tidak bisa dekat denganku bertahun-tahun. Tapi, saat ini, aku lebih ingat tahun-tahun setelah hubungan aku dan mamaku makin baik. Setelah mengibarkan bendera perdamaian, hubungan aku dan mamaku makin lengket. Saat-saat mesra inilah yang lebih mendominasi memoriku tentang mama.
Di sisi lain aku juga tetap menyimpan berbagai pengalaman buruk yang terjadi dalam kehidupanku. Pengalaman tidak menyenangkan ini pernah membuat aku menangis dan tidak bisa tidur. Terkadang membuat aku seperti dikejar-kejar. Ada juga yang membuat tanganku refleks membuat gerakan menepis dan mataku berkejap mengusir ingatan buruk itu.
Aku sengaja tidak menghapus semua memori yang gelap itu. Hmmm, mungkin lebih tepat dibilang memori-memori itu bandel banget, sering datang tak diundang, pergi tanpa pamit :) Eh bukan ding. Sebenarnya memori itu muncul dengan perasaan negatif yang perlahan-lahan berkurang dari hari ke hari.
Ternyata tak mudah memang menghapus berbukit-bukit ingatan buruk itu. Tapi, aku belajar untuk berdamai dengan semua masalah yang bikin perih. Berdamai dengan Sejarah--pinjam istilah Xanana Gusmao, dalam pidato politik kemerdekaan Timor Leste. Ini membuat aku tak terlalu bereaksi negatif lagi pada semua hal buruk, namun menerima itu sebagai sejarah.
Dengan berusaha mengontrol memori, aku bisa melupakan banyak hal yang membuat aku seperti tak mau beranjak dari gua yang gelap. Berdamai dengan pengalaman mengerikan bikin aku belajar tidak bersembunyi dari siapa saja dan masalah apa pun yang pernah menjadi catatan gelap dalam hidupku. Sekaligus aku belajar dan berusaha keras agar jangan sampai menoreh hal yang sama dalam sejarah orang lain, hiks. Tapi, hal menyenangkan dari pelajaran yang diberikan suster kepala sekolahku itu adalah aku belajar menjadi pengingat yang jempolan: hanya mengingat hal-hal baik dari diri seseorang dan berkasih-kasihan dengan kejadian apa pun yang terjadi di sekitarku :)
Aku sering kurang berminat mengingat nomor atau angka. Sampai sekarang aku lupa nomor telepon rumah orang tuaku. Benar. Setiap menelepon rumah, aku harus melihat daftar nomor telepon dahulu. Saat ini, aku cuma ingat empat nomor telepon rumah dan satu nomor HP--ini nomorku sendiri. Nomor yang aku hafal itu, nomor rumah abangku, sahabatku Lisa, nomor rumahku, dan nomor rumah orang tua sahabatku Merry. Nomor rumah Merry--yang telah menikah--belum terekam, saudari-saudara :)
Aku juga tak terlalu bersemangat mengingat nomor rumah. Akibatnya, aku sering salah masuk rumah. Ini kerap terjadi ketika aku mengunjungi rumah sahabatku, Yana. Padahal, kita bertetangga sekitar lima tahun. Rumahnya seragam, jadi aku sering bingung melewati jalan kecil di antara taman di belakang rumah. Agar tidak nyasar melulu, aku memilih mengikuti rute jalan besar. Jika tidak, telepon saja, biar dia menunggu di dekat rumahnya.
Sampai sekarang ada banyak hal yang aku lupakan. Aku baru menyadari ini ketika bertemu dengan salah satu teman SD-ku. Ada beberapa teman SD yang tidak aku ingat sama sekali. Padahal, kita berteman selama enam tahun. Begitu juga dengan banyak kejadian selama aku masih mengenakan seragam putih merah. "Wah, kamu mulai lupa akar nih," kata temanku itu.
