Belum Ada Judul
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Si pemuda atau pemudi melamar pasangannya untuk menjadi istri atau suami. Deg-degan menanti jawaban. Entah anggukan atau gelengan atau anggukan dan gelengan sekaligus, ragu-ragu.
Saat ini sepasang kekasih sedang berjalan ke tahap ini. Disebut kekasih karena mereka sudah memberi (atau membuang) banyak waktu, hati, dan pikiran secara bersama-sama untuk sampai ke alamat yang bernama perkawinan.
Sudah dua kali si pemuda mengatakan, "Will you marry me?" Dan, sudah dua kali si pemudi cuma tersenyum tanpa jawaban pasti. Si pemuda maklum. Mungkin kekasihnya malu-malu. Tapi, si pemuda tahu pasti bahwa diam yang diberikan kekasihnya bukan berarti ya.
Lamaran si pemuda ke si pemudi kedengaran standar. "Will you marry me?" kan biasa banget. Apalagi ketika si pemudi menyandingkan dengan pengalaman teman-teman dekatnya yang dilamar dengan cara yang tak biasa.
"Kalau kamu mau, kita bisa pulang kampung beternak itik."
"Aku cuma punya rumah kecil dan kita bisa berkebun di belakangnya."
"Kalau kamu mau, kita bisa bikin LSM sama-sama."
Si pemuda melamar si pemudi dalam makam malam diterangi lilin di rumah si pemuda yang tukang insinyur itu. Rumah kekasihnya berjendela dan pintu kaca. Rumah "kotak" bercat merah itu mencolok di salah satu perumahan di Canberra, Australia.
Sedangkan salah satu teman si pemudi diajak berhubungan lebih serius di tempat perkabungan. Mungkin si cowok tak mau bernasib sama dengan jenazah yang mereka layat, yang tutup usia sebelum menikah dan mungkin melamar pacarnya.
Ada lagi teman si pemudi yang dilamar lewat surat elektronik dan diam-diam saja ketika berhadapan muka. Yang melamar mungkin tidak pernah yakin bahwa yang dilamar bisa menanggapi tawaran kasihnya dengan serius. Apalagi, mendengar jawabannya. "Wah... berkebun? Ayolah, tanganku pasti lecet-lecet. Aku mau kok menemani kamu berkebun, tapi, nggak setiap hari kan. Bagaimana?"
Sedangkan teman si pemudi yang satunya dilamar di depan penjara ketika akan menjenguk salah satu tahanan politik. Kekasih teman si pemudi ini terlalu sibuk hingga tidak punya waktu untuk memikirkan hubungan mereka. Tapi, kok, bilangnya di tempat seperti itu. "Kamu bisa kerja di sana. Kamu mau kan pindah warga negara?" si pelamar memegang erat tangan yang dilamar. Teman si pemudi ini terhenyak dan berkeringat.
Si pemudi dekat dengan teman-temannya karena satu pikiran untuk menikah pada waktu yang tepat. Tidak terburu-buru. Si pemudi dan teman-temannya bertekad satu kali saja mengatakan "Yes, I do!" Ketika sampai pada tahap menjatuhkan pilihan mereka sudah dan harus siap dengan segala konsekuensinya. Jadilah si pemudi dan teman-temannya bergabung dalam geng You Can't Hurry Love. Si pemudi dan teman-temannya sering menyanyikan refrain lagu Phil Collins:
...My mama said
You can't hurry love
No, you'll just have to wait
She said love don't come easy
But it's a game of give and take
You can't hurry love
No, you'll just have to wait
Just trust in a good time
No matter how long it takes...
Dengan prinsip ini si pemudi dan teman-teman terlihat aman-aman saja hidup sendirian, berkasih-kasihan melewati negara, pacaran tapi jarang ketemu, dan menjalin hubungan tanpa komitmen. Si pemudi dan teman-temannya juga tidak merasa terlalu muda atau tua untuk mengatakan "Tidak" "Jangan sekarang" "Yakin lo, gue masih ragu" dan perkataan-perkataan senada ketika pembicaraan sudah menyerempet ke arah janji di depan altar.
Meski gara-gara ini, si pemudi dan teman-temannya harus mendengar kata-kata yang ihhhhh basi banget ketika menghadiri pernikahan seseorang yang pernah dekat dengan mereka.
"Kamu sih, seharusnya kita yang duduk di sini (pelaminan) sekarang?"
"Ayo dekat-dekat sama istriku supaya kamu menyusul."
"Saudaraku banyak yang lagi cari istri, nanti aku kenalkan deh."
Tapi, si pemudi agak sedikit berbeda dengan teman-temannya. Dia memang berniat betul untuk membangun keluarga. Dia ingin mengisi hari depannya bersama suami dan anak-anak. Dia ingin serius dengan niatnya ini. Dia tidak mau main-main atau mengulur-ulur waktu dengan berbagai dalih di hadapan si pemuda.
