Papa Sih, Gaji Ece`-Ece`
Pendaftaran sekolah mulai dibuka. Berbagai sekolah swasta memasang spanduk penerimaan siswa baru di depan pintu gerbang. Orang tua mulai puyeng karena berbagai alasan. Di tengah janji sekolah gratis untuk rakyat miskin, ada orang tua yang bingung mengumpulkan uang, mencari sekolah favorit, dan ketar-ketir memikirkan biaya sekolah. Sementara, pilihan orang tua tak selamanya sesuai dengan kehendak anak, khususnya yang sudah akan meninggalkan seragam putih biru.
Ini juga terjadi pada, sebut saja Tanti. Siswa kelas tiga SMPK Tarakanita di kawasan Jakarta Timur ini sudah mengambil formulir di salah SMUK St Theresia, di bilangan Jakarta Pusat. Si ibu memberikan uang Rp 150 ribu untuk biaya pendaftaran. Dengan bersemangat, Tanti melengkapi semua persyaratan termasuk menyertakan slip gaji ayahnya. (Ih, pakai slip gaji segala)
Setelah dites, ternyata Tanti yang selalu masuk lima besar di kelasnya ini lulus, tapi dalam kategori cadangan pertama. Dari informasi temannya yang sekolah di sana, dia tahu bahwa namanya masuk daftar cadangan karena gaji ayahnya cuma Rp 7 juta sebulan. Dari temannya itu, Tanti juga baru engah bahwa ada seorang teman SMP-nya yang lolos tes. Peringkat anak ini “jauh panggang dari api” dengan Tanti. "Tapi orang tuanya memang tajir banget," kata Tanti menirukan omongan temannya itu.
Begitu tahu masalah ini, Tanti diomeli mamanya. Mamanya memang tidak melarang Tanti mendaftar di sekolah favorit menurut pandangan anaknya itu. Namun, pikirannya berubah mengetahui uang masuk sekolah yang mencapai Rp 10 juta.
Sementara, seorang siswi kelas lima Sekolah Dasar Negeri di kawasan Cawang Kapling, Jaktim, tak mau ambil pusing dengan uang sekolah. Gadis bertubuh kerempeng ini bukan tak peduli. Tapi, dia tahu ayah dan ibunya tak punya uang. Putri bahkan pernah tidak tahu hasil evaluasi belajarnya selama kelas empat. Sebab, ibunya tidak punya uang Rp 10 ribu untuk menebus rapor. Si ibu cuma diberitahukan guru bahwa anaknya naik kelas.
Putri masih beruntung karena pihak sekolah tetap memberikan buku pelajaran meski sang anak belum melunasi uang buku. Pembayaran buku pelajaran bisa dicicil. Sementara teman-teman bermainnya dari SDN lain yang masih satu wilayah tidak bisa memiliki buku pelajaran jika belum lunas. Gawatnya, siswa yang memiliki buku dilarang berbagi buku pada saat pelajaran. Lebih hebat lagi, siswa dilarang keras memfotokopi buku pelajaran yang satu paket mencapai harga Rp 60 ribu ini.
Kondisi Putri berbeda dengan Tanti yang nyaris tak bermasalah dengan uang sekolah. Sampai kelas tiga SMP, Tanti rutin membayar uang sekolah Rp 350 ribu per bulan. Ini di luar biaya buku pelajaran dan berbagai les.
Jika benar masuk SMU idamannya itu, ibu Tanti harus mengeluarkan biaya berlipat. Selain uang sekolah dan buku pelajaran, kemungkinan besar orang tua Tanti harus merogoh kocek untuk biaya tambahan buat gaul anaknya. Tanti juga diingatkan bahwa dia akan merasa terkucil jika memaksa masuk ke sekolah anak gedongan itu. "Nanti kamu sendiri yang naik bus," kata ibunya.
Tanti diam saja menanggapi reaksi ibunya. Dia juga tak bicara ketika disarankan untuk mendaftar di SMU negeri agar bisa masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur Penerimaan Minat dan Kemampuan (PMDK). Apalagi, kakak ceweknya lolos seleksi ini dan sekarang kuliah di sebuah universitas negeri di Jawa Timur.
Dia juga menceritakan semua ini pada ayahnya lewat telepon. Ayahnya adalah kepala bagian di kantor cabang PT Telkom di Kalimantan. Tak ada kisah yang ditutupi, termasuk soal alasan dia masuk kotak cadangan nomor satu tadi. "Papa sih, gajinya ece`-ece` (kecil), papa anak-anak yang diterima, gajinya 35 jutaan," kata Tanti. "Sudah, daftar di SMU negeri saja," ujar ayahnya dengan nada tinggi.
Bukan cuma orang tua Tanti yang kesal mendengar celotehan ini. Kerabat dekat juga sebal pada gadis manis ini saat ibu Tanti menceritakan kembali peristiwa itu. "Aku kan cuma pengen coba masuk Theresia aja," kata bungsu dari dua bersaudara ini, ringan. Ck ck ck!