Rupanya aku benar-benar mempraktikkan omongan suster kepala sekolahku waktu SMP. Suster--aku lupa namanya:)--mengajarkan bahwa otak manusia itu seperti komputer dengan kapasitas memori tertentu. Kita bisa memprogram sendiri memori yang perlu kita simpan. Kita juga bisa mengeluarkan memori yang kita anggap harus dibuang. Sejak itulah aku cuma menyimpan memori yang aku rasa benar-benar perlu dan menghapus memori yang tak berguna untuk kemaslahatan bangsa eh, diri sendiri.
Aku menyimpan begitu banyak memori dengan detail. Tapi, ada juga yang aku rekam sekadarnya. Ada juga kejadian yang hilang muncul. Sebagai pemegang kendali memori di kepalaku, aku juga bisa dengan mudah memanggil memori yang jarang terusik. Bisa juga mengisi ulang apa saja yang aku inginkan. Enak banget ya :) Terima kasih suster ...
Kadang-kadang ingatanku eror. Bisa jadi karena capek, terlalu senang, atau sakit. Agar semua kejadian yang aku anggap penting tidak sampai luput, aku menuliskan di catatan harian, tapi, terus terang, aku tidak rajin menulis di sini, hiks. Aku lebih sering menyimpan langsung di komputer alamiku. Ditambah lagi, kadang-kadang lagu, buku, cuaca, gerak-gerik, atau apa saja yang terjadi di sekitarku bisa memanggil memoriku sekaligus mengingatkan aku untuk segera mengusir jauh-jauh ingatan yang harus dibuang.
Aneh bin ajaib, aku baru sadar bahwa ada begitu banyak hal yang aku lupakan. Misalnya, aku ingat penyebab kerenggangan hubungan aku dan mamaku. Kasihan mamaku sampai mengeluh ke saudara-saudaraku karena tidak bisa dekat denganku bertahun-tahun. Tapi, saat ini, aku lebih ingat tahun-tahun setelah hubungan aku dan mamaku makin baik. Setelah mengibarkan bendera perdamaian, hubungan aku dan mamaku makin lengket. Saat-saat mesra inilah yang lebih mendominasi memoriku tentang mama.
Di sisi lain aku juga tetap menyimpan berbagai pengalaman buruk yang terjadi dalam kehidupanku. Pengalaman tidak menyenangkan ini pernah membuat aku menangis dan tidak bisa tidur. Terkadang membuat aku seperti dikejar-kejar. Ada juga yang membuat tanganku refleks membuat gerakan menepis dan mataku berkejap mengusir ingatan buruk itu.
Aku sengaja tidak menghapus semua memori yang gelap itu. Hmmm, mungkin lebih tepat dibilang memori-memori itu bandel banget, sering datang tak diundang, pergi tanpa pamit :) Eh bukan ding. Sebenarnya memori itu muncul dengan perasaan negatif yang perlahan-lahan berkurang dari hari ke hari.
Ternyata tak mudah memang menghapus berbukit-bukit ingatan buruk itu. Tapi, aku belajar untuk berdamai dengan semua masalah yang bikin perih. Berdamai dengan Sejarah--pinjam istilah Xanana Gusmao, dalam pidato politik kemerdekaan Timor Leste. Ini membuat aku tak terlalu bereaksi negatif lagi pada semua hal buruk, namun menerima itu sebagai sejarah.
Dengan berusaha mengontrol memori, aku bisa melupakan banyak hal yang membuat aku seperti tak mau beranjak dari gua yang gelap. Berdamai dengan pengalaman mengerikan bikin aku belajar tidak bersembunyi dari siapa saja dan masalah apa pun yang pernah menjadi catatan gelap dalam hidupku. Sekaligus aku belajar dan berusaha keras agar jangan sampai menoreh hal yang sama dalam sejarah orang lain, hiks. Tapi, hal menyenangkan dari pelajaran yang diberikan suster kepala sekolahku itu adalah aku belajar menjadi pengingat yang jempolan: hanya mengingat hal-hal baik dari diri seseorang dan berkasih-kasihan dengan kejadian apa pun yang terjadi di sekitarku :)