Si pemudi mungkin sedang ditempatkan di antara teman-temannya yang begitu saja menggeser kata for yang harus mengekor ketat kata waiting dan looking agar bisa mengikuti jejaknya. Sebab, dengan begitu hubungan kasih teman-temannya bisa maju, meski dengan gerakan kecil saja. Si pemudi juga tahu alasan teman-temannya tidak buru-buru merelakan jari manis mereka dilingkari cincin. "Calonku harus bisa memimpin doa." "Dia harus membiarkan dirinya ditolong." "Aku belum siap tunduk pada dia." "Kira-kira gue bosan nggak ya, nanti?" "Aku mau menikah kalau sudah siap?"
Pertanyaan yang sama juga menudungi si pemudi. Karena itu si pemudi masih tertatih-tatih untuk sampai pada alamat yang bernama perkawinan itu. Dia masih menimbang-nimbang keputusannya bahkan saat dalam penerbangan dari Denpasar ke Sydney dan terus ke Canberra, Sabtu kemarin.
Jika menjawab "Yes" dia akan tinggal di Negeri Kanguru dan mungkin akan melahirkan putri cantik bermata biru seperti kekasihnya. Mungkin dia sekolah lagi mengambil jurusan desain interior dan bisa mengobati penyakitnya dengan perawatan yang lebih memadai.
Si pemudi dan si pemuda ini bisa sama-sama belajar mengontrol emosi agar menyelesaikan masalah tanpa harus teriak-teriak dan berganti rona muka seperti kepiting rebus. Mereka bisa belajar untuk tidak terlalu pelit dan terlalu royal. Mereka bisa belajar menertawakan dan mensyukuri perbedaan budaya. Dan, teman-temannya punya satu lagi daftar tempat berkunjung jika nyasar di negara benua itu.
Si pemudi tak berhenti meminta dukungan doa dari teman-temannya. Masih banyak waktu untuk memutuskan. Visa kunjungannya habis 31 Juli nanti. Teman-temannya berdoa agar si pemudi balik ke Indonesia lagi untuk mengurus visa tunangan.
Teman-temannya sedang melantunkan refrain You Can't Harry Love ketika pesan singkat dari si pemudi nongol. "Aku sudah di Canberra. Di sini dingin sekali sampai 4 derajat Celcius. Kemarin Andrew sudah melamar aku. Kita rencana nikah di dua tempat, tapi masih tanya ke imigrasi."
Mama Mia e..., akhirnya, sebentar lagi si pemudi menjadi Mrs Wallace.
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Si pemuda atau pemudi melamar pasangannya untuk menjadi istri atau suami. Deg-degan menanti jawaban. Entah anggukan atau gelengan atau anggukan dan gelengan sekaligus, ragu-ragu.
Saat ini sepasang kekasih sedang berjalan ke tahap ini. Disebut kekasih karena mereka sudah memberi (atau membuang) banyak waktu, hati, dan pikiran secara bersama-sama untuk sampai ke alamat yang bernama perkawinan.
Sudah dua kali si pemuda mengatakan, "Will you marry me?" Dan, sudah dua kali si pemudi cuma tersenyum tanpa jawaban pasti. Si pemuda maklum. Mungkin kekasihnya malu-malu. Tapi, si pemuda tahu pasti bahwa diam yang diberikan kekasihnya bukan berarti ya.
Lamaran si pemuda ke si pemudi kedengaran standar. "Will you marry me?" kan biasa banget. Apalagi ketika si pemudi menyandingkan dengan pengalaman teman-teman dekatnya yang dilamar dengan cara yang tak biasa.
"Kalau kamu mau, kita bisa pulang kampung beternak itik."
"Aku cuma punya rumah kecil dan kita bisa berkebun di belakangnya."
"Kalau kamu mau, kita bisa bikin LSM sama-sama."
Si pemuda melamar si pemudi dalam makam malam diterangi lilin di rumah si pemuda yang tukang insinyur itu. Rumah kekasihnya berjendela dan pintu kaca. Rumah "kotak" bercat merah itu mencolok di salah satu perumahan di Canberra, Australia.
Sedangkan salah satu teman si pemudi diajak berhubungan lebih serius di tempat perkabungan. Mungkin si cowok tak mau bernasib sama dengan jenazah yang mereka layat, yang tutup usia sebelum menikah dan mungkin melamar pacarnya.
Ada lagi teman si pemudi yang dilamar lewat surat elektronik dan diam-diam saja ketika berhadapan muka. Yang melamar mungkin tidak pernah yakin bahwa yang dilamar bisa menanggapi tawaran kasihnya dengan serius. Apalagi, mendengar jawabannya. "Wah... berkebun? Ayolah, tanganku pasti lecet-lecet. Aku mau kok menemani kamu berkebun, tapi, nggak setiap hari kan. Bagaimana?"