Pendaftaran sekolah mulai dibuka. Berbagai sekolah swasta memasang spanduk penerimaan siswa baru di depan pintu gerbang. Orang tua mulai puyeng karena berbagai alasan. Di tengah janji sekolah gratis untuk rakyat miskin, ada orang tua yang bingung mengumpulkan uang, mencari sekolah favorit, dan ketar-ketir memikirkan biaya sekolah. Sementara, pilihan orang tua tak selamanya sesuai dengan kehendak anak, khususnya yang sudah akan meninggalkan seragam putih biru.
Ini juga terjadi pada, sebut saja Tanti. Siswa kelas tiga SMPK Tarakanita di kawasan Jakarta Timur ini sudah mengambil formulir di salah SMUK St Theresia, di bilangan Jakarta Pusat. Si ibu memberikan uang Rp 150 ribu untuk biaya pendaftaran. Dengan bersemangat, Tanti melengkapi semua persyaratan termasuk menyertakan slip gaji ayahnya. (Ih, pakai slip gaji segala)
Setelah dites, ternyata Tanti yang selalu masuk lima besar di kelasnya ini lulus, tapi dalam kategori cadangan pertama. Dari informasi temannya yang sekolah di sana, dia tahu bahwa namanya masuk daftar cadangan karena gaji ayahnya cuma Rp 7 juta sebulan. Dari temannya itu, Tanti juga baru engah bahwa ada seorang teman SMP-nya yang lolos tes. Peringkat anak ini “jauh panggang dari api” dengan Tanti. "Tapi orang tuanya memang tajir banget," kata Tanti menirukan omongan temannya itu.
Begitu tahu masalah ini, Tanti diomeli mamanya. Mamanya memang tidak melarang Tanti mendaftar di sekolah favorit menurut pandangan anaknya itu. Namun, pikirannya berubah mengetahui uang masuk sekolah yang mencapai Rp 10 juta.
Sementara, seorang siswi kelas lima Sekolah Dasar Negeri di kawasan Cawang Kapling, Jaktim, tak mau ambil pusing dengan uang sekolah. Gadis bertubuh kerempeng ini bukan tak peduli. Tapi, dia tahu ayah dan ibunya tak punya uang. Putri bahkan pernah tidak tahu hasil evaluasi belajarnya selama kelas empat. Sebab, ibunya tidak punya uang Rp 10 ribu untuk menebus rapor. Si ibu cuma diberitahukan guru bahwa anaknya naik kelas.
Putri masih beruntung karena pihak sekolah tetap memberikan buku pelajaran meski sang anak belum melunasi uang buku. Pembayaran buku pelajaran bisa dicicil. Sementara teman-teman bermainnya dari SDN lain yang masih satu wilayah tidak bisa memiliki buku pelajaran jika belum lunas. Gawatnya, siswa yang memiliki buku dilarang berbagi buku pada saat pelajaran. Lebih hebat lagi, siswa dilarang keras memfotokopi buku pelajaran yang satu paket mencapai harga Rp 60 ribu ini.
Kondisi Putri berbeda dengan Tanti yang nyaris tak bermasalah dengan uang sekolah. Sampai kelas tiga SMP, Tanti rutin membayar uang sekolah Rp 350 ribu per bulan. Ini di luar biaya buku pelajaran dan berbagai les.
Jika benar masuk SMU idamannya itu, ibu Tanti harus mengeluarkan biaya berlipat. Selain uang sekolah dan buku pelajaran, kemungkinan besar orang tua Tanti harus merogoh kocek untuk biaya tambahan buat gaul anaknya. Tanti juga diingatkan bahwa dia akan merasa terkucil jika memaksa masuk ke sekolah anak gedongan itu. "Nanti kamu sendiri yang naik bus," kata ibunya.
Tanti diam saja menanggapi reaksi ibunya. Dia juga tak bicara ketika disarankan untuk mendaftar di SMU negeri agar bisa masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur Penerimaan Minat dan Kemampuan (PMDK). Apalagi, kakak ceweknya lolos seleksi ini dan sekarang kuliah di sebuah universitas negeri di Jawa Timur.
Dia juga menceritakan semua ini pada ayahnya lewat telepon. Ayahnya adalah kepala bagian di kantor cabang PT Telkom di Kalimantan. Tak ada kisah yang ditutupi, termasuk soal alasan dia masuk kotak cadangan nomor satu tadi. "Papa sih, gajinya ece`-ece` (kecil), papa anak-anak yang diterima, gajinya 35 jutaan," kata Tanti. "Sudah, daftar di SMU negeri saja," ujar ayahnya dengan nada tinggi.
Bukan cuma orang tua Tanti yang kesal mendengar celotehan ini. Kerabat dekat juga sebal pada gadis manis ini saat ibu Tanti menceritakan kembali peristiwa itu. "Aku kan cuma pengen coba masuk Theresia aja," kata bungsu dari dua bersaudara ini, ringan. Ck ck ck!