Sedangkan teman si pemudi yang satunya dilamar di depan penjara ketika akan menjenguk salah satu tahanan politik. Kekasih teman si pemudi ini terlalu sibuk hingga tidak punya waktu untuk memikirkan hubungan mereka. Tapi, kok, bilangnya di tempat seperti itu. "Kamu bisa kerja di sana. Kamu mau kan pindah warga negara?" si pelamar memegang erat tangan yang dilamar. Teman si pemudi ini terhenyak dan berkeringat.
Si pemudi dekat dengan teman-temannya karena satu pikiran untuk menikah pada waktu yang tepat. Tidak terburu-buru. Si pemudi dan teman-temannya bertekad satu kali saja mengatakan "Yes, I do!" Ketika sampai pada tahap menjatuhkan pilihan mereka sudah dan harus siap dengan segala konsekuensinya. Jadilah si pemudi dan teman-temannya bergabung dalam geng You Can't Hurry Love. Si pemudi dan teman-temannya sering menyanyikan refrain lagu Phil Collins:
...My mama said
You can't hurry love
No, you'll just have to wait
She said love don't come easy
But it's a game of give and take
You can't hurry love
No, you'll just have to wait
Just trust in a good time
No matter how long it takes...
Dengan prinsip ini si pemudi dan teman-teman terlihat aman-aman saja hidup sendirian, berkasih-kasihan melewati negara, pacaran tapi jarang ketemu, dan menjalin hubungan tanpa komitmen. Si pemudi dan teman-temannya juga tidak merasa terlalu muda atau tua untuk mengatakan "Tidak" "Jangan sekarang" "Yakin lo, gue masih ragu" dan perkataan-perkataan senada ketika pembicaraan sudah menyerempet ke arah janji di depan altar.
Meski gara-gara ini, si pemudi dan teman-temannya harus mendengar kata-kata yang ihhhhh basi banget ketika menghadiri pernikahan seseorang yang pernah dekat dengan mereka.
"Kamu sih, seharusnya kita yang duduk di sini (pelaminan) sekarang?"
"Ayo dekat-dekat sama istriku supaya kamu menyusul."
"Saudaraku banyak yang lagi cari istri, nanti aku kenalkan deh."
Tapi, si pemudi agak sedikit berbeda dengan teman-temannya. Dia memang berniat betul untuk membangun keluarga. Dia ingin mengisi hari depannya bersama suami dan anak-anak. Dia ingin serius dengan niatnya ini. Dia tidak mau main-main atau mengulur-ulur waktu dengan berbagai dalih di hadapan si pemuda.
Si pemudi mungkin sedang ditempatkan di antara teman-temannya yang begitu saja menggeser kata for yang harus mengekor ketat kata waiting dan looking agar bisa mengikuti jejaknya. Sebab, dengan begitu hubungan kasih teman-temannya bisa maju, meski dengan gerakan kecil saja. Si pemudi juga tahu alasan teman-temannya tidak buru-buru merelakan jari manis mereka dilingkari cincin. "Calonku harus bisa memimpin doa." "Dia harus membiarkan dirinya ditolong." "Aku belum siap tunduk pada dia." "Kira-kira gue bosan nggak ya, nanti?" "Aku mau menikah kalau sudah siap?"
Pertanyaan yang sama juga menudungi si pemudi. Karena itu si pemudi masih tertatih-tatih untuk sampai pada alamat yang bernama perkawinan itu. Dia masih menimbang-nimbang keputusannya bahkan saat dalam penerbangan dari Denpasar ke Sydney dan terus ke Canberra, Sabtu kemarin.
Jika menjawab "Yes" dia akan tinggal di Negeri Kanguru dan mungkin akan melahirkan putri cantik bermata biru seperti kekasihnya. Mungkin dia sekolah lagi mengambil jurusan desain interior dan bisa mengobati penyakitnya dengan perawatan yang lebih memadai.
Si pemudi dan si pemuda ini bisa sama-sama belajar mengontrol emosi agar menyelesaikan masalah tanpa harus teriak-teriak dan berganti rona muka seperti kepiting rebus. Mereka bisa belajar untuk tidak terlalu pelit dan terlalu royal. Mereka bisa belajar menertawakan dan mensyukuri perbedaan budaya. Dan, teman-temannya punya satu lagi daftar tempat berkunjung jika nyasar di negara benua itu.
Si pemudi tak berhenti meminta dukungan doa dari teman-temannya. Masih banyak waktu untuk memutuskan. Visa kunjungannya habis 31 Juli nanti. Teman-temannya berdoa agar si pemudi balik ke Indonesia lagi untuk mengurus visa tunangan.
Teman-temannya sedang melantunkan refrain You Can't Harry Love ketika pesan singkat dari si pemudi nongol. "Aku sudah di Canberra. Di sini dingin sekali sampai 4 derajat Celcius. Kemarin Andrew sudah melamar aku. Kita rencana nikah di dua tempat, tapi masih tanya ke imigrasi."
Mama Mia e..., akhirnya, sebentar lagi si pemudi menjadi Mrs Wallace.